Bab 57Sepanjang hari ini, Bapak sibuk menyiapkan tetek bengek keperluan untukku. Mulai dari pakaian, sepatu, tas hingga peralatan mandi, Bapak sudah mirip Emak-Emak rempong. Semalam aku menelpon Ibu. Mengatakan bahwa aku ingin ke Jakarta. Wanita bernama Amira itu sangatlah gembira. Ia berjanji mengutus supir pribadinya, agar menjemputku besok. Kurasa Bapak sedang galau. Ia merasa sedih lantaran kami akan berpisah. Menyembunyikan semuanya itu, ia memilih berjibaku mengurus barang-barangku. Detik demi detik terasa berat. Mendadak aku bak orang asing di rumah ini. Tak ada lagi percakapan hangat, apalagi humor dan candaan. Semua makhluk gaib peliharaan pun terlihat murung. Bersembunyi di balik pohon dan enggan menampakkan diri padaku. Ini masalah waktu saja. Mereka hanya belum terbiasa menjalani hari-hari tanpaku.***Bapak pernah bilang, pria sejati adalah mereka yang cenderung menggunakan logika ketimbang perasaan. Namun pagi ini dia menangis. Tanpa isakan, tanpa sedu sedan, bulir
Bab 58Sepekan tinggal di Jakarta, Ibu mendaftarkan aku ke kursus penyetaraan. Semacam kelas percepatan agar aku bisa mendapatkan ijasah SMP dan SMA. Maklum! Dahulunya aku cuma lulus Sekolah Dasar. Sempat melanjut ke SMP tapi terhenti karena sibuk membantu Bapak melayani pasien. Di kelas penyetaraan ini, semua muridnya sudah berumur. Bahkan banyak yang rambutnya beruban. Mereka ingin memperoleh ijasah agar bisa mendaftarkan diri jadi calon anggota dewan. Sedangkan aku, semata agar bisa melanjut ke perguruan tinggi. ***Suatu hari, saat kursus sedang berlangsung. Tiba-tiba seorang wanita dewasa terjatuh dari kursinya dan menggelepar di lantai.Ia meronta-ronta, hingga mulutnya berbusa dan kornea matanya hampir memutih total. Belum lagi karena dia mengenakan rok kembang, maka auratnya dilihat oleh semua murid.Guru yang tengah mengajar dibuat bingung. Mau dibawa ke rumah sakit, malah nanti takutnya materi pelajaran tertinggal gara-gara urusan satu orang. Jakarta memang berat. Hampi
Bab 59Tak terasa, sudah sebulan aku mengikuti kursus. Semua berjalan normal. Saat pergi, Ayah dan Ibu yang mengantar. Kebetulan tempat kerja mereka searah dengan tempat aku kursus. Namun saat pulang, supirlah yang menjemput. Hari ini, guru menjelaskan pelajaran trigonometri. Pelajaran tersulit dalam hidupku selama 20 tahun di dunia ini. Aku mampu menghafal ribuan mantra, tapi satu soal trigonometri rasanya seperti mau mati saja. Guru memberi tugas sebanyak lima nomor. Murid yang sudah selesai mengerjakan, diizinkan pulang. Satu per satu murid mengumpulkan tugas dan meninggalkan kelas. Termasuk si Tante epilepsi yang waktu itu kusembuhkan. Tersisa tiga murid di kelas, termasuk aku. Pikiranku amat buntu. Simbol-simbol akar kuadrad melayang dalam pikiranku. Mencakar pun sama saja. Terpaksa, kuisi jawaban asal-asalan di nomor terakhir. Setelah mengumpulkan lembar jawaban, aku beringsut keluar dari kelas. Rasanya seperti bebas dari kurungan penjara selama satu abad lamanya.Aku menuj
