Share

DINIKAHI PRIA PLAYBOY
DINIKAHI PRIA PLAYBOY
Author: Jezlyn

001 - Standart Kehidupan

“Itu udah tua tapi kok belum nikah-nikah, ya.”

“Iya, ngejar karir terus makanya susah jodoh tuh.”

“Nggak malu apa gimana sih seusianya udah pada punya anak lho dia masih sendiri aja.”

“Bahkan anaknya Jeng Rania saja dua-duanya udah laku semua.”

“Nggak takut apa nanti nikah usia tiga puluh susah punya anak.”

Berbagai sindiran tetangga sudah menjadi makananku sehari-hari. Bahkan mereka tak segan-segan membicarakan status lajangku di depan mata. Memangnya ada yang salah jika aku lajang? Toh aku lajang dan menikah nanti nggak akan minta biaya resepsi sama mereka, 'kan? Tapi kenapa sih mereka selalu mengurusi kehidupan orang lain seperti ini. Memangnya mereka tak memiliki kesibukan sampai-sampai hidupnya digunakan hanya mengurusi urusan orang dan dijadikan bahan gosip?

Kalau tidak kuat iman mungkin rasanya akan gila menghadapi segala standart masyarakat yang memang sudah ada sejak dulu. Terlebih ucapan para tetangga sering kali membuat mama yang tadinya adem ayem menjadi ikut konfrontasi soal pendamping hidupku. Segala ucapan toxic itu membuat mama selalu gencar mencarikan aku jodoh. Bisa aku lihat kalau mama udah mulai kena toxic omongan yang nggak ada habisnya itu. Kenapa aku bisa bilang gini? Ya, realitas saja. Belum nikah ditanya kapan nikah. Udah nikah ditanya kapan punya anak. Udah punya anak satu kapan nambah lagi. Rasanya pertanyaan ini bakalan ada sampai kapanpun deh. Bahkan sampai spongebob berubah jadi dora pun nggak bakalan hilang pertanyaan ini.

“Kapan, Ki?”

“Sabar Ma, belum waktunya.”

“Waktunya kapan?”

Bisa aku lihat guratan kesedihan di wajah mama. Rasanya kalau seperti ini ingin sekali mengubah pandangan orang soal menikah.

Bagi aku sendiri menikah itu gampang saja kok asal ada calonnya. Kalau nggak mau pakai ribet tinggal datang saja ke kantor KUA dan melakukan ijab qobul saja. Tapi, terkadang hal yang mudah suka dibikin sulit sendiri oleh mereka. Hal yang seharusnya nggak ada, wajib diada-adakan.

“Tapikan umur kamu udah—“

“Tua?”

“Iya kamu udah pantas, Ki.”

Satu lagi yang bikin aku nggak setuju. Usia dijadikan standar dalam pernikahan. Sumpah deh kalau kita ikutin standar dari angka nggak akan ada ujungnya.

“Doain aja, Ma. Kiki juga lagi berusaha kok.”

“Usaha apa? Setiap hari kamu sibuk kerja. Buat apa sih kerja giat tapi jodoh nggak ada.”

Dan, ini yang bikin aku geram sendiri. Masalah karir pun menjadi bahan tolak ukur soal jodoh. Katanya karir maju pasti jodohnya sulit. Apa iya? Memangnya mereka Tuhan sampai mereka bisa berbicara seperti itu. Lagi pula karir bagus itu sebuah anugerah. Kita dipercaya apakah bisa mengelolanya dengan baik atau tidak. Bisa berbagi atau tidak dengan sesama. Bukan disangkut pautin sama jodoh.

Jujur aja aku kurang suka sama yang sering bilang, “Untuk apa sih wanita sekolah tinggi-tinggi. Lagipula ujung-ujungnya juga di dapur. Ijasahnya nggak dipakai.” Sumpah rasanya pengin tertawa kalau mendengar kalimat itu. Emangnya mereka nggak berpikir kalau wanita sekolah tinggi itu untuk mendidik anak-anaknya kelak nanti? Wanita bakalan jadi seorang Ibu dan madrasah pertama bagi anak-anaknya. Kalau wanita itu tidak bisa membaca dan menulis? Lalu anaknya yang memberikan ilmu sejak dini siapa? Bapaknya? Tidak mungkin. Karena seorang wanita yang akan mengurusi segala urusan tetek bengek keluarga. Seorang suami pasti akan sibuk mencari nafkah, dan misal pulang kerja pun pasti akan banyak alasan capek kerja lah jika disuruh untuk menemani anak belajar. Aku bicara gini karena banyak teman sekolahku yang udah pada nikah dulu dan mereka suka mengeluh soal urusan rumah tangganya.

Aku nggak menyalahkan siapapun. Tapi, aku pengin benar-benar menikah di waktu yang tepat. Entah itu kapan, aku juga nggak tahu.

Belum lagi aku memiliki sedikit trauma yang bikin mikir seribu kali untuk menikah dan berhubungan dengan seorang pria. Katakanlah aku gila. Tapi, memang itu yang aku rasakan saat ini.

