Share

Bab 5 Proses Ritual

Siang ini, aku dan Bapak menuju danau. Letaknya lumayan jauh di sebelah gunung. Kami melewati hutan dan menerobos semak belukar. 

Bapak kadang salah arah, tapi aku hafal betul. Bagaimanapun, di sinilah pertama kali Bapak menemukanku dalam kondisi menyedihkan.

Satu jam mengarungi tracking yang penuh adrenalin, akhirnya tiba juga di danau. 

Awalnya, danau ini digunakan oleh masyarakat sekitar pegunungan untuk mencuci pakaian atau sekadar memancing ikan. Setelah peristiwa tenggelamnya gadis-gadis perawan, sekarang jadi sepi. Dianggap keramat.

Mengetahui adanya kekuatan besar di balik danau ini, Bapak memutuskan untuk datang bertapa.

 Memohon wangsit pada Jin penunggu danau. 

Bapak mendapat lebih dari apa yang diharapkan. Jin itu memberi macam-macam ilmu, khususnya ilmu putih. Namun sama saja, syarat yang dilalui tidaklah gampang. 

Ada pepatah mengatakan 'baik belum tentu benar'. 

Ilmu putih bertujuan baik, tapi mesti menempuh proses yang tidak benar. Kau harus mengorbankan banyak hal untuk mencapainya. Menghindari banyak pantangan. Mengharuskan ritual khusus, hingga menuntut tumbal nyawa.

Aku masuk ke danau. Perlahan membersihkan dedaunan kering yang menutup permukaan air.

 Setelah bersih, giliran Bapak yang menebar kembang tujuh rupa.

Kuletakkan sesajen berupa satu sisir pisang, sirsak dan nasi berbungkus daun di pinggir danau. Bapak kemudian membakar dupa ke arah matahari tenggelam. 

Ia duduk bersemedi di situ hingga malam tiba.

Persiapan sudah beres dan aku pun pulang sendirian ke rumah. Tinggal menanti kedatangan si wanita yang menginginkan susuk kecantikan. 

šŸ–¤šŸ–¤šŸ–¤

Tepat jam 12 malam, wanita itu benar-benar datang. 

Aku jadi kikuk berbicara dengannya yang tak memakai pakaian dalam.

Tentu jelas sekali tonjolan gunung kembar dari balik kaos putih itu. Berguncang naik turun saat ia menggerakkan badan. 

"Bone, hidup tak melulu tentang pegunungan." 

Terdengar lagi nyinyiran Genderuwo dari atap rumah. Makhluk kurang hiburan itu sungguh menjengkelkan. Selalu saja nimbrung saat ada wanita datang.

"Sengsara kau, Bone. Kau hanya bisa memandang tapi Jin danaulah yang berhak menjamahnya." Ia tertawa geli diikuti tawa Genderuwo lainnya. 

Wanita itu mengusap tengkuk yang merinding. Melirik ke atap rumah seolah merasakan sesuatu. 

"Oh ya, Mbak. Aku disuruh Bapak menjelaskan tahapan ritual." Kucoba mengalihkan perhatiannya.

Dia memperbaiki posisi duduk lalu menatapku serius. 

"Mbak bakal mandi dalam danau yang sudah ditaburi kembang tujuh rupa. Tidak perlu membuka pakaian."

"Tapi harus menyelam sebanyak tiga kali."

"Jangan kaget saat Jin danau menjamah tubuh Mbak. Sebisanya tidak berteriak atau membuka mata. Tetaplah berendam dalam danau."

"Hanya itu saja?" Wanita itu memotong bicaraku.

"Masih beberapa lagi, Mbak."

Air mukanya berubah gelisah. Aku tahu wanita ini belum siap dan hanya memaksakan diri.

"Gausah takut, Mbak. Nanti ada aku dan Bapak yang berjaga."

"Oke, baiklah. Ada lagi, Bang?"

"Puncak ritualnya, Bapak akan memasukkan sehelai bulu di jidat anda."

"Apa setelah itu aku langsung cantik berseri?" 

"Belum, Mbak. Butuh sekitar satu minggu perubahan terjadi. Mbak akan terlihat menarik dan rejeki lebih mengalir."

Senyum pun mengembang di wajahnya yang pucat.

"Bone, beri tahu kewajiban wanita itu setelah disusuk!! Hahaha ...." tawa Genderuwo itu pecah lagi.

