“Jadi, Nak Firman, kapan orang tua nya akan datang melamar Rani?” tanya Ayah Rani.
Namanya Maharani. Usianya nyaris kepala tiga. Karir di kantornya bagus, hingga dia melupakan mencari pendamping. Di saat semua teman sekolah dan teman kuliah sudah membahas masalah menikah dan berkeluarga, Rani justru sibuk dengan karirnya. Lama-kelamaan, dia menarik diri dari aktivitas sosialnya.
Entah bagaimana awalnya, Firman, penanggungjawab proyek yang bekerjasama dengan kantor Rani menjalin hubungan dekat dengannya. Yang tadinya hanya sebatas urusan kerja, lama-kelamaan hubungan keduanya menjadi nyaman dan saling bergantung. Tak jarang Firman bertandang ke rumah Rani dari sekedar mengantar pulang, hingga benar-benar menghabiskan waktu di saat luang.
Firman yang tidak menyangka dengan pertanyaan Ayah Rani tergagap. Dia tak menyangka jika harapan orang tua Rani sampai sejauh itu. Karena Firman sendiri selama ini hanya ingin mengisi kekosongan selama mengerjakan proyek di Surabaya.
Kantor Pusat tempat Firman bekerja ada di Jakarta. Begitu juga dengan keluarganya. Di Surabaya, dia hanya bertugas sementara hingga proyeknya selesai. Karena hanya sementara, tak mungkin istrinya harus keluar kerja untuk mengikuti penugasannya.
“Tidak enak sama tetangga, Rani anak gadis, sering pergi dengan laki-laki yang bukan siapa-siapanya,” sambung Ayah Rani sebelum Firman menjawab.
“Maaf, Om. Saya belum bisa memastikan. Soalnya sampai tahun depan kantor saya di Jakarta sedang sibuk-sibuknya. Dan sepertinya tidak bisa saya tinggalkan.“ Firman mencoba mencari alasan.
Ingin menjawab yang sesungguhnya, kalau sebenarnya dia adalah pria beristri, sepertinya bukan saat yang tepat. Bagaimana bisa seorang pria beristri dekat dengan wanita lain? Jika dia melakukannya, pasti Ayah Rani akan mengusirnya. Firman pikir, lebih baik untuk mengulur waktu, sementara dia punya jawaban yang tepat.
“Kami paham dengan kesibukan Nak Firman. Begini saja, saya sebagai orang tua, takut kalau kenapa-kenapa. Apalagi Rani kan anak perempuan kami satu-satunya. Bagaimana kalau kalian menikah dulu saja. Nanti, kalau Nak Firman sudah longgar, kita bisa perkenalan orang tua, sekaligus mengurus untuk meresmikannya.” Ayah Rani memberi solusi.
Pria paruh baya itu sudah sangat menginginkan Rani segera mengakhiri masa lajang. Usia hampir kepala tiga adalah usia yang rawan. Apalagi Rani punya karir yang bagus. Pria biasa saja, pasti akan minder mendekati Rani.
Dulu, saat Rani belum jadi siapa-siapa, ayahnya sudah berusaha mengenalkan dengan beberapa anak sahabatnya. Namun, selalu saja ditolak. Kini, anak-anak sahabatnya satu persatu sudah berkeluarga. Hanya Firman satu-satunya lelaki yang terlihat serius dengan Rani.
Selain tampang rupawan, Firman terlihat sebagai pria baik-baik. Pria rumahan yang bertanggungjawab. Juga tidak neko-neko. Jadi, apalagi yang harus diragukan? Apalagi usia Firman yang masih muda, seumuran dengan Rani terlihat mereka adalah pasangan yang cocok.
Entah apa yang ada dalam otak Firman saat itu. Dia menerima saja tawaran dari Ayah Rani, tanpa memikirkan keluarganya di Jakarta. Pernikahan siri yang dilakukan hanya mengundang tetangga kanan kiri, memang tak membuat tetangga curiga. Justru tasyakuran yang dilakukan untuk memperjelas hubungan mereka dan menyampaikan alasan tentang kesibukan Firman. Ayah Rani berjanji akan segera meresmikan hubungan keduanya di Kantor Urusan Agama, begitu proyek Firman selesai.
