Bab 44Setelah pasien pesugihan tuyul meninggalkan rumahku, aku segera membereskan sisa sesajen di ruang pasien.Aku lantas mandi serta melakukan perawatan diri agar tetap tampan dan berseri. Tepat di jam sembilan malam, kubangunkan Bapak untuk bersama menyantap makan malam.Kondisi kesehatan Bapakku belum seratus persen membaik. Ia nampak lemah dan sedikit sulit bernapas."Bone, kau harus pakai masker saat melayani pasien," ujar Bapak yang tak bersemangat menggigit potongan ayam goreng. "Saat ini, lagi viral virus korona. Bapak takut kau tertular lantas tewas."Aku tertawa mendengar kekhawatiran Bapak. Kusuapkan bubur dan daging ke mulut Bapak agar perut kosongnya terisi makanan. "Kau jangan tertawa, Bone. Sudah banyak orang yang meninggal karena virus itu. Dukun memang kebal santet, tapi tak kebal virus." Aku mengusap punggung Bapak, "Ini sudah malam, Pak. Besok saja maskernya kubeli di kota." Selesai makan, Bapak kuantar ke kamar. Aku tidur di sebelah Bapak agar ia merasa nyama
Bab 45"Aku sudah siap kok. Pijat aja," tegur Novi yang mendapatiku sungkan menyentuh tubuhnya. Aku berdeham pelan, "Badan kamu terlalu tegang. Harusnya lebih rileks agar bisa dipijat."Novi tersenyum malu. "Maaf, saking gugupnya, aku jadi tegang begini. Hehehe ...." Menit berselang, aku masih mencermati sekujur tubuhnya dengan rasa kecewa."Kapan mijatnya kalau badan kamu belum juga rileks, huh? Memijat saat otot tegang, bisa berakibat fatal. Ayolah kamu harus rileks," omelku. "Hmm, sebenarnya harus ada aksi kecil barulah bisa rileks." Novi mengerlingkan mata. Ia menegakkan tubuh dari berbaring. Duduk menjulurkan kedua kaki, wajahnya mendekat ke wajahku."Eh--eh, ngapain ini! Jan ngadi-ngadi kamu!" tolakku samar. Takut didengar oleh Ibunya lantas terjadi salah paham. "Bantu aku dong agar bisa rileks. Cuman sebentar doang," rayunya di telingaku. Aku akan menjawab tapi Novi telah lebih dulu menempelkan bibirnya ke bibirku. Kucoba membuka mulut untuk bersuara, lagi-lagi ia lebih d
Bab 46 Jam menunjukkan hampir pukul 3 pagi dan pasien teluh gantung jodoh itu masih berada di rumahku. Masih tersisa satu ritual lagi, yaitu memandikan pasien memakai air kembang setaman yang ditaburi garam ruwat. "Ayo, kamu harus kumandikan biar pengaruh teluhnya seratus persen bersih," ajakku pada Novi yang masih duduk di ruang pasien.Ibunya bangkit duluan, "Saya ikut gak ke kamar mandi?""Tidak usah. Kamar mandi saya sempit, gelap dan licin. Ibu tunggu saja di sini selagi Novi saya mandikan." "Ahh modus kau, Bonee ..." Tiba-tiba terdengar suara dari atap rumah. Ternyata si genderuwo peliharaan yang sudah sejak awal mengintip aktivitas kami. "Bilang saja, mau kau goda anak gadisnya. Hahaha ...."‘Tutup mulutmu!’ Batinku membalas. ‘Kalau tadi si Novi kukulum, semata supaya tubuhnya rileks. Itu hanyalah bagian dari profesi dukun.’ "Sudahlah, Bone. Aku paham, kau itu tengah beranjak dewasa. Sudah saatnya kau icip-icip, hahaha ...." ejek si genderuwo lantas terbang meninggalkan at
Bab 47Mungkin karena lupa berdoa, aku tertidur nyenyak, tapi bermimpi yang buruk-buruk. Saking buruknya, aku sampai mengigau berkali-kali. Dalam mimpiku, semua pasien dan korban yang pernah kusantet, berlomba ingin menghabisiku. Nanda yang dulu kami bunuh di rumah sakit, mendatangiku dengan wajah pucat dan mata memerah. Ada bekas cekik yang begitu nyata di lehernya.Ia seakan berada di sisi ranjang dan hendak mencekik leherku. "Pembunuhh!!" teriaknya geram.Aku berusaha menghindar. Nyatanya, aku tak mampu bangkit dari tempat tidur. Di saat tangan Nanda sedang mencekik leherku, muncul pula Nadia.Si pasien susuk kecantikan yang dulu berubah jadi kambing di danau ritual. Dalam wujud kambing, ia menuntut agar aku mengembalikannya ke wujud manusia normal. "Aku tak punya kemampuan untuk merubah wujudmu. Itu adalah takdir," ucapku memohon. Dengan keempat kakinya, Nadia menginjak-injak wajahku. Ia sangatlah kesal.Lantas, dari belakang Nadia, muncul sosok Sukirman. Pria yang kami bakar
