Bab 11Hari merangkak sore saat Bapak mengatakan bahwa ia kepingin makan soto.Sejenis makanan berkuah dengan daging sapi yang direbus hingga lunak.Aku disuruh membeli hingga ke pasar kota. Letaknya lima belas kilometer dari desa kami.Jadi aku akan menuruni pegunungan, lalu menunggu angkot di jalanan umum. Dan angkot akan membawaku ke sana.Aku buru-buru pergi demi selera makan soto Bapak terpenuhi. Sempat kudengar teriakan Bapak saat aku menuruni bukit. "Bone, uang Bapak banyak. Nanti kau pakai beli motor. Berhentilah jalan kaki!!"Senyumku melarik. Ternyata Bapak benar-benar serius ingin aku jadi manusia. Okelah kalau begitu. Aku tiba di halte kecil di pinggir jalan. Sembari menunggu angkot, ada tiga Emak duduk bergosip memenuhi bangku.Membicarakan seorang gadis yang rumahnya tepat berada di seberang halte. Gadis itu sedang menyapu halaman. Mengumpulkan dedaunan gugur ke satu titik lalu dibakar. "Namanya Abigail. Anaknya sudah alim, rajin pula bantu orang tua," bisik Emak yan
Bab 12"Yang bener, Tong?" tanyanya dengan raut kurang percaya. "Aku kagak yakin sama hal-hal mistik.""Apa Ibu mau melihat langsung?" tawarku setelah menerima uang kembalian."Ah, emang bisa ya? Otong mah ada-ada aja!" Ia tertawa kecut. Kubuka telapak tangan kiriku, lantas meniupkan mantra ke atasnya. "Eh mau ngapain, Tong?!" pekik si wanita ketika kuusap kelopak matanya menggunakan telapak tanganku."Sekarang Ibu ke depan warung. Lihat apa yang ada di sana," ujarku padanya.Ragu-ragu, wanita itu akhirnya menuruti. Ia lalu melangkah ke depan warungnya sendiri. "Astaghfirullah ....""Astaghfirullah ....""Astaghfirullah ...." ucap si wanita dengan bahu bergetar. Ia tak berani mendekati benda-benda pelet di depan sana. Terpaku di langkah terakhir ia berdiri.Seekor ayam cemani meringkuk di bawah jendela. Ayam itu terlihat pasif, berbeda dengan ayam normal yang biasanya berjalan ke sana ke mari.Di dekat pintu, tergeletak sebuah tampah berisi penuh tanah kuburan. Sedangkan di sepan
Bab 13"Kau lama sekali, Bone. Kau pergi membeli soto atau membuat soto? Hahaha ...." Bapak tertawa heboh saat aku tiba. Padahal napasku belum stabil. Masih ngos-ngosan usai mendaki pegunungan."Cie, cie, cie si Bone. Hahaha ...." Bapak masih saja tertawa. Seperti orang kasmaran. "Bapak itu kenapa, sih?" tanyaku malas. "Cepetan makan sotonya, nanti keburu dingin!" Sengaja kutekan intonasi, biar Bapak stop bercanda. Masih tertawa lebar, Bapak menuang soto ke mangkuk lalu mulai makan. Ia manggut-manggut, memuji kelezatan cita rasa makanan itu. ***Keesokan hari, tepatnya jam delapan malam. Aku selesai bersiap. Akan memenuhi janji memberi penglaris pada si wanita pemilik warung soto yang namanya belum kuketahui. "Kau mau ke mana, Bone?" Bapak tersenyum penuh arti. "Tumben kau pakai parfum malam-malam." "Aku ada janji memberi penglaris. Satu genderuwo akan kulepas malam ini.""Lepas saja, toh kau berhak atas semua aset gaib kita. Bapak percaya padamu." Bapak menepuk pelan pundakku.
