Bab 60Bangun pagi tanpa merapikan kembali ranjang adalah tabiat burukku yang terbawa sejak masih di dusun. Bapaklah yang biasa merapikannya untukku.Pagi ini, Ibu menyuruh Mbok Laksmi intuk membereskan kamarku. Kami sekeluarga berkumpul di depan televisi. Menonton serial Spongebob yang merupakan tontonan favorit keluarga. Beberapa saat kemudian, Mbok Laksmi turun dari lantai dua dan menenteng bed cover yang ia copot dari ranjangku. Ia akan menuju ke ruang cucian saat Ibu mencegahnya."Lho kok mau dicuci bed cover-nya, Mbok? Kan baru dipasang kemarin. Aturannya tiga hari sekali ganti." "Ngerti, Bu. Ini terpaksa harus dicuci karena anu ...." Mbok Laksmi merona malu. Asisten rumah tangga itu beralih menatapku. "Opo?" Ibuku penasaran."Den Bone semalam mimpi basah,” jawabnya sembari terkikik geli.Ibuku senyam-senyum, ia salah tingkah dan tak tahu harus merespon apa. Sementara Ayah yang sempat mendengar, mulai berkelakar di sela tontonan yang masih menyala. "Hahaha, semalam Bone ber
Bab 61Dua tahun berlalu. Ijasah penyetaraan SMP dan SMA sudah kugenggam. Tinggal menunggu waktu untuk mendaftar ke Perguruan Tinggi. Banyak yang berubah selama aku tinggal di Jakarta. Setiap hari minggu, aku diajak Ibu ke gereja. Di sana kami berdoa, bernyanyi dan memuji Tuhan. Aku menjalaninya bukan karena iman, tapi hanya sebagai rutinitas biasa. Selain itu, demi menjaga amanah Bapak di dusun yang menginginkan agar aku fokus pada tujuan, maka selama dua tahun ini, tak pernah sekalipun diriku menghubungi Abigail. Pacaran memang ada bagusnya. Namun jika berlebihan, bisa merusak konsentrasi belajar. Apalagi aku sadar, birahi ular yang meletup-letup ini, terkadang susah dikendalikan. Tentu Abigail akan menjadi pihak yang dirugikan. Padahal perempuan seharusnya dijaga dan dihargai. ***Sudah lama sekali tubuh ularku tak diberi makan. Aku bahkan lupa, kapan terakhir kali menyantap ayam mentah. Itu tak masalah, tapi pagi ini ... hal yang kutakuti terjadi. Ruh ularku mendominasi tub
Bab 62Max Cafe, sore harinya. "Mau bicara apa, Bu? Lihat, separuh minumanku sudah tandas." Aku mengaduk isi gelas menggunakan sedotan. Ibu menatap lurus. Ia mencermati wajahku yang semakin cerah selama tinggal di Jakarta. "Nak, banyak hal yang mestinya tidak kamu alami. Ibu adalah pihak yang bersalah. Sangat bersalah padamu.""Pernahkah kau sekali saja membenci Ibu?" Aku menggeleng. Menyeruput minuman hingga ludes, lantas tersenyum tawar. "Aku pernah kecewa. Pernah menangis, tapi tak pernah membenci siapa pun." "Kau anak yang baik, Bone. Ibu tahu itu.""Ibu minta maaf karena tidak mengisi masa kecilmu," ucapnya sendu. "Acap kali Ibu menangis saat memikirkan kesalahan itu."Aku meraih kedua tangan Ibu, meremas lembut jemarinya. "Jangan selalu melihat ke belakang, Bu. Bukankah aku ke Jakarta untuk menatap masa depan yang lebih baik?" Ibu mulai terisak. Ia membekap hidungnya dengan tisu. Ingus jernih mengalir di sana. "Ibu sangat sedih sama kondisimu yang setengah ular itu. Ibu t
Bab 63"Ibu ...?" Aku tergelak. Langsung membuat jarak dengan Abigail. "Ini tidak seperti yang Ibu bayangkan," ujarku plonga-plongo."Ibu gak membayangkan apa-apa kok!" ketus Ibu diiringi tersenyum lebar. Dadaku mencelos, padahal sempat takut jangan sampai Ibu marah besar. Untuk membunuh kecanggungan yang hadir di antara kami, aku meraih tangan Ibu dan tangan Abigail. "Ibu, ini Abigail. Pacarku." Aku memperkenalkan. "Abigail Sayang, ini Ibuku." Mereka berjabat tangan. Ibu menatap lekat pada Abigail. Oleh karena malu, Abigail sedikit menunduk. "Lha, kamu sakit, Nak?" Masih menatap wajah Abigail, Ibu bertanya Lurus. "Iya, Bu. Saya pun gak tahu sakit apa. Sudah cek-up lengkap ke rumah sakit, tapi katanya gak ada penyakit." Abigail terlihat kikuk. Wajah pucatnya sama sekali tak mengurangkan kadar cintaku. "Lha, kok malah ngobrol di toilet. Hayuk kita kembali ke meja," ucap Ibuku ramah. Kami kembali ke meja dan staff cafe menambahkan satu kursi untuk Abigail. "Sudah berapa lama
