"Kita pulang saja, Bone! Sudah jelas ritual ini gagal."
Bapak berbicara sambil memunggungiku.
Ia sibuk membereskan bekas dupa dan hanya menyisakan sesajen buat Jin danau."Bagaimana dengan Kambing Nadia?" tanyaku getir.
Kutatap kambing yang matanya kini berkaca-kaca. Seakan Nadia di dalam sana sedang menangis. Berharap kami memulihkan kondisinya.
"Tinggalkan saja kambing itu, Bone. Hanya akan menyusahkan kita." Rupanya Bapak tak mau mengambil resiko.
"Tapi kasihan, Pak."
"Kasihan? Sudah berapa orang yang kau bunuh tanpa rasa kasihan? Lagian dia bukan mati, cuma berpindah wujud saja. Nadia lebih bahagia jadi kambing, takkan ada lagi orang yang mengatakan wajahnya jelek."
Benar juga opini Bapak. Biarkan Kambing Nadia bebas di hutan ini. Dia akan leluasa makan rumput dan dedaunan lezat.
Bukankah ucapan adalah doa. Kita tidak bisa berucap buruk lalu mengharap takdir yang baik.
Semoga kisah Nadia menjadi pelajaran bagi kita semua.
š¤š¤š¤
Akibat perasaan yang tak menentu, perjalanan pulang terasa sangat singkat. Tak ada percakapan berarti antara aku dan Bapak. Bahkan lolongan serigala pun terdengar bagai angin lalu.
Tiba di rumah, kami memilih menuju kamar masing-masing dan beristirahat. Apalagi Bapak sudah lelah bersemedi seharian.
Dengkuran Bapak terdengar berirama. Berbeda denganku yang sulit tidur.
Masih saja memikirkan Nadia. Walau sudah mengiklaskan, tetap saja kasihan. Nadia kini hidup beralas tanah, beratap langit, berselimutkan angin. Tragis sekali.
š¤š¤š¤
Hari merambat pagi. Embun belum sepenuhnya menguap, tapi derap langkah segerombolan orang terdengar menuju rumah kami. Langkah panjang yang terkesan dipaksakan.
Riuh rendah percakapan mereka mensinyalir bahwa sesuatu telah terjadi.
"Mbah Tarso ...."
"Mbah Tarso ...."
"Mang Asep sekarat. Tolongin, Mbah. Dia hampir meninggal."
Deg.
Secepatnya aku bangkit dari kasur, lalu bergegas membuka pintu depan. Belasan pemuda berdiri di halaman dengan raut yang sulit dijelaskan.
"Bone, beri tahu Bapakmu, Mang Asep hampir meninggal. Keluarganya butuh bantuan, andai masih bisa diselamatkan."
"Ya sebentar, kubangunkan Bapak dulu." Aku berlalu ke kamar Bapak.
"Cepetan, Bone. Genting ini!" ujar mereka yang nampak tergesa-gesa.
Mang Asep adalah kepala dusun di sini. Rumahnya jauh di pinggir jalan raya dan pemuda-pemuda tadi telah melewati tanjakan panjang untuk sampai ke rumah kami.
Bapak yang kulihat masih ngantuk, meloncat turun setelah kukatakan Mang Asep sekarat.
Hanya minum segelas air, merapal mantra sebentar, Bapak lalu berangkat bersama para pemuda.
Aku disuruh Bapak mengikut dari belakang. Memproteksi mereka dari hantaman sihir hitam yang membuntuti selama di perjalanan. Rupanya oknum yang menyantet Mang Asep, tak ingin jika Bapak membantu.
Rumah tembok beratap genteng milik Mang Asep, terlihat ramai pagi ini. Keluarga dan tetangga sudah berkumpul sejak malam.
Aku dan Bapak memasuki rumah itu. Bi Ijah--istri Mang Asep menyambut dengan binar harap. Air mata menumpuk di sudut netranya yang sembab.