Kerjaanku setiap hari hanya berkhayal memiliki suami yang ada dalam imajinasiku. Entahlah bakalan terwujud atau tidak, intinya aku ingin menyenangkan hati dulu sebelum nanti patah hati jika aku kembali mengenal cinta.

Nggak bisa mengelak, orang yang jatuh cinta tandanya mereka harus siap patah hati. Dan, saat ini aku belum siap. Yang aku lakukan hanya sekedar kagum-kagum biasa saja nggak lebih.

Jadi inilah kisah hidupku, yang akan aku ceritakan sedikit pada kalian. Di mana aku seperti manusia biasa seperti kalian. Yang memiliki salah dan kekhilafan dalam menjalani kehidupan.

-SHAKIRA INTAN AYU-

***

Jakarta, Indonesia.

"Aaaah ... itu kamu lagi apa, sih, ih ... jangan, geli." 

BYUUUUUURRR.

"Kebanjiran ... kebanjiran," teriak gue ketika merasa ada air yang menyambar wajah gue.

"Kebanjiran gundulmu," omelnya.

Mataku terasa perih, aku mulai membuka mata perlahan yang ternyata lagi mimpi. Sialan. Gara-gara sebelum tidur gibahin Kevin Lutoft sampai ke bawa mimpi begini. Mana kalau gibah dia itu yang hot-hot lagi. Kenapa emang? Kagak terima kalau aku mimpi Kevin Lutoft? Salahkan saja dia yang fotonya bikin kaumku jadi pada liar.

"Bangunnnn!"

Aku langsung menutup telinga ketika mama teriak layaknya toa masjid. Sumpah budek banget ini kuping.

"Iya."

Dengan gerakan malas, akhirnya aku bangun dari kasur yang sudah menemani tidurku selama ini. Akibat ulah mama yang siram air, terpaksa pagi ini kudu nyuci seprei lagi deh. Nggak mungkin, kan, nanti malam tidur sama seprei basah. Keterlaluan nih mama, kan jadi basah.

Yang aku lakukan tentu menarik seprei terlebih dulu, memasukkan ke mesin cuci kemudian memencet tombol-tombol yang ada di mesin cuci pokoknya. Selesai dengan urusan cucian, aku menuju ke arah kamar mandi, memulai ritual di dalam.

Kurang lebih tiga puluh menitan, akhirnya aku keluar kamar mandi dengan tubuh yang sangat segar. Yang kulakukan langsung menuju ke arah lemari. Mengambil kemeja putih, serta rok span berwarna coklat. Tak lupa juga pakai blazer dengan warna senada. Tak hanya itu, aku mengambil pouch yang berisi make-up. Seperti biasa, aku akan mewarnai wajah seperti orang kena tinju Mike Tyson.

"Selesaaaiii," kataku senang ketika melihat pantulan di depan cermin. "Tuh, kan, aku tuh cantik mirip Song Hye Kyo, mata laki-laki nih pada siwer ngelihat."

Selesai mandi, make-up, aku langsung memakai sepatu hak tinggi. Tak lupa ambil tas yang habis aku beli kemarin di mangga dua. Aku tak pernah malu membeli barang produk lokal. Justru aku merasa bangga.

"Sarapan dulu, Ki," perintah Mama.

"Nggak usah, udah telat nih, Ma."

"Nanti maghmu kambuh lagi," omelnya.

"Tenang, Ma, Kiki nanti makan di kantor kok."

Bisaku lihat kalau Mama lagi embusin napas kesal karena aku emang gak pernah sarapan di rumah. Bukan nggak mau menghargai masakan Mama, tapi ini Jakarta guys, kalau berangkat ke kantor jamnya mepet bisa telat nanti.

"Mama bungkusin, ya," tawarnya.

Aku diam tak menjawab, namun melihat ekspresi wajah sedih Mama membuatku tak tega. Akhirnya aku mengangguk meng-iyakan.

"Jangan banyak-banyak, ya, Ma."

"Kalau bawa dikit nanti temen kamu nggak bisa ikut nyicip dong."

Aku meringis aja mendengar Mama berbicara seperti itu. Aku menerima kotak makan bergambar spongebob. Mama meski sudah berumur tapi hobinya nonton kartun. Aku juga heran sendiri dengan beliau.

"Makasih, Ma. Kiki berangkat dulu, ya."

"Hati-hati di jalan, Ki. Selalu berdoa."

Aku mengangguk, kemudian meraih tangan Mama dan menciumnya sebagai tanda pamit untuk berangkat ke kantor. Di mana aku mengadu nasib dan rezeki di sana.

Kini aku tengah menunggu ojek online yang sudah dipesan sebelum keluar rumah. Tak lama menunggu, Abang ojol itu datang sambil menanyakan nama yang pesan.

"Mbak Kiki bukan?"

"Iya Bang, cepetan yuk, udah hampir telat nih," kataku sambil buru-buru naik ke atas jok belakang.

