Bab 37Ruhku sudah masuk ke badanku, tapi karena terlalu ngantuk, aku langsung saja tidur tanpa makan malam lebih dahulu. Suara Shinta menggema dalam mimpiku. Terdengar ia memanggil, mendesah mencari keberadaanku di alam buto ijo. Aku bangun kesiangan dan baru kaget ketika Bapak menggedor pintu kamar. Dengan malas, aku membuka pintu. Kudapati Bapak yang terlihat cemas."Semalam kau pergi ke alam gaib?" Matanya tak berkedip menatapku. "Bapak tidak tidur sepanjang malam. Bapak khawatir jangan sampai kau nyasar lagi seperti waktu di alam barzah!""Ya, aku mengantarkan ruh Shinta ke alam buto ijo. Aku kembali dengan selamat. Tak ada yang perlu diresahkan." Tanganku melingkari pundak Bapak. Untuk sejenak menghiburnya. Wajah Bapak pun berangsur rileks."Bapak sudah menyiapkan sarapan. Ayo kita makan." Lelaki tua itu menarikku ke dapur. Ada kolak sukun dan pisang rebus di atas meja. Aku makan dengan lahapnya, sementara Bapak hanya duduk mengamati dengan senyum khasnya. "Ponsel itu dibe
Bab 38Kuperhatikan juga para mahluk gaib yang semakin ramai menunggu di luar salon. Mereka ramai mengobrol, tapi mulut mereka tak bergerak. Bahkan badan mereka tak saling berhadapan, mata tak saling kontak, sebagaimana layaknya manusia saat berkomunikasi. "Tidak ada pesta. Anak-anak gaib saya hanya kepengin dirias." Bapak tertawa cengengesan. Tatapan si perias gaib beralih memandang dua kunti, dua Uwo dan tuyul-tuyul. "Sok gayanya kalian, hahaha ...." Terdengar suaranya tertawa geli. Namun lagi-lagi, wajahnya tak membentuk ekspresi tertawa. Tetap kaku dan serius."Di rumah saja tapi ingin tampil keren, ya?" tanyanya.Dua kunti mengikik malu-malu. Dua Uwo tertawa cengengesan dan tuyul-tuyul merajuk gembira."Hahaha, sabarlah! Saya siapkan dulu bahan-bahan." Tawa si pemilik salon gaib semakin meninggi. Beda dengan mimiknya yang stabil kaku.Ia mencabut beberapa helai buluh ayam putih pemberian Bapak. Dilanjutkan dengan membunuh ayam itu, menampungkan darah ayam ke wadah khusus, lal
Bab 39Si perias gaib yang tengah mendandani tuyul, terperanjat kaget. Kuas bulu ayam di tangannya jatuh ke lantai tanah."Ada yang menyerang kalian, Tarso. Itulah konsekwensinya menjadi dukun santet. Kalian harus sigap jika sewaktu-waktu dukun lain menyerang balik."Ia berceloteh sembari sorot matanya menghakimi Bapakku. "Sebaiknya tinggalkan salonku sekarang juga! Aku bukannya mengusir, tapi jika kalian butuh bantuan, akan kukerahkan seluruh penghuni alas roban untuk membantu!" Si pemilik salon menghentakkan kaki kanannya sebanyak tiga kali. Tak disangka, segala jenis makhluk berdatangan memenuhi wilayah sekitar salon. Wujud mereka beragam. Begitu pun dengan energi yang dimiliki.Seberkas sinar kembali menghantam sebelum aku sempat mengelak. Kena telak di bahuku. Rasanya lumayan. Lumayan membuat pundakku meneleng miring, tak bisa berdiri tegap. "Bajingannn, kau serang anakku? Akan kuhajar kau hingga tewas!!" Bapak berteriak nyaring lalu melesat pergi. Mendatangi keberadaan si du
Bab 40Pagi berubah siang, bahkan siang mulai merambat sore. Namun si Lastri belum juga memunculkan moncongnya. Baru saja hendak mengecek ponsel ketika layarnya kedip-kedip. Nama Lastri tertera di panggilan masuk."Bone, maaf aku gak bisa datang. Salonku lagi ramai banget. Bisa gak kamu yang ke sini?" dengungnya di ujung telpon.Aku menggeram tertahan. Kuremas ponsel, lalu mencoba menjawab tanpa emosi."Oke, aku ke sana!"***Kudorong pintu salon. Sedikit risih mendapati banyak pengunjung di dalamnya.Semua karyawan sibuk melayani pelanggan. Mungkin Lastri pun turun tangan, karena tak kulihat dirinya di meja kasir.Sementara di bangku tunggu, ada banyak wanita duduk mengantri. Menanti giliran. Setengah kesal, aku melangkah ke bangku yang paling ujung. Bokongku belum mendarat saat sebentuk suara menyapa merdu."Bang, Abang yang waktu itu, 'kan?"Glek! Wajah kesalku mendadak mencair, tak menyangka berjumpa lagi dengan Abigail di tempat ini. "Eh, Nona. Ya ini aku." Aku menjawab tanpa
