Bab 49Suasana berubah hening. Orang-orang yang menyaksi amarah Abigail merasa serba salah. Kecuali Ayah Abigail yang kini melotot padaku."Putus?" desis Ayah Abigail. "Saya pikir kamu cuma temenan sama anak saya. Eh ternyata sudah jadian, bahkan sekarang putus. Hehe." "Itu akibat dari berbohong," celotehnya lagi."Ayah!!" sentak istrinya. "Dia uda berbuat baik, maafin kebohongan dia. Toh dulunya Ayah pun pernah bohong sama orang tua aku. Jangan terlalu keraslah sama anak muda." Aku yang berdiri kaku bak patung Jendral Sudirman, akhirnya mengelus dada. Ada sedikit beban yang terangkat saat Ibunya Abigail membelaku. Walau demikian, aku masih gelisah karena belum bisa menjelaskan apa-apa pada Abigail."Kamu pulang aja dulu, Nak," nasehat Ibunya. "Abigail kalau uda ngambek biasanya begitu. Ngunci diri dalam kamar. Nanti baikan sendiri kalau uda habis kesalnya.""Iya, Tante. Saya pamit."Aku pulang dengan separuh jiwa tak menentu. Motor kupacu sangat cepat. Di sela deru motor yang merau
Bab 50Hari yang cerah ….Aku baru saja pulang dari berburu di hutan. Senapan laras panjang menggantung di punggung, sementara lima ekor burung belibis kutenteng di tangan kanan.Terdengar gelak tawa saat tiba di rumah. Ternyata Bapak dan Mang Asep sedang asyiknya bercengkrama di balai-balai. Dukun tua itu amat senang dijenguk sahabatnya. Aku pun tersenyum mendengar obrolan ringan mereka. Obrolan masa muda seputar wanita-wanita yang pernah mereka pacari. "Hei, Bone." Panggil Mang Asep. Di sebelahnya Bapak masih menyengir lebar. Sepertinya ia sudah benar-benar sehat."Banyak bener burung yang kau tembak," puji Mang Asep kala aku menyambangi mereka."Halahh si Bone mah gitu. Uda punya burung masih aja doyan tembak burung," canda Bapakku, jauh dari kesan wibawa.Mang Asep tertawa sakit perut. Ia sangat berminat pada setiap kata yang lolos dari mulut Bapakku. "Dari tadi hape-mu bunyi terus, Bone. Kau cek dulu, jangan sampai pacarmu yang nelpon," goda Mang Asep.Aku segera ke kamar dan
Bab 51Semenjak punya motor, aku jadi sering bepergian ke kota. Seperti halnya hari ini, aku dan Abigail mengunjungi beberapa toko di sana.Abigail membeli banyak pakaian untuk persiapannya berangkat ke Jakarta. Sementara aku bersandar di dinding, melipat kedua tangan sembari mengamati ia memilah-milah pakaian. Sesekali ia memanggilku. Sembari melebarkan baju di depan dada, ia bertanya apakah itu cocok untuknya. Aku tersenyum. Menjawab sesuai pendapatku. Minimal tidak ketat, tidak norak coraknya juga tidak mengekspos aurat. Abigail manut. Ia kembali sibuk membolak-balik pajangan pakaian.Sementara aku ... mulai tenggelam dalam pemikiranku sendiri. Terasa sesak di dalam sini. Sesak membayangkan kepergian Abigail.Tiga hari lagi, ia akan melanjutkan kuliah ke Jakarta. Memilin ilmu demi masa depan yang cemerlang. Sangat memalukan jika harus berkata jujur! Aku juga tak mungkin memasang wajah sendu, hanya agar ia tahu bahwa aku sedih ditinggalkan. Gemerlap Ibukota dan pesona cowok-co
Bab 52Detik demi detik terlampau meresahkan menjelang keberangkatan Abigail ke Jakarta. Ini adalah malam terakhir dan aku sama sekali tak bisa tidur. Hanya duduk di balai-balai depan rumah sembari memandang terangnya langit malam. Mencari satu bintang yang paling terang dan berharap Abigail lagi memandang bintang yang sama. Tidak mungkin! Boro-boro menatap langit, ia pasti sudah terlelap dalam tidurnya.Kubaca kembali chat terakhir kami pada jam 10 malam. Dan ternyata sekarang sudah pukul satu dini hari. "Temui saja gadis itu, Bone. Daripada kau resah menahan rindu?" Genderuwo peliharaan, bersuara dari atap rumah. "Aku prihatin melihatmu murung beberapa hari ini!" ketusnya lalu terbang entah ke mana. Aku tergelitik. Baru kali ini si genderuwo benar-benar peduli padaku. Mungkin sarannya benar, apa sebaiknya Abigail kutemui saja? Toh aku bisa menyerupai ular dan masuk ke kamarnya. Sekadar menatap wajahnya untuk yang terakhir kali. Sejenak menimbang, akhirnya aku berubah jadi ula
