Bab 38Kuperhatikan juga para mahluk gaib yang semakin ramai menunggu di luar salon. Mereka ramai mengobrol, tapi mulut mereka tak bergerak. Bahkan badan mereka tak saling berhadapan, mata tak saling kontak, sebagaimana layaknya manusia saat berkomunikasi. "Tidak ada pesta. Anak-anak gaib saya hanya kepengin dirias." Bapak tertawa cengengesan. Tatapan si perias gaib beralih memandang dua kunti, dua Uwo dan tuyul-tuyul. "Sok gayanya kalian, hahaha ...." Terdengar suaranya tertawa geli. Namun lagi-lagi, wajahnya tak membentuk ekspresi tertawa. Tetap kaku dan serius."Di rumah saja tapi ingin tampil keren, ya?" tanyanya.Dua kunti mengikik malu-malu. Dua Uwo tertawa cengengesan dan tuyul-tuyul merajuk gembira."Hahaha, sabarlah! Saya siapkan dulu bahan-bahan." Tawa si pemilik salon gaib semakin meninggi. Beda dengan mimiknya yang stabil kaku.Ia mencabut beberapa helai buluh ayam putih pemberian Bapak. Dilanjutkan dengan membunuh ayam itu, menampungkan darah ayam ke wadah khusus, lal
Bab 39Si perias gaib yang tengah mendandani tuyul, terperanjat kaget. Kuas bulu ayam di tangannya jatuh ke lantai tanah."Ada yang menyerang kalian, Tarso. Itulah konsekwensinya menjadi dukun santet. Kalian harus sigap jika sewaktu-waktu dukun lain menyerang balik."Ia berceloteh sembari sorot matanya menghakimi Bapakku. "Sebaiknya tinggalkan salonku sekarang juga! Aku bukannya mengusir, tapi jika kalian butuh bantuan, akan kukerahkan seluruh penghuni alas roban untuk membantu!" Si pemilik salon menghentakkan kaki kanannya sebanyak tiga kali. Tak disangka, segala jenis makhluk berdatangan memenuhi wilayah sekitar salon. Wujud mereka beragam. Begitu pun dengan energi yang dimiliki.Seberkas sinar kembali menghantam sebelum aku sempat mengelak. Kena telak di bahuku. Rasanya lumayan. Lumayan membuat pundakku meneleng miring, tak bisa berdiri tegap. "Bajingannn, kau serang anakku? Akan kuhajar kau hingga tewas!!" Bapak berteriak nyaring lalu melesat pergi. Mendatangi keberadaan si du
Bab 40Pagi berubah siang, bahkan siang mulai merambat sore. Namun si Lastri belum juga memunculkan moncongnya. Baru saja hendak mengecek ponsel ketika layarnya kedip-kedip. Nama Lastri tertera di panggilan masuk."Bone, maaf aku gak bisa datang. Salonku lagi ramai banget. Bisa gak kamu yang ke sini?" dengungnya di ujung telpon.Aku menggeram tertahan. Kuremas ponsel, lalu mencoba menjawab tanpa emosi."Oke, aku ke sana!"***Kudorong pintu salon. Sedikit risih mendapati banyak pengunjung di dalamnya.Semua karyawan sibuk melayani pelanggan. Mungkin Lastri pun turun tangan, karena tak kulihat dirinya di meja kasir.Sementara di bangku tunggu, ada banyak wanita duduk mengantri. Menanti giliran. Setengah kesal, aku melangkah ke bangku yang paling ujung. Bokongku belum mendarat saat sebentuk suara menyapa merdu."Bang, Abang yang waktu itu, 'kan?"Glek! Wajah kesalku mendadak mencair, tak menyangka berjumpa lagi dengan Abigail di tempat ini. "Eh, Nona. Ya ini aku." Aku menjawab tanpa
