Bab 8Bapak memberanikan diri. Dari membungkuk, beralih duduk tegak. Menatap Banaspati dengan kedua tangan memohon. "Aku ingin bersekutu denganmu, Banaspati yang perkasa.""Mohon bantu kami mengalahkan musuh-musuh.""Hanya itu saja?!" pekik Banaspati yang membuatku sontak menutup telinga. Suaranya menggelegar dan hawa mulutnya begitu panas. "Be-be-nar, Banaspati yang mulia," jawab Bapak gemetar.Banaspati itu berpindah ke dahan yang lebih tinggi dan masih terus berpendar menyala-nyala. Sementara Banaspati yang lain, terbang menyebar ke pucuk-pucuk pepohonan. Mirip bola-bola api di sirkus singa di Meksiko."Panggil saja aku saat kau butuh, wahai manusia. Tapi harus kau sajikan seekor sapi betina yang besar!!" Suaranya memekik tajam.Demi menjaga kesan baik, Bapak berusaha keras untuk tidak menutup telinga."Kau sanggup, wahai manusia?!" pekiknya lagi. Membuat Bapak terperanjat kaget."Kusanggupi, Banaspati yang mulia!" jawab Bapak tegas.Blep.Suasana kembali gelap total. Hawa pan
Bab 9Hanya dalam hitungan hari, ia menderita penyakit serupa yang pernah diderita Mang Asep. Sungguh aku tak sabar melihat rumahnya terbakar dilalap api. Banaspati sepakat membantu, dan Sukirman akan jadi objek percobaan. Seekor sapi betina seberat setengah ton disajikan di halaman rumah. Bapak membakar dupa beserta rempah wangian kesukaan Banaspati. Tinggal menunggu jin api itu muncul, maka Bapak akan memberi tugas. Membakar rumah Sukirman. Aku merayap ke pohon waru. Berniat bertemu si kunti yang bukan kuntilanak merah.Ia masih terikat di batang pohon. Tertidur dengan iler membanjiri pipi."Kau harus bantu aku sekarang!" ucapku, membuatnya membuka mata. Detik kemudian ia tertawa geli."Kikikikk ... kikikik ... kau siluman ular rupanya, Bone? Kikikikk ... kikikikk ....""Kalau iya kenapa, huh?" jawabku kesal. "Kau harus mengantarku ke rumah Sukirman, mantan bosmu itu! Dulu kau disuruh merusak keharmonisan keluarga Mang Asep, tapi sekarang polanya berubah.""Kau mau apa, tinggal
Bab 10Setibanya di rumah, si kunti menjatuhkanku begitu saja ke tanah. Aku terjun bebas tanpa sayap dari ketinggian lima meter. Mengerang aku, tapi si kunti malah tertawa cekikan. Sembari menahan sakit, aku merayap lambat. Melewati pohon jati di mana sapi betina diikat sore tadi. Sayangnya, hewan pemakan rumput itu sudah mati konyol. Tewas disantap belasan banaspati sebagai sesajen. Ditimpa cahaya bulan, bisa kulihat memar serius pada sekujur tubuh sapi. Merah kehitam-hitaman, pun menguarkan bau hangus yang pedis.Aku bersin-bersin oleh aroma yang tak kusukai itu. ***Keesokan harinya, Mang Asep bertandang ke rumah kami. Membawa kabar tentang musibah yang menimpa keluarga Sukirman."Dia orang baik. Tak layak mati dengan cara demikian," ungkap Mang Asep pilu."Kau yakin dia baik?" Memicing mata Bapakku. "Biasanya orang yang beneran baik akan mati dengan cara baik-baik pula!" "Ya, yang kutahu dia memang baik." Mang Asep mencoba mengubah posisi duduknya di balai-balai.Bapak mempe
Bab 11Hari merangkak sore saat Bapak mengatakan bahwa ia kepingin makan soto.Sejenis makanan berkuah dengan daging sapi yang direbus hingga lunak.Aku disuruh membeli hingga ke pasar kota. Letaknya lima belas kilometer dari desa kami.Jadi aku akan menuruni pegunungan, lalu menunggu angkot di jalanan umum. Dan angkot akan membawaku ke sana.Aku buru-buru pergi demi selera makan soto Bapak terpenuhi. Sempat kudengar teriakan Bapak saat aku menuruni bukit. "Bone, uang Bapak banyak. Nanti kau pakai beli motor. Berhentilah jalan kaki!!"Senyumku melarik. Ternyata Bapak benar-benar serius ingin aku jadi manusia. Okelah kalau begitu. Aku tiba di halte kecil di pinggir jalan. Sembari menunggu angkot, ada tiga Emak duduk bergosip memenuhi bangku.Membicarakan seorang gadis yang rumahnya tepat berada di seberang halte. Gadis itu sedang menyapu halaman. Mengumpulkan dedaunan gugur ke satu titik lalu dibakar. "Namanya Abigail. Anaknya sudah alim, rajin pula bantu orang tua," bisik Emak yan
