[Weekend ini aku ke Jakarta, lho. Kita ketemuan, ya.]
Sebuah pesan masuk ke ponsel Citra.
Citra hanya mengernyit. Tidak ada namanya. Tepatnya, Citra belum menyimpan nomor kontak itu.
Citra memilih memasukkan kembali ponsel itu ke dalam laci meja kerjanya. Tak ada niat membalasnya segera.
Pekerjaan kantornya yang menumpuk, membuatnya melupakan segala masalahnya. Dan Citra sangat bersyukur dengan hal ini. Karena membuatnya tidak tenggelam dalam emosi.
Sayangnya, saat dia memasuki rumah, emosinya kembali terkuras. Melihat anak-anak yang ceria, membuat dia teringat masa-masa bahagianya bersama Firman, yang kini hancur dalam sekejap.
Menjelang tidur, Citra membuka kembali ponselnya yang sejak siang tadi hanya berada di tas kerjanya. Dilihatnya berderet notifikasi pesan singkat disana.
[Hei, nggak dibales, sih. Ini Rani.] Pesan itu masuk beberapa saat setelah pesan yang pertama.
[Aku boleh main ke rumahmu, kan? Aku ingin lihat keponakanku yang lucu-lucu.] Pesan berikutnya terbaca oleh Citra.
[Nanti kita jalan-jalan ya. Kamu ajak keluargamu, aku ajak suamiku.]
Citra mengenggam ponselnya erat. Hatinya semakin hancur.
"Rani, Maafkan aku." Citra segera meletakkan ponselnya di nakas setelah dinon-aktifkannya ponsel itu. Seolah tak ingin membaca pesan dari Rani.
***ETW***
Sudah hampir seminggu sejak kepulangan Firman dari Surabaya, Citra masih mendiamkannya. Citra seperti marah namun tak dapat mengungkapkan. Dia hanya bisa diam membisu.
Firman pun tak jua berani buka suara untuk menjelaskan apa yang sudah terjadi. Lidahnya menjadi kelu melihat kebisuan Citra. Bahkan, menyentuh Citra pun Firman menjadi segan. Firman tahu, dia sudah melakukan kesalahan besar. Tapi tak tahu bagaimana caranya memperbaiki.
Tapi itu semua hanya terjadi antara Firman dan Citra.
Citra masih seperti biasa pergi bekerja dan mengurus kebutuhan rumah tangga. Beruntung mereka punya dua asisten yang mengurus rumah dan anak-anak.
Firman hampir lupa kalau hari ini Rani akan ke Jakarta. Untungnya, tidak sulit mencari apartement full furnished di Jakarta.
[Mas, jangan lupa jemput, ya. Aku sudah mau boarding] Sebuah pesan dari Rani masuk ke ponsel Firman.
Firman yang dari tadi mematung melihat Citra yang masih terdiam di kamar Rara, segera beranjak.
“Mas …. ” panggilan lirih Citra menghentikan langkah Firman.
Langkah Firman pergi di hari libur seolah memberi isyarat bagi Citra kalau Firman tak benar-benar minta maaf padanya.
“Ceraikan aku….” lanjut Citra. Airmatanya masih mengurai, menganak sungai membasahi wajah cantiknya.
Kalimat singkat yang meluncur dari mulut Citra sontak membuat hati Firman hancur berkeping-keping. Itu adalah kata-kata yang paling ditakuti Firman. Bodohnya dia, kenapa tidak dari dulu dia menyadari bahwa kesalahannya akan membuat kata itu meluncur dari mulut Citra.
Firman berbalik dan berjalan mendekati Citra yang duduk menyendiri di depan jendela kamar Rara. Dia melipat kakinya di depan Citra, agar bisa melihat wajah Citra dari dekat. Diraihnya jemari tangan Citra dan ditautkannya dengan jemarinya erat.
“Mas, minta maaf. Jangan pernah katakan itu. Jangan hukum mas seperti ini.” Air mata Firman luruh.
Tapi Citra bergeming. Menatap Firman saja rasanya enggan. Citra lebih memilih menatap luar jendela. Melihat kendaraan yang melintas di depan rumahnya.
