Nanda.
Wanita itu hanya kuat saat berada dalam ruko. Bila digiring ke luar, ilmunya melemah.
Aku akan mematuk kakinya. Ia bakal mengalami stroke di mana sekujur tubuh mati rasa.
Lalu mereka akan membawanya ke rumah sakit. Dengan begitu, pekerjaanku merenggut nyawa Nanda jadi lebih mudah.
Masuk rumah sakit bukanlah pilihan yang tepat bagi korban santet. Justru terkadang, di sanalah serangan gaib lebih mudah masuk ketimbang berada di rumah sendiri.
"Penyusup, kau lagi menyusun siasat rupanya!!" Aku dikejutkan oleh kemunculan suami gaib Nanda di dekatku.
Dengan gemas, tapal kakinya disuruk-suruk ke bawah meja. Berupaya menginjak badanku. Untungnya aku dengan mudah menghindar.
"Siapa yang mengutusmu ke mari?!" Suaranya menggelegar. Membuat Nanda menoleh heran ke arah kami.
Tak menyiakan waktu, aku merayap ke bawah meja kasir. Mematuk punggung kaki Nanda sebanyak tiga kali.
Wanita itu sontak berteriak. Setelahnya ia terpekur di kursi dengan badan mengejur kaku.
Para pegawai berlarian mendapati Nanda. Sementara pelanggan yang ditinggalkan bertanya-tanya apa yang barusan terjadi.
"Mbak Nanda sakit lagi," ujar pegawai yang paling dewasa.
"Kaku badan Mbak Nanda. Apa mungkin kena stroke?" ucap yang satunya panik.
"Gak tahu."
"Mbak, tadi kenapa tiba-tiba teriak?" tanya mereka memastikan.
Nanda menggerakkan telunjuk ke bawah meja agar mereka melihatku. Namun sama saja. Aku telah menyamarkan diri jadi tak bisa dilihat oleh mata manusia awam.
"Ula."
"Apa Mbak? Ula?"
"Ada ula," jawab Nanda dengan mulutnya yang kini miring akibat stroke mendadak.
"Maksud Mbak, ular?" tanya mereka ketakutan. Lantas dengan ragu-ragu memeriksa ke bawah meja.
Jantungku meronta. Bukan karena takut terciduk, tapi reaksi testosteronku meningkat. Mencapai puncak saat wanita-wanita cantik ini mengerubungiku.
"Gak ada ular di sini, Mbak Nanda," tukas mereka usai memeriksa.
Aku bernapas lega. Sementara Nanda yang tak bisa berbuat banyak hanya menampakkan raut kesal bercampur kecewa.
Beberapa pegawai memutuskan kembali melayani pelanggan. Beberapa yang lain berdebat tentang keputusan membawa Nanda ke rumah sakit.
"Jenan ...." Suara Nanda tertahan di kerongkongan. Rahangnya yang bengkok sulit berucap jelas.
"Jenan te luma hakit." Ia memohon.
Mereka saling berpandangan. Mereka paham maksud Nanda. Namun jika hanya berdiam di ruko, dikhawatirkan bos mereka semakin parah.
"Siapkan mobil!" Titah pegawai yang nampak paling dewasa.
Seseorang mengambil kunci dari laci lalu bergegas ke luar salon. Ia menghidupkan mobil hitam yang terparkir di halaman ruko.
"Jangan bawa istriku ke rumah sakit!" teriak suami gaib Nanda. Ia marah besar.
Tak seorang pun bisa mendengarnya. Kecuali aku.
Dengan hati-hati mereka membopong Nanda menuju mobil. Lalu melaju pergi. Meninggalkan Jin Kuda dan anak-anak kuda yang menangis terisak.
Sebelum pintu menutup sempurna, aku berkesempatan merayap ke luar.
"Kurang ajar kau, Ular sialan," umpat Jin Kuda dari dalam salon. Lewat dinding kaca, kulihat wajahnya menghitam legam dan badan memerah geram.
Ia tak bisa mengikuti Nanda ataupun mengejarku. Sebab habitatnya terpatri hanya dalam salon itu.