"Rumah ini panas sekali!" celetuk Bapak. "Banyak santet bersarang."
"Mohon di-ruqyah, Mbah." Bi Ijah memohon.
"Ya sabar, saya ngecek si Asep dulu. Di mana dia?"
"Ikut aku, Mbah."
Bi Ijah berjalan menuju ruang tengah.
Nampak Mang Asep terkulai tak berdaya di atas dipan kayu setinggi 50 senti.
Tubuhnya kurus kering, tak mampu bangun. Masih bisa bersuara, tapi ngawur. Tatapan kosong, sepertinya Mang Asep hilang akal.Menurut Bi Ijah, Mang Asep akan panas tinggi kala malam tiba. Lalu siangnya menggigil demam.
Hanya berbaring tapi napas Mang Asep tersengal-sengal.Seakan tengah berjuang agar napasnya tidak putus.
Banyak dukun sudah turun tangan, bukannya membaik malah makin parah.
Bapak meminta Bi Ijah membubarkan tetangga yang melawat. Menyisakan keluarga inti agar menyaksi bagaimana sebentar Mang Asep dipulihkan.
Pertama, Bapak menarik paksa ular gaib yang melilit leher Mang Asep. Setelah napasnya berangsur normal, Bapak memberi air mantra dan diminum Mang Asep.
Suaranya pulih, ia sempat mengucap terima kasih, setelah itu berteriak kesakitan diikuti badan yang merontak.
"Suami saya kenapa, Mbah?!" Bi Ijah yang panik, berniat memeluk Mang Asep.
"Jangan kau sentuh dulu, Ijah. Air sedang bereaksi membunuh racun dalam tubuh Asep. Dia akan bangun setelahnya."
Bi Ijah manggut-manggut menuruti. Sementara Bapak memberi kode agar aku me-ruqyah rumah ini. Ruqyah ala perdukunan yang bertujuan menyapu bersih semua kiriman mistis.
Tak menunggu lama, ditemani keluarga Mang Asep, aku mulai bergerilya.
Di halaman rumah, kudapati benda perdukunan ditanam tak dalam dari permukaan tanah.
Jarum dibungkus kain merah. Sejenis sihir api yang jika dipijak, maka dalam kurun waktu tententu mengakibatkan kaki lumpuh total.
Ada juga potongan tulang dililiti gumpalan rambut. Masih segar, mungkin baru ditanam. Sejenis santet pengisap darah yang dilakukan oleh jin suruhan.Tubuh target akan mengurus hari demi hari.
Aku melangkah menuju taman kecil yang ditumbuhi aneka bunga. Ada tiga telur busuk disisip di balik rumput hias.
"Kak, aku yang ngerawat taman tapi gak pernah nemu telur itu," ujar anak lelaki sulung Mang Asep.
"Telur ini gak bisa dilihat oleh mata biasa," jawabku masih sibuk menilik telur itu.
Cangkang telur mendadak pecah ketika kutumpangkan tangan ke atasnya. Bau busuk menguar tajam.
"Santet apaan tuh, Kak?" tanya adik perempuan Mang Asep.
"Mereka ingin usaha kalian gagal layaknya telur busuk."
"Kalau kalian nemu kiriman santet artinya kalian aman. Yang bahaya jika ada kiriman tapi gak bisa melihatnya. Seperti benda-benda ini." Aku menunjuk benda-benda santet yang kukumpul di tengah halaman.
"Makin lama bersarang, ya makin bahaya."
Keluarga Mang Asep nampak suka dijelaskan. Mereka terpukau kala aku menarik rentetan benda kiriman. Tidak sekali mereka bertanya tentang bagaimana aku bisa sehebat ini.
Bisa melihat yang tak mereka lihat."Mereka memang haus penjelasan, tapi kau juga harus me-ruqyah isi rumahku."
Mang Asep berdiri di depan pintu, tersenyum hangat pada kami. Di belakangnya ada Bapak dan Bi Ijah yang ikutan tertawa.
