Bab 52Detik demi detik terlampau meresahkan menjelang keberangkatan Abigail ke Jakarta. Ini adalah malam terakhir dan aku sama sekali tak bisa tidur. Hanya duduk di balai-balai depan rumah sembari memandang terangnya langit malam. Mencari satu bintang yang paling terang dan berharap Abigail lagi memandang bintang yang sama. Tidak mungkin! Boro-boro menatap langit, ia pasti sudah terlelap dalam tidurnya.Kubaca kembali chat terakhir kami pada jam 10 malam. Dan ternyata sekarang sudah pukul satu dini hari. "Temui saja gadis itu, Bone. Daripada kau resah menahan rindu?" Genderuwo peliharaan, bersuara dari atap rumah. "Aku prihatin melihatmu murung beberapa hari ini!" ketusnya lalu terbang entah ke mana. Aku tergelitik. Baru kali ini si genderuwo benar-benar peduli padaku. Mungkin sarannya benar, apa sebaiknya Abigail kutemui saja? Toh aku bisa menyerupai ular dan masuk ke kamarnya. Sekadar menatap wajahnya untuk yang terakhir kali. Sejenak menimbang, akhirnya aku berubah jadi ula
Bab 53Tiga minggu setelah kepergian Abigail ke Jakarta, hari-hariku terasa begitu hampa.Enggan beraktivitas. Mendadak seperti introvert. Hanya mendekam di dalam kamar. Makan saat sudah terlalu lapar, mandi saat sudah gerah. Bapak bahkan tak enak hati untuk sekadar menanyakan keadaanku. Tiap harinya ia seorang diri, melayani banyak pasien.Tembang patah hati milik Chrisye kuputar berkali-kali. Dari pagi ketemu pagi, hingga seluruh liriknya dihafal oleh tuyul-tuyul peliharaan yang sering bermain dalam kamarku.Tak pernah kusangka ini terjadiKisah cinta yang suci iniKau tinggalkan begitu sajaSekian lamanya kita berduaTak kusangka begitu cepat berlaluTuk mencari kesombongan diriLupa segala yang pernah kau ucapkanKau tinggalkan dakuPergilah kasih, kejarlah keinginanmuSelagi masih ada waktu (Pergilah kasih)Jangan hiraukan dirikuAku rela berpisah demi untuk dirimuSemoga tercapai segala keinginanmuTak kusangka begitu cepat berlaluTuk mencari kesombongan diriLupa segala yang
Bab 54Bapak memanggilku ke ruang pasien. Ia duduk di situ dengan wajah serius. Sungguh fenomena yang sama sekali tak biasa. "Nak, Bapak amati kau selalu murung akhir-akhir ini. Bagaimanapun, kita ini keluarga. Jika ada persoalan, jangan disimpan sendiri." Aku menunduk. Dalam duduk bersila, kupijat-pijat betis karena tak tahu harus menjawab apa. "Nak, bicaralah. Bapak ingin dengar apa keluhanmu." Aku mengangkat wajah. "Pak, bisakah satu hari saja tak ada pasien datang di rumah ini? Aku mulai bosan dengan rutinitas yang sama," ujarku datar.Senyum mengembang di wajah Bapak. Ia menatapku lekat, sesekali ia membuat kedipan-kedipan iseng di matanya. "Bapak rasa bukan itu yang membuatmu bosan. Kau malas menangani pasien karena susah fokus, 'kan? Kau lagi kepikiran sama Abigail." Nada suara Bapak sama sekali tak menghakimi. Malah seperti tengah menggodaku. "Kau sudah besar, Nak. Bapak tak berhak mengatur takdirmu. Jika kau ingin ke Jakarta, Bapak tak akan menahan.""Sudah sepantasnya