Tak terasa, pernikahan mereka sudah menginjak usia empat bulan. Proyek Firman di Surabaya juga sudah usai. Firman sudah kembali ke Jakarta, dengan alasan pekerjaan di kantor pusat, namun sesekali juga mengunjungi Rani. Apalagi Jakarta-Surabaya bukanlah jarak yang jauh.
Citra, istri Firman yang di Jakarta, tak pernah sedikit pun menaruh curiga. Firman masih sama seperti sebelumnya. Sering ke luar kota, karena memang itulah pekerjaannya. Citra juga tidak pernah mempermasalahkan keuangan karena dia juga bekerja. Gaji Firman memang 100% Citra yang pegang. Tapi, semua bonus ada di tangan Firman.
Di samping itu, Rani yang juga wanita karir tak pernah menuntut materi dari Firman. Sehingga empat bulan punya dapur dua, tak pernah sedikit pun terendus oleh kedua istrinya.
“Sayang, minggu ini aku akan meninjau proyek di Surabaya selama seminggu,” kata Firman saat sarapan pagi bersama Citra dan anak-anaknya.
Citra sudah biasa ditinggal dinas ke luar kota oleh Firman. Dia merasa tak pernah ada yang aneh. Apalagi kehidupan keluarganya baik-baik saja.
Citra adalah cinta pertama Firman. Mereka kuliah satu kampus. Citra adik tingkat Firman dan salah satu mahasiswi popular. Namun, cintanya jatuh pada Firman.
Mereka berdua nikah muda, saat baru lulus kuliah. Kala itu, Firman belum siapa-siapa. Citra rela hidup susah tinggal mengontrak di rumah petak. Saat Firman masih sibuk sana sini mencari pekerjaan, Citra sudah bekerja sebagai staf admin di salah satu perusahaan swasta.
Seiring waktu, Firman diterima bekerja di tempatnya yang sekarang. Atas dukungan Citra, karirnya melesat. Citra sendiri tak pernah memikirkan karir. Dia sudah merasa cukup meski sudah senior hanya sebagai staf. Dia lebih mementingkan keluarga dan sering menolak untuk dipromosikan karena khawatir tidak sebebas sekarang jika tanggung jawab pekerjaan bertambah.
Sebagai wanita rumahan, Citra pun lebih mementingkan keluarga. Tak heran jika karirnya hanya begitu-begitu saja. Kalah jauh dengan yuniornya. Selain itu, Citra juga menarik diri dari aktivitas media sosial. Dia sering merasa minder dengan teman-temannya. Dia yang dulu popular, sekarang kalah jauh dengan teman-temannya.
“Iya, Sayang. Ohya. Aku juga minta ijin, sabtu ini ada reuni, boleh ya?” sahut Citra.
Citra sebenarnya kurang menyukai acara kumpul-kumpul. Tapi, karena acara reuni kali ini hanya reuni kecil geng nya SMA, rasanya tak ingin untuk dilewatkan meskipun dia harus menempuh ratusan kilometer. Dia sudah kangen mengenang masa mudanya setelah sekian lama berjibaku dengan urusan rumah tangga.
“Ya boleh, terserah mama. Yang penting hati-hati,” jawab Firman. Pria itu mengecup kening istrinya, sebelum kemudian meninggalkan Citra untuk berangkat ke kantor. Anak-anak biasanya urusan Citra.
***ETW***
“Jadi kapan kita akan menikah secara resmi?” tanya Rani sambil bermanja di bahu Firman. Minggu ini Firman sedang dinas ke Surabaya selama seminggu. Setiap dinas ke Surabaya, tentu saja Firman akan menginap di rumah Rani.
“Nanti sayang. Mas belum sempat mengurus surat-suratnya,” dalih Firman.
Rani hanya dapat menghela nafas untuk bersabar. Bagaimanapun Rani sangat ingin segera meresmikan hubungan mereka dan mengundang teman-temannya untuk hadir di acara resepsi pernikahannya. Rani selalu merasa risih jika bertemu teman lamanya dan ditanya statusnya. Sebuah buku nikah, jauh lebih berharga dibandingkan hanya gambar foto berdua dengan Firman.
