Bab 34Lastri mengajakku berbincang di area lantai dua yang adalah area pribadinya. Tidak ada manusia lain di situ selain kami berdua. "Siapa yang hendak kau buat jadi gila, Lastri?" Aku merebahkan bokong di kursi berbahan rotan. Sementara Lastri membawakan secangkir kopi untukku lengkap dengan beberapa camilan. "Jangan sampai kalian masih ada pertalian keluarga!" sambungku lagi. Lastri duduk di hadapanku setelah mempersilakan aku minum. "Namanya Shinta. Sama sekali tak ada hubungan keluarga denganku." "Tapi kau harus sadar, Lastri. Menyantet orang jadi gila, itu lebih kejam dari membunuh," ungkapku. "Aku punya alasan!" ketusnya."Apa?"Lastri membuang tatapannya ke jendela berkaca lebar yang mempertontonkan pemandangan jalanan di luar ruko. "Shinta terlalu sombong. Bukan sekali dia mempermalukanku di khayalak ramai. Dan herannya, aku tak mampu membalas. Mulutku seperti digembok.""Kau sakit hati?" Aku bertanya pelan."Ya!" Lastri beralih menatapku. Lekat.Aku manggut-manggut t
Bab 35Aku tak langsung pulang ke rumah. Kusempatkan mendatangi beberapa toko pakaian dan membeli pakaian model terbaru sesuai isi majalah yang kupegang.Di ruang ganti, kutanggal pakaian lama lantas mencocok-cocokkan pakaian yang kupilih.Aku membeli banyak setelan kasual. Kepingin bergaya trendy tapi terkesan santai. ***"Kau ini Bone?""Apa kau anakku Bone?"Setibanya di rumah, Bapak mencecarku dengan wajahnya terkesima tak percaya. Gerombolan makhluk gaib peliharaan pun bermunculan. "Baru setengah hari aku pergi dan Bapak sudah tak mengenaliku sekarang?!" "Bukan gitu, Nak." Bapak tertawa senang. Sepasang netra rentanya berbinar takjub. "Kau berubah drastis. Bapak hampir tak mengenalimu." "Ya, Bone. Kau makin tampan. Pakaianmu juga mentereng," ucap si kunti merah sembari mencermati atasan dan bawahan yang melekati tubuhku. Ia membandingkan dengan daster lusuh miliknya."Wajah kusammu sekarang jadi glowing, Bone. Perawatan yang kau lakukan sungguh ajaib." Genderuwo manggut-mang
Bab 36Lastri datang ke rumahku pada hari ke-13. Ia mengatakan bahwa Shinta dan pacarnya telah benar-benar putus. Beberapa teman mencoba mendamaikan agar mereka kembali rujuk, tapi Shinta menolak.Bahasa-bahasa kotor yang terlanjur dilontarkan si pria, membuat harga dirinya koyak. Shinta bahkan tak menyangka, orang yang ia cintai bisa berucap amat kotor hanya karena masalah sepele."Kau harus segera menjenguknya," ucapku pelan. "Tentu, Bone. Makanya aku datang membawa makanan kesukaan Shinta agar kau tiupkan jampi-jampi." Lastri mengeluarkan sesuatu dari kantong hitam yang sedari tadi ada di atas pangkuannya."Apa itu?" "Ini namanya asinan. Shinta sangat menyukainya, apalagi kupesan langsung dari tempat langganannya," tutur Lastri bersemangat."Oke, kemarikan biar kujampi." Aku menjulurkan tangan. Melalui celah kecil yang ada di bungkusan makanan, kutaburi sedikit serat kayu yang sebelumnya aku kunyah jadi halus. Lastri mengocok pelan bungkusan asinan agar jampi-jampinya merata."