Bab 60Bangun pagi tanpa merapikan kembali ranjang adalah tabiat burukku yang terbawa sejak masih di dusun. Bapaklah yang biasa merapikannya untukku.Pagi ini, Ibu menyuruh Mbok Laksmi intuk membereskan kamarku. Kami sekeluarga berkumpul di depan televisi. Menonton serial Spongebob yang merupakan tontonan favorit keluarga. Beberapa saat kemudian, Mbok Laksmi turun dari lantai dua dan menenteng bed cover yang ia copot dari ranjangku. Ia akan menuju ke ruang cucian saat Ibu mencegahnya."Lho kok mau dicuci bed cover-nya, Mbok? Kan baru dipasang kemarin. Aturannya tiga hari sekali ganti." "Ngerti, Bu. Ini terpaksa harus dicuci karena anu ...." Mbok Laksmi merona malu. Asisten rumah tangga itu beralih menatapku. "Opo?" Ibuku penasaran."Den Bone semalam mimpi basah,” jawabnya sembari terkikik geli.Ibuku senyam-senyum, ia salah tingkah dan tak tahu harus merespon apa. Sementara Ayah yang sempat mendengar, mulai berkelakar di sela tontonan yang masih menyala. "Hahaha, semalam Bone ber
Bab 61Dua tahun berlalu. Ijasah penyetaraan SMP dan SMA sudah kugenggam. Tinggal menunggu waktu untuk mendaftar ke Perguruan Tinggi. Banyak yang berubah selama aku tinggal di Jakarta. Setiap hari minggu, aku diajak Ibu ke gereja. Di sana kami berdoa, bernyanyi dan memuji Tuhan. Aku menjalaninya bukan karena iman, tapi hanya sebagai rutinitas biasa. Selain itu, demi menjaga amanah Bapak di dusun yang menginginkan agar aku fokus pada tujuan, maka selama dua tahun ini, tak pernah sekalipun diriku menghubungi Abigail. Pacaran memang ada bagusnya. Namun jika berlebihan, bisa merusak konsentrasi belajar. Apalagi aku sadar, birahi ular yang meletup-letup ini, terkadang susah dikendalikan. Tentu Abigail akan menjadi pihak yang dirugikan. Padahal perempuan seharusnya dijaga dan dihargai. ***Sudah lama sekali tubuh ularku tak diberi makan. Aku bahkan lupa, kapan terakhir kali menyantap ayam mentah. Itu tak masalah, tapi pagi ini ... hal yang kutakuti terjadi. Ruh ularku mendominasi tub
Bab 62Max Cafe, sore harinya. "Mau bicara apa, Bu? Lihat, separuh minumanku sudah tandas." Aku mengaduk isi gelas menggunakan sedotan. Ibu menatap lurus. Ia mencermati wajahku yang semakin cerah selama tinggal di Jakarta. "Nak, banyak hal yang mestinya tidak kamu alami. Ibu adalah pihak yang bersalah. Sangat bersalah padamu.""Pernahkah kau sekali saja membenci Ibu?" Aku menggeleng. Menyeruput minuman hingga ludes, lantas tersenyum tawar. "Aku pernah kecewa. Pernah menangis, tapi tak pernah membenci siapa pun." "Kau anak yang baik, Bone. Ibu tahu itu.""Ibu minta maaf karena tidak mengisi masa kecilmu," ucapnya sendu. "Acap kali Ibu menangis saat memikirkan kesalahan itu."Aku meraih kedua tangan Ibu, meremas lembut jemarinya. "Jangan selalu melihat ke belakang, Bu. Bukankah aku ke Jakarta untuk menatap masa depan yang lebih baik?" Ibu mulai terisak. Ia membekap hidungnya dengan tisu. Ingus jernih mengalir di sana. "Ibu sangat sedih sama kondisimu yang setengah ular itu. Ibu t
Bab 63"Ibu ...?" Aku tergelak. Langsung membuat jarak dengan Abigail. "Ini tidak seperti yang Ibu bayangkan," ujarku plonga-plongo."Ibu gak membayangkan apa-apa kok!" ketus Ibu diiringi tersenyum lebar. Dadaku mencelos, padahal sempat takut jangan sampai Ibu marah besar. Untuk membunuh kecanggungan yang hadir di antara kami, aku meraih tangan Ibu dan tangan Abigail. "Ibu, ini Abigail. Pacarku." Aku memperkenalkan. "Abigail Sayang, ini Ibuku." Mereka berjabat tangan. Ibu menatap lekat pada