Hingga bunyi ponsel membuat Citra menoleh, karena Firman tak jua mengangkatnya.
“Angkat, Mas,” kata Citra.
Namun, Firman justru membuat nada diam di ponselnya. Tak ada keinginan mengangkat, meski tahu siapa yang memanggil.
Citra menjadi geram. “Aku memaafkanmu, jadi tolong tinggalkan aku,” jawab Citra tanpa sedikitpun menatap Firman. “Pergilah, jangan buat sahabatku luka,” lanjut Citra.
Kata-kata Citra sungguh menyakitkan. Citra hampir tak pernah berkata sekaku ini. Biasanya dia akan berkata yang lembut dan hangat.
“Dik…” Firman tergugu di hadapan Citra. Dibenamkannya kepalanya ke pangkuan Citra, berharap Citra akan melunak. Firman merasa sudah tidak ada harganya dihadapan Citra.
Panggilan ponsel kembali terdengar.
“Pergilah, Mas. Jangan membuat sahabatku menunggu.” Citra berdiri dari kursi tempat dia duduk. Pangkuannya sudah basah dengan air mata Firman. Tak ada gunanya menangis sekarang. Semua sudah terjadi.
Bagi Citra, yang terpenting adalah kejelasan menghadapi masa depan.
***ETW***
“Maaf sayang, Mas terlambat. Macet,” dalih Firman saat menjemput Rani di bandara.
Firman melajukan mobilnya menuju apartemen yang baru kemaren dipesannya. Beruntung dia sempat melihatnya terlebih dahulu, dan meninggalkan beberapa setel baju cukup buat menghabiskan akhir pekan bersama Rani.
“Kamu kok bengong, Mas dari tadi. Apa kamu ngga suka aku ke Jakarta?” tanya Rani setelah beberapa saat merasakan kebisuan.
Firman memang hanya diam sambil mengemudikan mobilnya. Beda jauh dengan saat di Surabaya, dia selalu banyak bicara, meskipun biasanya hanya menanggapi cerita Rani.
Rani memang hampir tak pernah mencecar menanyakan hal pribadi ke Firman. Bagi Rani, mungkin Firman tipe laki-laki yang tidak suka ditanya hal pribadi. Toh, selama ini Firman punya alasan mengapa dia belum bisa bertemu dengan orang tua Firman.
“Maaf, Rani, Mas banyak kerjaan. Sepertinya Mas tak bisa menemanimu jalan-jalan akhir pekan ini karena lembur,” dalih Firman.
Sebenarnya, dia tak ingin meninggalkan Citra dalam keadaan seperti ini. Dia ingin memperbaiki hubungannya dengan Citra terlebih dahulu.
“Ngga papa, Mas. Nanti aku janjian ketemu Citra. Siapa tau dia bersedia menemaniku jalan-jalan bersama keluarganya,” lanjut Rani.
Degup jantung Firman berpacu lebih kencang saat mendengar kata-kata Rani. Bagaimana mungkin Citra akan mengajak keluarganya jalan-jalan dengan Rani. Bagaimana kalau Rani sampai tau, dia-lah suami Citra.
“Atau, aku bisa nginap di rumah Citra aja. Sudah lama sekali aku tidak bertemu dengannya. dulu kami sering menghabiskan waktu bersama, bercerita sampai pagi kalau dia sedang menginap di rumahku.” Rani bercerita dengan antusias. Seperti tak ada beban di hatinya.
Sebaliknya, cerita Rani, membuat Firman merasa semangkin nelangsa, menyadari kebodohannya. Mengapa baru sekarang dia tahu, kalau Rani adalah sahabat Citra. Firman merasa, tak hanya menghancurkan keluarganya, tapi juga menghancurkan persahabatan istrinya.
Di pemberhentian lampu merah, Firman sejenak mendongakkan kepalanya. Mencegah air mata menetes dari sudut matanya. Menarik nafasnya dalam-dalam untuk mengurangi beban dalam dadanya.
“Rani, maaf Mas harus kembali ke kantor,” kata Firman saat sudah mengantar Rani sampai apartemennya.