"Bapakmu makin sakti, Bone!" ujar Mang Asep. "Lihat, aku sudah sembuh." Ia memamerkan badannya.
Anak-anak Mang Asep berhamburan memeluk Ayah mereka. Nampak bersukacita penuh.
Kucium punggung tangan Mang Asep. Bisa kurasakan badannya telah bebas dari santet. Aliran darah yang sempat tersendat, kini meluncur sempurna.
Aksi berikutnya, aku me-ruqyah seisi rumah.
Kutemukan sesosok kuntilanak begitu nyaman menempati ruang tamu. Ia senang jika ada tamu pria berkunjung. Sebaliknya, marah jika ada wanita mondar-mandir.
Ia dikirim guna mengacaukan keluarga Mang Asep. Membuat emosi mereka sulit dikontrol. Cemburu berlebih dan tersinggung tanpa sebab.
Kuntilanak itu kuikat. Rencana akan kubawa pulang. Kunti merah si betina bawel pasti senang mendapat teman baru.
Di sudut-sudut ruangan, kutemukan kertas mantra berbahasa jawa kuno. Setiap si penyantet membacanya dari jauh, maka Mang Asep jatuh sakit.
Di gudang, tiga ekor tikus jadi-jadian ditempatkan guna merusak stok hasil panen. Padi dan jagung selalu habis dibabat.
Tikus-tikus itu kusiksa dulu, lalu kukembalikan ke pengirimnya dan berpesan agar berhenti mengganggu keluarga Mang Asep.
Dapur menjadi bagian terakhir yang kubereskan.
Terdapat empat gentong air bersih untuk keperluan memasak. Kusuruh mereka membuka penutupnya, serta melihat ke dasar gentong.
"Gak ada apa-apa kok di dalamnya. Cuman air doang!" Bi Ijah si penguasa dapur melaporkan.
Yang lain pun ikutan mengecek.
"Iya, Kak. Gak ada apa-apa."
Aku tak menjawab. Melainkan bersiap untuk menciduk sesuatu yang samar, dan menjadikan nyata di hadapan mereka.
"Cedok semua airnya. Buang dan jangan dipakai lagi."
Mereka menuruti. Menguras isi gentong hingga kering.
"Sekarang lihatlah. Apa ada sesuatu di dalamnya?" tanyaku yang tak sabar menanti ekspresi mereka.
"Astafirullah ...."
"Astafirullah ...."
Bi Ijah mengusap dada. Tak menyangka ada saja botol di dasar gentong.
Botol coca-cola berbahan kaca. Berisi akar kayu dan cairan mantra. Cairan itu memerah pekat akibat bersimbiosis dengan akar kayu.
"Jangan disentuh, biar aku saja," pintaku kemudian menarik botol itu ke luar dari gentongan.
"Pengirimnya gak pernah masuk ke dapur ini. Ini dikirim lewat bantuan Jin."
Keluarga Mang Asep terperangah mendengar tuturanku.
"Nah sudah beres ruqyah-nya. Semua akan kita bakar di halaman." Aku mengajak mereka kembali ke halaman rumah.
Anak sulung Mang Asep membawakan satu jerigen minyak tanah. Anak perempuannya membawa korek api.
Pada sulutan pertama, benda-benda itu tak mempan dibakar. Begitu juga pada sulutan ke-dua. Padahal, banyak minyak tanah sudah kusiram.
"Lumayan kuat ilmu si penyantet," gumamku pelan.
"Bacakan doa baru dibakar!" Bapak yang duduk di teras bersama Mang Asep, memberi instruksi.
"Sekarang Bone sudah bisa kau andalkan, Tarso!" Kudengar Mang Asep memuji Bapak.
"Hmm, anakku itu menonjol dalam hal ruqyah." Bapak tertawa kecil.
"Apa Bone sudah tahu siapa orang tua kandungnya?" Suara Mang Asep sengaja dipelankan.
Kulihat Bapak berbisik ke telinga Mang Asep.