Aku juga menerima helm berwarna hijau yang disodorkan ke arahku untuk dipakai, tapi ada yang bikin aku kaget.

"Bang, ini kancing helmnya kok rusak, sih?"

"Iya Mbak, belum beli helm lagi. Maklum duitnya habis buat makan."

"Tapikan ini buat keselamatan penumpang, Bang."

"Iya, Mbak, maaf kalau begitu."

"Yaudah Bang, gapapa. Kita langsung jalan aja."

"Sesuai aplikasi, ya, Mbak?"

"Iya dong, kan, saya mau kerja di sana."

"Sip, Mbak."

Aku pun langsung perpegangan pada jaket Abang Ojol itu. Mataku menatap jalanan yang sudah mulai padat dengan banyaknya kendaraan roda empat, roda dua. Untung saja naik motor, kalau naik mobil bisa dipastikan sampai kantor siang hari.

Aku memperhatikan cara Abang Ojol itu mengendarai motornya yang super hebat. Gimana nggak hebat coba, dia naik di atas trotoar segala buat nyalip mobil depan. Jujur awalnya takut, sih, tapi lama-lama sudah terbiasa seperti ini. Dibilang melanggar lalu lintas, sih, jelas sekali melanggar, tapi yasudahlah aku nggak mau ikut campur. Lagi pula itu urusan Abang Ojol sama Pak Polisi. Aku cuma pengin cepat sampai kantor aja.

Setelah bergelut dengan polusi Jakarta, akhirnya aku sampai kantor dengan selamat.  Aku buru-buru merogoh tas dan membayar dengan uang tunai ke Abang Ojol itu.

"Maaf, ya, Bang, saya gak kasih uang tip, soalnya lagi bokek belum gajian."

"Hahaha, gapapa kok Mbak. Yang penting jangan lupa bintang lima, ya."

"Sip kalau gitu."

Aku langsung berjalan menuju ke arah pintu lobby kantor yang sangat terlihat mewah, megah, dan luas. Entah kenapa aku sedikit mendengar sayup-sayup suara orang memanggil namaku.

"Mbak Kiki ... Mbak."

Tuhkan ada yang memanggil namaku. Aku mencoba berhenti, dan menengok ke arah belakang. Keningku mengerut bingung ketika melihat Abang Ojol itu mengejar ke arah lobby. Dalam hatiku berpikir kalau Abang Ojol itu minta uang bayaran lebih, atau ....

"Mbak helmnya."

"Astaga, helm!?" Aku segera memegang kepala yang ternyata masih menggunakan helm. Dengan cepat aku lepaskan helm itu dan menyerahkan ke arah Abang Ojol yang masih mengatur napasnya. Dapat aku lihat kalau si Abang ojol itu ngos-ngosan ngejarku tadi.

"Maaf, ya, Bang," kataku sambil meringis tak enak hati.

"Gapapa Mbak."

Aku masih tersenyum malu, padahal waktu berangkat menuju ke sini udah aku hina tuh helm. Tapi, malahan nempel di kepala sampai masuk ke dalam lobby pula. Memalukan.

Tak mau memikirkan soal helm lagi, aku langsung melanjutkan berjalan menuju ke arah lift. Sampai di depan lift, aku bertemu teman-teman yang lagi pada nenteng kopi dengan lambang cup starsbuck.

"Kopi, Ki?"

"Nggak, kamu cuma beli satu tapi sok nawarin."

"Yakan bisa satu berdua, Ki."

"Nggak deh Bang, makasih."

"Yaudah, aku juga basa basi aja nawarin tadi."

Tuhkan, rada-rada emang tuh senior. Ingin memaki, tapi takut kena kutukan kayak malin kundang.

"Eh, aku denger-denger Pak Boss akan pensiun lho," kata Sofi, temen gibah sekaligus temen jomlo.

"Hah, jangan mengadi-ngadi deh." Kini suara Bang Rinto yang menjawab ucapan Sofi barusan. Dia senior di kantor ini. Jabatan dia lumayan tinggi, sih, jadi Manager divisi Humas.

"Kalau Pak Boss pensiun yang gantiin siapa dong?"

"Anaknya lha, Ki."

"Anak yang mana, Sof?" tanyaku dengan wajah penasaran. Soalnya kalau dengar desas-desus, Boss besar punya 2 anak. Tapi, selama kerja belum pernah lihat mereka berdua. Ya, mungkin karena masih baru kali, ya.

"Yang laki-laki, beuuuuuuh ... cakep banget tahu, Ki. Sumpah body dia itu perfek abis, bewoknya apalagi pengin ngelus."

Aku melirik ke arah Sofi yang sedang terkikik saat membayangkan anak dari Boss besar. Entahlah, apakah benar kalau anaknya itu setampan apa yang dikatakan Sofi. Kalau dilihat-lihat dari cara Sofi bicara sih memang betul tampan.

"Emang selama ini dia tinggal di mana, Sof?" tanyaku penasaran dengan sosok Boss baru nantinya. Semoga saja bisa baik seperti Pak Haidar Azekiel.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status