Bab 14Perjalanan pulang terasa sepi tanpa si Uwo. Udara malam semakin dingin, sementara di atas sana bulan purnama membulat paripurna yang menciptakan seluet-seluet raksasa dari bayangan pepohonan. Mumpung lagi sendiri, aku ingin bermain gaib. Rindu mengulang kembali kegilaan masa kecil. Masa di mana aku sering memanggil makhluk gaib liar, bermain bersama saat bulan purnama penuh.Melihat jalanan aspal yang licin, aku jadi gemas.Aku pun berubah jadi ular dan menggulung badan serupa bola, lantas menggelinding sepanjang jalan. Melaju layaknya ban kendaraan. Ini seru sekali. Aku bahkan lupa telah melewati rumah Abigail. Kembali merubah diri jadi manusia, aku bukannya menuju ke rumah Abigail. Namun masih ingin bermain sebentar lagi.Malam berada di titik rawan saat kubaca mantra pemanggil makhluk halus. Hawa sekitar mulai meningkat. Menghangat dan tak terlalu dingin lagi.“Asa dua talu, ikam aku panggil artinya kamari. Artinya malam ini ada dadaharan. Artinya aku mainjam ikam, gas
Bab 15Rumah Abigail lumayan besar. Terbuat dari tembok dan beratap seng. Aku merayap mengelilingi rumah itu sebanyak tiga kali sembari merapal mantra.Keluarganya memelihara beberapa kucing. Ada juga aneka burung yang digantung dalam sangkar besi di beranda luar.Aku memikirkan cara bagaimana memasuki rumahnya. Setelah cukup mengamati, aku lalu merayap naik, melalui ventilasi udara. Sedikit gugup. Jangan sampai aku terciduk lalu dicincang oleh Ayahnya. Kepalaku menyembul pada ventilasi berbentuk persegi. Situasi dalam rumahnya masih gelap karena semua lampu dimatikan.Dengkuran nyenyak bergetar dari ruang depan. Aku masuk dan tiba di ruang itu. Ternyata Ayah Abigail tengah tidur pulas di atas sofa. 'Apa ia tak tidur bersama istrinya?' batinku sesaat. 'Ah, kebanyakan rumah tangga senior memang begitu. Makin tua makin hambar ikatan mereka.'Melewati kamar demi kamar, aku mengendus keberadaan Abigail. Saat sampai di depan kamar gadis itu, tiba-tiba lampu dinyalakan. Wanita setengah
Bab 16Kuhipnotis kucing yang kurasuki raganya. Membuatnya tertidur di pangkuan Abigail agar aku leluasa ke luar dari raga itu.Setelah berhasil ke luar, aku merayap turun. Cukup sedih akan meninggalkan Abigail. Padahal berada di sisinya membuatku sangat bahagia. Apakah cinta seperti itu? Dimana jarak antara sedih dan bahagia hanya setipis kuku? Pantas saja banyak orang bunuh diri saat putus cinta. Aku yang baru pertama kali ngapel ke rumah Abigail, sudah merasa sedih saat hendak pulang. Apalagi mereka yang diputuskan sepihak, dikhianati dan diduakan. Hancur pasti!Kutatap wajah ayu tanpa gawang pori-pori itu. Ia sibuk mengelus si kucing agar hewan itu semakin pulas tertidur. Sampai jumpa Abigail. Aku pasti bertandang lagi. ***Tiba di rumah, aku merayap menuju kamar mandi. Di sana aku berganti wujud jadi manusia, lalu segera mandi bersih. Usai mandi dan berpakaian, aku menuju ruang pasien di mana beberapa muda-mudi sibuk menenangkan seorang pria yang melakukan gerakan-gerakan si