Entah apa yang dikatakan si Tarso, Bapakku itu.
Aku merapal sebaris mantra sakti. Mantra pribadi yang kuperoleh melalui berpuasa 30 hari di atas karang lautan.
"Coba bakar lagi," ujarku pada anak lelaki Mang Asep. Sementara yang lainnya tak sabar menyaksi.
Korek api dipetik. Menyala dan dibuang ke atas perbendaan santet.
Berhasil. Benda benda itu sukses terbakar. Botol dan jarum menghitam legam. Kertas, kain dan rambut hangus tak bersisa.
"Penyantet-nya sudah kalah sekarang!" Aku berucap datar. "Perhatikanlah sekitaran kalian selama seminggu ini!"
"Sekitaran kami kenapa, Nak?" Bi Ijah mendekat setelah tahu benda-benda sukses dibakar.
"Penyantetnya tinggal di dusun kita. Makanya tadi Bapak meminta para tetangga pulang."
"Jahat banget. Padahal orang sini juga!" Bi Ijah tampak mengomel sedih.
"Satu minggu ke depan, akan ada yang jatuh sakit. Sakitnya sama persis dengan yang diderita Mang Asep. Kiriman mereka telah kukirim balik. Ya, biar tahu gimana rasanya senjata makan tuan."
Bi Ijah memelukku erat. Sesenggukan dengan air matanya membasahi lengan bajuku.
"Nak, ke mari minum teh sambil makan ubi," panggil Mang Asep dan Bapak dari teras rumah.
"Aku yakin kalian datang belum sempat sarapan!" tambahnya lagi.
Aku menunduk malu. Baru sadar bahwa sedari tadi perutku berbunyi keroncongan dan didengar oleh semua orang.
Bab 7Usai mengisi perut ala kadarnya, Mang Asep berinisiatif mengantar kami pulang memakai mobil pick-up miliknya.Sekalian ingin pamer ke masyarakat kalau dia sudah sembuh. Biar si penyantet kena mental.Namun Bapak menolak. Bersikeras memilih berjalan kaki saja. "Sifat keras kepalamu belum berubah, Tarso!" Mang Asep menatap lekat pada teman masa mudanya."Ada yang gampang, kau pilih yang sukar.""Bukan begitu, Asep. Masalahnya kami membawa pulang makhluk gaib dari rumahmu. Gak bagus jika harus naik mobil.""Ah, Tarso. Kau membuatku bergidik ngeri!""Hmm, dulu kuajak berguru ilmu gaib, kau selalu menolak. Sekarang kau jadi penakut setan, kan!" Bapak berkelakar."Sudahlah, Tarso. Sudah bagus aku jadi kepala dusun. Kalau jadi dukun sepertimu, pasien pasti bingung mau berobat ke kamu atau ke aku." "Ya ke akulah, Asep. Secara aku lebih ganteng dari kamu!" Bapak tertawa meningkahi Mang Asep."Gantengmu itu mubasir, Tarso. Buktinya kau masih saja jomblo sampai sekarang. Hahaha," balas M
Bab 8Bapak memberanikan diri. Dari membungkuk, beralih duduk tegak. Menatap Banaspati dengan kedua tangan memohon. "Aku ingin bersekutu denganmu, Banaspati yang perkasa.""Mohon bantu kami mengalahkan musuh-musuh.""Hanya itu saja?!" pekik Banaspati yang membuatku sontak menutup telinga. Suaranya menggelegar dan hawa mulutnya begitu panas. "Be-be-nar, Banaspati yang mulia," jawab Bapak gemetar.Banaspati itu berpindah ke dahan yang lebih tinggi dan masih terus berpendar menyala-nyala. Sementara Banaspati yang lain, terbang menyebar ke pucuk-pucuk pepohonan. Mirip bola-bola api di sirkus singa di Meksiko."Panggil saja aku saat kau butuh, wahai manusia. Tapi harus kau sajikan seekor sapi betina yang besar!!" Suaranya memekik tajam.Demi menjaga kesan baik, Bapak berusaha keras untuk tidak menutup telinga."Kau sanggup, wahai manusia?!" pekiknya lagi. Membuat Bapak terperanjat kaget."Kusanggupi, Banaspati yang mulia!" jawab Bapak tegas.Blep.Suasana kembali gelap total. Hawa pan