Bab 41Hari ini begitu berkesan. Ibarat pepatah, 'sambil menyelam makan ikan'. Abigail sudah jadi pacarku, uang pun sudah kuamankan di bank.Tinggal bagaimana merawat hubungan cinta ini agar dapat bertahan lama dan saling setia. Aku mengantar pulang Abigail. Di depan rumah, Bapaknya tengah memberi makan burung. Lelaki itu memandang heran pada kami. Untungnya, Abigail buru-buru mengatakan kalau aku ini temannya. Aku pun pamit dan kembali ke rumahku di kaki pegunungan. Baru saja memarkir motor di bawah pohon waru, kudengar suara menangis dari arah ruang tamu. Suara pria dewasa yang entah apa sedang mengeluh pada Bapak. "Pria itu selalu kalah berjudi, Bon," ucap si kunti bukan merah dari atas pohon waru. Rupanya, tangisan pria itu telah mengagetkan si kunti dari tidur. Iler si kunti mengalir berjatuhan. Aku terpaksa memindahkan posisi motor agar terhindar dari iler si kunti. "Cepetan kau tangani dia, Bon. Suruh dia diam agar aku bisa melanjutkan tidur!" tegas si kunti.Aku tertawa
Bab 42Cafe Olivier.Di paling sudut, tepatnya dekat jendela, aku dan Abigail duduk berhadapan. Dua cangkir minuman aneh disajikan di atas meja atas pesanan Abigail."Ini apa, Nona?" Aku mengaduk permukaan cream yang didesain berbentuk hati. Senyum Abigail mengembang. "Mocca latte. Belum pernah minum, Bang?" "Belum.""Ini kreasi kopi yang diracik lebih modern. Abang pasti suka, coba deh.""Ah tidak," jawabku datar. Dalam hati merasa cemas jangan sampai minuman ini akan membuatku sakit perut. Mengingat ruh ular masih melekat dalam raga ini. Sehingga apa pun yang tak disukai ular akan berdampak pada tubuh manusiaku."Kenapa, Bang?" Abigail menatap curiga."Mmm, aku lebih suka minum susu ketimbang kopi." Abigail tertawa mendengar pengakuanku. "Baiklah, aku akan memesan ulang," ucapnya lantas memanggil pramusaji.Kencan pertama ini terasa kikuk. Terasa berbeda jauh dari dunia asliku. Abigail banyak bertanya seputar kehidupan keluargaku. Dan aku menjawab seadanya, belum benar-benar me
Bab 43Aku memandang selembar kertas di tangan. Di atasnya, tertulis nama-nama pasien pesugihan. Kucoret nama pasien pesugihan babi ngepet yang kemarin sudah selesai kutangani. Hari ini, aku akan melayani pasien pesugihan tuyul. Mereka ini adalah sepasang suami istri yang sering dihina karena kondisi ekonomi yang morat-marit. Dipandang sebelah mata dan dikuncilkan oleh keluarga sendiri. Melakukan pesugihan tuyul dan menjadi kaya raya, secara tak langsung akan menampar wajah orang-orang yang pernah menghina mereka. Syarat-syarat sudah kusampaikan beberapa hari yang lalu. Tinggal disanggupi agar si calon anak dapat dibawa pulang. Dengan hati-hati, kubuka tutup botol lantas mengeluarkan sesosok tuyul. Tuyul yang dulunya kutangkap dari rumah mendiang Nanda. "Terlalu lama kau mengunciku di dalam botol. Sampai-sampai aku lupa siapa namamu," bisik si tuyul saat berhasil mendarat di lantai tanah. Ia sibuk meregangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku. "Namaku?" Aku tertawa datar. "S
Bab 44Setelah pasien pesugihan tuyul meninggalkan rumahku, aku segera membereskan sisa sesajen di ruang pasien.Aku lantas mandi serta melakukan perawatan diri agar tetap tampan dan berseri. Tepat di jam sembilan malam, kubangunkan Bapak untuk bersama menyantap makan malam.Kondisi kesehatan Bapakku belum seratus persen membaik. Ia nampak lemah dan sedikit sulit bernapas."Bone, kau harus pakai masker saat melayani pasien," ujar Bapak yang tak bersemangat menggigit potongan ayam goreng. "Saat