Terik matahari mulai membakar kulit. Di dekat sumur, aku yang baru selesai mandi, kini lanjut menggosok gigi.
Beberapa tuyul peliharaan yang memang tidak kubotolkan, mengajak bercanda.
"Bone, kau cakep kalau habis mandi."
"Sayangnya kau jomblo. Hahahaha ...."
"Bone, umurmu berapa sekarang?"
"Aku yakin kau belum pernah mencium wanita."
Glek! Kena telak di ulu hati, padahal baru semalam aku mengecup dua wanita sekaligus.
Candaan mereka sudah akrab di telingaku. Dan aku hanya mendengar bak angin lalu.
Aku kemudian masuk ke kamar untuk berpakaian. Tuyul-tuyul tadi mengikutiku. Mereka berlarian di atas kasur, layaknya anak-anak.
Usai berpakaian, aku mengoles luka di kaki dengan minyak ramuan khusus. Teringat kembali bagaimana aku mendapat luka ini.
Seorang pria meninggalkan rumah tangganya demi menikahi wanita idaman lain. Sang istri sakit hati lalu meminta Bapak mengacaukan keharmonisan pasangan selingkuh itu.
Aku diutus ke sana. Dalam rupa ular, berniat menaburkan roh kebencian, pertengkaran dan perpisahan. Berharap pria itu kembali ke istri tuanya.
Nahasnya aku tak sadar kalau pria itu indigo. Dia peka saat aku menyusup masuk. Dikejarnya aku dengan senjata ekor pari. Senjata yang paling ditakuti para dukun.
Belum sempat menaburkan roh santet, terpaksa aku kabur duluan. Senjata itu sempat mengenai ekorku. Terluka dan berdarah. Bahkan kala berganti wujud ke manusia, luka itu ada dan belum sembuh di kakiku.
Asyik mengoles minyak, sayup kudengar percakapan Bapak dengan seseorang dari balai-balai bambu di depan rumah.
Suara wanita.
Ya, lagi-lagi wanita. Makhluk yang menyebabkan Adam jatuh dalam dosa itu menduduki peringkat pertama pengguna jasa dukun di dunia ini.
Aku mengendap ke sudut rumah. Dari sini bisa kulihat sosok wanita itu. Usianya mungkin sepantaran denganku.
"Mbah, kenapa wajahku selalu pucat?" Ia mengeluh sedih. "Seperti kurang nutrisi. Padahal aku rajin minum vitamin, tidur teratur juga pakai skin care mahal."
"Banyak yang mengatakan bahwa aku sama sekali tidak menarik."
"Seperti mayat hidup, mereka bilang." Ia menatap Bapak dengan binar memohon.
Bapak meneguk kopinya yang masih berkepul uap. Setelahnya, ia meminta ijin untuk menilik bola mata wanita itu.
"Apa kamu tinggal seatap dengan banyak orang?" tanya Bapak.
"Aku tinggal di kos, Mbah."
Bapak mengangguk paham. "Mbah liat ada teman kos yang mencuri aura kamu."
"Bagaimana bisa?" Wanita itu terduduk lesu. Memainkan jemarinya di atas pangkuan.
"Lain kali kamu jangan ceroboh!" Bapak meneguk sisa kopi di gelas. "Kejahatan datang bukan karena niat, tapi adanya kesempatan."
"Maksud, Mbah?"
"Jangan keramas di depan kamar. Jangan potong kuku di kamar teman. Jangan pula meludah sembarangan. Hajat-hajat yang tak kau anggap itulah yang justru dimanfaatkan orang lain untuk menyedot auramu."
"Dia semakin bersinar sedangkan kau makin redup." Ayah menjelaskan.
"Apa yang harus aku lakukan, Mbah?" tanyanya polos.
"Lha, kau ke sini maunya apa?" Bapak balik bertanya.
Wanita itu serasa kena mental. Ia jadi ragu-ragu menjawab.
Aku segera muncul. Membawakan teh untuk mencairkan suasana mereka.