Aku hendak pulang saat kulihat dua tuyul Nanda terkesima padaku. Kagum pada belang-belang unik di tubuh ini. Hitam bercampur keemasan.
"Apa liat-liat?!" Hardikku.
Jangankan takut, mereka malah tertawa cekikan.
"Pilih ikut aku atau kusemprotkan bisa ke wajah kalian?" Kubuka mulut selebar mungkin. Siap mencipratkan zat berbahaya.
"Tapi kau punya kacang ijo, 'kan?" tanya si tuyul. Suaranya lebih mirip anak ayam.
"Kami lapar. Di sini hanya diberi permainan saja," sambungnya lagi.
"Ya, ikut aku. Akan kuberi kalian susu dan kue manis!"
Mereka tertawa gembira lalu menghilang mengikuti aku.
š¤š¤š¤
Kami tiba di kebun belakang rumah dan aku kembali ke wujud manusia.
Kusempatkan memetik kacang hijau langsung dari pohonnya. Dan kedua tuyul itu menyantap rakus.
Sebelum memasuki rumah, kumasukkan mereka ke dalam botol. Lumayan jika nanti ada pelanggan yang datang membeli. Biasanya satu tuyul dihargai senilai sepuluh juta rupiah.
"Wanita itu sudah lumpuh dan mereka membawanya ke rumah sakit!" Aku melapor pada Bapak di ruang tamu.
Lastri yang belum pulang, bereaksi senang. Sudut bibirnya mengembangkan senyum sinis.
"Tinggal satu langkah lagi," jelas Bapak pada Lastri.
"Malam ini saya dan Bone akan menyerang ke rumah sakit. Kami pastikan besok dia meninggal!"
"Ah, tidak sia-sia aku ke sini," gumam Lastri gembira.
"Ya. Jika besok kau dengar kabar kematiannya, segeralah ke mari. Bayar kewajibanmu." Bapak melirik tas berisi uang yang didekap Lastri.
"Tentu, Mbah."
"Pulanglah, Lastri. Kita tak mungkin duduk di sini sampai kiamat tiba." Bapak mengelus janggut panjangnya.
Aku yang berdiri sopan, hanya menunduk saat Lastri berpamitan pulang.
Lama berada di sini, badannya menguarkan aroma kemenyan.
Aku yakin, keluarga Lastri pasti curiga kalau dia baru saja pulang dari berdukun.
Sunyinya malam mencekam suasana. Di atas sana, awan hitam bergelayut rendah. Mulai menjatuhkan rintik halus. Lolongan serigala sesekali terdengar di kejauhan. Membangkitkan kengerian tersendiri.Tinggal di kaki pegunungan tanpa banyak pepohonan, hembusan angin terasa begitu keras. Menampar-nampar daun jendela. Mengusik pendengaran. "Tutup jendela itu, Bone!" Bapak yang lagi khusyuk merapal mantra sedikit terganggu. Setelah jendela kututup, Bapak memerintah lagi. "Cari helaian rambut Lastri di atas tikar! Pasti ada yang jatuh."Aku mencermati permukaan tikar. Ini sulit, karena rambut pirang Lastri berwarna selaras dengan warna tikar. Kuning kepucatan.Dibantu dengan meraba-raba, akhirnya kudapati juga helaian rambut Lastri yang sempat jatuh saat ia mengibas rambutnya yang tergerai siang tadi. Bapak lantas membakar rambut itu di atas dulang kemenyan. Hangus bersama asap yang terus mengepul. Dukun sakti tentu tahu apa maksudnya ini. Rambut, kuku atau ludah seseorang bisa dipakai un