Bab 64Meruqyah Abigail, tidak hanya sekali. Aku melakukannya sampai tiga kali, agar ia benar-benar sembuh. Aku tak sendiri saat bertandang ke kosannya. Kadang bersama Zevanya, kadang juga mengajak Beni. Lama-kelamaan, mereka jadi akrab satu sama lain. Tak heran jika Zevanya kerap mengajak Abigail untuk bermain ke rumah kami.Selain Ibu, Ayah juga gembira bahwa aku memacari gadis yang sesuai dengan keyakinan mereka. Sekarang cinta sudah kugenggam, cita-cita pun akan kuraih. ***Beberapa bulan setelahnya, aku mendaftar ke universitas yang sama dengan Abigail. Hanya saja, kami berbeda jurusan. Abigail di jurusan Desain Busana dan aku pada jurusan Psikologi. Selain itu, Abigail memasuki semester lima, sementara aku baru semester satu. Walau demikian, usiaku yang kini telah menginjak 20 tahun, membuatku lebih mature jika dibandingkan dengan teman-teman seangkatan. "Bone? Kamu Bone, 'kan?!" tegur seorang mahasiswa saat aku berada di tempat parkiran, dan hendak memasuki mobil. Aku memb
Bab 65"Anak muda, kamu ternyata punya kemampuan," ujar suaminya yang kini bersikap lebih respect. "Tolong beritahu, apa sebenarnya yang dialami istri saya?" Aku berdeham pelan. Di sisiku, ada Abigail yang mengelus pundakku beberapa kali. "Istri anda ditumbalkan." Orang-orang yang berkerumun di situ, bergerak menjauh kala mendengar pengakuanku. "Ditumbalkan?" gumam suaminya sedih. "Siapa yang menumbalkan?" tanyanya panik dan mendadak ingin memberontak. "Salah apa istri saya?"Orang-orang menahan si pria serta membujuknya agar tenang. Aku memaklumi sikap pria ini. Ia hanyalah suami biasa yang sudah lelah lahir batin dalam merawat sang istri. "Istri anda ditumbalkan oleh majikannya sendiri," ujarku yang sudah tahu kalau wanita ini adalah pembantu rumah tangga di sebuah keluarga pengusaha getah karet. "Istri anda sebelumnya sudah berulang kali diberi makan makanan khusus.""Itu betul!" celetuk suaminya. "Sering istri saya membawa pulang makanan lezat pemberian majikan. Pembantu lai
Bab 67"Nona, andai kamu melarang Bone, mungkin kejadiannya tidak sampai sefatal ini." Samar, kudengar suara Ayah. "Ya. Padahal kami selaku orang tua sudah melarang keras. Kami ingin Bone meninggalkan praktik perdukunan." Terdengar Ibu menimpali dengan nada kecewa. Lalu kudengar pula suara Abigail yang membatuk pelan. "Saya tak bisa menahan saat Bang Bone keukeh ingin menyembuhkan orang sakit tersebut." "Menyembuhkan orang tidaklah salah," celetuk Ayah. "Yang salah itu metodenya. Metode perdukunan bisa berakibat fatal. Orang sakitnya sembuh, eh Bone yang kena imbas." Aku membuka mata setelah mendengar percakapan mereka. Ternyata aku berada di sebuah kamar di suatu rumah sakit. Berbaring lemah di atas tempat tidur, kulihat Ibu, Ayah dan Abigail sedang bercengkrama di sisi ranjang. Mataku terasa silau oleh suasana kamar yang serba putih. Terang benderang. Saat tanganku bergerak untuk mengusap mata, mereka menoleh. Lantas tersenyum senang karena melihatku sudah siuman. “Apa yang k
Bab 68Hari Sabtu adalah hari fakultatif, jadi tak ada aktivitas perkuliahan di kampus. Ibu memintaku mengantarkan Beni dan Zevanya ke tempat les musik. Setelahnya, aku pun kembali ke rumah. Duduk di beranda sembari menatap hamparan bunga kroket yang tengah mekar. Kucoba menghubungi Bapak melalui Mang Asep, sahabatnya. "Bon, beberapa waktu ini Bapakmu sering sakit," ungkap Mang Asep di ujung telepon. "Tapi dia melarang saya memberitahumu. Dia ingin kau fokus kuliah." Aku mendesah. "Bapak pasti kecapaian menangani pasien sendirian.""Benar, Bone," tanggap Mang Asep. "Kau harus bicara langsung sama Bapakmu. Sekarang saya mau ke rumahnya, jadi entar saya telpon balik." "Oke, Mang. Makasi banyak dan maaf sudah merepotkan," balasku lantas memutus sambungan telpon. Aku menyugar rambut. Mengusap wajah, lantas menyesap teh yang baru diantarkan Mbok Ratni. "Den, ada salam dari anak tetangga. Katanya udah lama suka sama Den Bone." Mbok Ratni berucap malu-malu dengan tangannya yang masih