“Mas sudah pesankan makan siang, sebentar lagi datang,” sambung Firman sambil mengecup puncak kepala Rani.
Maafkan aku Rani, harus membohongimu. Bisik Firman dalam hati sambil meninggalkan aparmen milik Rani.
Beruntung Rani sangat memahami kesibukan Firman dan tak banyak bertanya.
Rani segera mengambil ponselnya. Dengan antusias ditekannya nomor Citra.
“Hai, Citra. Kok pesanku tidak dibalas? Dari tadi pagi juga aku hubungi, non-aktif. Apa kita bisa ketemu sekarang?” tanya Rani dari ujung telpon.
“Maaf, Rani, aku kemaren banyak kerjaan kantor. Selamat datang di Jakarta. Jadi kita ketemu?” sahut Citra berusaha senormal mungkin. Diredamnya gejolak hatinya dalam-dalam. Ada luka di sana. Tapi, Citra tak ingin melukai sahabatnya. Toh, dia bisa sedikit bersandiwara.
Citra segera bersiap-siap setelah menyerahkan pekerjaan rumah dan urusan anak-anak ke Mbok Sumi dan Mbak Susi, kedua asisten rumah tangganya.
“Mau kemana, Dik?” tanya Firman yang sudah berdiri di ambang pintu.
Citra hanya melihatnya melalui cermin di depannya, lalu sibuk kembali memulas wajahnya, untuk menyembunyikan rona sedih di wajah cantiknya.
“Mau ketemu Rani,” jawab Citra pendek. Tapi, jawaban itu sungguh menyakitkan bagi Firman.
“Maaf, Mas. Aku pergi dulu. Rani sudah menunggu,” kata Citra sambil keluar dari kamarnya. Citra pergi menjauh meninggalkan Firman yang masih berdiri terpaku.
[Share loc, ya. Aku jemput!] Citra dengan semangat mengirimkan pesan ke Rani setelah duduk di belakang kemudi. Dia sudah terbiasa menyetir sendiri. Tak hanya mengantar anak-anak sekolah, namun juga belanja dan bekerja, selama ini sudah terbiasa dengan mobil sendiri.Hatinya sedikit lega karena Firman ada di rumah. Artinya tidak perlu energi untuk banyak bersandiwara di depan Rani. Meskipun tetap saja Citra mesti bersandiwara seolah-olah Firman suami Rani adalah Firman yang berbeda dengan suaminya. Citra melajukan mobilnya menuju apartemen Rani setelah memperoleh lokasi. Dia ingin mengorek banyak hal tentang hubungan Rani dan Firman. Seberapa lama Firman, yang dia pikir setia, telah mengkhianatinya. “Mana suamimu?” tanya Citra begitu masuk ke apartemen milik Rani penuh selidik. Pandangannya mengedar ke seluruh penjuru ruangan. Keningnya berkerut. Apartemen ini masih kosong!Dalam hati Citra berfikir keras. Jadi, Firman benar-benar tak punya tempat tinggal lain, selain rumah yang mer
Setelah menidurkan anak-anak, Citra masih melihat Firman duduk di depan TV. Setiap melihat Firman, denyut jantungnya seperti terpompa lebih cepat. Ada rasa gusar dan marah. Tapi semuanya tak bisa diungkapkan. Mungkin, terlalu sakit luka yang tertoreh. Tak pernah sedikitpun terbersit Firman akan mengkianatinya. Laki-laki yang dulu sangat di cintainya. Seorang ayah yang sangat sayang kepada anak-anaknya. Sepertinya, semua itu hanya akan tinggal kenangan. “Mas, pergi temui Rani. Kamu sudah menghancurkan hidupku. Janganlah kamu hancurkan hidup Rani,” kata Citra lirih penuh penekanan. Hati Citra berkata, sepertinya lebih baik dia tak melihat Firman di rumah ini. Itu jauh lebih baik bagi emosinya. Dibandingkan melihatnya hanya akan menambah luka hatinya. Bayangan Firman bersama Rani pun semakin membuatnya terasa nyeri. Firman menatap ke arah Citra. Tapi, Citra segera berpaling dan bergegas pergi menjauhinya. “Dik, Mas ngga akan pergi sebelum kamu maafkan.” Firman sudah berdiri di belak