ini, lagi viral virus korona. Bapak takut kau tertular lantas tewas."Aku tertawa mendengar kekhawatiran Bapak. Kusuapkan bubur dan daging ke mulut Bapak agar perut kosongnya terisi makanan. "Kau jangan tertawa, Bone. Sudah banyak orang yang meninggal karena virus itu. Dukun memang kebal santet, tapi tak kebal virus." Aku mengusap punggung Bapak, "Ini sudah malam, Pak. Besok saja maskernya kubeli di kota." Selesai makan, Bapak kuantar ke kamar. Aku tidur di sebelah Bapak agar ia merasa nyama
Bab 45"Aku sudah siap kok. Pijat aja," tegur Novi yang mendapatiku sungkan menyentuh tubuhnya. Aku berdeham pelan, "Badan kamu terlalu tegang. Harusnya lebih rileks agar bisa dipijat."Novi tersenyum malu. "Maaf, saking gugupnya, aku jadi tegang begini. Hehehe ...." Menit berselang, aku masih mencermati sekujur tubuhnya dengan rasa kecewa."Kapan mijatnya kalau badan kamu belum juga rileks, huh? Memijat saat otot tegang, bisa berakibat fatal. Ayolah kamu harus rileks," omelku. "Hmm, sebenarnya harus ada aksi kecil barulah bisa rileks." Novi mengerlingkan mata. Ia menegakkan tubuh dari berbaring. Duduk menjulurkan kedua kaki, wajahnya mendekat ke wajahku."Eh--eh, ngapain ini! Jan ngadi-ngadi kamu!" tolakku samar. Takut didengar oleh Ibunya lantas terjadi salah paham. "Bantu aku dong agar bisa rileks. Cuman sebentar doang," rayunya di telingaku. Aku akan menjawab tapi Novi telah lebih dulu menempelkan bibirnya ke bibirku. Kucoba membuka mulut untuk bersuara, lagi-lagi ia lebih d
Bab 75 Berita tentang kematian Bapak tersiar ke sepenjuru desa. Warga berbondong-bondong datang melayat. Di hari yang sama, kami langsung menguburkan jenasah Bapak.Mang Asep masih menekuri makam Bapak kala semua pelayat telah pulang. Sementara rombongan kami tengah bersiap untuk kembali ke Jakarta. Aku menghampiri Mang Asep lantas berdeham pelan. Pria itu mendongak sepintas dan kembali menatap makam."Kau sudah jadi manusia normal, Bone. Dan aku jadi dukun sakti menggantikan Tarso. Kita doakan semoga ia tenang di alam sana." Aku terdiam. Hanya memandangi gerak-gerik Mang Asep yang bangkit dari berjongkok di makam, hingga ia berpamitan pulang."Bu Amira, kami harus pulang ke Jakarta sekarang. Ada jadwal pelayanan di tempat lain," tegur salah satu Pastor. "Tidak. Kalian masih harus membantuku." Aku menginterupsi.Ketiga Pastor itu mengernyitkan dahi. Mereka menatapku heran. "Aku sudah dipulihkan dan bukan siluman ular lagi. Tapi dosaku di masa lalu mengakibatkan Nadia jadi kambing
Bab 74Di ruang tamu tempat biasa melayani pasien, Bapak terkulai lemah. Aku hampir tak kenal wajah aslinya. Kulit Bapak menghitam legam dan bola matanya terus-terusan mengeluarkan cairan.Jemarinya yang kaku dipaksa bergerak saat melihatku. Aku turun dari badan Beni, lalu segera merayap ke tempat Bapak terbaring.Sedikit senyum mengembang di wajahnya. Orang-orang yang datang menjenguk, haru menyaksikan kami. "Pastor, apakah Mbah Tarso bisa disembuhkan?" Ibuku menatap iba."Sepertinya tidak, Bu Amira. Orang ini sedang menuai hasil perbuatannya selama hidup di dunia." Si Pastor berucap lugas. "Dia terlalu menyimpang dari jalan kebenaran. Sekalipun ia banyak mengamalkan ilmu putih untuk menyembuhkan orang, tetap saja dosa. Sebab yang memberi kemampuan itu bukanlah Tuhan, melainkan iblis." Orang-orang yang menjenguk Bapak, merasa tersinggung atas ucapan si Pastor. Ini wajar, karena mereka pernah disembuhkan oleh Bapak.Mang Asep cepat-cepat menengahi situasi. Ia meminta warga untuk p