“Ngga usah sedih, pasti nanti segera aku urus,” bujuk Firman sambil menjawil dagu Rani.
***ETW***
Sore itu Rani dan Firman sengaja jalan-jalan di salah satu pusat perbelanjaan. Apalagi yang tidak dia lakukan selain menghabiskan waktu dengan Firman mumpung dia sedang di Surabaya.
“Makan yuk, Mas. Aku lapar, “ ajak Rani sambil menggamit lengan Firman menuju Foodcourt di lantai lima pusat perbelanjaan terbesar di kota Surabaya.
“Aku ke toilet dulu ya, Ran,” kata Firman setelah memesan menu.
Sedang Rani memilih menunggu menu yang dipesan sambil memainkan ponselnya.
“Hai! Rani kan? Maharani?” Seorang wanita dengan baju tunik dan jilbab pasmina menyapa Rani. Dia mendekat, memastikan yang disapa adalah benar sahabatnya saat SMA dahulu.
Sekilas Rani mengingat-ingat.
“Ya ampun Citra! Apa kabar?” Rani bangkit dari duduknya. Ia segera menghambur ke pelukan Citra.
Mereka berdua bersahabat saat masih SMA. Rani hampir tak mengenal Citra. Ibu muda itu jauh berbeda dengan saat SMA dulu. Dulu dia terlihat modis dan berkelas. Sementara sekarang, jauh terlihat sederhana.
Sejak lulus SMA keduanya terpisah. Mereka kuliah di kampus yang berbeda. Keadaan juga yang membuat keduanya tidak saling kontak. Rani yang menarik diri dari aktivitas sosial karena belum berkeluarga. Citra yang menarik diri karena kesibukan bekerja dan punya tiga orang anak di usia belum genap tiga puluh tahun.
“Sedang apa di Surabaya? Sama Siapa?” Rani memindai sekitar, memastikan ada seseorang yang sedang bersama Citra.
Bahkan, Citra belum sempat menjawab pertanyaan Rani sebelumnya.
“Ya ampun, Ran. Kan tadi ada reunian khusus teman-teman sekelas kita, cewek-cewek aja. Ternyata temen-temen kelas kita banyak yang di Surabaya. Kamu tadi di cari-cari lho. Acara ini 'kan sudah diposting di grup. Sudah lama dan sering dibahas,” ujar Citra antusias.
Sebenarnya, Citra tahu acara itu juga karena ada salah satu yang men-japri-nya. Tapi, ia sama sekali tidak ingat untuk menghubungi salah satu sahabatnya, Rani. Waktu itu malah kepikiran kalau Rani salah satu yang bakal datang, karena memang orang tua Rani orang Surabaya.
Kebetulan mereka dahulu SMA di Solo, saat orang tua Rani yang asli Surabaya pindah tugas ke kota itu. Sementara, Citra sendiri asli Solo.
Rani tertegun sejenak. Dia memang malas mengecek percakapan di grup alumni sekolah maupun kuliah. Bahkan sampai ribuan notifikasi, saking tidak pernah dibukanya kedua grup itu.
“Trus yang lain mana?” tanya Rani penasaran.
“Udah bubar semua. Cuma sebentar kok tadi. Makan-makan, udah,” Citra menjawab dengan antusias.
“Kamu nginep dimana?” tanya Rani. Dia ingin menawarkan sahabatnya menginap di rumahnya. Bisa ngobrol-ngobrol sampai malam, seperti saat masih gadis dulu.
“Aku nggak lama. Ini langsung balik Jakarta. Kebetulan papanya anak-anak juga lagi keluar kota,” jelas Citra.
Ada rona kecewa di wajah Rani. “Padahal aku kangen. Dah lama banget nggak ketemu,” sungut Rani. Masih seperti dulu.
“Kamu apa kabar?” tanya Citra seraya mengambil tempat duduk berhadapan dengan Rani.
“Baik!” Pandangan Rani yang semula ke Citra, beralih ke belakang Citra. “Eh, aku kenalin ya sama suami aku,” kata Rani saat melihat Firman menghampirinya.
Citra yang duduknya berhadapan dengan Rani, segera menoleh ke belakang mengikuti arah Rani melihat.