Bab 17"Terima kasih sudah datang," ucapku pada jin peliharaan. Ia menganguk tanpa ekspresi berarti. Jin ini merupakan yang paling dewasa di antara semua makhluk gaib peliharaan kami. Ia jarang bercanda. Selalu serius, dan bila diberi tugas, akan diselesaikan dengan sempurna.Tidak heran jika Bapak begitu menjaganya. Memberi ia tumbal yang layak setiap tahun. Ia hanya diutus pada aktivitas gaib tingkat tinggi. Seperti saat ini. "Kau lebih paham seluk beluk alam bunian ini," ketusku pada si jin."Menurutmu, siasat seperti apa yang paling manjur untuk membawa pulang pria itu?" Aku menunjuk ke arah si Tio yang duduk kebingungan di atas pelaminan. Si jin menatap serius ke arah pelaminan. Ia lalu memperhatikan semua tamu bunian.Mereka duduk di kursi-kursi berupa bongkahan batu alam. Tubuh mereka hanya setinggi dua ruas kaki manusia. Mirip tingginya dengan selebriti Daus Mini.Wajah mereka mirip evolusi monyet menuju rupa manusia. Kaki mereka terbalik arah dan ukuran mata lebih besar
Bab 18Biasanya rumah sepi.Namun, selama tiga hari ini diramaikan oleh rombongan mahasiswa yang menjaga Tio. Mereka tidak berdiam diri. Yang cewek memasak dan menyapu rumah. Yang cowok mencari kayu bakar juga menimba air. Di hari ke-dua, si cewek berpenampilan mewah, membayar lunas ongkos penyembuhan Tio. Agak heran kenapa ia rela menanggung sendiri sebanyak 50 juta. Ternyata mereka pacaran. Dan efek dari mendua hati memang bukan main-main. Akibat menggoda si pedagang bunian, Tio ditawan di alam bunian. Untunglah ia selamat sekarang.Pada hari terakhir, mereka pun berkemas pulang. Akan kembali ke Jakarta ke rumah orang tua masing-masing. Namun, si Tio bersikeras ingin tetap tinggal selama seminggu lagi. Pacarnya membujuk, tapi Tio bersikukuh."Apa yang membuat kau betah di sini?" tanyaku pada Tio. "Rumah kami sederhana dan berlantai tanah. Sudah bagus jika kau pulang, di Jakarta tentu lebih mewah." Teman-temannya membenarkan. Malah mereka mengajak Tio mengadakan sebuah event di
Bab 75 Berita tentang kematian Bapak tersiar ke sepenjuru desa. Warga berbondong-bondong datang melayat. Di hari yang sama, kami langsung menguburkan jenasah Bapak.Mang Asep masih menekuri makam Bapak kala semua pelayat telah pulang. Sementara rombongan kami tengah bersiap untuk kembali ke Jakarta. Aku menghampiri Mang Asep lantas berdeham pelan. Pria itu mendongak sepintas dan kembali menatap makam."Kau sudah jadi manusia normal, Bone. Dan aku jadi dukun sakti menggantikan Tarso. Kita doakan semoga ia tenang di alam sana." Aku terdiam. Hanya memandangi gerak-gerik Mang Asep yang bangkit dari berjongkok di makam, hingga ia berpamitan pulang."Bu Amira, kami harus pulang ke Jakarta sekarang. Ada jadwal pelayanan di tempat lain," tegur salah satu Pastor. "Tidak. Kalian masih harus membantuku." Aku menginterupsi.Ketiga Pastor itu mengernyitkan dahi. Mereka menatapku heran. "Aku sudah dipulihkan dan bukan siluman ular lagi. Tapi dosaku di masa lalu mengakibatkan Nadia jadi kambing
Bab 74Di ruang tamu tempat biasa melayani pasien, Bapak terkulai lemah. Aku hampir tak kenal wajah aslinya. Kulit Bapak menghitam legam dan bola matanya terus-terusan mengeluarkan cairan.Jemarinya yang kaku dipaksa bergerak saat melihatku. Aku turun dari badan Beni, lalu segera merayap ke tempat Bapak terbaring.Sedikit senyum mengembang di wajahnya. Orang-orang yang datang menjenguk, haru menyaksikan kami. "Pastor, apakah Mbah Tarso bisa disembuhkan?" Ibuku menatap iba."Sepertinya tidak, Bu Amira. Orang ini sedang menuai hasil perbuatannya selama hidup di dunia." Si Pastor berucap lugas. "Dia terlalu menyimpang dari jalan kebenaran. Sekalipun ia banyak mengamalkan ilmu putih untuk menyembuhkan orang, tetap saja dosa. Sebab yang memberi kemampuan itu bukanlah Tuhan, melainkan iblis." Orang-orang yang menjenguk Bapak, merasa tersinggung atas ucapan si Pastor. Ini wajar, karena mereka pernah disembuhkan oleh Bapak.Mang Asep cepat-cepat menengahi situasi. Ia meminta warga untuk p
