Bab 58Sepekan tinggal di Jakarta, Ibu mendaftarkan aku ke kursus penyetaraan. Semacam kelas percepatan agar aku bisa mendapatkan ijasah SMP dan SMA. Maklum! Dahulunya aku cuma lulus Sekolah Dasar. Sempat melanjut ke SMP tapi terhenti karena sibuk membantu Bapak melayani pasien. Di kelas penyetaraan ini, semua muridnya sudah berumur. Bahkan banyak yang rambutnya beruban. Mereka ingin memperoleh ijasah agar bisa mendaftarkan diri jadi calon anggota dewan. Sedangkan aku, semata agar bisa melanjut ke perguruan tinggi. ***Suatu hari, saat kursus sedang berlangsung. Tiba-tiba seorang wanita dewasa terjatuh dari kursinya dan menggelepar di lantai.Ia meronta-ronta, hingga mulutnya berbusa dan kornea matanya hampir memutih total. Belum lagi karena dia mengenakan rok kembang, maka auratnya dilihat oleh semua murid.Guru yang tengah mengajar dibuat bingung. Mau dibawa ke rumah sakit, malah nanti takutnya materi pelajaran tertinggal gara-gara urusan satu orang. Jakarta memang berat. Hampi
Bab 59Tak terasa, sudah sebulan aku mengikuti kursus. Semua berjalan normal. Saat pergi, Ayah dan Ibu yang mengantar. Kebetulan tempat kerja mereka searah dengan tempat aku kursus. Namun saat pulang, supirlah yang menjemput. Hari ini, guru menjelaskan pelajaran trigonometri. Pelajaran tersulit dalam hidupku selama 20 tahun di dunia ini. Aku mampu menghafal ribuan mantra, tapi satu soal trigonometri rasanya seperti mau mati saja. Guru memberi tugas sebanyak lima nomor. Murid yang sudah selesai mengerjakan, diizinkan pulang. Satu per satu murid mengumpulkan tugas dan meninggalkan kelas. Termasuk si Tante epilepsi yang waktu itu kusembuhkan. Tersisa tiga murid di kelas, termasuk aku. Pikiranku amat buntu. Simbol-simbol akar kuadrad melayang dalam pikiranku. Mencakar pun sama saja. Terpaksa, kuisi jawaban asal-asalan di nomor terakhir. Setelah mengumpulkan lembar jawaban, aku beringsut keluar dari kelas. Rasanya seperti bebas dari kurungan penjara selama satu abad lamanya.Aku menuj
Bab 60Bangun pagi tanpa merapikan kembali ranjang adalah tabiat burukku yang terbawa sejak masih di dusun. Bapaklah yang biasa merapikannya untukku.Pagi ini, Ibu menyuruh Mbok Laksmi intuk membereskan kamarku. Kami sekeluarga berkumpul di depan televisi. Menonton serial Spongebob yang merupakan tontonan favorit keluarga. Beberapa saat kemudian, Mbok Laksmi turun dari lantai dua dan menenteng bed cover yang ia copot dari ranjangku. Ia akan menuju ke ruang cucian saat Ibu mencegahnya."Lho kok mau dicuci bed cover-nya, Mbok? Kan baru dipasang kemarin. Aturannya tiga hari sekali ganti." "Ngerti, Bu. Ini terpaksa harus dicuci karena anu ...." Mbok Laksmi merona malu. Asisten rumah tangga itu beralih menatapku. "Opo?" Ibuku penasaran."Den Bone semalam mimpi basah,” jawabnya sembari terkikik geli.Ibuku senyam-senyum, ia salah tingkah dan tak tahu harus merespon apa. Sementara Ayah yang sempat mendengar, mulai berkelakar di sela tontonan yang masih menyala. "Hahaha, semalam Bone ber
Bab 61Dua tahun berlalu. Ijasah penyetaraan SMP dan SMA sudah kugenggam. Tinggal menunggu waktu untuk mendaftar ke Perguruan Tinggi. Banyak yang berubah selama aku tinggal di Jakarta. Setiap hari minggu, aku diajak Ibu ke gereja. Di sana kami berdoa, bernyanyi dan memuji Tuhan. Aku menjalaninya bukan karena iman, tapi hanya sebagai rutinitas biasa. Selain itu, demi menjaga amanah Bapak di dusun yang menginginkan agar aku fokus pada tujuan, maka selama dua tahun ini, tak pernah sekalipun diriku menghubungi Abigail. Pacaran memang ada bagusnya. Namun jika berlebihan, bisa merusak konsentrasi belajar. Apalagi aku sadar, birahi ular yang meletup-letup ini, terkadang susah dikendalikan. Tentu Abigail akan menjadi pihak yang dirugikan. Padahal perempuan seharusnya dijaga dan dihargai. ***Sudah lama sekali tubuh ularku tak diberi makan. Aku bahkan lupa, kapan terakhir kali menyantap ayam mentah. Itu tak masalah, tapi pagi ini ... hal yang kutakuti terjadi. Ruh ularku mendominasi tub
