Sunyinya malam mencekam suasana. Di atas sana, awan hitam bergelayut rendah. Mulai menjatuhkan rintik halus.
Lolongan serigala sesekali terdengar di kejauhan. Membangkitkan kengerian tersendiri.
Tinggal di kaki pegunungan tanpa banyak pepohonan, hembusan angin terasa begitu keras. Menampar-nampar daun jendela. Mengusik pendengaran.
"Tutup jendela itu, Bone!" Bapak yang lagi khusyuk merapal mantra sedikit terganggu.
Setelah jendela kututup, Bapak memerintah lagi."Cari helaian rambut Lastri di atas tikar! Pasti ada yang jatuh."
Aku mencermati permukaan tikar. Ini sulit, karena rambut pirang Lastri berwarna selaras dengan warna tikar. Kuning kepucatan.
Dibantu dengan meraba-raba, akhirnya kudapati juga helaian rambut Lastri yang sempat jatuh saat ia mengibas rambutnya yang tergerai siang tadi.
Bapak lantas membakar rambut itu di atas dulang kemenyan. Hangus bersama asap yang terus mengepul.Dukun sakti tentu tahu apa maksudnya ini. Rambut, kuku atau ludah seseorang bisa dipakai untuk mengelabui target.
Saat sebentar kami meneror Nanda, yang dilihat Nanda adalah wajah dan bayangan Lastri. Bukan kami.
Kami hanya membantu mencapai tujuan Lastri. Jadi Lastrilah yang sesungguhnya menyantet. Dan kami tidak goblok untuk menampakkan wajah asli kami. Itu sama saja merusak reputasi.
Bapak menambah potongan akar kayu ke atas bara kemenyan. Kemudian menerawangi situasi rumah sakit.
"Ada dua perempuan lagi menjaga Nanda," ucap Bapak tanpa membuka mata. "Yang satu benar-benar berjaga, tapi yang satu sibuk main hape."
Aku menyengir, lebih menyerupai seringai iblis. "Mantrai saja, biar mereka ketiduran," usulku.
Bapak lalu meniupkan mantra dari tempatnya bersila. Sementara dari atap rumah, tiga genderuwo mulai protes.
"Kalian selalu sibuk membunuh!!" umpat mereka. "Kapan kalian kawinkan kami dengan perempuan cantik? Kami bosan ditawan terus!"
"Cukuplah menggerutu!" Bapak membuka mata.
"Beberapa wanita akan datang meminta susuk kecantikan. Kalian pasti kukawinkan. Jadi bersabarlah!"
Aku tahu Bapak jengkel. Namun ia berusaha mengontrol situasi agar makhluk-makhluk tawanan kami tidak memberontak.
"Kikikikkik ... kikikik ..." Kuntilanak merah dari pohon pisang ikutan menimpali. "Lalu kapan kau kawinkan aku dengan lelaki perkasa? Aku bosan dengan bau kemenyanmu!"
"Kau juga harus sabar! Tak lama lagi seorang pria muda akan datang berguru ilmu santet. Kau akan kukawinkan dengannya. Bersabarlah!"
"Sabar, sabar! Selalu itu yang kau katakan! Kikikkik ... kikikik ...." Kuntilanak itu terbang ke dahan pohon waru.
"Ayo kita berangkat, Bone. Tak usah peduli celoteh budak-budak itu," ucap Bapak emosi.
š¤š¤š¤
Kami tiba di rumah sakit, tepatnya di depan kamar di mana Nanda dirawat. Ada plang bertuliskan VIP Room di atas pintu masuk.
Bapak lebih dulu masuk ke dalam, sementara aku berjaga di depan pintu. Duduk di bangku besi dekat jendela.
Bagi orang awam, rumah sakit ini terlihat mewah. Lantai mengkilap dan tembok putih bersih.
Namun bagi kami pelaku supranatural, rumah sakit ini terlihat sangat mengerikan. Apalagi di saat jam rawan begini.
Mata supranaturalku menyaksi bagaimana kekuatan jahat hilir mudik di lorong-lorong rumah sakit. Benda perdukunan melayang cepat, mencari keberadaan pasien yang ditargetkan.
Jarum, gunting, pisau hingga kuku tajam hampir menyerempet wajahku. Membuktikan maraknya praktek perdukunan di kota ini.
Tidak semua pasien di rumah sakit ini mengalami penyakit murni. Kebanyakan adalah korban santet. Jika kuterawang, hanya sekitar 15% pasien dengan sakit yang adalah murni penyakit.
Belum lagi ragam makhluk halus berseliweran memenuhi bangsal rumah sakit. Arwah penasaran yang jiwanya tak mendapat kedamaian menangis terisak di sudut-sudut tembok. Menyedihkan.
