Share

Bab 3 Tewas

Sunyinya malam mencekam suasana. Di atas sana, awan hitam bergelayut rendah. Mulai menjatuhkan rintik halus. 

Lolongan serigala sesekali terdengar di kejauhan. Membangkitkan kengerian tersendiri.

Tinggal di kaki pegunungan tanpa banyak pepohonan, hembusan angin terasa begitu keras. Menampar-nampar daun jendela. Mengusik pendengaran. 

"Tutup jendela itu, Bone!" Bapak yang lagi khusyuk merapal mantra sedikit terganggu. 

Setelah jendela kututup, Bapak memerintah lagi.

 "Cari helaian rambut Lastri di atas tikar! Pasti ada yang jatuh."

Aku mencermati permukaan tikar. Ini sulit, karena rambut pirang Lastri berwarna selaras dengan warna tikar. Kuning kepucatan.

Dibantu dengan meraba-raba, akhirnya kudapati juga helaian rambut Lastri yang sempat jatuh saat ia mengibas rambutnya yang tergerai siang tadi. 

Bapak lantas membakar rambut itu di atas dulang kemenyan. Hangus bersama asap yang terus mengepul. 

Dukun sakti tentu tahu apa maksudnya ini. Rambut, kuku atau ludah seseorang bisa dipakai untuk mengelabui target.

Saat sebentar kami meneror Nanda, yang dilihat Nanda adalah wajah dan bayangan Lastri. Bukan kami.

Kami hanya membantu mencapai tujuan Lastri. Jadi Lastrilah yang sesungguhnya menyantet. Dan kami tidak goblok untuk menampakkan wajah asli kami. Itu sama saja merusak reputasi.

Bapak menambah potongan akar kayu ke atas bara kemenyan. Kemudian menerawangi situasi rumah sakit.

"Ada dua perempuan lagi menjaga Nanda," ucap Bapak tanpa membuka mata. "Yang satu benar-benar berjaga, tapi yang satu sibuk main hape."

Aku menyengir, lebih menyerupai seringai iblis. "Mantrai saja, biar mereka ketiduran," usulku.

Bapak lalu meniupkan mantra dari tempatnya bersila. Sementara dari atap rumah, tiga genderuwo mulai protes.

"Kalian selalu sibuk membunuh!!" umpat mereka. "Kapan kalian kawinkan kami dengan perempuan cantik? Kami bosan ditawan terus!"

"Cukuplah menggerutu!" Bapak membuka mata.

 "Beberapa wanita akan datang meminta susuk kecantikan. Kalian pasti kukawinkan. Jadi bersabarlah!" 

Aku tahu Bapak jengkel. Namun ia berusaha mengontrol situasi agar makhluk-makhluk tawanan kami tidak memberontak. 

"Kikikikkik ... kikikik ..." Kuntilanak merah dari pohon pisang ikutan menimpali. "Lalu kapan kau kawinkan aku dengan lelaki perkasa? Aku bosan dengan bau kemenyanmu!"

"Kau juga harus sabar! Tak lama lagi seorang pria muda akan datang berguru ilmu santet. Kau akan kukawinkan dengannya. Bersabarlah!"

"Sabar, sabar! Selalu itu yang kau katakan! Kikikkik ... kikikik ...." Kuntilanak itu terbang ke dahan pohon waru.

"Ayo kita berangkat, Bone. Tak usah peduli celoteh budak-budak itu," ucap Bapak emosi.

šŸ–¤šŸ–¤šŸ–¤

Kami tiba di rumah sakit, tepatnya di depan kamar di mana Nanda dirawat. Ada plang bertuliskan VIP Room di atas pintu masuk. 

Bapak lebih dulu masuk ke dalam, sementara aku berjaga di depan pintu. Duduk di bangku besi dekat jendela. 

Bagi orang awam, rumah sakit ini terlihat mewah. Lantai mengkilap dan tembok putih bersih.

Namun bagi kami pelaku supranatural, rumah sakit ini terlihat sangat mengerikan. Apalagi di saat jam rawan begini.

Mata supranaturalku menyaksi bagaimana kekuatan jahat hilir mudik di lorong-lorong rumah sakit. Benda perdukunan melayang cepat, mencari keberadaan pasien yang ditargetkan.