Bab 55"Rahim tante tidak bisa dibuahi secara normal. Dipijat alternatif sekalipun nihil juga hasilnya." Sepasang suami istri itu menatapku jengah. Sang suami merangkul istrinya, berusaha memberi impuls menenangkan. "Apa artinya saya mandul?" tanya si wanita. Aku mengangguk. "Masakan dokter kandungan tidak bicara jujur? Rahim tante lebih kecil loh dari rahim wanita normal." Ucapanku membuat si wanita mulai terisak. Bapak mengode agar aku tak menyinggung perasaan mereka. "Apa tak ada cara lain agar istri saya bisa hamil?" Sang suami menekan bicaranya. Ini yang kutunggu. Setelah mempermainkan mental mereka dengan ucapanku yang menyinggung. Aku rasa tawaran kali ini akan membuat keduanya setuju. "Ada satu cara. Asalkan kalian setuju," ketusku santai. "Gimana caranya?"Aku meneguk liur, "Transfer janin!""Hah?!" Si wanita terkejut. "Waduh, kalau anaknya hitam dan keriting, saya gak akan sudi." Aku tertawa pelan. Suaminya pun ikutan nyengir. "Transfer janin itu susah-susah gampan
Bab 56Matahari berada di atas kepala saat aku selesai mencuci pakaian. Satu per satu pakaian kujemur pada tali yang dikaitkan di antara dua pohon. Tak lupa kuberi jepitan plastik, agar tak jatuh kala tertiup angin pegunungan. "Bone, hape-mu berdering," panggil Bapak dari jendela kamarku. Pria gagap tekhnologi itu nampak gugup menggenggam ponselku. Apalagi dering dan getarnya kusetel bersamaan. Bapak seakan ingin melempar dari tangannya. “Iya, benar saya Bone. Maaf ini siapa?" Aku menjawab telepon masuk. Bapak turut menguping di sampingku."Dek Dukun, saya Tante Hana. Pasien transfer janin yang waktu itu." "Ah maaf, Tante. Nomor baru soalnya. Gimana, apa Tante uda USG?" tanyaku penasaran. "Udah, Dek. Saya beneran hamil. Kata dokter, janinnya sehat. Saya gak tahu harus berterima kasih dengan cara apa. Kirim nomor rekening ya Dek, akan saya transferkan sejumlah uang." "Gak usah membayar saya. Kebetulan saya lagi berbaik hati." Aku tertawa kecil. Di sampingku, Bapak ikutan senyam-s
Bab 57Sepanjang hari ini, Bapak sibuk menyiapkan tetek bengek keperluan untukku. Mulai dari pakaian, sepatu, tas hingga peralatan mandi, Bapak sudah mirip Emak-Emak rempong. Semalam aku menelpon Ibu. Mengatakan bahwa aku ingin ke Jakarta. Wanita bernama Amira itu sangatlah gembira. Ia berjanji mengutus supir pribadinya, agar menjemputku besok. Kurasa Bapak sedang galau. Ia merasa sedih lantaran kami akan berpisah. Menyembunyikan semuanya itu, ia memilih berjibaku mengurus barang-barangku. Detik demi detik terasa berat. Mendadak aku bak orang asing di rumah ini. Tak ada lagi percakapan hangat, apalagi humor dan candaan. Semua makhluk gaib peliharaan pun terlihat murung. Bersembunyi di balik pohon dan enggan menampakkan diri padaku. Ini masalah waktu saja. Mereka hanya belum terbiasa menjalani hari-hari tanpaku.***Bapak pernah bilang, pria sejati adalah mereka yang cenderung menggunakan logika ketimbang perasaan. Namun pagi ini dia menangis. Tanpa isakan, tanpa sedu sedan, bulir
Bab 58Sepekan tinggal di Jakarta, Ibu mendaftarkan aku ke kursus penyetaraan. Semacam kelas percepatan agar aku bisa mendapatkan ijasah SMP dan SMA. Maklum! Dahulunya aku cuma lulus Sekolah Dasar. Sempat melanjut ke SMP tapi terhenti karena sibuk membantu Bapak melayani pasien. Di kelas penyetaraan ini, semua muridnya sudah berumur. Bahkan banyak yang rambutnya beruban. Mereka ingin memperoleh ijasah agar bisa mendaftarkan diri jadi calon anggota dewan. Sedangkan aku, semata agar bisa melanjut ke