Bab 15Rumah Abigail lumayan besar. Terbuat dari tembok dan beratap seng. Aku merayap mengelilingi rumah itu sebanyak tiga kali sembari merapal mantra.Keluarganya memelihara beberapa kucing. Ada juga aneka burung yang digantung dalam sangkar besi di beranda luar.Aku memikirkan cara bagaimana memasuki rumahnya. Setelah cukup mengamati, aku lalu merayap naik, melalui ventilasi udara. Sedikit gugup. Jangan sampai aku terciduk lalu dicincang oleh Ayahnya. Kepalaku menyembul pada ventilasi berbentuk persegi. Situasi dalam rumahnya masih gelap karena semua lampu dimatikan.Dengkuran nyenyak bergetar dari ruang depan. Aku masuk dan tiba di ruang itu. Ternyata Ayah Abigail tengah tidur pulas di atas sofa. 'Apa ia tak tidur bersama istrinya?' batinku sesaat. 'Ah, kebanyakan rumah tangga senior memang begitu. Makin tua makin hambar ikatan mereka.'Melewati kamar demi kamar, aku mengendus keberadaan Abigail. Saat sampai di depan kamar gadis itu, tiba-tiba lampu dinyalakan. Wanita setengah
Bab 16Kuhipnotis kucing yang kurasuki raganya. Membuatnya tertidur di pangkuan Abigail agar aku leluasa ke luar dari raga itu.Setelah berhasil ke luar, aku merayap turun. Cukup sedih akan meninggalkan Abigail. Padahal berada di sisinya membuatku sangat bahagia. Apakah cinta seperti itu? Dimana jarak antara sedih dan bahagia hanya setipis kuku? Pantas saja banyak orang bunuh diri saat putus cinta. Aku yang baru pertama kali ngapel ke rumah Abigail, sudah merasa sedih saat hendak pulang. Apalagi mereka yang diputuskan sepihak, dikhianati dan diduakan. Hancur pasti!Kutatap wajah ayu tanpa gawang pori-pori itu. Ia sibuk mengelus si kucing agar hewan itu semakin pulas tertidur. Sampai jumpa Abigail. Aku pasti bertandang lagi. ***Tiba di rumah, aku merayap menuju kamar mandi. Di sana aku berganti wujud jadi manusia, lalu segera mandi bersih. Usai mandi dan berpakaian, aku menuju ruang pasien di mana beberapa muda-mudi sibuk menenangkan seorang pria yang melakukan gerakan-gerakan si
Bab 17"Terima kasih sudah datang," ucapku pada jin peliharaan. Ia menganguk tanpa ekspresi berarti. Jin ini merupakan yang paling dewasa di antara semua makhluk gaib peliharaan kami. Ia jarang bercanda. Selalu serius, dan bila diberi tugas, akan diselesaikan dengan sempurna.Tidak heran jika Bapak begitu menjaganya. Memberi ia tumbal yang layak setiap tahun. Ia hanya diutus pada aktivitas gaib tingkat tinggi. Seperti saat ini. "Kau lebih paham seluk beluk alam bunian ini," ketusku pada si jin."Menurutmu, siasat seperti apa yang paling manjur untuk membawa pulang pria itu?" Aku menunjuk ke arah si Tio yang duduk kebingungan di atas pelaminan. Si jin menatap serius ke arah pelaminan. Ia lalu memperhatikan semua tamu bunian.Mereka duduk di kursi-kursi berupa bongkahan batu alam. Tubuh mereka hanya setinggi dua ruas kaki manusia. Mirip tingginya dengan selebriti Daus Mini.Wajah mereka mirip evolusi monyet menuju rupa manusia. Kaki mereka terbalik arah dan ukuran mata lebih besar
Bab 18Biasanya rumah sepi.Namun, selama tiga hari ini diramaikan oleh rombongan mahasiswa yang menjaga Tio. Mereka tidak berdiam diri. Yang cewek memasak dan menyapu rumah. Yang cowok mencari kayu bakar juga menimba air. Di hari ke-dua, si cewek berpenampilan mewah, membayar lunas ongkos penyembuhan Tio. Agak heran kenapa ia rela menanggung sendiri sebanyak 50 juta. Ternyata mereka pacaran. Dan efek dari mendua hati memang bukan main-main. Akibat menggoda si pedagang bunian, Tio ditawan di alam bunian. Untunglah ia selamat sekarang.Pada hari terakhir, mereka pun berkemas pulang. Akan kembali ke Jakarta ke rumah orang tua masing-masing. Namun, si Tio bersikeras ingin tetap tinggal selama seminggu lagi. Pacarnya membujuk, tapi Tio bersikukuh."Apa yang membuat kau betah di sini?" tanyaku pada Tio. "Rumah kami sederhana dan berlantai tanah. Sudah bagus jika kau pulang, di Jakarta tentu lebih mewah." Teman-temannya membenarkan. Malah mereka mengajak Tio mengadakan sebuah event di
