Bab 26Tio benar-benar tak sanggup lagi berada dalam gang ini. Kami belum mati, tapi seakan merasakan penderitaan ruh-ruh yang sudah meninggal.Dengan kesulitan napas, kami akhirnya berhasil keluar. Situasi di luar gang tidaklah lebih baik, setidaknya ada oksigen untuk kami memperpanjang napas ini.Ini baru dua gang yang kami masuki. Masih ada banyak gang lagi, dan sudah pasti akan lebih sadis kondisinya."Ampun, Bon. Aku nyerah berada di sini. Kalau kau berniat mengunjungi semua gang, sebaiknya batalin saja. Kekuatan spiritualku jauh di bawah levelmu. Aku pasti mati duluan." Tio sesenggukan. Ia menekan dadanya yang kesakitan ... setelah itu ia menangis terisak. Aku merasa serba salah. Sejujurnya, ingin sekali melihat semua gang yang ada. Aku penasaran, dimanakah gang yang menampung dukun-dukun sepertiku. Dan seperti apa penderitaan mereka di dalamnya?Ah, si Tio semakin deras saja tangisannya. Membuatku jadi tak tega.Aku mengusap pucuk kepala Tio. Untuk pertama kalinya bersikap p
Bab 27"Jangan bicara ngawur, Bon. Kau sering menegurku saat tak sopan bicara, sekarang malah kau yang demikian!" Tio meraup tanah yang kami duduki, lantas dengan kesal melemparnya ke wajahku.Untungnya aku segera menunduk dan melindungi mata. "Kau ngapain kasar seperti itu? Kau mau membunuhku?!" Aku memekik dengan tatapan nyalang. Masih duduk di tanah, Tio mengesot mundur. Membuat debu tanah menguar naik ke udara. Beterbangan sehingga kami susah bernapas. "Ngapain kalian di sini, hah? Cari mati?!"Sebentuk suara seketika menghardik kami. Suara mezosopran yang terdengar serak dan berat. Aku dan Tio menanti hingga debu tanah mengendap turun dan pemandangan menjadi jelas."Anda?" tanyaku heran. "Apa anda wanita tua yang memanggil kami sewaktu di hutan?" "Ya itu aku. Anak muda, tujuan apa kalian ke mari? Ini alam kubur, alam orang mati. Datang tanpa tujuan yang jelas, hanya akan membuat kalian terperangkap di sini!" Wanita itu menggeleng, menyayangkan aksi kami. Sedekat ini, baru
Bab 28Setelah momen perjumpaan Bapak dengan Bu Amirah di hutan, Bapak mengajak aku dan Tio untuk segera pulang. Bu Amirah bersikeras ingin ikut. Walau Bapak mencegatnya berulang kali, wanita itu berhasil tiba di rumah kami.Canggung, itulah kesan awal yang mendominasi. Hingga Bapak mulai bercakap demi mencairkan suasana."Bapak pikir kalian masuk ke alam jin, berani-beraninya kalian ke alam orang mati."Aku hanya diam. Kupersilahkan Tio yang menjelaskan dari awal hingga akhir.Bapak menghela napas berat, "Tiga hari Bapak menunggu, tapi tak ada tanda-tanda kepulangan kalian. Bapak khawatir jangan sampai kalian diculik makhluk bunian atau tersesat di alam jin. Jika itu terjadi, Bapak harus bilang apa ke orang tuamu, Tio?” “Kau juga Bone! Lain kali kalau ada dua pintu gaib muncul dan membingungkan, sebaiknya dibatalkan saja keduanya. Jangan malah mencoba sesukamu!" Aku dan Tio menunduk mendengar omelan Bapak. Bukannya membuat suasana jadi cair, malah semakin tegang saja.Bu Amira nam
Bab 29Bapak bercerita panjang lebar tentang rumah Bapak kandungku yang dulunya dibakar. Jadi waktu usiaku baru setahun, orang tua dari Ibuku datang membawa banyak preman dari Jakarta yang adalah tempat asalnya.Mereka membawa paksa Ibuku agar pulang ke Jakarta. Ibuku digerebek dan diseret pulang.Beberapa preman yang tersisa lalu membunuh Bapak kandungku dengan cara ditembaki pistol. Mereka juga membakar habis rumah dan kebun kami.Menurut tuturan Bapak Tarso, sebenarnya aku yang masih balita hendak dibunuh juga, tapi salah satu preman tergerak hatinya. Sehingga aku hanya diterlantarkan di padang berumput di dekat rumah. Aku yang masih bayi, menangis sejadi-jadinya.Sayangnya, tidak ada yang menolong, dikarenakan rumah Bapak kandungku--Ki Seno terletak di balik bukit pada ketinggian ribuan kaki. Bukan seperti rumah kami saat ini yang letaknya di kaki bukit dan mudah dijangkau orang.Bapakku si Tarso tak bisa banyak membantu. Selain tubuhnya yang memang sudah kurus kerempeng sejak ma