perguruan tinggi. ***Suatu hari, saat kursus sedang berlangsung. Tiba-tiba seorang wanita dewasa terjatuh dari kursinya dan menggelepar di lantai.Ia meronta-ronta, hingga mulutnya berbusa dan kornea matanya hampir memutih total. Belum lagi karena dia mengenakan rok kembang, maka auratnya dilihat oleh semua murid.Guru yang tengah mengajar dibuat bingung. Mau dibawa ke rumah sakit, malah nanti takutnya materi pelajaran tertinggal gara-gara urusan satu orang. Jakarta memang berat. Hampi
Bab 59Tak terasa, sudah sebulan aku mengikuti kursus. Semua berjalan normal. Saat pergi, Ayah dan Ibu yang mengantar. Kebetulan tempat kerja mereka searah dengan tempat aku kursus. Namun saat pulang, supirlah yang menjemput. Hari ini, guru menjelaskan pelajaran trigonometri. Pelajaran tersulit dalam hidupku selama 20 tahun di dunia ini. Aku mampu menghafal ribuan mantra, tapi satu soal trigonometri rasanya seperti mau mati saja. Guru memberi tugas sebanyak lima nomor. Murid yang sudah selesai mengerjakan, diizinkan pulang. Satu per satu murid mengumpulkan tugas dan meninggalkan kelas. Termasuk si Tante epilepsi yang waktu itu kusembuhkan. Tersisa tiga murid di kelas, termasuk aku. Pikiranku amat buntu. Simbol-simbol akar kuadrad melayang dalam pikiranku. Mencakar pun sama saja. Terpaksa, kuisi jawaban asal-asalan di nomor terakhir. Setelah mengumpulkan lembar jawaban, aku beringsut keluar dari kelas. Rasanya seperti bebas dari kurungan penjara selama satu abad lamanya.Aku menuj
Bab 75 Berita tentang kematian Bapak tersiar ke sepenjuru desa. Warga berbondong-bondong datang melayat. Di hari yang sama, kami langsung menguburkan jenasah Bapak.Mang Asep masih menekuri makam Bapak kala semua pelayat telah pulang. Sementara rombongan kami tengah bersiap untuk kembali ke Jakarta. Aku menghampiri Mang Asep lantas berdeham pelan. Pria itu mendongak sepintas dan kembali menatap makam."Kau sudah jadi manusia normal, Bone. Dan aku jadi dukun sakti menggantikan Tarso. Kita doakan semoga ia tenang di alam sana." Aku terdiam. Hanya memandangi gerak-gerik Mang Asep yang bangkit dari berjongkok di makam, hingga ia berpamitan pulang."Bu Amira, kami harus pulang ke Jakarta sekarang. Ada jadwal pelayanan di tempat lain," tegur salah satu Pastor. "Tidak. Kalian masih harus membantuku." Aku menginterupsi.Ketiga Pastor itu mengernyitkan dahi. Mereka menatapku heran. "Aku sudah dipulihkan dan bukan siluman ular lagi. Tapi dosaku di masa lalu mengakibatkan Nadia jadi kambing
Bab 74Di ruang tamu tempat biasa melayani pasien, Bapak terkulai lemah. Aku hampir tak kenal wajah aslinya. Kulit Bapak menghitam legam dan bola matanya terus-terusan mengeluarkan cairan.Jemarinya yang kaku dipaksa bergerak saat melihatku. Aku turun dari badan Beni, lalu segera merayap ke tempat Bapak terbaring.Sedikit senyum mengembang di wajahnya. Orang-orang yang datang menjenguk, haru menyaksikan kami. "Pastor, apakah Mbah Tarso bisa disembuhkan?" Ibuku menatap iba."Sepertinya tidak, Bu Amira. Orang ini sedang menuai hasil perbuatannya selama hidup di dunia." Si Pastor berucap lugas. "Dia terlalu menyimpang dari jalan kebenaran. Sekalipun ia banyak mengamalkan ilmu putih untuk menyembuhkan orang, tetap saja dosa. Sebab yang memberi kemampuan itu bukanlah Tuhan, melainkan iblis." Orang-orang yang menjenguk Bapak, merasa tersinggung atas ucapan si Pastor. Ini wajar, karena mereka pernah disembuhkan oleh Bapak.Mang Asep cepat-cepat menengahi situasi. Ia meminta warga untuk p