Seketika mata Citra langsung membulat sempurna. Begitu juga Firman. Firman tak menyangka Citra ada di Surabaya.
Citra yang duduknya berhadapan dengan Rani, segera menoleh ke belakang mengikuti arah Rani melihat. Seketika mata Citra langsung membulat sempurna.Begitu juga Firman. Pria itu tak menyangka Citra, istrinya, ada di Surabaya. “Citra!” Citra mengulurkan tangannya sambil tersenyum menyebutkan namanya, seolah tidak mengenal Firman. Firman ragu melihat uluran tangan itu. Namun, demi menutupi fakta yang sesungguhnya di depan Rani, terpaksa dia menerima uluran tangan singkat itu. “Mas, ini Citra sahabatku SMA.”Bak disambar petir mendengar ucapan Rani. Mata Firman seketika membulat, lalu segera mencoba mengendalikan diri. Firman segera menunduk, tak berani menatap Citra lebih lama. Gemuruh di dadanya tak karuan. Degup jantungnya menjadi tak menentu. Rasa bersalah dan malu pada istrinya, bercampur menjadi satu. Bersamaan dengan itu, Rani pindah posisi duduk, mendekat ke Citra. Kini, kedua istrinya duduk bersebelahan, membuat denyut jantung Firman semakin tak karuan. Sedang Citra berlaku
[Weekend ini aku ke Jakarta, lho. Kita ketemuan, ya.] Sebuah pesan masuk ke ponsel Citra.Citra hanya mengernyit. Tidak ada namanya. Tepatnya, Citra belum menyimpan nomor kontak itu.Citra memilih memasukkan kembali ponsel itu ke dalam laci meja kerjanya. Tak ada niat membalasnya segera. Pekerjaan kantornya yang menumpuk, membuatnya melupakan segala masalahnya. Dan Citra sangat bersyukur dengan hal ini. Karena membuatnya tidak tenggelam dalam emosi. Sayangnya, saat dia memasuki rumah, emosinya kembali terkuras. Melihat anak-anak yang ceria, membuat dia teringat masa-masa bahagianya bersama Firman, yang kini hancur dalam sekejap.Menjelang tidur, Citra membuka kembali ponselnya yang sejak siang tadi hanya berada di tas kerjanya. Dilihatnya berderet notifikasi pesan singkat disana. [Hei, nggak dibales, sih. Ini Rani.] Pesan itu masuk beberapa saat setelah pesan yang pertama. [Aku boleh main ke rumahmu, kan? Aku ingin lihat keponakanku yang lucu-lucu.] Pesan berikutnya terbaca oleh
[Share loc, ya. Aku jemput!] Citra dengan semangat mengirimkan pesan ke Rani setelah duduk di belakang kemudi. Dia sudah terbiasa menyetir sendiri. Tak hanya mengantar anak-anak sekolah, namun juga belanja dan bekerja, selama ini sudah terbiasa dengan mobil sendiri.Hatinya sedikit lega karena Firman ada di rumah. Artinya tidak perlu energi untuk banyak bersandiwara di depan Rani. Meskipun tetap saja Citra mesti bersandiwara seolah-olah Firman suami Rani adalah Firman yang berbeda dengan suaminya. Citra melajukan mobilnya menuju apartemen Rani setelah memperoleh lokasi. Dia ingin mengorek banyak hal tentang hubungan Rani dan Firman. Seberapa lama Firman, yang dia pikir setia, telah mengkhianatinya. “Mana suamimu?” tanya Citra begitu masuk ke apartemen milik Rani penuh selidik. Pandangannya mengedar ke seluruh penjuru ruangan. Keningnya berkerut. Apartemen ini masih kosong!Dalam hati Citra berfikir keras. Jadi, Firman benar-benar tak punya tempat tinggal lain, selain rumah yang mer