Entah masalah apa yang membebani mereka semasa hidup dulu.
Kuntilanak bergelantung di kusen-kusen jendela. Sibuk menyusui anak. Mereka dulunya meninggal saat bersalin di rumah sakit ini.
Suster ngesot dalam tayangan film horor, ternyata bukan isapan jempol. Mereka nyata di sini. Masih dalam seragam perawat, hanya saja berlumuran darah. Mengesot dari ujung ke ujung koridor. Seakan tak kehabisan tenaga.
Aku menyugar rambut yang sudah seminggu tak keramas. Gerah. Jika Nanda tewas malam ini, besok aku akan mandi penuh untuk merayakan kemenangan.
"Jam kunjungan sudah lewat. Anda sedang apa di sini?" tanya seseorang membuyarkan.
Aku masih menunduk, bisa kulihat sepatu pantofel hitamnya bagai langit bumi dengan sandal jepitku. Mengangkat wajah sedikit, kudapati pria berseragam putih dengan stetoskop menggantung di leher.
Menegakkan pundak di sandaran bangku, aku menatap matanya.
"Anda siapa? Tak sembarang orang bisa masuk ke area VIP." Wajahnya berubah serius.
Aku bergeming ... tapi satu kalimat mantra lolos dari celah bibir ini.
"Ah, maaf telah mengganggu," ucapnya salah tingkah. Ia berlalu pergi di bawah pengaruh mantraku.
Kubuka pintu ruangan Nanda dengan dada berdesir gugup.
Di dalamnya, dua wanita yang berjaga sedang terlelap di kursi. Hanyut dalam buaian mimpi. Sudah pasti bermimpi buruk, karena saat ini mereka dikelilingi aura mistis kami.
Bapak yang dalam jelmaan Lastri, sekuat tenaga mencekik batang leher Nanda.
'Ampun, ampun Lastri!' lirih wanita itu sekarat. āSudah kau rebut pacarku, kau rebut juga nyawaku.ā
Bapak tak menjawab karena tak paham perselisihan antar keduanya.
Satu cekikkan terakhir, membuat Nanda menarik napas panjang. Aliran darahnya berhenti total. Mengakibatkan badannya hitam legam.
Tanda yang khas pada jasad korban santet.
Kami melesat pergi saat kedua wanita penjaga itu mulai terbangun. Sempat kudaratkan kecupan hangat di bibir ranum mereka sebagai hadiah terakhir.
š¤š¤š¤
Matahari tegak lurus saat deru mobil memasuki halaman rumah kami. Mobil mewah itu dipenuhi debu usai melewati tanjakan panjang pegunungan.
Lastri turun dengan wajah berbinar takjub. Melangkah penuh energi ke dalam ruang tamu. Digenggamnya satu amplop coklat berisi penuh rupiah.
Sesuai kesepakatan, Bapak menerima pembayaran. Untuk sejenak mereka sibuk bercakap-cakap tentang mengapa Lastri membenci Almarhumah Nanda.
"Wanita ini lumayan seksi, kawinkan aku dengannya!" Si genderuwo tukang protes bersuara dari balik dinding.
Bapak yang sudah malas berdebat, akhirnya membalas lewat bahasa batin. "Kau ikuti saja wanita ini. Bersemayamlah di rumahnya dan jangan berhenti menggoda dia!"
"Baiklah. Dua jempol untuk kebijakanmu, Mbah Dukun!" Si genderuwo tertawa puas.
Lastri pulang dengan si genderuwo melekat di badannya. Bersembunyi dalam celah kancut wanita itu.
Jika nanti dia gelisah oleh sering digodai genderuwo, dia haruslah bercermin sikap. Bahwa di dunia ini, tidak ada orang jahat yang hidupnya tenang.