Bab 12"Yang bener, Tong?" tanyanya dengan raut kurang percaya. "Aku kagak yakin sama hal-hal mistik.""Apa Ibu mau melihat langsung?" tawarku setelah menerima uang kembalian."Ah, emang bisa ya? Otong mah ada-ada aja!" Ia tertawa kecut. Kubuka telapak tangan kiriku, lantas meniupkan mantra ke atasnya. "Eh mau ngapain, Tong?!" pekik si wanita ketika kuusap kelopak matanya menggunakan telapak tanganku."Sekarang Ibu ke depan warung. Lihat apa yang ada di sana," ujarku padanya.Ragu-ragu, wanita itu akhirnya menuruti. Ia lalu melangkah ke depan warungnya sendiri. "Astaghfirullah ....""Astaghfirullah ....""Astaghfirullah ...." ucap si wanita dengan bahu bergetar. Ia tak berani mendekati benda-benda pelet di depan sana. Terpaku di langkah terakhir ia berdiri.Seekor ayam cemani meringkuk di bawah jendela. Ayam itu terlihat pasif, berbeda dengan ayam normal yang biasanya berjalan ke sana ke mari.Di dekat pintu, tergeletak sebuah tampah berisi penuh tanah kuburan. Sedangkan di sepan
Bab 13"Kau lama sekali, Bone. Kau pergi membeli soto atau membuat soto? Hahaha ...." Bapak tertawa heboh saat aku tiba. Padahal napasku belum stabil. Masih ngos-ngosan usai mendaki pegunungan."Cie, cie, cie si Bone. Hahaha ...." Bapak masih saja tertawa. Seperti orang kasmaran. "Bapak itu kenapa, sih?" tanyaku malas. "Cepetan makan sotonya, nanti keburu dingin!" Sengaja kutekan intonasi, biar Bapak stop bercanda. Masih tertawa lebar, Bapak menuang soto ke mangkuk lalu mulai makan. Ia manggut-manggut, memuji kelezatan cita rasa makanan itu. ***Keesokan hari, tepatnya jam delapan malam. Aku selesai bersiap. Akan memenuhi janji memberi penglaris pada si wanita pemilik warung soto yang namanya belum kuketahui. "Kau mau ke mana, Bone?" Bapak tersenyum penuh arti. "Tumben kau pakai parfum malam-malam." "Aku ada janji memberi penglaris. Satu genderuwo akan kulepas malam ini.""Lepas saja, toh kau berhak atas semua aset gaib kita. Bapak percaya padamu." Bapak menepuk pelan pundakku.
Bab 14Perjalanan pulang terasa sepi tanpa si Uwo. Udara malam semakin dingin, sementara di atas sana bulan purnama membulat paripurna yang menciptakan seluet-seluet raksasa dari bayangan pepohonan. Mumpung lagi sendiri, aku ingin bermain gaib. Rindu mengulang kembali kegilaan masa kecil. Masa di mana aku sering memanggil makhluk gaib liar, bermain bersama saat bulan purnama penuh.Melihat jalanan aspal yang licin, aku jadi gemas.Aku pun berubah jadi ular dan menggulung badan serupa bola, lantas menggelinding sepanjang jalan. Melaju layaknya ban kendaraan. Ini seru sekali. Aku bahkan lupa telah melewati rumah Abigail. Kembali merubah diri jadi manusia, aku bukannya menuju ke rumah Abigail. Namun masih ingin bermain sebentar lagi.Malam berada di titik rawan saat kubaca mantra pemanggil makhluk halus. Hawa sekitar mulai meningkat. Menghangat dan tak terlalu dingin lagi.“Asa dua talu, ikam aku panggil artinya kamari. Artinya malam ini ada dadaharan. Artinya aku mainjam ikam, gas
Bab 15Rumah Abigail lumayan besar. Terbuat dari tembok dan beratap seng. Aku merayap mengelilingi rumah itu sebanyak tiga kali sembari merapal mantra.Keluarganya memelihara beberapa kucing. Ada juga aneka burung yang digantung dalam sangkar besi di beranda luar.Aku memikirkan cara bagaimana memasuki rumahnya. Setelah cukup mengamati, aku lalu merayap naik, melalui ventilasi udara. Sedikit gugup. Jangan sampai aku terciduk lalu dicincang oleh Ayahnya. Kepalaku menyembul pada ventilasi berbentuk persegi. Situasi dalam rumahnya masih gelap karena semua lampu dimatikan.Dengkuran nyenyak bergetar dari ruang depan. Aku masuk dan tiba di ruang itu. Ternyata Ayah Abigail tengah tidur pulas di atas sofa. 'Apa ia tak tidur bersama istrinya?' batinku sesaat. 'Ah, kebanyakan rumah tangga senior memang begitu. Makin tua makin hambar ikatan mereka.'Melewati kamar demi kamar, aku mengendus keberadaan Abigail. Saat sampai di depan kamar gadis itu, tiba-tiba lampu dinyalakan. Wanita setengah