Pagi itu, Citra menjadi kurang fokus pada pekerjaannya. Pikirannya menggembara, mencari strategi bagaimana dia harus mengatakan siapa Firman sesungguhnya pada Rani. Citra menghela nafas. “Sepertinya aku harus segera mengambil keputusan, sebelum Rani tahu semuanya,” batin Citra. Ibu muda itu tak ingin sahabatnya merasakan sakit hati, seperti yang dirasakannya. Wanita manapun, pasti tak mau hatinya diduakan. Baik dia sebagai istri pertama, maupun istri kedua. Mendadak, nada panggilan masuk ke ponsel Citra. Meski tak biasa menerima panggilan saat jam kerja, pagi itu melihat nama Rani tertera di layar, Citra segera bangkit. Dia keluar ruangan sejenak, mencari tempat yang agak sepi untuk menerima panggilan telepon. “Citra, akhirnya benar katamu. Sepertinya kamu nggak perlu repot mencari tahu tentang Mas Firman. Lusa, aku pindah tugas ke Jakarta. Aku dapat mutasi ke kantor pusat di Jakarta.” Suara Rani dari seberang telepon terdengar ceria, namun, sontak membuat Citra ternganga. P
Mata Firman membulat. Apa? Rani pindah ke Jakarta? Bahkan dia belum mengetahui berita ini. Apa Rani sengaja menyembunyikan rencana ini? pikir Firman. Kadang wanita penuh kejutan. Mereka sulit ditebak. “Dua hari lagi dia akan datang. Kembalilah engkau padanya. Dia lebih membutuhkanmu,” lanjut Citra. Seketika Firman merasakan lututnya lemas. Dia luruh terjatuh di lantai. Pandangannya kosong. “Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan,” desis Firman lirih nyaris tak terdengar. Kepalanya menunduk. Bahkan tangannya mengacak rambutnya karena tak tahu harus berbuat apa. Dengan gerak cepat, Citra segera menyelesaikan mengemas barang-barang Firman, lalu ia menutup koper tersebut. “Sekarang kamu pilih, Mas. Aku atau kamu yang pergi!” seru Citra. Citra makin mantap untuk berpisah. Tak ada gunanya dipertahankan. Bahkan berbicara saja rasanya enggan. Sejak peristiwa pengkianatan itu tersingkap, Citra merasa tak ada upaya dari Firman untuk berbicara baik-baik dengannya. Tak pernah ada pembi
Firman masih diam mematung di kamarnya, ketika bel apartemennya berbunyi. Mungkin hanya pengelola apartemen, batinnya. Karena hanya mereka yang bisa langsung naik hingga depan unitnya. Tamu yang tak punya kartu akses tak bisa langsung ke atas. Firman beranjak, bergegas membuka pintu.“KEJUTAN!” teriak Rani. Wanita muda itu sudah berdiri di depan pintu membawa dua buah koper besar dengan kedua tangan terentang siap memeluknya.Mata Firman terbelalak. Tak menyangka, secepat itu istri mudanya datang. Untungnya Citra segera menyuruhnya pergi. Jika tidak? Bagaimana kalau Rani sampai tahu sebenarnya dia tak tinggal di tempat itu. “Aku pindah Jakarta, Mas. Aku bahagia akhirnya bisa bersamamu!” Rani memeluk Firman yang masih mematung. “Kenapa? Kamu kaget ya?” tanya Rani sambil mendorong kopernya masuk ke dalam. Firman masih seperti bangun dari mimpi. Berkali-kali dia mengerjap, namun kemudian dia tersadar dan membantu Rani memasukkan barangnya ke apartemen. “Aku sengaja nggak ngabarin ka