Bab 48"Pak, kalau ada pasien datang, tolak aja dulu. Kita butuh istirahat dan perlu refreshing," ucapku pada Bapak yang tengah menampi beras di halaman. "Kau mau ke mana, Bone?" Bapak menatapku naik turun. "Wangi banget." Aku yang telah berpakaian rapi dan akan menghidupkan mesin motor, melirik sembari tertawa kecil. "Ngapel ke rumah Abigail, Pak."Bapak menghentikan aktivitasnya menampi beras. Melotot ia memandangku. "Bone, cinta yang diawali dengan mantra, tak akan bertahan lama sebab magic punya batasan waktu. Saat pengaruh mantra melemah, akan memudar pula rasa cinta itu."Aku tertawa makin lebar mendengar nasehat Bapak. Tiap Bapak mencoba berbicara serius perihal cinta, kenapa jatuhnya selalu komedi? "Satu lagi, Bone. Kebanyakan perempuan memang doyan berdukun, tapi ogah menikahi dukun. Bapak takut kau belum siap patah hati." Aku memasukkan kunci motor ke lubangnya. Akalku mencerna perkataan Bapak. "Jangan bicara soal patah hati, Pak. Saat baru belajar merangkak, aku suda
Bab 49Suasana berubah hening. Orang-orang yang menyaksi amarah Abigail merasa serba salah. Kecuali Ayah Abigail yang kini melotot padaku."Putus?" desis Ayah Abigail. "Saya pikir kamu cuma temenan sama anak saya. Eh ternyata sudah jadian, bahkan sekarang putus. Hehe." "Itu akibat dari berbohong," celotehnya lagi."Ayah!!" sentak istrinya. "Dia uda berbuat baik, maafin kebohongan dia. Toh dulunya Ayah pun pernah bohong sama orang tua aku. Jangan terlalu keraslah sama anak muda." Aku yang berdiri kaku bak patung Jendral Sudirman, akhirnya mengelus dada. Ada sedikit beban yang terangkat saat Ibunya Abigail membelaku. Walau demikian, aku masih gelisah karena belum bisa menjelaskan apa-apa pada Abigail."Kamu pulang aja dulu, Nak," nasehat Ibunya. "Abigail kalau uda ngambek biasanya begitu. Ngunci diri dalam kamar. Nanti baikan sendiri kalau uda habis kesalnya.""Iya, Tante. Saya pamit."Aku pulang dengan separuh jiwa tak menentu. Motor kupacu sangat cepat. Di sela deru motor yang merau
Bab 50Hari yang cerah ….Aku baru saja pulang dari berburu di hutan. Senapan laras panjang menggantung di punggung, sementara lima ekor burung belibis kutenteng di tangan kanan.Terdengar gelak tawa saat tiba di rumah. Ternyata Bapak dan Mang Asep sedang asyiknya bercengkrama di balai-balai. Dukun tua itu amat senang dijenguk sahabatnya. Aku pun tersenyum mendengar obrolan ringan mereka. Obrolan masa muda seputar wanita-wanita yang pernah mereka pacari. "Hei, Bone." Panggil Mang Asep. Di sebelahnya Bapak masih menyengir lebar. Sepertinya ia sudah benar-benar sehat."Banyak bener burung yang kau tembak," puji Mang Asep kala aku menyambangi mereka."Halahh si Bone mah gitu. Uda punya burung masih aja doyan tembak burung," canda Bapakku, jauh dari kesan wibawa.Mang Asep tertawa sakit perut. Ia sangat berminat pada setiap kata yang lolos dari mulut Bapakku. "Dari tadi hape-mu bunyi terus, Bone. Kau cek dulu, jangan sampai pacarmu yang nelpon," goda Mang Asep.Aku segera ke kamar dan
Bab 51Semenjak punya motor, aku jadi sering bepergian ke kota. Seperti halnya hari ini, aku dan Abigail mengunjungi beberapa toko di sana.Abigail membeli banyak pakaian untuk persiapannya berangkat ke Jakarta. Sementara aku bersandar di dinding, melipat kedua tangan sembari mengamati ia memilah-milah pakaian. Sesekali ia memanggilku. Sembari melebarkan baju di depan dada, ia bertanya apakah itu cocok untuknya. Aku tersenyum. Menjawab sesuai pendapatku. Minimal tidak ketat, tidak norak coraknya juga tidak mengekspos aurat. Abigail manut. Ia kembali sibuk membolak-balik pajangan pakaian.Sementara aku ... mulai tenggelam dalam pemikiranku sendiri. Terasa sesak di dalam sini. Sesak membayangkan kepergian Abigail.Tiga hari lagi, ia akan melanjutkan kuliah ke Jakarta. Memilin ilmu demi masa depan yang cemerlang. Sangat memalukan jika harus berkata jujur! Aku juga tak mungkin memasang wajah sendu, hanya agar ia tahu bahwa aku sedih ditinggalkan. Gemerlap Ibukota dan pesona cowok-co