Setelah menidurkan anak-anak, Citra masih melihat Firman duduk di depan TV. Setiap melihat Firman, denyut jantungnya seperti terpompa lebih cepat. Ada rasa gusar dan marah. Tapi semuanya tak bisa diungkapkan. Mungkin, terlalu sakit luka yang tertoreh. Tak pernah sedikitpun terbersit Firman akan mengkianatinya. Laki-laki yang dulu sangat di cintainya. Seorang ayah yang sangat sayang kepada anak-anaknya. Sepertinya, semua itu hanya akan tinggal kenangan. “Mas, pergi temui Rani. Kamu sudah menghancurkan hidupku. Janganlah kamu hancurkan hidup Rani,” kata Citra lirih penuh penekanan. Hati Citra berkata, sepertinya lebih baik dia tak melihat Firman di rumah ini. Itu jauh lebih baik bagi emosinya. Dibandingkan melihatnya hanya akan menambah luka hatinya. Bayangan Firman bersama Rani pun semakin membuatnya terasa nyeri. Firman menatap ke arah Citra. Tapi, Citra segera berpaling dan bergegas pergi menjauhinya. “Dik, Mas ngga akan pergi sebelum kamu maafkan.” Firman sudah berdiri di belak
Pagi itu, Citra menjadi kurang fokus pada pekerjaannya. Pikirannya menggembara, mencari strategi bagaimana dia harus mengatakan siapa Firman sesungguhnya pada Rani. Citra menghela nafas. “Sepertinya aku harus segera mengambil keputusan, sebelum Rani tahu semuanya,” batin Citra. Ibu muda itu tak ingin sahabatnya merasakan sakit hati, seperti yang dirasakannya. Wanita manapun, pasti tak mau hatinya diduakan. Baik dia sebagai istri pertama, maupun istri kedua. Mendadak, nada panggilan masuk ke ponsel Citra. Meski tak biasa menerima panggilan saat jam kerja, pagi itu melihat nama Rani tertera di layar, Citra segera bangkit. Dia keluar ruangan sejenak, mencari tempat yang agak sepi untuk menerima panggilan telepon. “Citra, akhirnya benar katamu. Sepertinya kamu nggak perlu repot mencari tahu tentang Mas Firman. Lusa, aku pindah tugas ke Jakarta. Aku dapat mutasi ke kantor pusat di Jakarta.” Suara Rani dari seberang telepon terdengar ceria, namun, sontak membuat Citra ternganga. P
Mata Firman membulat. Apa? Rani pindah ke Jakarta? Bahkan dia belum mengetahui berita ini. Apa Rani sengaja menyembunyikan rencana ini? pikir Firman. Kadang wanita penuh kejutan. Mereka sulit ditebak. “Dua hari lagi dia akan datang. Kembalilah engkau padanya. Dia lebih membutuhkanmu,” lanjut Citra. Seketika Firman merasakan lututnya lemas. Dia luruh terjatuh di lantai. Pandangannya kosong. “Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan,” desis Firman lirih nyaris tak terdengar. Kepalanya menunduk. Bahkan tangannya mengacak rambutnya karena tak tahu harus berbuat apa. Dengan gerak cepat, Citra segera menyelesaikan mengemas barang-barang Firman, lalu ia menutup koper tersebut. “Sekarang kamu pilih, Mas. Aku atau kamu yang pergi!” seru Citra. Citra makin mantap untuk berpisah. Tak ada gunanya dipertahankan. Bahkan berbicara saja rasanya enggan. Sejak peristiwa pengkianatan itu tersingkap, Citra merasa tak ada upaya dari Firman untuk berbicara baik-baik dengannya. Tak pernah ada pembi
Firman masih diam mematung di kamarnya, ketika bel apartemennya berbunyi. Mungkin hanya pengelola apartemen, batinnya. Karena hanya mereka yang bisa langsung naik hingga depan unitnya. Tamu yang tak punya kartu akses tak bisa langsung ke atas. Firman beranjak, bergegas membuka pintu.“KEJUTAN!” teriak Rani. Wanita muda itu sudah berdiri di depan pintu membawa dua buah koper besar dengan kedua tangan terentang siap memeluknya.Mata Firman terbelalak. Tak menyangka, secepat itu istri mudanya datang. Untungnya Citra segera menyuruhnya pergi. Jika tidak? Bagaimana kalau Rani sampai tahu sebenarnya dia tak tinggal di tempat itu. “Aku pindah Jakarta, Mas. Aku bahagia akhirnya bisa bersamamu!” Rani memeluk Firman yang masih mematung. “Kenapa? Kamu kaget ya?” tanya Rani sambil mendorong kopernya masuk ke dalam. Firman masih seperti bangun dari mimpi. Berkali-kali dia mengerjap, namun kemudian dia tersadar dan membantu Rani memasukkan barangnya ke apartemen. “Aku sengaja nggak ngabarin ka
