Bab 12"Yang bener, Tong?" tanyanya dengan raut kurang percaya. "Aku kagak yakin sama hal-hal mistik.""Apa Ibu mau melihat langsung?" tawarku setelah menerima uang kembalian."Ah, emang bisa ya? Otong mah ada-ada aja!" Ia tertawa kecut. Kubuka telapak tangan kiriku, lantas meniupkan mantra ke atasnya. "Eh mau ngapain, Tong?!" pekik si wanita ketika kuusap kelopak matanya menggunakan telapak tanganku."Sekarang Ibu ke depan warung. Lihat apa yang ada di sana," ujarku padanya.Ragu-ragu, wanita itu akhirnya menuruti. Ia lalu melangkah ke depan warungnya sendiri. "Astaghfirullah ....""Astaghfirullah ....""Astaghfirullah ...." ucap si wanita dengan bahu bergetar. Ia tak berani mendekati benda-benda pelet di depan sana. Terpaku di langkah terakhir ia berdiri.Seekor ayam cemani meringkuk di bawah jendela. Ayam itu terlihat pasif, berbeda dengan ayam normal yang biasanya berjalan ke sana ke mari.Di dekat pintu, tergeletak sebuah tampah berisi penuh tanah kuburan. Sedangkan di sepan
Bab 13"Kau lama sekali, Bone. Kau pergi membeli soto atau membuat soto? Hahaha ...." Bapak tertawa heboh saat aku tiba. Padahal napasku belum stabil. Masih ngos-ngosan usai mendaki pegunungan."Cie, cie, cie si Bone. Hahaha ...." Bapak masih saja tertawa. Seperti orang kasmaran. "Bapak itu kenapa, sih?" tanyaku malas. "Cepetan makan sotonya, nanti keburu dingin!" Sengaja kutekan intonasi, biar Bapak stop bercanda. Masih tertawa lebar, Bapak menuang soto ke mangkuk lalu mulai makan. Ia manggut-manggut, memuji kelezatan cita rasa makanan itu. ***Keesokan hari, tepatnya jam delapan malam. Aku selesai bersiap. Akan memenuhi janji memberi penglaris pada si wanita pemilik warung soto yang namanya belum kuketahui. "Kau mau ke mana, Bone?" Bapak tersenyum penuh arti. "Tumben kau pakai parfum malam-malam." "Aku ada janji memberi penglaris. Satu genderuwo akan kulepas malam ini.""Lepas saja, toh kau berhak atas semua aset gaib kita. Bapak percaya padamu." Bapak menepuk pelan pundakku.
Bab 14Perjalanan pulang terasa sepi tanpa si Uwo. Udara malam semakin dingin, sementara di atas sana bulan purnama membulat paripurna yang menciptakan seluet-seluet raksasa dari bayangan pepohonan. Mumpung lagi sendiri, aku ingin bermain gaib. Rindu mengulang kembali kegilaan masa kecil. Masa di mana aku sering memanggil makhluk gaib liar, bermain bersama saat bulan purnama penuh.Melihat jalanan aspal yang licin, aku jadi gemas.Aku pun berubah jadi ular dan menggulung badan serupa bola, lantas menggelinding sepanjang jalan. Melaju layaknya ban kendaraan. Ini seru sekali. Aku bahkan lupa telah melewati rumah Abigail. Kembali merubah diri jadi manusia, aku bukannya menuju ke rumah Abigail. Namun masih ingin bermain sebentar lagi.Malam berada di titik rawan saat kubaca mantra pemanggil makhluk halus. Hawa sekitar mulai meningkat. Menghangat dan tak terlalu dingin lagi.“Asa dua talu, ikam aku panggil artinya kamari. Artinya malam ini ada dadaharan. Artinya aku mainjam ikam, gas
Bab 15Rumah Abigail lumayan besar. Terbuat dari tembok dan beratap seng. Aku merayap mengelilingi rumah itu sebanyak tiga kali sembari merapal mantra.Keluarganya memelihara beberapa kucing. Ada juga aneka burung yang digantung dalam sangkar besi di beranda luar.Aku memikirkan cara bagaimana memasuki rumahnya. Setelah cukup mengamati, aku lalu merayap naik, melalui ventilasi udara. Sedikit gugup. Jangan sampai aku terciduk lalu dicincang oleh Ayahnya. Kepalaku menyembul pada ventilasi berbentuk persegi. Situasi dalam rumahnya masih gelap karena semua lampu dimatikan.Dengkuran nyenyak bergetar dari ruang depan. Aku masuk dan tiba di ruang itu. Ternyata Ayah Abigail tengah tidur pulas di atas sofa. 'Apa ia tak tidur bersama istrinya?' batinku sesaat. 'Ah, kebanyakan rumah tangga senior memang begitu. Makin tua makin hambar ikatan mereka.'Melewati kamar demi kamar, aku mengendus keberadaan Abigail. Saat sampai di depan kamar gadis itu, tiba-tiba lampu dinyalakan. Wanita setengah