Terik matahari mulai membakar kulit. Di dekat sumur, aku yang baru selesai mandi, kini lanjut menggosok gigi. Beberapa tuyul peliharaan yang memang tidak kubotolkan, mengajak bercanda."Bone, kau cakep kalau habis mandi." "Sayangnya kau jomblo. Hahahaha ....""Bone, umurmu berapa sekarang?""Aku yakin kau belum pernah mencium wanita." Glek! Kena telak di ulu hati, padahal baru semalam aku mengecup dua wanita sekaligus.Candaan mereka sudah akrab di telingaku. Dan aku hanya mendengar bak angin lalu. Aku kemudian masuk ke kamar untuk berpakaian. Tuyul-tuyul tadi mengikutiku. Mereka berlarian di atas kasur, layaknya anak-anak. Usai berpakaian, aku mengoles luka di kaki dengan minyak ramuan khusus. Teringat kembali bagaimana aku mendapat luka ini.Seorang pria meninggalkan rumah tangganya demi menikahi wanita idaman lain. Sang istri sakit hati lalu meminta Bapak mengacaukan keharmonisan pasangan selingkuh itu.Aku diutus ke sana. Dalam rupa ular, berniat menaburkan roh kebencian, per
Siang ini, aku dan Bapak menuju danau. Letaknya lumayan jauh di sebelah gunung. Kami melewati hutan dan menerobos semak belukar. Bapak kadang salah arah, tapi aku hafal betul. Bagaimanapun, di sinilah pertama kali Bapak menemukanku dalam kondisi menyedihkan.Satu jam mengarungi tracking yang penuh adrenalin, akhirnya tiba juga di danau. Awalnya, danau ini digunakan oleh masyarakat sekitar pegunungan untuk mencuci pakaian atau sekadar memancing ikan. Setelah peristiwa tenggelamnya gadis-gadis perawan, sekarang jadi sepi. Dianggap keramat.Mengetahui adanya kekuatan besar di balik danau ini, Bapak memutuskan untuk datang bertapa. Memohon wangsit pada Jin penunggu danau. Bapak mendapat lebih dari apa yang diharapkan. Jin itu memberi macam-macam ilmu, khususnya ilmu putih. Namun sama saja, syarat yang dilalui tidaklah gampang. Ada pepatah mengatakan 'baik belum tentu benar'. Ilmu putih bertujuan baik, tapi mesti menempuh proses yang tidak benar. Kau harus mengorbankan banyak hal unt
"Kita pulang saja, Bone! Sudah jelas ritual ini gagal." Bapak berbicara sambil memunggungiku. Ia sibuk membereskan bekas dupa dan hanya menyisakan sesajen buat Jin danau."Bagaimana dengan Kambing Nadia?" tanyaku getir.Kutatap kambing yang matanya kini berkaca-kaca. Seakan Nadia di dalam sana sedang menangis. Berharap kami memulihkan kondisinya."Tinggalkan saja kambing itu, Bone. Hanya akan menyusahkan kita." Rupanya Bapak tak mau mengambil resiko. "Tapi kasihan, Pak." "Kasihan? Sudah berapa orang yang kau bunuh tanpa rasa kasihan? Lagian dia bukan mati, cuma berpindah wujud saja. Nadia lebih bahagia jadi kambing, takkan ada lagi orang yang mengatakan wajahnya jelek." Benar juga opini Bapak. Biarkan Kambing Nadia bebas di hutan ini. Dia akan leluasa makan rumput dan dedaunan lezat. Bukankah ucapan adalah doa. Kita tidak bisa berucap buruk lalu mengharap takdir yang baik.Semoga kisah Nadia menjadi pelajaran bagi kita semua.š¤š¤š¤Akibat perasaan yang tak menentu, perjalanan p
Bab 7Usai mengisi perut ala kadarnya, Mang Asep berinisiatif mengantar kami pulang memakai mobil pick-up miliknya.Sekalian ingin pamer ke masyarakat kalau dia sudah sembuh. Biar si penyantet kena mental.Namun Bapak menolak. Bersikeras memilih berjalan kaki saja. "Sifat keras kepalamu belum berubah, Tarso!" Mang Asep menatap lekat pada teman masa mudanya."Ada yang gampang, kau pilih yang sukar.""Bukan begitu, Asep. Masalahnya kami membawa pulang makhluk gaib dari rumahmu. Gak bagus jika harus naik mobil.""Ah, Tarso. Kau membuatku bergidik ngeri!""Hmm, dulu kuajak berguru ilmu gaib, kau selalu menolak. Sekarang kau jadi penakut setan, kan!" Bapak berkelakar."Sudahlah, Tarso. Sudah bagus aku jadi kepala dusun. Kalau jadi dukun sepertimu, pasien pasti bingung mau berobat ke kamu atau ke aku." "Ya ke akulah, Asep. Secara aku lebih ganteng dari kamu!" Bapak tertawa meningkahi Mang Asep."Gantengmu itu mubasir, Tarso. Buktinya kau masih saja jomblo sampai sekarang. Hahaha," balas M