Kepala Firman berdenyut. Sedangkan masalahnya dengan Citra saja belum dia tuntaskan. Mengurus dokumen pernikahan kedua, bukanlah hal mudah. Bahkan berlipat-lipat rumitnya. Dan itu tak pernah terbayangkan oleh Firman sebelumnya. Dia terlalu larut oleh kenyamanan semu yang selama ini diperoleh dari Rani. Kalau boleh memilih, tentu Firman akan mempertahankan Citra. Wanita yang teramat dicintainya. Selain cinta pertamanya, Citra sudah berkorban mendampinginya dari dia belum siapa-siapa. Cita pula yang selama ini menghadirkan kebahagiaan, yang telah memberinya tiga anak-anak yang lucu dan pintar. Hanya kebodohannyalah yang menghancurkan semuanya. Tapi, Firman pun tidak bisa begitu saja meninggalkan Rani. Gadis cerdas dengan karir gemilang yang begitu penuh harap mendapatkan jodoh yang diimpikannya. Dengan karirnya yang bersinar, hanya pria mapan yang berani mendekatinya. Dan Firman melakukan kesalahan besar untuk itu. “Mas, kamu kok malah melamun?” tanya Rani. Dia sedikit heran dengan
Firman mendorong troly berisi koper miliknya dan juga koper kepunyaan papa dan mamanya. Pagi itu mereka sudah mendarat di bandara Schipol Amsterdam. Jam di bandara masih menunjukkan pukul tujuh pagi waktu Belanda. Ini adalah pertama kalinya Firman menginjakkan kaki di Belanda. Negeri dimana keempat anaknya dan mantan istrinya tinggal. Ada rasa ngilu menjalar di dadanya, bercampur dengan kerinduan. Ngilu mengingat kesalahannya yang berakibat hancurnya keluarga yang sudah sekian tahun dia bina bersama Citra. Hancur karena kesalahannya, terlena dengan kelembutan Citra. Tak dipungkirinya, setahun mereka berpisah, ada rindu yang menggelora dalam jiwanya. Rindu kepada Citra yang tak kan mungkin bisa kembali lagi. Rindu kepada ke empat anaknya, terutama Reva yang mungkin belum pernah merasakan belaian kasih sayangnya. “Man, itu adikmu di sebelah sana,” ujar Mama Firman saat melihat Farhan melambaikan tangan dari arah pintu keluar. Papa dan Mama Firman segera beranjak menghampiri Farha
“Aku minta maaf atas kejadian tadi,” kata Farhan usai Citra menidurkan anak-anaknya. Farhan mendekati Citra yang sudah duduk di sisi ranjang. Lalu ia duduk disebelahnya. “Kali ini, tolong dengarkan aku, Citra,” tukas Farhan lagi. Dipandanginya wajah istrinya yang tampak masih kecewa. “Han, sampai kapan kamu membenci Rani?” tanya Citra. Citra memang kadang lupa memanggil ‘mas’ ke Farhan, karena memang mereka dulu berteman dan mantan adik iparnya. Tapi, Farhan tak masalah. Citra memang perlu waktu untuk beradaptasi dengan kehidupan barunya setelah sepuluh tahun menganggapnya bukan siapa-siapa. “Aku tidak membenci Rani. Aku tidak suka dengan kelakuannya. Nih lihat!” Farhan mengangsurkan ponselnya ke Citra. Mata Citra membulat sempurna. Di gambar itu terlihat Rani sedang dibantu berjalan oleh Farhan. Tangannya merangkul ke pundak Farhan. Sedang Farhan memeluk pinggang Rani. Dan Rani menggunakan pakaian terbuka. Sangat berbeda dengan tampilan tadi saat berkunjung ke rumah mereka.