Bab 16Kuhipnotis kucing yang kurasuki raganya. Membuatnya tertidur di pangkuan Abigail agar aku leluasa ke luar dari raga itu.Setelah berhasil ke luar, aku merayap turun. Cukup sedih akan meninggalkan Abigail. Padahal berada di sisinya membuatku sangat bahagia. Apakah cinta seperti itu? Dimana jarak antara sedih dan bahagia hanya setipis kuku? Pantas saja banyak orang bunuh diri saat putus cinta. Aku yang baru pertama kali ngapel ke rumah Abigail, sudah merasa sedih saat hendak pulang. Apalagi mereka yang diputuskan sepihak, dikhianati dan diduakan. Hancur pasti!Kutatap wajah ayu tanpa gawang pori-pori itu. Ia sibuk mengelus si kucing agar hewan itu semakin pulas tertidur. Sampai jumpa Abigail. Aku pasti bertandang lagi. ***Tiba di rumah, aku merayap menuju kamar mandi. Di sana aku berganti wujud jadi manusia, lalu segera mandi bersih. Usai mandi dan berpakaian, aku menuju ruang pasien di mana beberapa muda-mudi sibuk menenangkan seorang pria yang melakukan gerakan-gerakan si
Bab 17"Terima kasih sudah datang," ucapku pada jin peliharaan. Ia menganguk tanpa ekspresi berarti. Jin ini merupakan yang paling dewasa di antara semua makhluk gaib peliharaan kami. Ia jarang bercanda. Selalu serius, dan bila diberi tugas, akan diselesaikan dengan sempurna.Tidak heran jika Bapak begitu menjaganya. Memberi ia tumbal yang layak setiap tahun. Ia hanya diutus pada aktivitas gaib tingkat tinggi. Seperti saat ini. "Kau lebih paham seluk beluk alam bunian ini," ketusku pada si jin."Menurutmu, siasat seperti apa yang paling manjur untuk membawa pulang pria itu?" Aku menunjuk ke arah si Tio yang duduk kebingungan di atas pelaminan. Si jin menatap serius ke arah pelaminan. Ia lalu memperhatikan semua tamu bunian.Mereka duduk di kursi-kursi berupa bongkahan batu alam. Tubuh mereka hanya setinggi dua ruas kaki manusia. Mirip tingginya dengan selebriti Daus Mini.Wajah mereka mirip evolusi monyet menuju rupa manusia. Kaki mereka terbalik arah dan ukuran mata lebih besar
Bab 18Biasanya rumah sepi.Namun, selama tiga hari ini diramaikan oleh rombongan mahasiswa yang menjaga Tio. Mereka tidak berdiam diri. Yang cewek memasak dan menyapu rumah. Yang cowok mencari kayu bakar juga menimba air. Di hari ke-dua, si cewek berpenampilan mewah, membayar lunas ongkos penyembuhan Tio. Agak heran kenapa ia rela menanggung sendiri sebanyak 50 juta. Ternyata mereka pacaran. Dan efek dari mendua hati memang bukan main-main. Akibat menggoda si pedagang bunian, Tio ditawan di alam bunian. Untunglah ia selamat sekarang.Pada hari terakhir, mereka pun berkemas pulang. Akan kembali ke Jakarta ke rumah orang tua masing-masing. Namun, si Tio bersikeras ingin tetap tinggal selama seminggu lagi. Pacarnya membujuk, tapi Tio bersikukuh."Apa yang membuat kau betah di sini?" tanyaku pada Tio. "Rumah kami sederhana dan berlantai tanah. Sudah bagus jika kau pulang, di Jakarta tentu lebih mewah." Teman-temannya membenarkan. Malah mereka mengajak Tio mengadakan sebuah event di
Bab 19Bapak mengamati perut si pasien. Bengkak serius terjadi di sana. Kemungkinan besar akibat gesekan paku dalam daging."Tidak usah khawatir. Tidak sulit mengeluarkan paku-paku ini," ujar Bapak menenangkan. Bapak membakar dupa. Merapal mantra lalu mengusir aura-aura mistis dari tubuh pasien.Tak lupa, Bapak mengirim pesan ke si penyantet agar berhenti menyerang.Jika masih juga mengganggu, maka Bapak akan turun tangan langsung. Melakukan perang ilmu antar dukun. Setelah aura si pasien jadi normal dan energi negatif memudar dari tubuhnya, barulah Bapak memulai ritual mengeluarkan paku. Aku dan Tio ikutan duduk di tikar demi menyaksikan langsung. Bukannya tak mampu melakukan ritual semacam itu. Hanya saja, Bapak telah duluan menangani si pasien.Menuang minyak ke perut, dilanjut meraba-raba permukaan kulit, satu per satu paku dikeluarkan oleh Bapak.Total ada 15 batang paku. Semuanya paku baru. Panjangnya sama, yakni tiga sentimeter. Keluarga si pasien tersenyum legah. Selanjut