Bab 8Bapak memberanikan diri. Dari membungkuk, beralih duduk tegak. Menatap Banaspati dengan kedua tangan memohon. "Aku ingin bersekutu denganmu, Banaspati yang perkasa.""Mohon bantu kami mengalahkan musuh-musuh.""Hanya itu saja?!" pekik Banaspati yang membuatku sontak menutup telinga. Suaranya menggelegar dan hawa mulutnya begitu panas. "Be-be-nar, Banaspati yang mulia," jawab Bapak gemetar.Banaspati itu berpindah ke dahan yang lebih tinggi dan masih terus berpendar menyala-nyala. Sementara Banaspati yang lain, terbang menyebar ke pucuk-pucuk pepohonan. Mirip bola-bola api di sirkus singa di Meksiko."Panggil saja aku saat kau butuh, wahai manusia. Tapi harus kau sajikan seekor sapi betina yang besar!!" Suaranya memekik tajam.Demi menjaga kesan baik, Bapak berusaha keras untuk tidak menutup telinga."Kau sanggup, wahai manusia?!" pekiknya lagi. Membuat Bapak terperanjat kaget."Kusanggupi, Banaspati yang mulia!" jawab Bapak tegas.Blep.Suasana kembali gelap total. Hawa pan
Bab 9Hanya dalam hitungan hari, ia menderita penyakit serupa yang pernah diderita Mang Asep. Sungguh aku tak sabar melihat rumahnya terbakar dilalap api. Banaspati sepakat membantu, dan Sukirman akan jadi objek percobaan. Seekor sapi betina seberat setengah ton disajikan di halaman rumah. Bapak membakar dupa beserta rempah wangian kesukaan Banaspati. Tinggal menunggu jin api itu muncul, maka Bapak akan memberi tugas. Membakar rumah Sukirman. Aku merayap ke pohon waru. Berniat bertemu si kunti yang bukan kuntilanak merah.Ia masih terikat di batang pohon. Tertidur dengan iler membanjiri pipi."Kau harus bantu aku sekarang!" ucapku, membuatnya membuka mata. Detik kemudian ia tertawa geli."Kikikikk ... kikikik ... kau siluman ular rupanya, Bone? Kikikikk ... kikikikk ....""Kalau iya kenapa, huh?" jawabku kesal. "Kau harus mengantarku ke rumah Sukirman, mantan bosmu itu! Dulu kau disuruh merusak keharmonisan keluarga Mang Asep, tapi sekarang polanya berubah.""Kau mau apa, tinggal
Bab 10Setibanya di rumah, si kunti menjatuhkanku begitu saja ke tanah. Aku terjun bebas tanpa sayap dari ketinggian lima meter. Mengerang aku, tapi si kunti malah tertawa cekikan. Sembari menahan sakit, aku merayap lambat. Melewati pohon jati di mana sapi betina diikat sore tadi. Sayangnya, hewan pemakan rumput itu sudah mati konyol. Tewas disantap belasan banaspati sebagai sesajen. Ditimpa cahaya bulan, bisa kulihat memar serius pada sekujur tubuh sapi. Merah kehitam-hitaman, pun menguarkan bau hangus yang pedis.Aku bersin-bersin oleh aroma yang tak kusukai itu. ***Keesokan harinya, Mang Asep bertandang ke rumah kami. Membawa kabar tentang musibah yang menimpa keluarga Sukirman."Dia orang baik. Tak layak mati dengan cara demikian," ungkap Mang Asep pilu."Kau yakin dia baik?" Memicing mata Bapakku. "Biasanya orang yang beneran baik akan mati dengan cara baik-baik pula!" "Ya, yang kutahu dia memang baik." Mang Asep mencoba mengubah posisi duduknya di balai-balai.Bapak mempe