Farhan tidak habis mengerti dengan Citra. Jelas-jelas Rani menunjukkan gelagat yang kurang baik. Tapi, masih bisa-bisanya Citra selalu membelanya. Dalam banyak hal, Citra memang terlalu banyak berprasangka baik ke orang lain. Itu juga yang membuatnya terjatuh saat bersama Firman. Tak pernah sekalipun ada rasa curiga ke suaminya, hingga akhirnya Citra melihat dengan mata kepalanya sendiri kenyataan yang ada. Akhirnya, Farhan harus mengalah. Tak ada gunanya terus menerus berdebat dengan Citra. Ini masalah kecil. Tapi jadi rumit jika tidak segera diatasi. Farhan segera mengambil ponselnya. Lalu memblokir semua akses yang mengarah ke Rani. Tak lupa, ponsel Citra yang biasanya hanya diletakkan di ruang tamu, juga diblokkir aksesnya dengan sahabat istrinya itu. Farhan tak mau ada duri dalam daging dalam keluarganya. ***“Rani?! Sejak kapan kamu di sini?” tanya Citra yang baru pulang menjemput Romi. Dilihatnya Rani sedang berdiri di ambang pintu rumahnya. “Setengah jam yang lalu. Ponselm
“Ran, kamu turun sini ya. Tinggal lanjut naik kereta ke Amsterdam,” kata Citra saat mobil Farhan minggir di dekat stasiun Den haag. Farhan sama sekali tidak ada niat mengantarkan Rani. Toh dia juga sebenarnya tidak diajak, pikir Farhan. Bahkan, sepanjang perjalanan Farhan tidak berniat mengajak Rani bicara. Mereka sudah pulang dari Paris setelah menghabiskan akhir pekan di negeri Napoleon itu. Bagi Farhan, kehadiran Rani menghancurkan segala rencananya. Namun, tak ada gurat kecewa di wajah Citra. Wanita itu selalu saja merasa baik-baik saja. Bahkan, beberapa kali berusaha menghibur suaminya yang terus saja menunjukkan kekesalannya. Namun, kini Citra harus mengalah saat Farhan memutuskan untuk menurunkan Rani di depan stasiun. Farhan hanya tak mengerti. Sampai sebegitunya Citra harus mengorbankan perasaannya demi sahabatnya. Kadang Farhan berfikir dia tak salah memilih istri. Meski sudah punya empat anak, tapi hatinya bak bidadari. Tapi, kalau sudah berlebihan, dia tak tahan juga. K
Tok tok tok“Citra!”panggil Rani sambil mengetuk pintu kamar Citra dan Farhan. Hari sudah malam, tapi Rani belum juga dapat memicingkan matanya.“See?” ucap Farhan sambil menatap tajam ke Citra, seolah memberi isyarat bahwa apa mengajak Rani ke Paris adalah keputusan yang keliru. “Maaf,” tukas Citra dengan nada bersalah. Citra segera menyambar kimono tidurnya dan keluar kamar menemui Rani. “Ada apa Ran?” tanya Citra sambil menutup kembali pintu kamarnya. “Temeni aku, dong. Aku nggak bisa tidur,” kata Rani sambil menarik tangan Citra menuju kamarnya.Dulu saat masih SMA Citra dengan Rani memang akrab. Mereka sering menginap bersama dan cerita-cerita sampai mereka mengantuk. “Jadi, aku pengen melupakan masa laluku, Cit. Makanya aku bela-belain kuliah sampai sini. Aku pikir, aku tidak akan bertemu siapapun orang yang pernah kukenal. Taunya, malah ketemu kamu. Dunia sempit, ya!” ujar Rani. Rani lantas melanjutkan ceritanya mengenai studinya. Tentu saja bukan hal yang sulit bagi Rani
“Ayo sayang, kita berangkat sekarang,” kata Farhan sambil menggendong Reva. Lalu ia meletakkan bayi mungil itu ke car seat yang ada di baris ke dua mobilnya. Sedang Rio dan Romi sudah siap di bangku belakang. Tak lama, Rara pun ikut duduk di car seat sebelah Reva. Akhir pekan ini, seperti janji Farhan, dia akan mengajak Citra liburan ke Perancis. Negara yang tak jauh dari Belanda ini. Jarak Paris dari Den haag hanya memakan waktu empat jam perjalanan. Farhan sengaja berangkat pagi-pagi, agar ia dapat mengajak Citra dan anak-anaknya keliling di beberapa tempat tujuan wisata di kota Paris. Besoknya, mereka akan mengajak anak-anak ke Disneyland. “Tunggu!” Baru saja Farhan akan menjalankan mobilnya ketika sebuah panggilan dalam bahasa Indonesia mengagetkan mereka. “Rani?” Farhan dan Citra saling berpandangan. Mengapa Rani sudah berada di sini sepagi ini? Gumam Farhan. Dari mana dia tahu tempat tinggalnya? Apa Citra memberitahukannya? Citra segera keluar dari mobil untuk menghampiri
