Bab 20Hari merambat magrib saat deru mobil meninggalkan halaman rumah. Mobil milik pasien santet paku yang pulang dengan kesembuhan. Aku dan Tio mendorong motor memasuki rumah. Namanya juga motor baru, sebaiknya kuparkir di dalam biar aman.Di ruang pasien, Bapak sibuk menghitung uang. Padahal sudah jelas mereka membayar senilai sepuluh juta, seratus ribu, sepuluh ribu dan seratus rupiah. Masih saja Bapak hitung bolak-balik.Tio mendekati Bapak, sementara aku sibuk membaca kertas garansi motor."Banyak bener, Mbah." Tio bergumam kagum.Bapak tak merespon."Maaf ya Mbah, aku tuh sering bingung." Tio berucap lagi."Kau bingung apaan, Bocah?" Bapak tertawa sembari memasukkan uang ke dalam kain berwarna hitam. Bapak bangkit dari duduk bersila dan hendak menuju kamar."Mbah, kenapa kebanyakan dukun hidup sederhana seperti ini?" Tio memindai tiap sudut rumah dengan binar prihatin. Seolah rumah kami tak layak huni."Padahal bayaran dukun itu mahal. Lagi pula, daripada memperkaya orang lai
Bab 21"Sebagai dukun, kami tak hidup sendirian," jelasku singkat. "Kami memelihara banyak makhluk gaib."Kubawa piring-piring kotor ke tempat cucian di dekat sumur. Tio mengikutiku dengan rasa penasarannya membuncah."Selain jin ifrit yang kala itu membantu kita, makhluk apa lagi yang ada di sini?" Ia membantu menderek air dan aku mulai mencuci piring. Situasi di luar sini amat gelap sebab malam telah larut. Hanya mengandalkan lampu tenaga surya yang cahayanya makin redup seiring berkurangnya energi. "Aku dan Bapak memelihara genderuwo, kuntilanak, tuyul dan beberapa jenis jin. Ada juga peliharaan yang hanya dipanggil sewaktu-waktu jika diperlukan." Aku menjawab setelah selesai mencuci. Piring-piring bersih kubawa masuk, lalu menatanya pada rak di sudut dapur. "Pantesan bulu kudukku selalu merinding." Tio menengok ke sana ke mari."Tapi rasa penasaranmu lebih merinding, 'kan?" Aku tertawa geli."Hahaha ... kau benar, Bone. Aku ini selalu penasaran.""Asal tau saja, hidup bersama
Bab 22Aroma masakan Bapak menjalar hingga ke kamarku. Masih membungkus diri dalam selimut, kurasakan bau bawang goreng menggugah minat. Aku bangkit dari tidur pulas semalaman. Turun dari ranjang dan melangkah mengikuti aroma masakan.Bau bawang goreng mendadak berubah jadi bau pedas saat aku mencapai pintu dapur. Aku bersin-bersin sejadinya.Bapak tertawa melihatku."Maaf, Nak. Bapak memasukkan banyak cabai rawit ke tumisan," ucap Bapak yang sibuk membolak balik isi wajan dengan spatula bambu.Aku meraih gelas, mengisinya dengan air putih, lalu meneguk puas."Mana si Tio?" Bapak melirik."Semalam dia main sama peliharaan kita.""Lha, ini sudah pagi. Kau cari dulu anak itu. Pantasan Bapak tidak melihat dia. Biasanya jam segini dia menyapu halaman," celoteh Bapak di hadapan kompor tua yang menyembulkan api kebiruan.Kuteguk segelas air lagi, lantas meninggalkan dapur dan menyambangi area kebun kacang. Melewati pohon waru, kudapati dua kunti tertidur dengan senyum mengembang stabil.