Bab 41Hari ini begitu berkesan. Ibarat pepatah, 'sambil menyelam makan ikan'. Abigail sudah jadi pacarku, uang pun sudah kuamankan di bank.Tinggal bagaimana merawat hubungan cinta ini agar dapat bertahan lama dan saling setia. Aku mengantar pulang Abigail. Di depan rumah, Bapaknya tengah memberi makan burung. Lelaki itu memandang heran pada kami. Untungnya, Abigail buru-buru mengatakan kalau aku ini temannya. Aku pun pamit dan kembali ke rumahku di kaki pegunungan. Baru saja memarkir motor di bawah pohon waru, kudengar suara menangis dari arah ruang tamu. Suara pria dewasa yang entah apa sedang mengeluh pada Bapak. "Pria itu selalu kalah berjudi, Bon," ucap si kunti bukan merah dari atas pohon waru. Rupanya, tangisan pria itu telah mengagetkan si kunti dari tidur. Iler si kunti mengalir berjatuhan. Aku terpaksa memindahkan posisi motor agar terhindar dari iler si kunti. "Cepetan kau tangani dia, Bon. Suruh dia diam agar aku bisa melanjutkan tidur!" tegas si kunti.Aku tertawa
Bab 42Cafe Olivier.Di paling sudut, tepatnya dekat jendela, aku dan Abigail duduk berhadapan. Dua cangkir minuman aneh disajikan di atas meja atas pesanan Abigail."Ini apa, Nona?" Aku mengaduk permukaan cream yang didesain berbentuk hati. Senyum Abigail mengembang. "Mocca latte. Belum pernah minum, Bang?" "Belum.""Ini kreasi kopi yang diracik lebih modern. Abang pasti suka, coba deh.""Ah tidak," jawabku datar. Dalam hati merasa cemas jangan sampai minuman ini akan membuatku sakit perut. Mengingat ruh ular masih melekat dalam raga ini. Sehingga apa pun yang tak disukai ular akan berdampak pada tubuh manusiaku."Kenapa, Bang?" Abigail menatap curiga."Mmm, aku lebih suka minum susu ketimbang kopi." Abigail tertawa mendengar pengakuanku. "Baiklah, aku akan memesan ulang," ucapnya lantas memanggil pramusaji.Kencan pertama ini terasa kikuk. Terasa berbeda jauh dari dunia asliku. Abigail banyak bertanya seputar kehidupan keluargaku. Dan aku menjawab seadanya, belum benar-benar me
Bab 43Aku memandang selembar kertas di tangan. Di atasnya, tertulis nama-nama pasien pesugihan. Kucoret nama pasien pesugihan babi ngepet yang kemarin sudah selesai kutangani. Hari ini, aku akan melayani pasien pesugihan tuyul. Mereka ini adalah sepasang suami istri yang sering dihina karena kondisi ekonomi yang morat-marit. Dipandang sebelah mata dan dikuncilkan oleh keluarga sendiri. Melakukan pesugihan tuyul dan menjadi kaya raya, secara tak langsung akan menampar wajah orang-orang yang pernah menghina mereka. Syarat-syarat sudah kusampaikan beberapa hari yang lalu. Tinggal disanggupi agar si calon anak dapat dibawa pulang. Dengan hati-hati, kubuka tutup botol lantas mengeluarkan sesosok tuyul. Tuyul yang dulunya kutangkap dari rumah mendiang Nanda. "Terlalu lama kau mengunciku di dalam botol. Sampai-sampai aku lupa siapa namamu," bisik si tuyul saat berhasil mendarat di lantai tanah. Ia sibuk meregangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku. "Namaku?" Aku tertawa datar. "S
Bab 44Setelah pasien pesugihan tuyul meninggalkan rumahku, aku segera membereskan sisa sesajen di ruang pasien.Aku lantas mandi serta melakukan perawatan diri agar tetap tampan dan berseri. Tepat di jam sembilan malam, kubangunkan Bapak untuk bersama menyantap makan malam.Kondisi kesehatan Bapakku belum seratus persen membaik. Ia nampak lemah dan sedikit sulit bernapas."Bone, kau harus pakai masker saat melayani pasien," ujar Bapak yang tak bersemangat menggigit potongan ayam goreng. "Saat ini, lagi viral virus korona. Bapak takut kau tertular lantas tewas."Aku tertawa mendengar kekhawatiran Bapak. Kusuapkan bubur dan daging ke mulut Bapak agar perut kosongnya terisi makanan. "Kau jangan tertawa, Bone. Sudah banyak orang yang meninggal karena virus itu. Dukun memang kebal santet, tapi tak kebal virus." Aku mengusap punggung Bapak, "Ini sudah malam, Pak. Besok saja maskernya kubeli di kota." Selesai makan, Bapak kuantar ke kamar. Aku tidur di sebelah Bapak agar ia merasa nyama