"Diminum tehnya, Mbak." Kusimpan cangkir teh di samping wanita itu.
Ia tersenyum lalu berucap terima kasih.
Senyumnya hambar, sama hambarnya dengan teh tanpa gula yang kusajikan.
Aku berlalu ke belakang, kudengar Bapak memberinya saran.
"Kau pakai saja susuk. Selain bisa menarik auramu kembali. Vibrasinya mampu menyedot kesuksesan dalam karirmu."
"Kau tidak hanya akan cantik, tapi juga sukses besar."
Senyum hambar itu merekah lagi, "Bagaimana caranya, Mbah?" Kali ini nadanya berenergi.
"Melalui ritual mandi di danau jam satu malam," jawab Bapak datar. "Hanya akan berhasil bila kau yakin sepenuh jiwa. Jika masih ragu mending tak usah."
Wanita itu termenung beberapa saat. Menimbang-nimbang entah apa yang ia timbang.
Dari sudut rumah, aku masih mengamati. Berharap wanita itu mengurungkan niatnya.
"Bone, kau itu kenapa suka sekali mengintip, huh?"
Dua genderuwo yang tersisa, menghampiriku.
"Apa kau malu dengan wajah pas-pasan mu itu?" Mereka mengakak geli.
"Hmm, setidaknya wajahku tidak berbulu seperti kalian," gumamku santai.
Dua genderuwo itu pun menghilang pergi dengan dada memanas.
"Bagaimana, kau setuju?" Bapak membuka suara. "Saya tak punya banyak waktu saat ini."
"Setuju, Mbah. Saya setuju!" jawab wanita itu tegas.
"Baiklah, kau datang saja lusa malam ke sini. Kita akan bersama-sama menuju danau. Ingat, jangan mengenakan pakaian dalam saat kau berangkat. Cukup pakaian luar saja!"
Si wanita cukup kaget, tapi tetap mengiyakan. "Ya, Mbah. Akan saya ikuti petunjuknya."
Siang ini, aku dan Bapak menuju danau. Letaknya lumayan jauh di sebelah gunung. Kami melewati hutan dan menerobos semak belukar. Bapak kadang salah arah, tapi aku hafal betul. Bagaimanapun, di sinilah pertama kali Bapak menemukanku dalam kondisi menyedihkan.Satu jam mengarungi tracking yang penuh adrenalin, akhirnya tiba juga di danau. Awalnya, danau ini digunakan oleh masyarakat sekitar pegunungan untuk mencuci pakaian atau sekadar memancing ikan. Setelah peristiwa tenggelamnya gadis-gadis perawan, sekarang jadi sepi. Dianggap keramat.Mengetahui adanya kekuatan besar di balik danau ini, Bapak memutuskan untuk datang bertapa. Memohon wangsit pada Jin penunggu danau. Bapak mendapat lebih dari apa yang diharapkan. Jin itu memberi macam-macam ilmu, khususnya ilmu putih. Namun sama saja, syarat yang dilalui tidaklah gampang. Ada pepatah mengatakan 'baik belum tentu benar'. Ilmu putih bertujuan baik, tapi mesti menempuh proses yang tidak benar. Kau harus mengorbankan banyak hal unt
"Kita pulang saja, Bone! Sudah jelas ritual ini gagal." Bapak berbicara sambil memunggungiku. Ia sibuk membereskan bekas dupa dan hanya menyisakan sesajen buat Jin danau."Bagaimana dengan Kambing Nadia?" tanyaku getir.Kutatap kambing yang matanya kini berkaca-kaca. Seakan Nadia di dalam sana sedang menangis. Berharap kami memulihkan kondisinya."Tinggalkan saja kambing itu, Bone. Hanya akan menyusahkan kita." Rupanya Bapak tak mau mengambil resiko. "Tapi kasihan, Pak." "Kasihan? Sudah berapa orang yang kau bunuh tanpa rasa kasihan? Lagian dia bukan mati, cuma berpindah wujud saja. Nadia lebih bahagia jadi kambing, takkan ada lagi orang yang mengatakan wajahnya jelek." Benar juga opini Bapak. Biarkan Kambing Nadia bebas di hutan ini. Dia akan leluasa makan rumput dan dedaunan lezat. Bukankah ucapan adalah doa. Kita tidak bisa berucap buruk lalu mengharap takdir yang baik.Semoga kisah Nadia menjadi pelajaran bagi kita semua.🖤🖤🖤Akibat perasaan yang tak menentu, perjalanan p