Abigail. Oleh karena malu, Abigail sedikit menunduk. "Lha, kamu sakit, Nak?" Masih menatap wajah Abigail, Ibu bertanya Lurus. "Iya, Bu. Saya pun gak tahu sakit apa. Sudah cek-up lengkap ke rumah sakit, tapi katanya gak ada penyakit." Abigail terlihat kikuk. Wajah pucatnya sama sekali tak mengurangkan kadar cintaku. "Lha, kok malah ngobrol di toilet. Hayuk kita kembali ke meja," ucap Ibuku ramah. Kami kembali ke meja dan staff cafe menambahkan satu kursi untuk Abigail. "Sudah berapa lama
Bab 64Meruqyah Abigail, tidak hanya sekali. Aku melakukannya sampai tiga kali, agar ia benar-benar sembuh. Aku tak sendiri saat bertandang ke kosannya. Kadang bersama Zevanya, kadang juga mengajak Beni. Lama-kelamaan, mereka jadi akrab satu sama lain. Tak heran jika Zevanya kerap mengajak Abigail untuk bermain ke rumah kami.Selain Ibu, Ayah juga gembira bahwa aku memacari gadis yang sesuai dengan keyakinan mereka. Sekarang cinta sudah kugenggam, cita-cita pun akan kuraih. ***Beberapa bulan setelahnya, aku mendaftar ke universitas yang sama dengan Abigail. Hanya saja, kami berbeda jurusan. Abigail di jurusan Desain Busana dan aku pada jurusan Psikologi. Selain itu, Abigail memasuki semester lima, sementara aku baru semester satu. Walau demikian, usiaku yang kini telah menginjak 20 tahun, membuatku lebih mature jika dibandingkan dengan teman-teman seangkatan. "Bone? Kamu Bone, 'kan?!" tegur seorang mahasiswa saat aku berada di tempat parkiran, dan hendak memasuki mobil. Aku memb
Bab 75 Berita tentang kematian Bapak tersiar ke sepenjuru desa. Warga berbondong-bondong datang melayat. Di hari yang sama, kami langsung menguburkan jenasah Bapak.Mang Asep masih menekuri makam Bapak kala semua pelayat telah pulang. Sementara rombongan kami tengah bersiap untuk kembali ke Jakarta. Aku menghampiri Mang Asep lantas berdeham pelan. Pria itu mendongak sepintas dan kembali menatap makam."Kau sudah jadi manusia normal, Bone. Dan aku jadi dukun sakti menggantikan Tarso. Kita doakan semoga ia tenang di alam sana." Aku terdiam. Hanya memandangi gerak-gerik Mang Asep yang bangkit dari berjongkok di makam, hingga ia berpamitan pulang."Bu Amira, kami harus pulang ke Jakarta sekarang. Ada jadwal pelayanan di tempat lain," tegur salah satu Pastor. "Tidak. Kalian masih harus membantuku." Aku menginterupsi.Ketiga Pastor itu mengernyitkan dahi. Mereka menatapku heran. "Aku sudah dipulihkan dan bukan siluman ular lagi. Tapi dosaku di masa lalu mengakibatkan Nadia jadi kambing
Bab 74Di ruang tamu tempat biasa melayani pasien, Bapak terkulai lemah. Aku hampir tak kenal wajah aslinya. Kulit Bapak menghitam legam dan bola matanya terus-terusan mengeluarkan cairan.Jemarinya yang kaku dipaksa bergerak saat melihatku. Aku turun dari badan Beni, lalu segera merayap ke tempat Bapak terbaring.Sedikit senyum mengembang di wajahnya. Orang-orang yang datang menjenguk, haru menyaksikan kami. "Pastor, apakah Mbah Tarso bisa disembuhkan?" Ibuku menatap iba."Sepertinya tidak, Bu Amira. Orang ini sedang menuai hasil perbuatannya selama hidup di dunia." Si Pastor berucap lugas. "Dia terlalu menyimpang dari jalan kebenaran. Sekalipun ia banyak mengamalkan ilmu putih untuk menyembuhkan orang, tetap saja dosa. Sebab yang memberi kemampuan itu bukanlah Tuhan, melainkan iblis." Orang-orang yang menjenguk Bapak, merasa tersinggung atas ucapan si Pastor. Ini wajar, karena mereka pernah disembuhkan oleh Bapak.Mang Asep cepat-cepat menengahi situasi. Ia meminta warga untuk p