Bab 19Bapak mengamati perut si pasien. Bengkak serius terjadi di sana. Kemungkinan besar akibat gesekan paku dalam daging."Tidak usah khawatir. Tidak sulit mengeluarkan paku-paku ini," ujar Bapak menenangkan. Bapak membakar dupa. Merapal mantra lalu mengusir aura-aura mistis dari tubuh pasien.Tak lupa, Bapak mengirim pesan ke si penyantet agar berhenti menyerang.Jika masih juga mengganggu, maka Bapak akan turun tangan langsung. Melakukan perang ilmu antar dukun. Setelah aura si pasien jadi normal dan energi negatif memudar dari tubuhnya, barulah Bapak memulai ritual mengeluarkan paku. Aku dan Tio ikutan duduk di tikar demi menyaksikan langsung. Bukannya tak mampu melakukan ritual semacam itu. Hanya saja, Bapak telah duluan menangani si pasien.Menuang minyak ke perut, dilanjut meraba-raba permukaan kulit, satu per satu paku dikeluarkan oleh Bapak.Total ada 15 batang paku. Semuanya paku baru. Panjangnya sama, yakni tiga sentimeter. Keluarga si pasien tersenyum legah. Selanjut
Bab 20Hari merambat magrib saat deru mobil meninggalkan halaman rumah. Mobil milik pasien santet paku yang pulang dengan kesembuhan. Aku dan Tio mendorong motor memasuki rumah. Namanya juga motor baru, sebaiknya kuparkir di dalam biar aman.Di ruang pasien, Bapak sibuk menghitung uang. Padahal sudah jelas mereka membayar senilai sepuluh juta, seratus ribu, sepuluh ribu dan seratus rupiah. Masih saja Bapak hitung bolak-balik.Tio mendekati Bapak, sementara aku sibuk membaca kertas garansi motor."Banyak bener, Mbah." Tio bergumam kagum.Bapak tak merespon."Maaf ya Mbah, aku tuh sering bingung." Tio berucap lagi."Kau bingung apaan, Bocah?" Bapak tertawa sembari memasukkan uang ke dalam kain berwarna hitam. Bapak bangkit dari duduk bersila dan hendak menuju kamar."Mbah, kenapa kebanyakan dukun hidup sederhana seperti ini?" Tio memindai tiap sudut rumah dengan binar prihatin. Seolah rumah kami tak layak huni."Padahal bayaran dukun itu mahal. Lagi pula, daripada memperkaya orang lai
Bab 21"Sebagai dukun, kami tak hidup sendirian," jelasku singkat. "Kami memelihara banyak makhluk gaib."Kubawa piring-piring kotor ke tempat cucian di dekat sumur. Tio mengikutiku dengan rasa penasarannya membuncah."Selain jin ifrit yang kala itu membantu kita, makhluk apa lagi yang ada di sini?" Ia membantu menderek air dan aku mulai mencuci piring. Situasi di luar sini amat gelap sebab malam telah larut. Hanya mengandalkan lampu tenaga surya yang cahayanya makin redup seiring berkurangnya energi. "Aku dan Bapak memelihara genderuwo, kuntilanak, tuyul dan beberapa jenis jin. Ada juga peliharaan yang hanya dipanggil sewaktu-waktu jika diperlukan." Aku menjawab setelah selesai mencuci. Piring-piring bersih kubawa masuk, lalu menatanya pada rak di sudut dapur. "Pantesan bulu kudukku selalu merinding." Tio menengok ke sana ke mari."Tapi rasa penasaranmu lebih merinding, 'kan?" Aku tertawa geli."Hahaha ... kau benar, Bone. Aku ini selalu penasaran.""Asal tau saja, hidup bersama
Bab 22Aroma masakan Bapak menjalar hingga ke kamarku. Masih membungkus diri dalam selimut, kurasakan bau bawang goreng menggugah minat. Aku bangkit dari tidur pulas semalaman. Turun dari ranjang dan melangkah mengikuti aroma masakan.Bau bawang goreng mendadak berubah jadi bau pedas saat aku mencapai pintu dapur. Aku bersin-bersin sejadinya.Bapak tertawa melihatku."Maaf, Nak. Bapak memasukkan banyak cabai rawit ke tumisan," ucap Bapak yang sibuk membolak balik isi wajan dengan spatula bambu.Aku meraih gelas, mengisinya dengan air putih, lalu meneguk puas."Mana si Tio?" Bapak melirik."Semalam dia main sama peliharaan kita.""Lha, ini sudah pagi. Kau cari dulu anak itu. Pantasan Bapak tidak melihat dia. Biasanya jam segini dia menyapu halaman," celoteh Bapak di hadapan kompor tua yang menyembulkan api kebiruan.Kuteguk segelas air lagi, lantas meninggalkan dapur dan menyambangi area kebun kacang. Melewati pohon waru, kudapati dua kunti tertidur dengan senyum mengembang stabil.