Bab 53Tiga minggu setelah kepergian Abigail ke Jakarta, hari-hariku terasa begitu hampa.Enggan beraktivitas. Mendadak seperti introvert. Hanya mendekam di dalam kamar. Makan saat sudah terlalu lapar, mandi saat sudah gerah. Bapak bahkan tak enak hati untuk sekadar menanyakan keadaanku. Tiap harinya ia seorang diri, melayani banyak pasien.Tembang patah hati milik Chrisye kuputar berkali-kali. Dari pagi ketemu pagi, hingga seluruh liriknya dihafal oleh tuyul-tuyul peliharaan yang sering bermain dalam kamarku.Tak pernah kusangka ini terjadiKisah cinta yang suci iniKau tinggalkan begitu sajaSekian lamanya kita berduaTak kusangka begitu cepat berlaluTuk mencari kesombongan diriLupa segala yang pernah kau ucapkanKau tinggalkan dakuPergilah kasih, kejarlah keinginanmuSelagi masih ada waktu (Pergilah kasih)Jangan hiraukan dirikuAku rela berpisah demi untuk dirimuSemoga tercapai segala keinginanmuTak kusangka begitu cepat berlaluTuk mencari kesombongan diriLupa segala yang
Bab 54Bapak memanggilku ke ruang pasien. Ia duduk di situ dengan wajah serius. Sungguh fenomena yang sama sekali tak biasa. "Nak, Bapak amati kau selalu murung akhir-akhir ini. Bagaimanapun, kita ini keluarga. Jika ada persoalan, jangan disimpan sendiri." Aku menunduk. Dalam duduk bersila, kupijat-pijat betis karena tak tahu harus menjawab apa. "Nak, bicaralah. Bapak ingin dengar apa keluhanmu." Aku mengangkat wajah. "Pak, bisakah satu hari saja tak ada pasien datang di rumah ini? Aku mulai bosan dengan rutinitas yang sama," ujarku datar.Senyum mengembang di wajah Bapak. Ia menatapku lekat, sesekali ia membuat kedipan-kedipan iseng di matanya. "Bapak rasa bukan itu yang membuatmu bosan. Kau malas menangani pasien karena susah fokus, 'kan? Kau lagi kepikiran sama Abigail." Nada suara Bapak sama sekali tak menghakimi. Malah seperti tengah menggodaku. "Kau sudah besar, Nak. Bapak tak berhak mengatur takdirmu. Jika kau ingin ke Jakarta, Bapak tak akan menahan.""Sudah sepantasnya
Bab 55"Rahim tante tidak bisa dibuahi secara normal. Dipijat alternatif sekalipun nihil juga hasilnya." Sepasang suami istri itu menatapku jengah. Sang suami merangkul istrinya, berusaha memberi impuls menenangkan. "Apa artinya saya mandul?" tanya si wanita. Aku mengangguk. "Masakan dokter kandungan tidak bicara jujur? Rahim tante lebih kecil loh dari rahim wanita normal." Ucapanku membuat si wanita mulai terisak. Bapak mengode agar aku tak menyinggung perasaan mereka. "Apa tak ada cara lain agar istri saya bisa hamil?" Sang suami menekan bicaranya. Ini yang kutunggu. Setelah mempermainkan mental mereka dengan ucapanku yang menyinggung. Aku rasa tawaran kali ini akan membuat keduanya setuju. "Ada satu cara. Asalkan kalian setuju," ketusku santai. "Gimana caranya?"Aku meneguk liur, "Transfer janin!""Hah?!" Si wanita terkejut. "Waduh, kalau anaknya hitam dan keriting, saya gak akan sudi." Aku tertawa pelan. Suaminya pun ikutan nyengir. "Transfer janin itu susah-susah gampan
Bab 56Matahari berada di atas kepala saat aku selesai mencuci pakaian. Satu per satu pakaian kujemur pada tali yang dikaitkan di antara dua pohon. Tak lupa kuberi jepitan plastik, agar tak jatuh kala tertiup angin pegunungan. "Bone, hape-mu berdering," panggil Bapak dari jendela kamarku. Pria gagap tekhnologi itu nampak gugup menggenggam ponselku. Apalagi dering dan getarnya kusetel bersamaan. Bapak seakan ingin melempar dari tangannya. “Iya, benar saya Bone. Maaf ini siapa?" Aku menjawab telepon masuk. Bapak turut menguping di sampingku."Dek Dukun, saya Tante Hana. Pasien transfer janin yang waktu itu." "Ah maaf, Tante. Nomor baru soalnya. Gimana, apa Tante uda USG?" tanyaku penasaran. "Udah, Dek. Saya beneran hamil. Kata dokter, janinnya sehat. Saya gak tahu harus berterima kasih dengan cara apa. Kirim nomor rekening ya Dek, akan saya transferkan sejumlah uang." "Gak usah membayar saya. Kebetulan saya lagi berbaik hati." Aku tertawa kecil. Di sampingku, Bapak ikutan senyam-s