Bab 30Pagi-pagi sekali Bapak sudah berjibaku dengan alat-alat masak. Di depan kompor tua, ia sibuk mengaduk bubur kacang hijau yang tengah mendidih. Ia menambahkan santan kental juga gula aren.Aku dan Tio duduk memperhatikan Bapak dari meja makan. Ada haru yang perlahan menyelinap di antara kami.Haru karena akan berpisah dengan Tio di pagi ini.Tak kupungkiri, seminggu tinggal bersama kami, ia sudah seperti keluarga sendiri. Apalagi aku ini semata wayang, tak punya saudara. "Kau akan pulang, Tio. Bone pasti merindukanmu," ucap Bapak saat membawakan sepanci bubur kacang hijau ke atas meja. Ia meletakkan piring di depan kami, lalu mulai menuangkan bubur ke atasnya. "Emaknya Bone kan tinggalnya di Jakarta. Kapan-kapan mainlah ke sana, Bon. Sekalian ketemu aku lagi." Tio menatap Bapak lantas beralih menatapku. "Hmm, boleh-boleh saja Bone main ke Jakarta. Yang penting tetap ingat sama bapak," ucap Bapak lalu menunduk, mulai menyuapkan bubur ke mulutnya. "Ngapain juga ketemu Tio lag
Bab 31"Aku akan selalu mengingat kalian," goda Tio."Kalian pernah menorehkan peta-peta merah di kulitku." Dua kunti itu terkikik malu. "Ah, ternyata kau punya gingsul ya?" Tio menatap kagum pada salah satu kunti. "Itu menambah pesonamu," godanya lagi.Aku hampir muntah mendengar rayuan si Tio pada dua kunti, aku lantas memilih menghampiri motor dan menghidupkan mesinnya."Buruan!! Kalau tidak kau kutinggal!" Aku bersuara sedikit keras.Tio buru-buru mendaratkan kecupan pada pipi kedua perempuan gaib itu. Setelahnya ia bergegas menunggangi motor.Aku melajukan motor bersamaan dengan pecahnya tangis perpisahan oleh kedua kunti.Tak ada lagi pria tampan yang biasanya mereka pakai cuci mata sepanjang hari. Tempat mereka menebar pesona.Tio adalah pelampiasan hasrat mereka berdua. Saat Tio tak ada lagi, tak mungkin mereka berani menggodaku. Cari Sial namanya!***Kuhentikan motor tepat di halte depan rumah Abigail. Tio turun dari motor lalu duduk di bangku terdekat. Rencananya, Tio ak
Bab 32Tio tertawa penuh minat memergoki kecanggungan yang tercipta antara aku dan Abigail. "Bon, sangat gak masuk akal bisa tahu nama cewek dari seekor kucing. Masa iya, kucing bisa bicara?" Tio terkekeh memegang perutnya. Aku semakin salah tingkah karena tatapan Abigal terkunci padaku. Seolah ia menuntut jawaban yang masuk akal dariku. "Ah maaf, Nona. Tadinya aku cuma menebak-nebak, tapi ternyata benar," ucapku berdalih."Abang yakin cuma menebak?" Bola mata itu berpijar serius. Aku mengangguk, tak berani menatap matanya. Saat Abigail hendak bertanya lagi, tiba-tiba angkot berhenti tepat di depan halte. Bunyi ban berdecit membuyarkan obrolan kami. Tanpa pamit, Abigail cepat-cepat memasuki angkot. Kulihat ia duduk di dekat pintu. Sementara Tio menyempatkan memelukku erat.Tio berpesan agar aku ke Jakarta suatu saat nanti. Pria campuran Tionghoa itu juga berucap pelan, "Bon, kau harus merubah penampilan. Kucel begini tentu gak selaras dengan Abigail." Aku menelan ludah. Kubiar
Bab 33Lastri terkekeh renyah. "Oh ... sebenarnya Nanda itu saudari tiriku. Ibunya nikah sama Papaku.""Dan kau menyantet saudarimu sendiri?" Aku mendengkus. Lastri memaksakan senyum. "Bukankah ada banyak jenis dosa yang lebih besar dari itu?" ucapnya merasa tak bersalah. Aku terdiam."Tumben kau mau perawatan, Bone. Kau pasti sudah punya pacar." Senyum Lastri mengembang. "Belum, aku belum terpikir sampai ke situ." "Lalu?""Ehm, aku hanya jenuh dengan penampilan ini!" "Oh ...!" Lastri bergumam tanda mengerti. "Kau mau merubah total penampilanmu? Aku bisa membantu!" Lastri bangkit berdiri. Ia lantas menuntunku pada sebuah ruangan, yang dindingnya dipenuhi cermin. Bayangan diriku terpantul di mana-mana."Apa kau bisa membuatku jadi lebih tampan?" tanyaku datar. "Tentu, Bone. Itulah pekerjaan kami." Lastri tertawa renyah. Setelah cukup lama mengamati penampilanku, bahkan meraba-raba area kepala hingga tulang pipiku, Lastri manggut-manggut sendiri. Seakan wanita dewasa itu paham h