Bab 73Beda dengan alam barzah di mana waktunya lebih cepat dari waktu di bumi. Di lubang neraka ini, hitungan waktunya sama persis dengan waktu di bumi. Aku tahu, karena detik demi detik terasa begitu nyata di tempat ini. Dari balik jeruji besi, aku memperhatikan bagaimana para iblis hilir mudik mendatangi tahta kebesaran Lucifer. Mereka melaporkan hasil kerja, bahkan mendiskusikan trik yang cocok untuk mempengaruhi manusia. Terbahak-bahak mereka tertawa kala manusia berhasil jatuh ke dalam dosa. Tiap iblis dengan kepiawaiannya masing-masing.Ada yang ahli dalam merusak tali pernikahan. Meniupkan ruh tidak setia yang membuat para suami berselingkuh. Setelah itu bercerai. Ada yang piawai meniupkan ruh mamon. Membuat manusia cinta uang, gila harta, tahta dan jabatan. Para iblis ini terus membisikkan ide-ide busuk ke telinga manusia. Agar mereka mengambil jalan pintas seperti berjudi, trading saham, korupsi, bisnis narkotik dan mafia lainnya. Aku mendengar mereka memanggil Lucifer
Bab 72Ya Tuhan, kenapa jadi serumit ini? Gara-gara tertarik pada ajakan Beni untuk penelusuran, sekarang Bang Bone tak sadarkan diri.Apa hanya pingsan atau sudah meninggal. Aku dan Beni jadinya bertengkar karena panik. Panik, mau dibawa ke rumah sakit atau rumah orang tua Bang Bone. Kalau ke rumah, sudah pasti Bu Amira akan marah besar. Akhirnya kami membawa tubuh Bang Bone ke rumah sakit. Selama di perjalanan, aku menangis sesenggukan.Tak bisa kubanyangkan jika Bang Bone tidak bangun lagi. Sungguh, a ku belum siap kehilangan orang tercinta. "Dia belum meninggal," ujar dokter di ruang ICU. "Dia mengalami gagal napas, atau yang sering disebut koma." "Kami akan memasang alat bantu pernapasan," imbuh dokter.Aku, Beni dan Ando tak henti membisikkan doa-doa kecil. Di hadapan kami, dokter yang dibantu oleh tim medis, memompa dada Bang Bone. Mereka memasang ventilator yang menutupi hidung dan mulut. Garis hijau muncul di layar monitor. Naik turun seiring denyut jantung. Dokter memin
Bab 71Ando menendang pintu ruang direktur hingga terbuka lebar. Jemarinya meraba tombol saklar demi menyalakan lampu. Sayang, listrik di ruang ini pun tak berfungsi lagi. "Hahaha ...." Beni kembali tertawa. Ia duduk berpangku kaki di kursi kebesaran direktur. "Kau!!!" Telunjuknya mengarah padaku. "Barusan kau menjelek-jelekkan namaku, bukan? Aku tersentak mundur. Langsung menarik lengan Abigail agar tak mendekati Beni. Sebab sosok yang merasuki Beni sangatlah berbahaya."Wahai manusia bodoh!" Ia memekik. "Membicarakan namaku sama dengan mengundangku datang." "Aku Luciferr!!" ucapnya bersamaan dengan matanya menyala merah. Di saat yang sama, suatu energi gelap melempar kami ke tembok. Rasanya sakit sekali. Aku segera mendekap tubuh Abigail. Gadisku itu meringis meraba tubuhnya. Sementara Lucifer kembali tertawa melalui raga Beni. Kesal, aku membaca mantra lantas melesakkan kanuragan hitam lewat mulutku. Gumpalan asap hitam menghantam Lusifer, tapi tak memberi efek sama sekali.