Bab 9Hanya dalam hitungan hari, ia menderita penyakit serupa yang pernah diderita Mang Asep. Sungguh aku tak sabar melihat rumahnya terbakar dilalap api. Banaspati sepakat membantu, dan Sukirman akan jadi objek percobaan. Seekor sapi betina seberat setengah ton disajikan di halaman rumah. Bapak membakar dupa beserta rempah wangian kesukaan Banaspati. Tinggal menunggu jin api itu muncul, maka Bapak akan memberi tugas. Membakar rumah Sukirman. Aku merayap ke pohon waru. Berniat bertemu si kunti yang bukan kuntilanak merah.Ia masih terikat di batang pohon. Tertidur dengan iler membanjiri pipi."Kau harus bantu aku sekarang!" ucapku, membuatnya membuka mata. Detik kemudian ia tertawa geli."Kikikikk ... kikikik ... kau siluman ular rupanya, Bone? Kikikikk ... kikikikk ....""Kalau iya kenapa, huh?" jawabku kesal. "Kau harus mengantarku ke rumah Sukirman, mantan bosmu itu! Dulu kau disuruh merusak keharmonisan keluarga Mang Asep, tapi sekarang polanya berubah.""Kau mau apa, tinggal
Bab 10Setibanya di rumah, si kunti menjatuhkanku begitu saja ke tanah. Aku terjun bebas tanpa sayap dari ketinggian lima meter. Mengerang aku, tapi si kunti malah tertawa cekikan. Sembari menahan sakit, aku merayap lambat. Melewati pohon jati di mana sapi betina diikat sore tadi. Sayangnya, hewan pemakan rumput itu sudah mati konyol. Tewas disantap belasan banaspati sebagai sesajen. Ditimpa cahaya bulan, bisa kulihat memar serius pada sekujur tubuh sapi. Merah kehitam-hitaman, pun menguarkan bau hangus yang pedis.Aku bersin-bersin oleh aroma yang tak kusukai itu. ***Keesokan harinya, Mang Asep bertandang ke rumah kami. Membawa kabar tentang musibah yang menimpa keluarga Sukirman."Dia orang baik. Tak layak mati dengan cara demikian," ungkap Mang Asep pilu."Kau yakin dia baik?" Memicing mata Bapakku. "Biasanya orang yang beneran baik akan mati dengan cara baik-baik pula!" "Ya, yang kutahu dia memang baik." Mang Asep mencoba mengubah posisi duduknya di balai-balai.Bapak mempe
Bab 11Hari merangkak sore saat Bapak mengatakan bahwa ia kepingin makan soto.Sejenis makanan berkuah dengan daging sapi yang direbus hingga lunak.Aku disuruh membeli hingga ke pasar kota. Letaknya lima belas kilometer dari desa kami.Jadi aku akan menuruni pegunungan, lalu menunggu angkot di jalanan umum. Dan angkot akan membawaku ke sana.Aku buru-buru pergi demi selera makan soto Bapak terpenuhi. Sempat kudengar teriakan Bapak saat aku menuruni bukit. "Bone, uang Bapak banyak. Nanti kau pakai beli motor. Berhentilah jalan kaki!!"Senyumku melarik. Ternyata Bapak benar-benar serius ingin aku jadi manusia. Okelah kalau begitu. Aku tiba di halte kecil di pinggir jalan. Sembari menunggu angkot, ada tiga Emak duduk bergosip memenuhi bangku.Membicarakan seorang gadis yang rumahnya tepat berada di seberang halte. Gadis itu sedang menyapu halaman. Mengumpulkan dedaunan gugur ke satu titik lalu dibakar. "Namanya Abigail. Anaknya sudah alim, rajin pula bantu orang tua," bisik Emak yan