Jarum, gunting, pisau hingga kuku tajam hampir menyerempet wajahku. Membuktikan maraknya praktek perdukunan di kota ini. 

Tidak semua pasien di rumah sakit ini mengalami penyakit murni. Kebanyakan adalah korban santet. Jika kuterawang, hanya sekitar 15% pasien dengan sakit yang adalah murni penyakit. 

Belum lagi ragam makhluk halus berseliweran memenuhi bangsal rumah sakit. Arwah penasaran yang jiwanya tak mendapat kedamaian menangis terisak di sudut-sudut tembok. Menyedihkan.

 Entah masalah apa yang membebani mereka semasa hidup dulu.

Kuntilanak bergelantung di kusen-kusen jendela. Sibuk menyusui anak. Mereka dulunya meninggal saat bersalin di rumah sakit ini. 

Suster ngesot dalam tayangan film horor, ternyata bukan isapan jempol. Mereka nyata di sini. Masih dalam seragam perawat, hanya saja berlumuran darah. Mengesot dari ujung ke ujung koridor. Seakan tak kehabisan tenaga.

Aku menyugar rambut yang sudah seminggu tak keramas. Gerah. Jika Nanda tewas malam ini, besok aku akan mandi penuh untuk merayakan kemenangan.

"Jam kunjungan sudah lewat. Anda sedang apa di sini?" tanya seseorang membuyarkan.

Aku masih menunduk, bisa kulihat sepatu pantofel hitamnya bagai langit bumi dengan sandal jepitku. Mengangkat wajah sedikit, kudapati pria berseragam putih dengan stetoskop menggantung di leher. 

Menegakkan pundak di sandaran bangku, aku menatap matanya.

"Anda siapa? Tak sembarang orang bisa masuk ke area VIP." Wajahnya berubah serius.

Aku bergeming ... tapi satu kalimat mantra lolos dari celah bibir ini.

"Ah, maaf telah mengganggu," ucapnya salah tingkah. Ia berlalu pergi di bawah pengaruh mantraku.

Kubuka pintu ruangan Nanda dengan dada berdesir gugup.

Di dalamnya, dua wanita yang berjaga sedang terlelap di kursi. Hanyut dalam buaian mimpi. Sudah pasti bermimpi buruk, karena saat ini mereka dikelilingi aura mistis kami.

Bapak yang dalam jelmaan Lastri, sekuat tenaga mencekik batang leher Nanda. 

'Ampun, ampun Lastri!' lirih wanita itu sekarat. ā€œSudah kau rebut pacarku, kau rebut juga nyawaku.ā€

Bapak tak menjawab karena tak paham perselisihan antar keduanya. 

Satu cekikkan terakhir, membuat Nanda menarik napas panjang. Aliran darahnya berhenti total. Mengakibatkan badannya hitam legam. 

Tanda yang khas pada jasad korban santet. 

Kami melesat pergi saat kedua wanita penjaga itu mulai terbangun. Sempat kudaratkan kecupan hangat di bibir ranum mereka sebagai hadiah terakhir. 

šŸ–¤šŸ–¤šŸ–¤

Matahari tegak lurus saat deru mobil memasuki halaman rumah kami. Mobil mewah itu dipenuhi debu usai melewati tanjakan panjang pegunungan. 

Lastri turun dengan wajah berbinar takjub. Melangkah penuh energi ke dalam ruang tamu. Digenggamnya satu amplop coklat berisi penuh rupiah. 

Sesuai kesepakatan, Bapak menerima pembayaran. Untuk sejenak mereka sibuk bercakap-cakap tentang mengapa Lastri membenci Almarhumah Nanda. 

"Wanita ini lumayan seksi, kawinkan aku dengannya!" Si genderuwo tukang protes bersuara dari balik dinding.

Bapak yang sudah malas berdebat, akhirnya membalas lewat bahasa batin. "Kau ikuti saja wanita ini. Bersemayamlah di rumahnya dan jangan berhenti menggoda dia!"

"Baiklah. Dua jempol untuk kebijakanmu, Mbah Dukun!" Si genderuwo tertawa puas.

Lastri pulang dengan si genderuwo melekat di badannya. Bersembunyi dalam celah kancut wanita itu. 

Jika nanti dia gelisah oleh sering digodai genderuwo, dia haruslah bercermin sikap. Bahwa di dunia ini, tidak ada orang jahat yang hidupnya tenang. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status