Setelah mendapatkan nomor Farhan, Rani tak tinggal diam. Berawal hanya menanyakan nama kantor dan alamat kantornya, akhirnya Rani berhasil mengajak Farhan makan siang. "Waktuku nggak banyak, Ran. Kalau kamu mau, kamu harus datang tepat waktu," ujar Farhan setelah beberapa kali menolak ajakan Rani. Tak perlu menyia-nyiakan kesempatan. Rani segera bergegas. Bahkan dia tak peduli kalau usai makan siang ada jadwal kuliah. Toh, selama ini dia belum pernah bolos. Jadi, tak mengapa sesekali absen. Perkara alasan, nanti bisa dicari. Demi agar tidak terlambat, Rani datang duluan. Sedikit banyak dia ingat karakter Farhan yang selalu on time, jutek dan tidak mau ditawar. Cafe yang tak jauh dari kantor Farhan menjadi pilihan. Ada menu halal di sana. Biasanya Farhan hanya makan siang dengan bekal yang disiapkan Citra. Namun, karena dia sudah janji dengan Rani, terpaksa dia harus makan di luar. Rani tersenyum simpul saat melihat Farhan menghampiri. Pria itu terlihat lebih tampan dengan stelan
Bekerja lembur bukanlah tradisi orang Belanda. Mereka bekerja dengan sangat efisien. Jam lima sore lewat sedikit biasanya mobil-mobil sudah terparkir kembali di depan rumah. Jam enam sore, umumnya orang Belanda sudah selesai makan malam. Jam delapan malam anak-anak di Belanda sudah berangkat tidur.“Citra, apa kamu bersedia jika aku meminta satu anak dari darah dagingku?” bisik Farhan.Citra sudah selesai menidurkan Reva dan Rara. Musim semi di Belanda membuat udara terasa segar. Tidak terlalu gerah tapi juga tidak terlalu dingin. Semilir angin mengintip melalui celah ventilasi yang dibiarkan terbuka. Sangat cocok pagi pasangan untuk memadu kasih. “Jangankan satu, lima pun aku bersedia,” jawab Citra sambil mengerling manja. Mungkin Farhan benar. Cinta Citra akan tumbuh seiring dengan waktu. Beruntung Farhan membawanya ke tempat yang baru. Ke tempat yang dia bisa melupakan kenangan tentang Firman. Ke tempat dimana hanya ada Farhan di sisinya dan mencurahkan segala kasih kepadanya. F
“Makasih ya, sayang. Kamu sudah bersedia menjadi pendamping hidupku. Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat menantimu,” ujar Farhan di antara semilir angin musin semi di kota Den Haag. Dibukanya jendela apartemennya. Tampak dari kejauhan pemandangan wind molen terlihat dari jendela. “Aku yang berterimakasih kepadamu, sudah mau menerima anak-anak,” sahut Citra. Jarum sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Citra segera beranjak untuk menyiapkan sarapan. Tidak seperti di Indonesia yang sarapannya ribet. Di sana, Citra hanya cukup menyiapkan susu sereal, atau roti bakar. Mereka benar-benar memulai hidup baru. Bagi, Farhan menjadi ayah baru dari empat keponakannya tidaklah berat di negeri kincir angin ini. Tidak ada stigma buruk menikah dengan janda punya anak banyak. Di kota itu pun, Citra tidak akan kesepian. Banyak orang Indonesia yang tinggal disini. Citra bisa ikut aktivitas di Masjid Indonesia, atau pengajian warga Indonesia yang ada di Belanda atau pun di KBRI jika mau. Ter