Kepala Firman berdenyut. Sedangkan masalahnya dengan Citra saja belum dia tuntaskan. Mengurus dokumen pernikahan kedua, bukanlah hal mudah. Bahkan berlipat-lipat rumitnya. Dan itu tak pernah terbayangkan oleh Firman sebelumnya. Dia terlalu larut oleh kenyamanan semu yang selama ini diperoleh dari Rani. Kalau boleh memilih, tentu Firman akan mempertahankan Citra. Wanita yang teramat dicintainya. Selain cinta pertamanya, Citra sudah berkorban mendampinginya dari dia belum siapa-siapa. Cita pula yang selama ini menghadirkan kebahagiaan, yang telah memberinya tiga anak-anak yang lucu dan pintar. Hanya kebodohannyalah yang menghancurkan semuanya. Tapi, Firman pun tidak bisa begitu saja meninggalkan Rani. Gadis cerdas dengan karir gemilang yang begitu penuh harap mendapatkan jodoh yang diimpikannya. Dengan karirnya yang bersinar, hanya pria mapan yang berani mendekatinya. Dan Firman melakukan kesalahan besar untuk itu. “Mas, kamu kok malah melamun?” tanya Rani. Dia sedikit heran dengan
Setiba di apartemen, Firman segera membuka koper dan memasukkan baju-bajunya.“Mau ke mana, Mas?” tanya Rani yang baru keluar dari kamar mandi. Wanita itu menatap Firman dengan tatapan keheranan.“Ada pekerjaan,” jawab Firman singkat. Dalam hati dia mendesah. Mengapa hidupku penuh dengan kebohongan. Beginikah akibat dari pengkianatan. “Mendadak sekali....” timpal Rani seraya tak lepas menatap setiap gerakan firman. Padahal dirinya baru tiba kemarin dari Surabaya, dan besok adalah hari pertamanya kerja. Jakarta adalah kota baru baginya. Meskipun taksi online mudah dipesan. Tapi, tetap saja ditinggal sendiri bukan hal yang diharapkan. “Berapa hari, Mas? Kok bawa baju banyak banget?” tanya Rani penasaran. Biasanya yang Rani lihat sewaktu di Surabaya, Firman hanya membawa beberapa potong baju setiap datang ke sana. Sejenak Fiman berfikir, lalu menjawab, “Mungkin seminggu.”Bahkan, dia tak tahu tepatnya berapa lama akan pergi. Karena, papa dan mamanya kadang tidak dapat ditebak keingin
[Citra, ini hari pertamaku bekerja. Apakah kamu bisa membagi lokasi kantormu? Siapa tahu kita bisa makan siang bersama.] Rani mengirimkan pesan singkat kepada Citra. Menjadi pegawai baru di kota yang asing bagi Rani memang tidak lah mudah. Citra adalah satu-satunya sahabat yang dia miliki di kota itu, selain suaminya, Firman. Sayangnya, jika Firman sedang sibuk dengan pekerjaannya, ponselnya selalu dimatikan. Sehingga Rani merasa kesepian. [Kamu nggak makan siang sama Mas Firman?] pancing Citra. Citra penasaran, kira-kira apa alasan yang diberikan ke Rani ketika Firman menghabiskan waktu di rumahnya. [Mas Firman sedang di luar kota, Cit.] Sebuah balasan dari Rani, membuat Citra menghela nafas. Ah, kasihan kamu, Rani. Bahkan, di hari bahagiamu ada di Jakarta, suamimu harus membohongimu, gumam Citra. [Maaf Rani, aku hari ini ada meeting. Besok aja ya. Aku janji] balas Citra. Dia masih belum ingin bertemu Rani. Paling tidak untuk saat itu. Dia tak ingin bangkai itu tercium sebelum
Firman mendorong troly berisi koper miliknya dan juga koper kepunyaan papa dan mamanya. Pagi itu mereka sudah mendarat di bandara Schipol Amsterdam. Jam di bandara masih menunjukkan pukul tujuh pagi waktu Belanda. Ini adalah pertama kalinya Firman menginjakkan kaki di Belanda. Negeri dimana keempat anaknya dan mantan istrinya tinggal. Ada rasa ngilu menjalar di dadanya, bercampur dengan kerinduan. Ngilu mengingat kesalahannya yang berakibat hancurnya keluarga yang sudah sekian tahun dia bina