Bab 37Ruhku sudah masuk ke badanku, tapi karena terlalu ngantuk, aku langsung saja tidur tanpa makan malam lebih dahulu. Suara Shinta menggema dalam mimpiku. Terdengar ia memanggil, mendesah mencari keberadaanku di alam buto ijo. Aku bangun kesiangan dan baru kaget ketika Bapak menggedor pintu kamar. Dengan malas, aku membuka pintu. Kudapati Bapak yang terlihat cemas."Semalam kau pergi ke alam gaib?" Matanya tak berkedip menatapku. "Bapak tidak tidur sepanjang malam. Bapak khawatir jangan sampai kau nyasar lagi seperti waktu di alam barzah!""Ya, aku mengantarkan ruh Shinta ke alam buto ijo. Aku kembali dengan selamat. Tak ada yang perlu diresahkan." Tanganku melingkari pundak Bapak. Untuk sejenak menghiburnya. Wajah Bapak pun berangsur rileks."Bapak sudah menyiapkan sarapan. Ayo kita makan." Lelaki tua itu menarikku ke dapur. Ada kolak sukun dan pisang rebus di atas meja. Aku makan dengan lahapnya, sementara Bapak hanya duduk mengamati dengan senyum khasnya. "Ponsel itu dibe
Bab 38Kuperhatikan juga para mahluk gaib yang semakin ramai menunggu di luar salon. Mereka ramai mengobrol, tapi mulut mereka tak bergerak. Bahkan badan mereka tak saling berhadapan, mata tak saling kontak, sebagaimana layaknya manusia saat berkomunikasi. "Tidak ada pesta. Anak-anak gaib saya hanya kepengin dirias." Bapak tertawa cengengesan. Tatapan si perias gaib beralih memandang dua kunti, dua Uwo dan tuyul-tuyul. "Sok gayanya kalian, hahaha ...." Terdengar suaranya tertawa geli. Namun lagi-lagi, wajahnya tak membentuk ekspresi tertawa. Tetap kaku dan serius."Di rumah saja tapi ingin tampil keren, ya?" tanyanya.Dua kunti mengikik malu-malu. Dua Uwo tertawa cengengesan dan tuyul-tuyul merajuk gembira."Hahaha, sabarlah! Saya siapkan dulu bahan-bahan." Tawa si pemilik salon gaib semakin meninggi. Beda dengan mimiknya yang stabil kaku.Ia mencabut beberapa helai buluh ayam putih pemberian Bapak. Dilanjutkan dengan membunuh ayam itu, menampungkan darah ayam ke wadah khusus, lal
Bab 39Si perias gaib yang tengah mendandani tuyul, terperanjat kaget. Kuas bulu ayam di tangannya jatuh ke lantai tanah."Ada yang menyerang kalian, Tarso. Itulah konsekwensinya menjadi dukun santet. Kalian harus sigap jika sewaktu-waktu dukun lain menyerang balik."Ia berceloteh sembari sorot matanya menghakimi Bapakku. "Sebaiknya tinggalkan salonku sekarang juga! Aku bukannya mengusir, tapi jika kalian butuh bantuan, akan kukerahkan seluruh penghuni alas roban untuk membantu!" Si pemilik salon menghentakkan kaki kanannya sebanyak tiga kali. Tak disangka, segala jenis makhluk berdatangan memenuhi wilayah sekitar salon. Wujud mereka beragam. Begitu pun dengan energi yang dimiliki.Seberkas sinar kembali menghantam sebelum aku sempat mengelak. Kena telak di bahuku. Rasanya lumayan. Lumayan membuat pundakku meneleng miring, tak bisa berdiri tegap. "Bajingannn, kau serang anakku? Akan kuhajar kau hingga tewas!!" Bapak berteriak nyaring lalu melesat pergi. Mendatangi keberadaan si du