Bab 7Usai mengisi perut ala kadarnya, Mang Asep berinisiatif mengantar kami pulang memakai mobil pick-up miliknya.Sekalian ingin pamer ke masyarakat kalau dia sudah sembuh. Biar si penyantet kena mental.Namun Bapak menolak. Bersikeras memilih berjalan kaki saja. "Sifat keras kepalamu belum berubah, Tarso!" Mang Asep menatap lekat pada teman masa mudanya."Ada yang gampang, kau pilih yang sukar.""Bukan begitu, Asep. Masalahnya kami membawa pulang makhluk gaib dari rumahmu. Gak bagus jika harus naik mobil.""Ah, Tarso. Kau membuatku bergidik ngeri!""Hmm, dulu kuajak berguru ilmu gaib, kau selalu menolak. Sekarang kau jadi penakut setan, kan!" Bapak berkelakar."Sudahlah, Tarso. Sudah bagus aku jadi kepala dusun. Kalau jadi dukun sepertimu, pasien pasti bingung mau berobat ke kamu atau ke aku." "Ya ke akulah, Asep. Secara aku lebih ganteng dari kamu!" Bapak tertawa meningkahi Mang Asep."Gantengmu itu mubasir, Tarso. Buktinya kau masih saja jomblo sampai sekarang. Hahaha," balas M
Bab 8Bapak memberanikan diri. Dari membungkuk, beralih duduk tegak. Menatap Banaspati dengan kedua tangan memohon. "Aku ingin bersekutu denganmu, Banaspati yang perkasa.""Mohon bantu kami mengalahkan musuh-musuh.""Hanya itu saja?!" pekik Banaspati yang membuatku sontak menutup telinga. Suaranya menggelegar dan hawa mulutnya begitu panas. "Be-be-nar, Banaspati yang mulia," jawab Bapak gemetar.Banaspati itu berpindah ke dahan yang lebih tinggi dan masih terus berpendar menyala-nyala. Sementara Banaspati yang lain, terbang menyebar ke pucuk-pucuk pepohonan. Mirip bola-bola api di sirkus singa di Meksiko."Panggil saja aku saat kau butuh, wahai manusia. Tapi harus kau sajikan seekor sapi betina yang besar!!" Suaranya memekik tajam.Demi menjaga kesan baik, Bapak berusaha keras untuk tidak menutup telinga."Kau sanggup, wahai manusia?!" pekiknya lagi. Membuat Bapak terperanjat kaget."Kusanggupi, Banaspati yang mulia!" jawab Bapak tegas.Blep.Suasana kembali gelap total. Hawa pan
Bab 9Hanya dalam hitungan hari, ia menderita penyakit serupa yang pernah diderita Mang Asep. Sungguh aku tak sabar melihat rumahnya terbakar dilalap api. Banaspati sepakat membantu, dan Sukirman akan jadi objek percobaan. Seekor sapi betina seberat setengah ton disajikan di halaman rumah. Bapak membakar dupa beserta rempah wangian kesukaan Banaspati. Tinggal menunggu jin api itu muncul, maka Bapak akan memberi tugas. Membakar rumah Sukirman. Aku merayap ke pohon waru. Berniat bertemu si kunti yang bukan kuntilanak merah.Ia masih terikat di batang pohon. Tertidur dengan iler membanjiri pipi."Kau harus bantu aku sekarang!" ucapku, membuatnya membuka mata. Detik kemudian ia tertawa geli."Kikikikk ... kikikik ... kau siluman ular rupanya, Bone? Kikikikk ... kikikikk ....""Kalau iya kenapa, huh?" jawabku kesal. "Kau harus mengantarku ke rumah Sukirman, mantan bosmu itu! Dulu kau disuruh merusak keharmonisan keluarga Mang Asep, tapi sekarang polanya berubah.""Kau mau apa, tinggal