Terik matahari mulai membakar kulit. Di dekat sumur, aku yang baru selesai mandi, kini lanjut menggosok gigi. Beberapa tuyul peliharaan yang memang tidak kubotolkan, mengajak bercanda."Bone, kau cakep kalau habis mandi." "Sayangnya kau jomblo. Hahahaha ....""Bone, umurmu berapa sekarang?""Aku yakin kau belum pernah mencium wanita." Glek! Kena telak di ulu hati, padahal baru semalam aku mengecup dua wanita sekaligus.Candaan mereka sudah akrab di telingaku. Dan aku hanya mendengar bak angin lalu. Aku kemudian masuk ke kamar untuk berpakaian. Tuyul-tuyul tadi mengikutiku. Mereka berlarian di atas kasur, layaknya anak-anak. Usai berpakaian, aku mengoles luka di kaki dengan minyak ramuan khusus. Teringat kembali bagaimana aku mendapat luka ini.Seorang pria meninggalkan rumah tangganya demi menikahi wanita idaman lain. Sang istri sakit hati lalu meminta Bapak mengacaukan keharmonisan pasangan selingkuh itu.Aku diutus ke sana. Dalam rupa ular, berniat menaburkan roh kebencian, per
Siang ini, aku dan Bapak menuju danau. Letaknya lumayan jauh di sebelah gunung. Kami melewati hutan dan menerobos semak belukar. Bapak kadang salah arah, tapi aku hafal betul. Bagaimanapun, di sinilah pertama kali Bapak menemukanku dalam kondisi menyedihkan.Satu jam mengarungi tracking yang penuh adrenalin, akhirnya tiba juga di danau. Awalnya, danau ini digunakan oleh masyarakat sekitar pegunungan untuk mencuci pakaian atau sekadar memancing ikan. Setelah peristiwa tenggelamnya gadis-gadis perawan, sekarang jadi sepi. Dianggap keramat.Mengetahui adanya kekuatan besar di balik danau ini, Bapak memutuskan untuk datang bertapa. Memohon wangsit pada Jin penunggu danau. Bapak mendapat lebih dari apa yang diharapkan. Jin itu memberi macam-macam ilmu, khususnya ilmu putih. Namun sama saja, syarat yang dilalui tidaklah gampang. Ada pepatah mengatakan 'baik belum tentu benar'. Ilmu putih bertujuan baik, tapi mesti menempuh proses yang tidak benar. Kau harus mengorbankan banyak hal unt
"Kita pulang saja, Bone! Sudah jelas ritual ini gagal." Bapak berbicara sambil memunggungiku. Ia sibuk membereskan bekas dupa dan hanya menyisakan sesajen buat Jin danau."Bagaimana dengan Kambing Nadia?" tanyaku getir.Kutatap kambing yang matanya kini berkaca-kaca. Seakan Nadia di dalam sana sedang menangis. Berharap kami memulihkan kondisinya."Tinggalkan saja kambing itu, Bone. Hanya akan menyusahkan kita." Rupanya Bapak tak mau mengambil resiko. "Tapi kasihan, Pak." "Kasihan? Sudah berapa orang yang kau bunuh tanpa rasa kasihan? Lagian dia bukan mati, cuma berpindah wujud saja. Nadia lebih bahagia jadi kambing, takkan ada lagi orang yang mengatakan wajahnya jelek." Benar juga opini Bapak. Biarkan Kambing Nadia bebas di hutan ini. Dia akan leluasa makan rumput dan dedaunan lezat. Bukankah ucapan adalah doa. Kita tidak bisa berucap buruk lalu mengharap takdir yang baik.Semoga kisah Nadia menjadi pelajaran bagi kita semua.š¤š¤š¤Akibat perasaan yang tak menentu, perjalanan p
Bab 7Usai mengisi perut ala kadarnya, Mang Asep berinisiatif mengantar kami pulang memakai mobil pick-up miliknya.Sekalian ingin pamer ke masyarakat kalau dia sudah sembuh. Biar si penyantet kena mental.Namun Bapak menolak. Bersikeras memilih berjalan kaki saja. "Sifat keras kepalamu belum berubah, Tarso!" Mang Asep menatap lekat pada teman masa mudanya."Ada yang gampang, kau pilih yang sukar.""Bukan begitu, Asep. Masalahnya kami membawa pulang makhluk gaib dari rumahmu. Gak bagus jika harus naik mobil.""Ah, Tarso. Kau membuatku bergidik ngeri!""Hmm, dulu kuajak berguru ilmu gaib, kau selalu menolak. Sekarang kau jadi penakut setan, kan!" Bapak berkelakar."Sudahlah, Tarso. Sudah bagus aku jadi kepala dusun. Kalau jadi dukun sepertimu, pasien pasti bingung mau berobat ke kamu atau ke aku." "Ya ke akulah, Asep. Secara aku lebih ganteng dari kamu!" Bapak tertawa meningkahi Mang Asep."Gantengmu itu mubasir, Tarso. Buktinya kau masih saja jomblo sampai sekarang. Hahaha," balas M