Bab 40Pagi berubah siang, bahkan siang mulai merambat sore. Namun si Lastri belum juga memunculkan moncongnya. Baru saja hendak mengecek ponsel ketika layarnya kedip-kedip. Nama Lastri tertera di panggilan masuk."Bone, maaf aku gak bisa datang. Salonku lagi ramai banget. Bisa gak kamu yang ke sini?" dengungnya di ujung telpon.Aku menggeram tertahan. Kuremas ponsel, lalu mencoba menjawab tanpa emosi."Oke, aku ke sana!"***Kudorong pintu salon. Sedikit risih mendapati banyak pengunjung di dalamnya.Semua karyawan sibuk melayani pelanggan. Mungkin Lastri pun turun tangan, karena tak kulihat dirinya di meja kasir.Sementara di bangku tunggu, ada banyak wanita duduk mengantri. Menanti giliran. Setengah kesal, aku melangkah ke bangku yang paling ujung. Bokongku belum mendarat saat sebentuk suara menyapa merdu."Bang, Abang yang waktu itu, 'kan?"Glek! Wajah kesalku mendadak mencair, tak menyangka berjumpa lagi dengan Abigail di tempat ini. "Eh, Nona. Ya ini aku." Aku menjawab tanpa
Bab 41Hari ini begitu berkesan. Ibarat pepatah, 'sambil menyelam makan ikan'. Abigail sudah jadi pacarku, uang pun sudah kuamankan di bank.Tinggal bagaimana merawat hubungan cinta ini agar dapat bertahan lama dan saling setia. Aku mengantar pulang Abigail. Di depan rumah, Bapaknya tengah memberi makan burung. Lelaki itu memandang heran pada kami. Untungnya, Abigail buru-buru mengatakan kalau aku ini temannya. Aku pun pamit dan kembali ke rumahku di kaki pegunungan. Baru saja memarkir motor di bawah pohon waru, kudengar suara menangis dari arah ruang tamu. Suara pria dewasa yang entah apa sedang mengeluh pada Bapak. "Pria itu selalu kalah berjudi, Bon," ucap si kunti bukan merah dari atas pohon waru. Rupanya, tangisan pria itu telah mengagetkan si kunti dari tidur. Iler si kunti mengalir berjatuhan. Aku terpaksa memindahkan posisi motor agar terhindar dari iler si kunti. "Cepetan kau tangani dia, Bon. Suruh dia diam agar aku bisa melanjutkan tidur!" tegas si kunti.Aku tertawa
Bab 75 Berita tentang kematian Bapak tersiar ke sepenjuru desa. Warga berbondong-bondong datang melayat. Di hari yang sama, kami langsung menguburkan jenasah Bapak.Mang Asep masih menekuri makam Bapak kala semua pelayat telah pulang. Sementara rombongan kami tengah bersiap untuk kembali ke Jakarta. Aku menghampiri Mang Asep lantas berdeham pelan. Pria itu mendongak sepintas dan kembali menatap makam."Kau sudah jadi manusia normal, Bone. Dan aku jadi dukun sakti menggantikan Tarso. Kita doakan semoga ia tenang di alam sana." Aku terdiam. Hanya memandangi gerak-gerik Mang Asep yang bangkit dari berjongkok di makam, hingga ia berpamitan pulang."Bu Amira, kami harus pulang ke Jakarta sekarang. Ada jadwal pelayanan di tempat lain," tegur salah satu Pastor. "Tidak. Kalian masih harus membantuku." Aku menginterupsi.Ketiga Pastor itu mengernyitkan dahi. Mereka menatapku heran. "Aku sudah dipulihkan dan bukan siluman ular lagi. Tapi dosaku di masa lalu mengakibatkan Nadia jadi kambing
Bab 74Di ruang tamu tempat biasa melayani pasien, Bapak terkulai lemah. Aku hampir tak kenal wajah aslinya. Kulit Bapak menghitam legam dan bola matanya terus-terusan mengeluarkan cairan.Jemarinya yang kaku dipaksa bergerak saat melihatku. Aku turun dari badan Beni, lalu segera merayap ke tempat Bapak terbaring.Sedikit senyum mengembang di wajahnya. Orang-orang yang datang menjenguk, haru menyaksikan kami. "Pastor, apakah Mbah Tarso bisa disembuhkan?" Ibuku menatap iba."Sepertinya tidak, Bu Amira. Orang ini sedang menuai hasil perbuatannya selama hidup di dunia." Si Pastor berucap lugas. "Dia terlalu menyimpang dari jalan kebenaran. Sekalipun ia banyak mengamalkan ilmu putih untuk menyembuhkan orang, tetap saja dosa. Sebab yang memberi kemampuan itu bukanlah Tuhan, melainkan iblis." Orang-orang yang menjenguk Bapak, merasa tersinggung atas ucapan si Pastor. Ini wajar, karena mereka pernah disembuhkan oleh Bapak.Mang Asep cepat-cepat menengahi situasi. Ia meminta warga untuk p