Bab 12"Yang bener, Tong?" tanyanya dengan raut kurang percaya. "Aku kagak yakin sama hal-hal mistik.""Apa Ibu mau melihat langsung?" tawarku setelah menerima uang kembalian."Ah, emang bisa ya? Otong mah ada-ada aja!" Ia tertawa kecut. Kubuka telapak tangan kiriku, lantas meniupkan mantra ke atasnya. "Eh mau ngapain, Tong?!" pekik si wanita ketika kuusap kelopak matanya menggunakan telapak tanganku."Sekarang Ibu ke depan warung. Lihat apa yang ada di sana," ujarku padanya.Ragu-ragu, wanita itu akhirnya menuruti. Ia lalu melangkah ke depan warungnya sendiri. "Astaghfirullah ....""Astaghfirullah ....""Astaghfirullah ...." ucap si wanita dengan bahu bergetar. Ia tak berani mendekati benda-benda pelet di depan sana. Terpaku di langkah terakhir ia berdiri.Seekor ayam cemani meringkuk di bawah jendela. Ayam itu terlihat pasif, berbeda dengan ayam normal yang biasanya berjalan ke sana ke mari.Di dekat pintu, tergeletak sebuah tampah berisi penuh tanah kuburan. Sedangkan di sepan
Bab 13"Kau lama sekali, Bone. Kau pergi membeli soto atau membuat soto? Hahaha ...." Bapak tertawa heboh saat aku tiba. Padahal napasku belum stabil. Masih ngos-ngosan usai mendaki pegunungan."Cie, cie, cie si Bone. Hahaha ...." Bapak masih saja tertawa. Seperti orang kasmaran. "Bapak itu kenapa, sih?" tanyaku malas. "Cepetan makan sotonya, nanti keburu dingin!" Sengaja kutekan intonasi, biar Bapak stop bercanda. Masih tertawa lebar, Bapak menuang soto ke mangkuk lalu mulai makan. Ia manggut-manggut, memuji kelezatan cita rasa makanan itu. ***Keesokan hari, tepatnya jam delapan malam. Aku selesai bersiap. Akan memenuhi janji memberi penglaris pada si wanita pemilik warung soto yang namanya belum kuketahui. "Kau mau ke mana, Bone?" Bapak tersenyum penuh arti. "Tumben kau pakai parfum malam-malam." "Aku ada janji memberi penglaris. Satu genderuwo akan kulepas malam ini.""Lepas saja, toh kau berhak atas semua aset gaib kita. Bapak percaya padamu." Bapak menepuk pelan pundakku.
Bab 14Perjalanan pulang terasa sepi tanpa si Uwo. Udara malam semakin dingin, sementara di atas sana bulan purnama membulat paripurna yang menciptakan seluet-seluet raksasa dari bayangan pepohonan. Mumpung lagi sendiri, aku ingin bermain gaib. Rindu mengulang kembali kegilaan masa kecil. Masa di mana aku sering memanggil makhluk gaib liar, bermain bersama saat bulan purnama penuh.Melihat jalanan aspal yang licin, aku jadi gemas.Aku pun berubah jadi ular dan menggulung badan serupa bola, lantas menggelinding sepanjang jalan. Melaju layaknya ban kendaraan. Ini seru sekali. Aku bahkan lupa telah melewati rumah Abigail. Kembali merubah diri jadi manusia, aku bukannya menuju ke rumah Abigail. Namun masih ingin bermain sebentar lagi.Malam berada di titik rawan saat kubaca mantra pemanggil makhluk halus. Hawa sekitar mulai meningkat. Menghangat dan tak terlalu dingin lagi.āAsa dua talu, ikam aku panggil artinya kamari. Artinya malam ini ada dadaharan. Artinya aku mainjam ikam, gas