Bab 10Setibanya di rumah, si kunti menjatuhkanku begitu saja ke tanah. Aku terjun bebas tanpa sayap dari ketinggian lima meter. Mengerang aku, tapi si kunti malah tertawa cekikan. Sembari menahan sakit, aku merayap lambat. Melewati pohon jati di mana sapi betina diikat sore tadi. Sayangnya, hewan pemakan rumput itu sudah mati konyol. Tewas disantap belasan banaspati sebagai sesajen. Ditimpa cahaya bulan, bisa kulihat memar serius pada sekujur tubuh sapi. Merah kehitam-hitaman, pun menguarkan bau hangus yang pedis.Aku bersin-bersin oleh aroma yang tak kusukai itu. ***Keesokan harinya, Mang Asep bertandang ke rumah kami. Membawa kabar tentang musibah yang menimpa keluarga Sukirman."Dia orang baik. Tak layak mati dengan cara demikian," ungkap Mang Asep pilu."Kau yakin dia baik?" Memicing mata Bapakku. "Biasanya orang yang beneran baik akan mati dengan cara baik-baik pula!" "Ya, yang kutahu dia memang baik." Mang Asep mencoba mengubah posisi duduknya di balai-balai.Bapak mempe
Bab 11Hari merangkak sore saat Bapak mengatakan bahwa ia kepingin makan soto.Sejenis makanan berkuah dengan daging sapi yang direbus hingga lunak.Aku disuruh membeli hingga ke pasar kota. Letaknya lima belas kilometer dari desa kami.Jadi aku akan menuruni pegunungan, lalu menunggu angkot di jalanan umum. Dan angkot akan membawaku ke sana.Aku buru-buru pergi demi selera makan soto Bapak terpenuhi. Sempat kudengar teriakan Bapak saat aku menuruni bukit. "Bone, uang Bapak banyak. Nanti kau pakai beli motor. Berhentilah jalan kaki!!"Senyumku melarik. Ternyata Bapak benar-benar serius ingin aku jadi manusia. Okelah kalau begitu. Aku tiba di halte kecil di pinggir jalan. Sembari menunggu angkot, ada tiga Emak duduk bergosip memenuhi bangku.Membicarakan seorang gadis yang rumahnya tepat berada di seberang halte. Gadis itu sedang menyapu halaman. Mengumpulkan dedaunan gugur ke satu titik lalu dibakar. "Namanya Abigail. Anaknya sudah alim, rajin pula bantu orang tua," bisik Emak yan
Bab 12"Yang bener, Tong?" tanyanya dengan raut kurang percaya. "Aku kagak yakin sama hal-hal mistik.""Apa Ibu mau melihat langsung?" tawarku setelah menerima uang kembalian."Ah, emang bisa ya? Otong mah ada-ada aja!" Ia tertawa kecut. Kubuka telapak tangan kiriku, lantas meniupkan mantra ke atasnya. "Eh mau ngapain, Tong?!" pekik si wanita ketika kuusap kelopak matanya menggunakan telapak tanganku."Sekarang Ibu ke depan warung. Lihat apa yang ada di sana," ujarku padanya.Ragu-ragu, wanita itu akhirnya menuruti. Ia lalu melangkah ke depan warungnya sendiri. "Astaghfirullah ....""Astaghfirullah ....""Astaghfirullah ...." ucap si wanita dengan bahu bergetar. Ia tak berani mendekati benda-benda pelet di depan sana. Terpaku di langkah terakhir ia berdiri.Seekor ayam cemani meringkuk di bawah jendela. Ayam itu terlihat pasif, berbeda dengan ayam normal yang biasanya berjalan ke sana ke mari.Di dekat pintu, tergeletak sebuah tampah berisi penuh tanah kuburan. Sedangkan di sepan