Bab 8Bapak memberanikan diri. Dari membungkuk, beralih duduk tegak. Menatap Banaspati dengan kedua tangan memohon. "Aku ingin bersekutu denganmu, Banaspati yang perkasa.""Mohon bantu kami mengalahkan musuh-musuh.""Hanya itu saja?!" pekik Banaspati yang membuatku sontak menutup telinga. Suaranya menggelegar dan hawa mulutnya begitu panas. "Be-be-nar, Banaspati yang mulia," jawab Bapak gemetar.Banaspati itu berpindah ke dahan yang lebih tinggi dan masih terus berpendar menyala-nyala. Sementara Banaspati yang lain, terbang menyebar ke pucuk-pucuk pepohonan. Mirip bola-bola api di sirkus singa di Meksiko."Panggil saja aku saat kau butuh, wahai manusia. Tapi harus kau sajikan seekor sapi betina yang besar!!" Suaranya memekik tajam.Demi menjaga kesan baik, Bapak berusaha keras untuk tidak menutup telinga."Kau sanggup, wahai manusia?!" pekiknya lagi. Membuat Bapak terperanjat kaget."Kusanggupi, Banaspati yang mulia!" jawab Bapak tegas.Blep.Suasana kembali gelap total. Hawa pan
Bab 9Hanya dalam hitungan hari, ia menderita penyakit serupa yang pernah diderita Mang Asep. Sungguh aku tak sabar melihat rumahnya terbakar dilalap api. Banaspati sepakat membantu, dan Sukirman akan jadi objek percobaan. Seekor sapi betina seberat setengah ton disajikan di halaman rumah. Bapak membakar dupa beserta rempah wangian kesukaan Banaspati. Tinggal menunggu jin api itu muncul, maka Bapak akan memberi tugas. Membakar rumah Sukirman. Aku merayap ke pohon waru. Berniat bertemu si kunti yang bukan kuntilanak merah.Ia masih terikat di batang pohon. Tertidur dengan iler membanjiri pipi."Kau harus bantu aku sekarang!" ucapku, membuatnya membuka mata. Detik kemudian ia tertawa geli."Kikikikk ... kikikik ... kau siluman ular rupanya, Bone? Kikikikk ... kikikikk ....""Kalau iya kenapa, huh?" jawabku kesal. "Kau harus mengantarku ke rumah Sukirman, mantan bosmu itu! Dulu kau disuruh merusak keharmonisan keluarga Mang Asep, tapi sekarang polanya berubah.""Kau mau apa, tinggal
Bab 10Setibanya di rumah, si kunti menjatuhkanku begitu saja ke tanah. Aku terjun bebas tanpa sayap dari ketinggian lima meter. Mengerang aku, tapi si kunti malah tertawa cekikan. Sembari menahan sakit, aku merayap lambat. Melewati pohon jati di mana sapi betina diikat sore tadi. Sayangnya, hewan pemakan rumput itu sudah mati konyol. Tewas disantap belasan banaspati sebagai sesajen. Ditimpa cahaya bulan, bisa kulihat memar serius pada sekujur tubuh sapi. Merah kehitam-hitaman, pun menguarkan bau hangus yang pedis.Aku bersin-bersin oleh aroma yang tak kusukai itu. ***Keesokan harinya, Mang Asep bertandang ke rumah kami. Membawa kabar tentang musibah yang menimpa keluarga Sukirman."Dia orang baik. Tak layak mati dengan cara demikian," ungkap Mang Asep pilu."Kau yakin dia baik?" Memicing mata Bapakku. "Biasanya orang yang beneran baik akan mati dengan cara baik-baik pula!" "Ya, yang kutahu dia memang baik." Mang Asep mencoba mengubah posisi duduknya di balai-balai.Bapak mempe
Bab 11Hari merangkak sore saat Bapak mengatakan bahwa ia kepingin makan soto.Sejenis makanan berkuah dengan daging sapi yang direbus hingga lunak.Aku disuruh membeli hingga ke pasar kota. Letaknya lima belas kilometer dari desa kami.Jadi aku akan menuruni pegunungan, lalu menunggu angkot di jalanan umum. Dan angkot akan membawaku ke sana.Aku buru-buru pergi demi selera makan soto Bapak terpenuhi. Sempat kudengar teriakan Bapak saat aku menuruni bukit. "Bone, uang Bapak banyak. Nanti kau pakai beli motor. Berhentilah jalan kaki!!"Senyumku melarik. Ternyata Bapak benar-benar serius ingin aku jadi manusia. Okelah kalau begitu. Aku tiba di halte kecil di pinggir jalan. Sembari menunggu angkot, ada tiga Emak duduk bergosip memenuhi bangku.Membicarakan seorang gadis yang rumahnya tepat berada di seberang halte. Gadis itu sedang menyapu halaman. Mengumpulkan dedaunan gugur ke satu titik lalu dibakar. "Namanya Abigail. Anaknya sudah alim, rajin pula bantu orang tua," bisik Emak yan