Bab 73Beda dengan alam barzah di mana waktunya lebih cepat dari waktu di bumi. Di lubang neraka ini, hitungan waktunya sama persis dengan waktu di bumi. Aku tahu, karena detik demi detik terasa begitu nyata di tempat ini. Dari balik jeruji besi, aku memperhatikan bagaimana para iblis hilir mudik mendatangi tahta kebesaran Lucifer. Mereka melaporkan hasil kerja, bahkan mendiskusikan trik yang cocok untuk mempengaruhi manusia. Terbahak-bahak mereka tertawa kala manusia berhasil jatuh ke dalam dosa. Tiap iblis dengan kepiawaiannya masing-masing.Ada yang ahli dalam merusak tali pernikahan. Meniupkan ruh tidak setia yang membuat para suami berselingkuh. Setelah itu bercerai. Ada yang piawai meniupkan ruh mamon. Membuat manusia cinta uang, gila harta, tahta dan jabatan. Para iblis ini terus membisikkan ide-ide busuk ke telinga manusia. Agar mereka mengambil jalan pintas seperti berjudi, trading saham, korupsi, bisnis narkotik dan mafia lainnya. Aku mendengar mereka memanggil Lucifer
Bab 72Ya Tuhan, kenapa jadi serumit ini? Gara-gara tertarik pada ajakan Beni untuk penelusuran, sekarang Bang Bone tak sadarkan diri.Apa hanya pingsan atau sudah meninggal. Aku dan Beni jadinya bertengkar karena panik. Panik, mau dibawa ke rumah sakit atau rumah orang tua Bang Bone. Kalau ke rumah, sudah pasti Bu Amira akan marah besar. Akhirnya kami membawa tubuh Bang Bone ke rumah sakit. Selama di perjalanan, aku menangis sesenggukan.Tak bisa kubanyangkan jika Bang Bone tidak bangun lagi. Sungguh, a ku belum siap kehilangan orang tercinta. "Dia belum meninggal," ujar dokter di ruang ICU. "Dia mengalami gagal napas, atau yang sering disebut koma." "Kami akan memasang alat bantu pernapasan," imbuh dokter.Aku, Beni dan Ando tak henti membisikkan doa-doa kecil. Di hadapan kami, dokter yang dibantu oleh tim medis, memompa dada Bang Bone. Mereka memasang ventilator yang menutupi hidung dan mulut. Garis hijau muncul di layar monitor. Naik turun seiring denyut jantung. Dokter memin
Bab 71Ando menendang pintu ruang direktur hingga terbuka lebar. Jemarinya meraba tombol saklar demi menyalakan lampu. Sayang, listrik di ruang ini pun tak berfungsi lagi. "Hahaha ...." Beni kembali tertawa. Ia duduk berpangku kaki di kursi kebesaran direktur. "Kau!!!" Telunjuknya mengarah padaku. "Barusan kau menjelek-jelekkan namaku, bukan? Aku tersentak mundur. Langsung menarik lengan Abigail agar tak mendekati Beni. Sebab sosok yang merasuki Beni sangatlah berbahaya."Wahai manusia bodoh!" Ia memekik. "Membicarakan namaku sama dengan mengundangku datang." "Aku Luciferr!!" ucapnya bersamaan dengan matanya menyala merah. Di saat yang sama, suatu energi gelap melempar kami ke tembok. Rasanya sakit sekali. Aku segera mendekap tubuh Abigail. Gadisku itu meringis meraba tubuhnya. Sementara Lucifer kembali tertawa melalui raga Beni. Kesal, aku membaca mantra lantas melesakkan kanuragan hitam lewat mulutku. Gumpalan asap hitam menghantam Lusifer, tapi tak memberi efek sama sekali.