Bab 73Beda dengan alam barzah di mana waktunya lebih cepat dari waktu di bumi. Di lubang neraka ini, hitungan waktunya sama persis dengan waktu di bumi. Aku tahu, karena detik demi detik terasa begitu nyata di tempat ini. Dari balik jeruji besi, aku memperhatikan bagaimana para iblis hilir mudik mendatangi tahta kebesaran Lucifer. Mereka melaporkan hasil kerja, bahkan mendiskusikan trik yang cocok untuk mempengaruhi manusia. Terbahak-bahak mereka tertawa kala manusia berhasil jatuh ke dalam dosa. Tiap iblis dengan kepiawaiannya masing-masing.Ada yang ahli dalam merusak tali pernikahan. Meniupkan ruh tidak setia yang membuat para suami berselingkuh. Setelah itu bercerai. Ada yang piawai meniupkan ruh mamon. Membuat manusia cinta uang, gila harta, tahta dan jabatan. Para iblis ini terus membisikkan ide-ide busuk ke telinga manusia. Agar mereka mengambil jalan pintas seperti berjudi, trading saham, korupsi, bisnis narkotik dan mafia lainnya. Aku mendengar mereka memanggil Lucifer
Bab 72Ya Tuhan, kenapa jadi serumit ini? Gara-gara tertarik pada ajakan Beni untuk penelusuran, sekarang Bang Bone tak sadarkan diri.Apa hanya pingsan atau sudah meninggal. Aku dan Beni jadinya bertengkar karena panik. Panik, mau dibawa ke rumah sakit atau rumah orang tua Bang Bone. Kalau ke rumah, sudah pasti Bu Amira akan marah besar. Akhirnya kami membawa tubuh Bang Bone ke rumah sakit. Selama di perjalanan, aku menangis sesenggukan.Tak bisa kubanyangkan jika Bang Bone tidak bangun lagi. Sungguh, a ku belum siap kehilangan orang tercinta. "Dia belum meninggal," ujar dokter di ruang ICU. "Dia mengalami gagal napas, atau yang sering disebut koma." "Kami akan memasang alat bantu pernapasan," imbuh dokter.Aku, Beni dan Ando tak henti membisikkan doa-doa kecil. Di hadapan kami, dokter yang dibantu oleh tim medis, memompa dada Bang Bone. Mereka memasang ventilator yang menutupi hidung dan mulut. Garis hijau muncul di layar monitor. Naik turun seiring denyut jantung. Dokter memin
Bab 71Ando menendang pintu ruang direktur hingga terbuka lebar. Jemarinya meraba tombol saklar demi menyalakan lampu. Sayang, listrik di ruang ini pun tak berfungsi lagi. "Hahaha ...." Beni kembali tertawa. Ia duduk berpangku kaki di kursi kebesaran direktur. "Kau!!!" Telunjuknya mengarah padaku. "Barusan kau menjelek-jelekkan namaku, bukan? Aku tersentak mundur. Langsung menarik lengan Abigail agar tak mendekati Beni. Sebab sosok yang merasuki Beni sangatlah berbahaya."Wahai manusia bodoh!" Ia memekik. "Membicarakan namaku sama dengan mengundangku datang." "Aku Luciferr!!" ucapnya bersamaan dengan matanya menyala merah. Di saat yang sama, suatu energi gelap melempar kami ke tembok. Rasanya sakit sekali. Aku segera mendekap tubuh Abigail. Gadisku itu meringis meraba tubuhnya. Sementara Lucifer kembali tertawa melalui raga Beni. Kesal, aku membaca mantra lantas melesakkan kanuragan hitam lewat mulutku. Gumpalan asap hitam menghantam Lusifer, tapi tak memberi efek sama sekali.