Bab 73Beda dengan alam barzah di mana waktunya lebih cepat dari waktu di bumi. Di lubang neraka ini, hitungan waktunya sama persis dengan waktu di bumi. Aku tahu, karena detik demi detik terasa begitu nyata di tempat ini. Dari balik jeruji besi, aku memperhatikan bagaimana para iblis hilir mudik mendatangi tahta kebesaran Lucifer. Mereka melaporkan hasil kerja, bahkan mendiskusikan trik yang cocok untuk mempengaruhi manusia. Terbahak-bahak mereka tertawa kala manusia berhasil jatuh ke dalam dosa. Tiap iblis dengan kepiawaiannya masing-masing.Ada yang ahli dalam merusak tali pernikahan. Meniupkan ruh tidak setia yang membuat para suami berselingkuh. Setelah itu bercerai. Ada yang piawai meniupkan ruh mamon. Membuat manusia cinta uang, gila harta, tahta dan jabatan. Para iblis ini terus membisikkan ide-ide busuk ke telinga manusia. Agar mereka mengambil jalan pintas seperti berjudi, trading saham, korupsi, bisnis narkotik dan mafia lainnya. Aku mendengar mereka memanggil Lucifer
Bab 72Ya Tuhan, kenapa jadi serumit ini? Gara-gara tertarik pada ajakan Beni untuk penelusuran, sekarang Bang Bone tak sadarkan diri.Apa hanya pingsan atau sudah meninggal. Aku dan Beni jadinya bertengkar karena panik. Panik, mau dibawa ke rumah sakit atau rumah orang tua Bang Bone. Kalau ke rumah, sudah pasti Bu Amira akan marah besar. Akhirnya kami membawa tubuh Bang Bone ke rumah sakit. Selama di perjalanan, aku menangis sesenggukan.Tak bisa kubanyangkan jika Bang Bone tidak bangun lagi. Sungguh, a ku belum siap kehilangan orang tercinta. "Dia belum meninggal," ujar dokter di ruang ICU. "Dia mengalami gagal napas, atau yang sering disebut koma." "Kami akan memasang alat bantu pernapasan," imbuh dokter.Aku, Beni dan Ando tak henti membisikkan doa-doa kecil. Di hadapan kami, dokter yang dibantu oleh tim medis, memompa dada Bang Bone. Mereka memasang ventilator yang menutupi hidung dan mulut. Garis hijau muncul di layar monitor. Naik turun seiring denyut jantung. Dokter memin
Bab 71Ando menendang pintu ruang direktur hingga terbuka lebar. Jemarinya meraba tombol saklar demi menyalakan lampu. Sayang, listrik di ruang ini pun tak berfungsi lagi. "Hahaha ...." Beni kembali tertawa. Ia duduk berpangku kaki di kursi kebesaran direktur. "Kau!!!" Telunjuknya mengarah padaku. "Barusan kau menjelek-jelekkan namaku, bukan? Aku tersentak mundur. Langsung menarik lengan Abigail agar tak mendekati Beni. Sebab sosok yang merasuki Beni sangatlah berbahaya."Wahai manusia bodoh!" Ia memekik. "Membicarakan namaku sama dengan mengundangku datang." "Aku Luciferr!!" ucapnya bersamaan dengan matanya menyala merah. Di saat yang sama, suatu energi gelap melempar kami ke tembok. Rasanya sakit sekali. Aku segera mendekap tubuh Abigail. Gadisku itu meringis meraba tubuhnya. Sementara Lucifer kembali tertawa melalui raga Beni. Kesal, aku membaca mantra lantas melesakkan kanuragan hitam lewat mulutku. Gumpalan asap hitam menghantam Lusifer, tapi tak memberi efek sama sekali.