Bab 70Segera kupijat pelipis dan tengkuk Beni. Beberapa saat kemudian, kondisinya berangsur membaik sehingganya kami melanjutkan penelusuran. "Kalian tahu gak?" Beni bersuara pelan. "Sewaktu tanganku memegang gagang pintu tadi, aku menyaksikan pertengkaran sengit yang terjadi antara suami istri pemilik pabrik ini. Mereka ribut soal uang. Tapi belum selesai pertengkaran itu, tiba-tiba muncul banyak iblis di dekatku. Ingin memasuki tubuhku. Aku terhempas dan rasanya tuh pusing banget." Beni mengurai apa yang dialaminya. Ia tampak lemas. Aku menepuk pundaknya, "Setelah ini, kamu kudu tahu seberapa besar gelombang yang ada dalam jiwamu. Setiap kita memiliki gelombang energi yang berbeda, begitu pun dengan makhluk gaib. Jadi, tidak semua makhluk gaib bisa merasuki kita, melainkan hanya yang se-frekwensi saja." "Oh gitu? Pantesan!" keluh Beni. "Kok aku jadi penasaran pada pertengkaran yang disaksikan Beni," celetuk Ando. Kamera ia arahkan ke wajahku. "Bisa gak, Abang sentuh gagang pin
Bab 69Pabrik semen terbengkalai yang kami datangi, letaknya lumayan jauh. Namun masih dalam lingkup Jabodetabek. Kami berlima ke sana. Aku, Beni, Abigail serta dua orang teman Beni yang notabene adalah content creator digital. Mereka membawa kamera, dan rencananya hasil penelusuran nanti akan di-upload ke aplikasi Youtube. Suasana gelap dan senyap menyambut kala kami tiba di gerbang utama pabrik. Ando--teman Beni, membagikan kami masing-masing dua senter. Satu buah senter kepala dan satu buah senter genggam. Beni menyorot ke depan gerbang. Nampak dua arca Dwarapala, berdiri kokoh di sisi kanan dan kiri gerbang. Berbadan manusia dengan perut buncit dan kepala mirip monster bertaring. "Arca seperti ini kebanyakan ada di Bali. Ditaruh di depan lokasi tempat ibadah dan candi-candi," gumam Ando--teman Beni. Beni melirik padaku. "Bang, dua arca itu hanyalah benda mati. Apakah ada aliran mistis di dalamnya?" "Arca Dwarapala bukanlah benda mati biasa!" ketusku sembari mendeteksi energi
Bab 68Hari Sabtu adalah hari fakultatif, jadi tak ada aktivitas perkuliahan di kampus. Ibu memintaku mengantarkan Beni dan Zevanya ke tempat les musik. Setelahnya, aku pun kembali ke rumah. Duduk di beranda sembari menatap hamparan bunga kroket yang tengah mekar. Kucoba menghubungi Bapak melalui Mang Asep, sahabatnya. "Bon, beberapa waktu ini Bapakmu sering sakit," ungkap Mang Asep di ujung telepon. "Tapi dia melarang saya memberitahumu. Dia ingin kau fokus kuliah." Aku mendesah. "Bapak pasti kecapaian menangani pasien sendirian.""Benar, Bone," tanggap Mang Asep. "Kau harus bicara langsung sama Bapakmu. Sekarang saya mau ke rumahnya, jadi entar saya telpon balik." "Oke, Mang. Makasi banyak dan maaf sudah merepotkan," balasku lantas memutus sambungan telpon. Aku menyugar rambut. Mengusap wajah, lantas menyesap teh yang baru diantarkan Mbok Ratni. "Den, ada salam dari anak tetangga. Katanya udah lama suka sama Den Bone." Mbok Ratni berucap malu-malu dengan tangannya yang masih
Bab 67"Nona, andai kamu melarang Bone, mungkin kejadiannya tidak sampai sefatal ini." Samar, kudengar suara Ayah. "Ya. Padahal kami selaku orang tua sudah melarang keras. Kami ingin Bone meninggalkan praktik perdukunan." Terdengar Ibu menimpali dengan nada kecewa. Lalu kudengar pula suara Abigail yang membatuk pelan. "Saya tak bisa menahan saat Bang Bone keukeh ingin menyembuhkan orang sakit tersebut." "Menyembuhkan orang tidaklah salah," celetuk Ayah. "Yang salah itu metodenya. Metode perdukunan bisa berakibat fatal. Orang sakitnya sembuh, eh Bone yang kena imbas." Aku membuka mata setelah mendengar percakapan mereka. Ternyata aku berada di sebuah kamar di suatu rumah sakit. Berbaring lemah di atas tempat tidur, kulihat Ibu, Ayah dan Abigail sedang bercengkrama di sisi ranjang. Mataku terasa silau oleh suasana kamar yang serba putih. Terang benderang. Saat tanganku bergerak untuk mengusap mata, mereka menoleh. Lantas tersenyum senang karena melihatku sudah siuman. “Apa yang k