Bab 70Segera kupijat pelipis dan tengkuk Beni. Beberapa saat kemudian, kondisinya berangsur membaik sehingganya kami melanjutkan penelusuran. "Kalian tahu gak?" Beni bersuara pelan. "Sewaktu tanganku memegang gagang pintu tadi, aku menyaksikan pertengkaran sengit yang terjadi antara suami istri pemilik pabrik ini. Mereka ribut soal uang. Tapi belum selesai pertengkaran itu, tiba-tiba muncul banyak iblis di dekatku. Ingin memasuki tubuhku. Aku terhempas dan rasanya tuh pusing banget." Beni mengurai apa yang dialaminya. Ia tampak lemas. Aku menepuk pundaknya, "Setelah ini, kamu kudu tahu seberapa besar gelombang yang ada dalam jiwamu. Setiap kita memiliki gelombang energi yang berbeda, begitu pun dengan makhluk gaib. Jadi, tidak semua makhluk gaib bisa merasuki kita, melainkan hanya yang se-frekwensi saja." "Oh gitu? Pantesan!" keluh Beni. "Kok aku jadi penasaran pada pertengkaran yang disaksikan Beni," celetuk Ando. Kamera ia arahkan ke wajahku. "Bisa gak, Abang sentuh gagang pin
Bab 69Pabrik semen terbengkalai yang kami datangi, letaknya lumayan jauh. Namun masih dalam lingkup Jabodetabek. Kami berlima ke sana. Aku, Beni, Abigail serta dua orang teman Beni yang notabene adalah content creator digital. Mereka membawa kamera, dan rencananya hasil penelusuran nanti akan di-upload ke aplikasi Youtube. Suasana gelap dan senyap menyambut kala kami tiba di gerbang utama pabrik. Ando--teman Beni, membagikan kami masing-masing dua senter. Satu buah senter kepala dan satu buah senter genggam. Beni menyorot ke depan gerbang. Nampak dua arca Dwarapala, berdiri kokoh di sisi kanan dan kiri gerbang. Berbadan manusia dengan perut buncit dan kepala mirip monster bertaring. "Arca seperti ini kebanyakan ada di Bali. Ditaruh di depan lokasi tempat ibadah dan candi-candi," gumam Ando--teman Beni. Beni melirik padaku. "Bang, dua arca itu hanyalah benda mati. Apakah ada aliran mistis di dalamnya?" "Arca Dwarapala bukanlah benda mati biasa!" ketusku sembari mendeteksi energi
Bab 68Hari Sabtu adalah hari fakultatif, jadi tak ada aktivitas perkuliahan di kampus. Ibu memintaku mengantarkan Beni dan Zevanya ke tempat les musik. Setelahnya, aku pun kembali ke rumah. Duduk di beranda sembari menatap hamparan bunga kroket yang tengah mekar. Kucoba menghubungi Bapak melalui Mang Asep, sahabatnya. "Bon, beberapa waktu ini Bapakmu sering sakit," ungkap Mang Asep di ujung telepon. "Tapi dia melarang saya memberitahumu. Dia ingin kau fokus kuliah." Aku mendesah. "Bapak pasti kecapaian menangani pasien sendirian.""Benar, Bone," tanggap Mang Asep. "Kau harus bicara langsung sama Bapakmu. Sekarang saya mau ke rumahnya, jadi entar saya telpon balik." "Oke, Mang. Makasi banyak dan maaf sudah merepotkan," balasku lantas memutus sambungan telpon. Aku menyugar rambut. Mengusap wajah, lantas menyesap teh yang baru diantarkan Mbok Ratni. "Den, ada salam dari anak tetangga. Katanya udah lama suka sama Den Bone." Mbok Ratni berucap malu-malu dengan tangannya yang masih
Bab 67"Nona, andai kamu melarang Bone, mungkin kejadiannya tidak sampai sefatal ini." Samar, kudengar suara Ayah. "Ya. Padahal kami selaku orang tua sudah melarang keras. Kami ingin Bone meninggalkan praktik perdukunan." Terdengar Ibu menimpali dengan nada kecewa. Lalu kudengar pula suara Abigail yang membatuk pelan. "Saya tak bisa menahan saat Bang Bone keukeh ingin menyembuhkan orang sakit tersebut." "Menyembuhkan orang tidaklah salah," celetuk Ayah. "Yang salah itu metodenya. Metode perdukunan bisa berakibat fatal. Orang sakitnya sembuh, eh Bone yang kena imbas." Aku membuka mata setelah mendengar percakapan mereka. Ternyata aku berada di sebuah kamar di suatu rumah sakit. Berbaring lemah di atas tempat tidur, kulihat Ibu, Ayah dan Abigail sedang bercengkrama di sisi ranjang. Mataku terasa silau oleh suasana kamar yang serba putih. Terang benderang. Saat tanganku bergerak untuk mengusap mata, mereka menoleh. Lantas tersenyum senang karena melihatku sudah siuman. “Apa yang k