"Oh ya, Mbak. Nanti tiap malam Jumat, Mbak harus menyuguhkan segelas kopi manis. Taruh aja di atas lemari biar gak dilangkahi orang."

"Kopi? Untuk siapa?" 

"Ya untuk calon suami Mbak. Si Jin danau."

"Astaga!!" Sepasang mata lentik itu membesar kaget, lalu menelan paksa ludah. "Ada lagi, Bang?"

"Mbak dilarang mencuci muka di tempat terbuka yang bisa dilihat orang. Setiap kali mandi Mbak akan dijamah Jin danau itu." 

Wanita itu menutup mulut dengan jemarinya gemetar.

"Jangan ragu, Mbak. Fokus aja pada tujuan! Mau cantik, mau kaya, gak ada yang instan." 

Aku yang capek menjelaskan panjang lebar, kini mulai muak pada tingkah wanita ini. 

Dia pikir ritual perdukuan cuman buat kaget-kagetan? Selalu saja kaget.

šŸ–¤šŸ–¤šŸ–¤

Bermodalkan senter di tangan, aku memandu wanita ini menuju danau. Untung saja sedang bulan purnama, jadi tidak kesulitan melihat jalan.

Angin dingin menerpa kulit, membuat wanita ini mendekap erat tubuhnya yang tanpa jaket. Agar cepat sampai, aku lalu memilih jalan pintas yang kuketahui. 

Memang cukup curam, tapi lebih baik daripada terlambat. Ritual harus dimulai tepat jam satu malam, dan jika diulur maka nyawa wanita ini terancam bahaya. 

Memasuki area hutan di mana danau itu berada, puluhan jin terlihat hilir mudik. 

Berpasang-pasang mata mengintai dari dahan pepohonan. Merah menyala, penuh nafsu. 

"Nadia, aku cinta padamu!" seru salah satu jin. 

Aku yang bersama si wanita, bahkan baru detik ini tahu namanya.

"Jangan percaya padanya, Nadia. Dia botak dan taringnya panjang!" sambung jin lain.

Sontak si wanita memeluk lenganku erat. "Bang, siapa mereka?"

"Mereka cuma jin menengah, anak buah dari jin danau. Calon suami anda!" ketusku sembari melepas genggaman si wanita dari lenganku. 

Jin danau terkenal cemburu. Jika tahu wanita ini menyentuhku sebelum menyentuhnya, perkara bisa panjang nanti. 

"Nadia menikahlah denganku. Akan kubawa kau terbang secepat kilat." 

"Dia tak ada apa-apanya, Nadia. Mending sama aku, badanku berotot. Kau pasti tergila-gila." 

Jin-jin itu terus merayu dan baru berhenti kala kami tiba di pinggir danau. 

Bapak masih di situ sejak siang tadi. Duduk bersila dengan dupa berkepul asap. 

"Sudah kau jelaskan padanya, Bone?" tanya Bapak yang menyadari ketibaan kami. Aku pun mengiyakan.

Bapak membuka mata. Memandang wanita ini, kemudian berucap pelan. "Masuklah ke danau, ritual akan dimulai."

Nadia berjongkok. Melepas sepatu sneaker dari kakinya, lalu melangkah memasuki air. 

Sementara aku menyorotkan cahaya senter ke tengah danau agar Nadia melihat dengan jelas. 

Baru tiga langkah ke dalam danau, Nadia sepertinya menginjak batuan licin. Ia goyah lantas tergelincir.

"Ah sial, Kambing!" pekiknya kaget lalu tercebur ke dalam danau.

"Nadia ...." Untuk pertama kali aku memanggil namanya. Entah mengapa perasaanku sangat khawatir.

"Mbeeeekkk," jawab Nadia yang muncul di permukaan danau. 

Aku dan Bapak dibuat terkejut pada perubahan Nadia. 

Berharap jadi cantik, ia malah jadi kambing.

"Bone, apa tidak kau sampaikan padanya tentang pantangan dilarang mengumpat saat ritual?"

Aku menepuk jidat. "Maaf, aku lupa, Pak,ā€ jawabku sedih.

Masuk ke danau, aku merangkul kambing itu. Membawanya ke tepian dalam keadaaan gemetar kedinginan. 

"Ya ampun, Bone. Wanita ini jadi kambing dan tak bisa diubah lagi." Ayah menatapku kecewa.

Aku menunduk lesuh, masih dalam sikap merangkul si Kambing. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status