Share

Bab 2 Strategi

Nanda. 

Wanita itu hanya kuat saat berada dalam ruko. Bila digiring ke luar, ilmunya melemah. 

Aku akan mematuk kakinya. Ia bakal mengalami stroke di mana sekujur tubuh mati rasa.

Lalu mereka akan membawanya ke rumah sakit. Dengan begitu, pekerjaanku merenggut nyawa Nanda jadi lebih mudah. 

Masuk rumah sakit bukanlah pilihan yang tepat bagi korban santet. Justru terkadang, di sanalah serangan gaib lebih mudah masuk ketimbang berada di rumah sendiri.

"Penyusup, kau lagi menyusun siasat rupanya!!" Aku dikejutkan oleh kemunculan suami gaib Nanda di dekatku. 

Dengan gemas, tapal kakinya disuruk-suruk ke bawah meja. Berupaya menginjak badanku. Untungnya aku dengan mudah menghindar. 

"Siapa yang mengutusmu ke mari?!" Suaranya menggelegar. Membuat Nanda menoleh heran ke arah kami.

Tak menyiakan waktu, aku merayap ke bawah meja kasir. Mematuk punggung kaki Nanda sebanyak tiga kali. 

Wanita itu sontak berteriak. Setelahnya ia terpekur di kursi dengan badan mengejur kaku. 

Para pegawai berlarian mendapati Nanda. Sementara pelanggan yang ditinggalkan bertanya-tanya apa yang barusan terjadi.

"Mbak Nanda sakit lagi," ujar pegawai yang paling dewasa.

"Kaku badan Mbak Nanda. Apa mungkin kena stroke?" ucap yang satunya panik.

"Gak tahu."

"Mbak, tadi kenapa tiba-tiba teriak?" tanya mereka memastikan.

Nanda menggerakkan telunjuk ke bawah meja agar mereka melihatku. Namun sama saja. Aku telah menyamarkan diri jadi tak bisa dilihat oleh mata manusia awam.

"Ula."

"Apa Mbak? Ula?"

"Ada ula," jawab Nanda dengan mulutnya yang kini miring akibat stroke mendadak. 

"Maksud Mbak, ular?" tanya mereka ketakutan. Lantas dengan ragu-ragu memeriksa ke bawah meja. 

Jantungku meronta. Bukan karena takut terciduk, tapi reaksi testosteronku meningkat. Mencapai puncak saat wanita-wanita cantik ini mengerubungiku. 

"Gak ada ular di sini, Mbak Nanda," tukas mereka usai memeriksa. 

Aku bernapas lega. Sementara Nanda yang tak bisa berbuat banyak hanya menampakkan raut kesal bercampur kecewa. 

Beberapa pegawai memutuskan kembali melayani pelanggan. Beberapa yang lain berdebat tentang keputusan membawa Nanda ke rumah sakit. 

"Jenan ...." Suara Nanda tertahan di kerongkongan. Rahangnya yang bengkok sulit berucap jelas. 

"Jenan te luma hakit." Ia memohon. 

Mereka saling berpandangan. Mereka paham maksud Nanda. Namun jika hanya berdiam di ruko, dikhawatirkan bos mereka semakin parah. 

"Siapkan mobil!" Titah pegawai yang nampak paling dewasa. 

Seseorang mengambil kunci dari laci lalu bergegas ke luar salon. Ia menghidupkan mobil hitam yang terparkir di halaman ruko. 

"Jangan bawa istriku ke rumah sakit!" teriak suami gaib Nanda. Ia marah besar. 

Tak seorang pun bisa mendengarnya. Kecuali aku.

Dengan hati-hati mereka membopong Nanda menuju mobil. Lalu melaju pergi. Meninggalkan Jin Kuda dan anak-anak kuda yang menangis terisak. 

Sebelum pintu menutup sempurna, aku berkesempatan merayap ke luar. 

"Kurang ajar kau, Ular sialan," umpat Jin Kuda dari dalam salon. Lewat dinding kaca, kulihat wajahnya menghitam legam dan badan memerah geram. 

Ia tak bisa mengikuti Nanda ataupun mengejarku. Sebab habitatnya terpatri hanya dalam salon itu. 

Aku hendak pulang saat kulihat dua tuyul Nanda terkesima padaku. Kagum pada belang-belang unik di tubuh ini. Hitam bercampur keemasan. 

"Apa liat-liat?!" Hardikku. 

Jangankan takut, mereka malah tertawa cekikan. 

"Pilih ikut aku atau kusemprotkan bisa ke wajah kalian?" Kubuka mulut selebar mungkin. Siap mencipratkan zat berbahaya. 

"Tapi kau punya kacang ijo, 'kan?" tanya si tuyul. Suaranya lebih mirip anak ayam.

"Kami lapar. Di sini hanya diberi permainan saja," sambungnya lagi.

"Ya, ikut aku. Akan kuberi kalian susu dan kue manis!" 

Mereka tertawa gembira lalu menghilang mengikuti aku. 

šŸ–¤šŸ–¤šŸ–¤

Kami tiba di kebun belakang rumah dan aku kembali ke wujud manusia. 

Kusempatkan memetik kacang hijau langsung dari pohonnya. Dan kedua tuyul itu menyantap rakus.

Sebelum memasuki rumah, kumasukkan mereka ke dalam botol. Lumayan jika nanti ada pelanggan yang datang membeli. Biasanya satu tuyul dihargai senilai sepuluh juta rupiah.

"Wanita itu sudah lumpuh dan mereka membawanya ke rumah sakit!" Aku melapor pada Bapak di ruang tamu.

Lastri yang belum pulang, bereaksi senang. Sudut bibirnya mengembangkan senyum sinis. 

"Tinggal satu langkah lagi," jelas Bapak pada Lastri.

 "Malam ini saya dan Bone akan menyerang ke rumah sakit. Kami pastikan besok dia meninggal!"

"Ah, tidak sia-sia aku ke sini," gumam Lastri gembira.

"Ya. Jika besok kau dengar kabar kematiannya, segeralah ke mari. Bayar kewajibanmu." Bapak melirik tas berisi uang yang didekap Lastri. 

"Tentu, Mbah." 

"Pulanglah, Lastri. Kita tak mungkin duduk di sini sampai kiamat tiba." Bapak mengelus janggut panjangnya.

Aku yang berdiri sopan, hanya menunduk saat Lastri berpamitan pulang. 

Lama berada di sini, badannya menguarkan aroma kemenyan. 

Aku yakin, keluarga Lastri pasti curiga kalau dia baru saja pulang dari berdukun.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status