Bab 62Max Cafe, sore harinya. "Mau bicara apa, Bu? Lihat, separuh minumanku sudah tandas." Aku mengaduk isi gelas menggunakan sedotan. Ibu menatap lurus. Ia mencermati wajahku yang semakin cerah selama tinggal di Jakarta. "Nak, banyak hal yang mestinya tidak kamu alami. Ibu adalah pihak yang bersalah. Sangat bersalah padamu.""Pernahkah kau sekali saja membenci Ibu?" Aku menggeleng. Menyeruput minuman hingga ludes, lantas tersenyum tawar. "Aku pernah kecewa. Pernah menangis, tapi tak pernah membenci siapa pun." "Kau anak yang baik, Bone. Ibu tahu itu.""Ibu minta maaf karena tidak mengisi masa kecilmu," ucapnya sendu. "Acap kali Ibu menangis saat memikirkan kesalahan itu."Aku meraih kedua tangan Ibu, meremas lembut jemarinya. "Jangan selalu melihat ke belakang, Bu. Bukankah aku ke Jakarta untuk menatap masa depan yang lebih baik?" Ibu mulai terisak. Ia membekap hidungnya dengan tisu. Ingus jernih mengalir di sana. "Ibu sangat sedih sama kondisimu yang setengah ular itu. Ibu t
Bab 63"Ibu ...?" Aku tergelak. Langsung membuat jarak dengan Abigail. "Ini tidak seperti yang Ibu bayangkan," ujarku plonga-plongo."Ibu gak membayangkan apa-apa kok!" ketus Ibu diiringi tersenyum lebar. Dadaku mencelos, padahal sempat takut jangan sampai Ibu marah besar. Untuk membunuh kecanggungan yang hadir di antara kami, aku meraih tangan Ibu dan tangan Abigail. "Ibu, ini Abigail. Pacarku." Aku memperkenalkan. "Abigail Sayang, ini Ibuku." Mereka berjabat tangan. Ibu menatap lekat pada Abigail. Oleh karena malu, Abigail sedikit menunduk. "Lha, kamu sakit, Nak?" Masih menatap wajah Abigail, Ibu bertanya Lurus. "Iya, Bu. Saya pun gak tahu sakit apa. Sudah cek-up lengkap ke rumah sakit, tapi katanya gak ada penyakit." Abigail terlihat kikuk. Wajah pucatnya sama sekali tak mengurangkan kadar cintaku. "Lha, kok malah ngobrol di toilet. Hayuk kita kembali ke meja," ucap Ibuku ramah. Kami kembali ke meja dan staff cafe menambahkan satu kursi untuk Abigail. "Sudah berapa lama
Bab 64Meruqyah Abigail, tidak hanya sekali. Aku melakukannya sampai tiga kali, agar ia benar-benar sembuh. Aku tak sendiri saat bertandang ke kosannya. Kadang bersama Zevanya, kadang juga mengajak Beni. Lama-kelamaan, mereka jadi akrab satu sama lain. Tak heran jika Zevanya kerap mengajak Abigail untuk bermain ke rumah kami.Selain Ibu, Ayah juga gembira bahwa aku memacari gadis yang sesuai dengan keyakinan mereka. Sekarang cinta sudah kugenggam, cita-cita pun akan kuraih. ***Beberapa bulan setelahnya, aku mendaftar ke universitas yang sama dengan Abigail. Hanya saja, kami berbeda jurusan. Abigail di jurusan Desain Busana dan aku pada jurusan Psikologi. Selain itu, Abigail memasuki semester lima, sementara aku baru semester satu. Walau demikian, usiaku yang kini telah menginjak 20 tahun, membuatku lebih mature jika dibandingkan dengan teman-teman seangkatan. "Bone? Kamu Bone, 'kan?!" tegur seorang mahasiswa saat aku berada di tempat parkiran, dan hendak memasuki mobil. Aku memb
Bab 65"Anak muda, kamu ternyata punya kemampuan," ujar suaminya yang kini bersikap lebih respect. "Tolong beritahu, apa sebenarnya yang dialami istri saya?" Aku berdeham pelan. Di sisiku, ada Abigail yang mengelus pundakku beberapa kali. "Istri anda ditumbalkan." Orang-orang yang berkerumun di situ, bergerak menjauh kala mendengar pengakuanku. "Ditumbalkan?" gumam suaminya sedih. "Siapa yang menumbalkan?" tanyanya panik dan mendadak ingin memberontak. "Salah apa istri saya?"Orang-orang menahan si pria serta membujuknya agar tenang. Aku memaklumi sikap pria ini. Ia hanyalah suami biasa yang sudah lelah lahir batin dalam merawat sang istri. "Istri anda ditumbalkan oleh majikannya sendiri," ujarku yang sudah tahu kalau wanita ini adalah pembantu rumah tangga di sebuah keluarga pengusaha getah karet. "Istri anda sebelumnya sudah berulang kali diberi makan makanan khusus.""Itu betul!" celetuk suaminya. "Sering istri saya membawa pulang makanan lezat pemberian majikan. Pembantu lai