Bab 70Segera kupijat pelipis dan tengkuk Beni. Beberapa saat kemudian, kondisinya berangsur membaik sehingganya kami melanjutkan penelusuran. "Kalian tahu gak?" Beni bersuara pelan. "Sewaktu tanganku memegang gagang pintu tadi, aku menyaksikan pertengkaran sengit yang terjadi antara suami istri pemilik pabrik ini. Mereka ribut soal uang. Tapi belum selesai pertengkaran itu, tiba-tiba muncul banyak iblis di dekatku. Ingin memasuki tubuhku. Aku terhempas dan rasanya tuh pusing banget." Beni mengurai apa yang dialaminya. Ia tampak lemas. Aku menepuk pundaknya, "Setelah ini, kamu kudu tahu seberapa besar gelombang yang ada dalam jiwamu. Setiap kita memiliki gelombang energi yang berbeda, begitu pun dengan makhluk gaib. Jadi, tidak semua makhluk gaib bisa merasuki kita, melainkan hanya yang se-frekwensi saja." "Oh gitu? Pantesan!" keluh Beni. "Kok aku jadi penasaran pada pertengkaran yang disaksikan Beni," celetuk Ando. Kamera ia arahkan ke wajahku. "Bisa gak, Abang sentuh gagang pin
Bab 69Pabrik semen terbengkalai yang kami datangi, letaknya lumayan jauh. Namun masih dalam lingkup Jabodetabek. Kami berlima ke sana. Aku, Beni, Abigail serta dua orang teman Beni yang notabene adalah content creator digital. Mereka membawa kamera, dan rencananya hasil penelusuran nanti akan di-upload ke aplikasi Youtube. Suasana gelap dan senyap menyambut kala kami tiba di gerbang utama pabrik. Ando--teman Beni, membagikan kami masing-masing dua senter. Satu buah senter kepala dan satu buah senter genggam. Beni menyorot ke depan gerbang. Nampak dua arca Dwarapala, berdiri kokoh di sisi kanan dan kiri gerbang. Berbadan manusia dengan perut buncit dan kepala mirip monster bertaring. "Arca seperti ini kebanyakan ada di Bali. Ditaruh di depan lokasi tempat ibadah dan candi-candi," gumam Ando--teman Beni. Beni melirik padaku. "Bang, dua arca itu hanyalah benda mati. Apakah ada aliran mistis di dalamnya?" "Arca Dwarapala bukanlah benda mati biasa!" ketusku sembari mendeteksi energi
Bab 68Hari Sabtu adalah hari fakultatif, jadi tak ada aktivitas perkuliahan di kampus. Ibu memintaku mengantarkan Beni dan Zevanya ke tempat les musik. Setelahnya, aku pun kembali ke rumah. Duduk di beranda sembari menatap hamparan bunga kroket yang tengah mekar. Kucoba menghubungi Bapak melalui Mang Asep, sahabatnya. "Bon, beberapa waktu ini Bapakmu sering sakit," ungkap Mang Asep di ujung telepon. "Tapi dia melarang saya memberitahumu. Dia ingin kau fokus kuliah." Aku mendesah. "Bapak pasti kecapaian menangani pasien sendirian.""Benar, Bone," tanggap Mang Asep. "Kau harus bicara langsung sama Bapakmu. Sekarang saya mau ke rumahnya, jadi entar saya telpon balik." "Oke, Mang. Makasi banyak dan maaf sudah merepotkan," balasku lantas memutus sambungan telpon. Aku menyugar rambut. Mengusap wajah, lantas menyesap teh yang baru diantarkan Mbok Ratni. "Den, ada salam dari anak tetangga. Katanya udah lama suka sama Den Bone." Mbok Ratni berucap malu-malu dengan tangannya yang masih
Bab 67"Nona, andai kamu melarang Bone, mungkin kejadiannya tidak sampai sefatal ini." Samar, kudengar suara Ayah. "Ya. Padahal kami selaku orang tua sudah melarang keras. Kami ingin Bone meninggalkan praktik perdukunan." Terdengar Ibu menimpali dengan nada kecewa. Lalu kudengar pula suara Abigail yang membatuk pelan. "Saya tak bisa menahan saat Bang Bone keukeh ingin menyembuhkan orang sakit tersebut." "Menyembuhkan orang tidaklah salah," celetuk Ayah. "Yang salah itu metodenya. Metode perdukunan bisa berakibat fatal. Orang sakitnya sembuh, eh Bone yang kena imbas." Aku membuka mata setelah mendengar percakapan mereka. Ternyata aku berada di sebuah kamar di suatu rumah sakit. Berbaring lemah di atas tempat tidur, kulihat Ibu, Ayah dan Abigail sedang bercengkrama di sisi ranjang. Mataku terasa silau oleh suasana kamar yang serba putih. Terang benderang. Saat tanganku bergerak untuk mengusap mata, mereka menoleh. Lantas tersenyum senang karena melihatku sudah siuman. “Apa yang k