Bab 70Segera kupijat pelipis dan tengkuk Beni. Beberapa saat kemudian, kondisinya berangsur membaik sehingganya kami melanjutkan penelusuran. "Kalian tahu gak?" Beni bersuara pelan. "Sewaktu tanganku memegang gagang pintu tadi, aku menyaksikan pertengkaran sengit yang terjadi antara suami istri pemilik pabrik ini. Mereka ribut soal uang. Tapi belum selesai pertengkaran itu, tiba-tiba muncul banyak iblis di dekatku. Ingin memasuki tubuhku. Aku terhempas dan rasanya tuh pusing banget." Beni mengurai apa yang dialaminya. Ia tampak lemas. Aku menepuk pundaknya, "Setelah ini, kamu kudu tahu seberapa besar gelombang yang ada dalam jiwamu. Setiap kita memiliki gelombang energi yang berbeda, begitu pun dengan makhluk gaib. Jadi, tidak semua makhluk gaib bisa merasuki kita, melainkan hanya yang se-frekwensi saja." "Oh gitu? Pantesan!" keluh Beni. "Kok aku jadi penasaran pada pertengkaran yang disaksikan Beni," celetuk Ando. Kamera ia arahkan ke wajahku. "Bisa gak, Abang sentuh gagang pin
Bab 69Pabrik semen terbengkalai yang kami datangi, letaknya lumayan jauh. Namun masih dalam lingkup Jabodetabek. Kami berlima ke sana. Aku, Beni, Abigail serta dua orang teman Beni yang notabene adalah content creator digital. Mereka membawa kamera, dan rencananya hasil penelusuran nanti akan di-upload ke aplikasi Youtube. Suasana gelap dan senyap menyambut kala kami tiba di gerbang utama pabrik. Ando--teman Beni, membagikan kami masing-masing dua senter. Satu buah senter kepala dan satu buah senter genggam. Beni menyorot ke depan gerbang. Nampak dua arca Dwarapala, berdiri kokoh di sisi kanan dan kiri gerbang. Berbadan manusia dengan perut buncit dan kepala mirip monster bertaring. "Arca seperti ini kebanyakan ada di Bali. Ditaruh di depan lokasi tempat ibadah dan candi-candi," gumam Ando--teman Beni. Beni melirik padaku. "Bang, dua arca itu hanyalah benda mati. Apakah ada aliran mistis di dalamnya?" "Arca Dwarapala bukanlah benda mati biasa!" ketusku sembari mendeteksi energi
Bab 68Hari Sabtu adalah hari fakultatif, jadi tak ada aktivitas perkuliahan di kampus. Ibu memintaku mengantarkan Beni dan Zevanya ke tempat les musik. Setelahnya, aku pun kembali ke rumah. Duduk di beranda sembari menatap hamparan bunga kroket yang tengah mekar. Kucoba menghubungi Bapak melalui Mang Asep, sahabatnya. "Bon, beberapa waktu ini Bapakmu sering sakit," ungkap Mang Asep di ujung telepon. "Tapi dia melarang saya memberitahumu. Dia ingin kau fokus kuliah." Aku mendesah. "Bapak pasti kecapaian menangani pasien sendirian.""Benar, Bone," tanggap Mang Asep. "Kau harus bicara langsung sama Bapakmu. Sekarang saya mau ke rumahnya, jadi entar saya telpon balik." "Oke, Mang. Makasi banyak dan maaf sudah merepotkan," balasku lantas memutus sambungan telpon. Aku menyugar rambut. Mengusap wajah, lantas menyesap teh yang baru diantarkan Mbok Ratni. "Den, ada salam dari anak tetangga. Katanya udah lama suka sama Den Bone." Mbok Ratni berucap malu-malu dengan tangannya yang masih
Bab 67"Nona, andai kamu melarang Bone, mungkin kejadiannya tidak sampai sefatal ini." Samar, kudengar suara Ayah. "Ya. Padahal kami selaku orang tua sudah melarang keras. Kami ingin Bone meninggalkan praktik perdukunan." Terdengar Ibu menimpali dengan nada kecewa. Lalu kudengar pula suara Abigail yang membatuk pelan. "Saya tak bisa menahan saat Bang Bone keukeh ingin menyembuhkan orang sakit tersebut." "Menyembuhkan orang tidaklah salah," celetuk Ayah. "Yang salah itu metodenya. Metode perdukunan bisa berakibat fatal. Orang sakitnya sembuh, eh Bone yang kena imbas." Aku membuka mata setelah mendengar percakapan mereka. Ternyata aku berada di sebuah kamar di suatu rumah sakit. Berbaring lemah di atas tempat tidur, kulihat Ibu, Ayah dan Abigail sedang bercengkrama di sisi ranjang. Mataku terasa silau oleh suasana kamar yang serba putih. Terang benderang. Saat tanganku bergerak untuk mengusap mata, mereka menoleh. Lantas tersenyum senang karena melihatku sudah siuman. “Apa yang k