Bab 73Beda dengan alam barzah di mana waktunya lebih cepat dari waktu di bumi. Di lubang neraka ini, hitungan waktunya sama persis dengan waktu di bumi. Aku tahu, karena detik demi detik terasa begitu nyata di tempat ini. Dari balik jeruji besi, aku memperhatikan bagaimana para iblis hilir mudik mendatangi tahta kebesaran Lucifer. Mereka melaporkan hasil kerja, bahkan mendiskusikan trik yang cocok untuk mempengaruhi manusia. Terbahak-bahak mereka tertawa kala manusia berhasil jatuh ke dalam dosa. Tiap iblis dengan kepiawaiannya masing-masing.Ada yang ahli dalam merusak tali pernikahan. Meniupkan ruh tidak setia yang membuat para suami berselingkuh. Setelah itu bercerai. Ada yang piawai meniupkan ruh mamon. Membuat manusia cinta uang, gila harta, tahta dan jabatan. Para iblis ini terus membisikkan ide-ide busuk ke telinga manusia. Agar mereka mengambil jalan pintas seperti berjudi, trading saham, korupsi, bisnis narkotik dan mafia lainnya. Aku mendengar mereka memanggil Lucifer
Bab 72Ya Tuhan, kenapa jadi serumit ini? Gara-gara tertarik pada ajakan Beni untuk penelusuran, sekarang Bang Bone tak sadarkan diri.Apa hanya pingsan atau sudah meninggal. Aku dan Beni jadinya bertengkar karena panik. Panik, mau dibawa ke rumah sakit atau rumah orang tua Bang Bone. Kalau ke rumah, sudah pasti Bu Amira akan marah besar. Akhirnya kami membawa tubuh Bang Bone ke rumah sakit. Selama di perjalanan, aku menangis sesenggukan.Tak bisa kubanyangkan jika Bang Bone tidak bangun lagi. Sungguh, a ku belum siap kehilangan orang tercinta. "Dia belum meninggal," ujar dokter di ruang ICU. "Dia mengalami gagal napas, atau yang sering disebut koma." "Kami akan memasang alat bantu pernapasan," imbuh dokter.Aku, Beni dan Ando tak henti membisikkan doa-doa kecil. Di hadapan kami, dokter yang dibantu oleh tim medis, memompa dada Bang Bone. Mereka memasang ventilator yang menutupi hidung dan mulut. Garis hijau muncul di layar monitor. Naik turun seiring denyut jantung. Dokter memin
Bab 71Ando menendang pintu ruang direktur hingga terbuka lebar. Jemarinya meraba tombol saklar demi menyalakan lampu. Sayang, listrik di ruang ini pun tak berfungsi lagi. "Hahaha ...." Beni kembali tertawa. Ia duduk berpangku kaki di kursi kebesaran direktur. "Kau!!!" Telunjuknya mengarah padaku. "Barusan kau menjelek-jelekkan namaku, bukan? Aku tersentak mundur. Langsung menarik lengan Abigail agar tak mendekati Beni. Sebab sosok yang merasuki Beni sangatlah berbahaya."Wahai manusia bodoh!" Ia memekik. "Membicarakan namaku sama dengan mengundangku datang." "Aku Luciferr!!" ucapnya bersamaan dengan matanya menyala merah. Di saat yang sama, suatu energi gelap melempar kami ke tembok. Rasanya sakit sekali. Aku segera mendekap tubuh Abigail. Gadisku itu meringis meraba tubuhnya. Sementara Lucifer kembali tertawa melalui raga Beni. Kesal, aku membaca mantra lantas melesakkan kanuragan hitam lewat mulutku. Gumpalan asap hitam menghantam Lusifer, tapi tak memberi efek sama sekali.