Bab 23"Dengan cara mengisikan khodam pada selembar uang. Bisa pecahan 20 ribu, 50 ribu atau 100 ribu. Kalau mau cepat kaya, baiknya pakai pecahan 100 ribu." "Apa ada ketentuan berapa yang harus dibelanjakan?" tanya Tio sembari matanya mengawasi pria yang memelihara tuyul tadi.Istrinya sudah selesai berbelanja. Lama mengantri, ternyata cuma membeli sebotol minyak goreng seharga sepuluh ribu rupiah. Nampak si pemilik warung memberi uang kembalian. Pasutri itu lantas berjalan bersisian, pulang ke rumah mereka yang tak jauh dari warung ini. "Ya, ada," jawabku setelah sekian detik. "Hanya boleh dibelanjakan dari lima ribu sampai dengan sepuluh ribu saja. Saat uangnya balik lagi, harus dipakai belanja lagi di toko yang berbeda. Tidak boleh lebih dari 40 toko dalam sehari." "Berarti pemilik uang gaib kayanya dari hasil mengumpulkan uang kembalian?" Membelalak mata si Tio.Aku mengangguk membenarkan. Bayangkan saja jika uang seratus ribu rupiah, dipakai belanja seharga sepuluh ribu rupi
Bab 24Selama tiga hari Tio mengajariku berkendara motor. Boleh dibilang, sekarang aku telah mahir. Tinggal mengurus surat ijin mengemudi, kebetulan tahun ini usiaku akan genap tujuh belas tahun.Sebelum Tio kembali ke Jakarta, aku mesti membayar janji. Membawanya masuk ke alam gaib. Mengingat ada beberapa jenis alam gaib dengan tingkatan spiritual yang berbeda, maka kami harus berhati-hati memilih."Yang penting masuk alam gaib dah. Soal alam gaib yang mana, terserah kau saja Bone. Pokoknya kita keluar dengan aman!" Tio bicara meletup-letup usai kuberi pilihan soal alam gaib.Di atas tempat tidur reyot di kamarku, kami berbaring sembari berbincang."Sejauh ini aku akrab dengan alam jin. Alam jin pun ada macam-macam dimensinya. Kalau alam bunian, baru sekali aku masuk. Selain itu, ada alam barsah yang belum pernah kukunjungi.""Yang mana aja deh, Bon. Yang menurutmu aman gitu!" "Gak ada yang aman sih. Semua alam gaib punya tingkatan resiko.""Hmm benar juga, Bon. Jangankan alam gaib
Bab 25Ragu-ragu, kuputuskan mendekati kedua lorong gaib tersebut. Tio mengikut dari balik punggungku.Penampakan keduanya memang sama, tapi kuberharap sekiranya ada perbedaan hawa yang memancar dari dalam.Setelah beberapa saat mendeteksi, dugaanku tak meleset. Pintu yang sebelah kiri hawanya panas, sedang pintu yang kanan tidak panas tapi cenderung pengap. "Kau merasakan perbedaan?" Aku menyikut perut Tio. Lelaki itu terperanjat kaget. Sepasang mata sipitnya tak beralih dari menatap kedua pintu gaib itu."Ya, Bone. Ada perbedaan. Aku merasa panas saat menatap pintu kanan.""Kalau yang kiri?""Yang kiri kek pengap gitu!" Tio mengendus-endus.Aku tercenung. "Bon, kok bengong? Kira-kira lorong gaib macam apa ini?" Tio terlihat cemas."Lorong yang panas sudah pasti alam jin yang biasa kukunjungi, tapi lorong yang pengap itu ..." jelasku terjeda, aku mulai berpikir keras.Tio maju beberapa langkah, ia setengah berjongkok di depan lorong gaib yang pengap."Kek ada bau-bau tanahnya, Bo
Bab 26Tio benar-benar tak sanggup lagi berada dalam gang ini. Kami belum mati, tapi seakan merasakan penderitaan ruh-ruh yang sudah meninggal.Dengan kesulitan napas, kami akhirnya berhasil keluar. Situasi di luar gang tidaklah lebih baik, setidaknya ada oksigen untuk kami memperpanjang napas ini.Ini baru dua gang yang kami masuki. Masih ada banyak gang lagi, dan sudah pasti akan lebih sadis kondisinya."Ampun, Bon. Aku nyerah berada di sini. Kalau kau berniat mengunjungi semua gang, sebaiknya batalin saja. Kekuatan spiritualku jauh di bawah levelmu. Aku pasti mati duluan." Tio sesenggukan. Ia menekan dadanya yang kesakitan ... setelah itu ia menangis terisak. Aku merasa serba salah. Sejujurnya, ingin sekali melihat semua gang yang ada. Aku penasaran, dimanakah gang yang menampung dukun-dukun sepertiku. Dan seperti apa penderitaan mereka di dalamnya?Ah, si Tio semakin deras saja tangisannya. Membuatku jadi tak tega.Aku mengusap pucuk kepala Tio. Untuk pertama kalinya bersikap p
Bab 27"Jangan bicara ngawur, Bon. Kau sering menegurku saat tak sopan bicara, sekarang malah kau yang demikian!" Tio meraup tanah yang kami duduki, lantas dengan kesal melemparnya ke wajahku.Untungnya aku segera menunduk dan melindungi mata. "Kau ngapain kasar seperti itu? Kau mau membunuhku?!" Aku memekik dengan tatapan nyalang. Masih duduk di tanah, Tio mengesot mundur. Membuat debu tanah menguar naik ke udara. Beterbangan sehingga kami susah bernapas. "Ngapain kalian di sini, hah? Cari mati?!"Sebentuk suara seketika menghardik kami. Suara mezosopran yang terdengar serak dan berat. Aku dan Tio menanti hingga debu tanah mengendap turun dan pemandangan menjadi jelas."Anda?" tanyaku heran. "Apa anda wanita tua yang memanggil kami sewaktu di hutan?" "Ya itu aku. Anak muda, tujuan apa kalian ke mari? Ini alam kubur, alam orang mati. Datang tanpa tujuan yang jelas, hanya akan membuat kalian terperangkap di sini!" Wanita itu menggeleng, menyayangkan aksi kami. Sedekat ini, baru