Bab 70Segera kupijat pelipis dan tengkuk Beni. Beberapa saat kemudian, kondisinya berangsur membaik sehingganya kami melanjutkan penelusuran. "Kalian tahu gak?" Beni bersuara pelan. "Sewaktu tanganku memegang gagang pintu tadi, aku menyaksikan pertengkaran sengit yang terjadi antara suami istri pemilik pabrik ini. Mereka ribut soal uang. Tapi belum selesai pertengkaran itu, tiba-tiba muncul banyak iblis di dekatku. Ingin memasuki tubuhku. Aku terhempas dan rasanya tuh pusing banget." Beni mengurai apa yang dialaminya. Ia tampak lemas. Aku menepuk pundaknya, "Setelah ini, kamu kudu tahu seberapa besar gelombang yang ada dalam jiwamu. Setiap kita memiliki gelombang energi yang berbeda, begitu pun dengan makhluk gaib. Jadi, tidak semua makhluk gaib bisa merasuki kita, melainkan hanya yang se-frekwensi saja." "Oh gitu? Pantesan!" keluh Beni. "Kok aku jadi penasaran pada pertengkaran yang disaksikan Beni," celetuk Ando. Kamera ia arahkan ke wajahku. "Bisa gak, Abang sentuh gagang pin
Bab 69Pabrik semen terbengkalai yang kami datangi, letaknya lumayan jauh. Namun masih dalam lingkup Jabodetabek. Kami berlima ke sana. Aku, Beni, Abigail serta dua orang teman Beni yang notabene adalah content creator digital. Mereka membawa kamera, dan rencananya hasil penelusuran nanti akan di-upload ke aplikasi Youtube. Suasana gelap dan senyap menyambut kala kami tiba di gerbang utama pabrik. Ando--teman Beni, membagikan kami masing-masing dua senter. Satu buah senter kepala dan satu buah senter genggam. Beni menyorot ke depan gerbang. Nampak dua arca Dwarapala, berdiri kokoh di sisi kanan dan kiri gerbang. Berbadan manusia dengan perut buncit dan kepala mirip monster bertaring. "Arca seperti ini kebanyakan ada di Bali. Ditaruh di depan lokasi tempat ibadah dan candi-candi," gumam Ando--teman Beni. Beni melirik padaku. "Bang, dua arca itu hanyalah benda mati. Apakah ada aliran mistis di dalamnya?" "Arca Dwarapala bukanlah benda mati biasa!" ketusku sembari mendeteksi energi
Bab 68Hari Sabtu adalah hari fakultatif, jadi tak ada aktivitas perkuliahan di kampus. Ibu memintaku mengantarkan Beni dan Zevanya ke tempat les musik. Setelahnya, aku pun kembali ke rumah. Duduk di beranda sembari menatap hamparan bunga kroket yang tengah mekar. Kucoba menghubungi Bapak melalui Mang Asep, sahabatnya. "Bon, beberapa waktu ini Bapakmu sering sakit," ungkap Mang Asep di ujung telepon. "Tapi dia melarang saya memberitahumu. Dia ingin kau fokus kuliah." Aku mendesah. "Bapak pasti kecapaian menangani pasien sendirian.""Benar, Bone," tanggap Mang Asep. "Kau harus bicara langsung sama Bapakmu. Sekarang saya mau ke rumahnya, jadi entar saya telpon balik." "Oke, Mang. Makasi banyak dan maaf sudah merepotkan," balasku lantas memutus sambungan telpon. Aku menyugar rambut. Mengusap wajah, lantas menyesap teh yang baru diantarkan Mbok Ratni. "Den, ada salam dari anak tetangga. Katanya udah lama suka sama Den Bone." Mbok Ratni berucap malu-malu dengan tangannya yang masih
Bab 67"Nona, andai kamu melarang Bone, mungkin kejadiannya tidak sampai sefatal ini." Samar, kudengar suara Ayah. "Ya. Padahal kami selaku orang tua sudah melarang keras. Kami ingin Bone meninggalkan praktik perdukunan." Terdengar Ibu menimpali dengan nada kecewa. Lalu kudengar pula suara Abigail yang membatuk pelan. "Saya tak bisa menahan saat Bang Bone keukeh ingin menyembuhkan orang sakit tersebut." "Menyembuhkan orang tidaklah salah," celetuk Ayah. "Yang salah itu metodenya. Metode perdukunan bisa berakibat fatal. Orang sakitnya sembuh, eh Bone yang kena imbas." Aku membuka mata setelah mendengar percakapan mereka. Ternyata aku berada di sebuah kamar di suatu rumah sakit. Berbaring lemah di atas tempat tidur, kulihat Ibu, Ayah dan Abigail sedang bercengkrama di sisi ranjang. Mataku terasa silau oleh suasana kamar yang serba putih. Terang benderang. Saat tanganku bergerak untuk mengusap mata, mereka menoleh. Lantas tersenyum senang karena melihatku sudah siuman. “Apa yang k