bersama Citra. Hancur karena kesalahannya, terlena dengan kelembutan Citra. Tak dipungkirinya, setahun mereka berpisah, ada rindu yang menggelora dalam jiwanya. Rindu kepada Citra yang tak kan mungkin bisa kembali lagi. Rindu kepada ke empat anaknya, terutama Reva yang mungkin belum pernah merasakan belaian kasih sayangnya. “Man, itu adikmu di sebelah sana,” ujar Mama Firman saat melihat Farhan melambaikan tangan dari arah pintu keluar. Papa dan Mama Firman segera beranjak menghampiri Farha
“Aku minta maaf atas kejadian tadi,” kata Farhan usai Citra menidurkan anak-anaknya. Farhan mendekati Citra yang sudah duduk di sisi ranjang. Lalu ia duduk disebelahnya. “Kali ini, tolong dengarkan aku, Citra,” tukas Farhan lagi. Dipandanginya wajah istrinya yang tampak masih kecewa. “Han, sampai kapan kamu membenci Rani?” tanya Citra. Citra memang kadang lupa memanggil ‘mas’ ke Farhan, karena memang mereka dulu berteman dan mantan adik iparnya. Tapi, Farhan tak masalah. Citra memang perlu waktu untuk beradaptasi dengan kehidupan barunya setelah sepuluh tahun menganggapnya bukan siapa-siapa. “Aku tidak membenci Rani. Aku tidak suka dengan kelakuannya. Nih lihat!” Farhan mengangsurkan ponselnya ke Citra. Mata Citra membulat sempurna. Di gambar itu terlihat Rani sedang dibantu berjalan oleh Farhan. Tangannya merangkul ke pundak Farhan. Sedang Farhan memeluk pinggang Rani. Dan Rani menggunakan pakaian terbuka. Sangat berbeda dengan tampilan tadi saat berkunjung ke rumah mereka.
Farhan tidak habis mengerti dengan Citra. Jelas-jelas Rani menunjukkan gelagat yang kurang baik. Tapi, masih bisa-bisanya Citra selalu membelanya. Dalam banyak hal, Citra memang terlalu banyak berprasangka baik ke orang lain. Itu juga yang membuatnya terjatuh saat bersama Firman. Tak pernah sekalipun ada rasa curiga ke suaminya, hingga akhirnya Citra melihat dengan mata kepalanya sendiri kenyataan yang ada. Akhirnya, Farhan harus mengalah. Tak ada gunanya terus menerus berdebat dengan Citra. Ini masalah kecil. Tapi jadi rumit jika tidak segera diatasi. Farhan segera mengambil ponselnya. Lalu memblokir semua akses yang mengarah ke Rani. Tak lupa, ponsel Citra yang biasanya hanya diletakkan di ruang tamu, juga diblokkir aksesnya dengan sahabat istrinya itu. Farhan tak mau ada duri dalam daging dalam keluarganya. ***“Rani?! Sejak kapan kamu di sini?” tanya Citra yang baru pulang menjemput Romi. Dilihatnya Rani sedang berdiri di ambang pintu rumahnya. “Setengah jam yang lalu. Ponselm
“Ran, kamu turun sini ya. Tinggal lanjut naik kereta ke Amsterdam,” kata Citra saat mobil Farhan minggir di dekat stasiun Den haag. Farhan sama sekali tidak ada niat mengantarkan Rani. Toh dia juga sebenarnya tidak diajak, pikir Farhan. Bahkan, sepanjang perjalanan Farhan tidak berniat mengajak Rani bicara. Mereka sudah pulang dari Paris setelah menghabiskan akhir pekan di negeri Napoleon itu. Bagi Farhan, kehadiran Rani menghancurkan segala rencananya. Namun, tak ada gurat kecewa di wajah Citra. Wanita itu selalu saja merasa baik-baik saja. Bahkan, beberapa kali berusaha menghibur suaminya yang terus saja menunjukkan kekesalannya. Namun, kini Citra harus mengalah saat Farhan memutuskan untuk menurunkan Rani di depan stasiun. Farhan hanya tak mengerti. Sampai sebegitunya Citra harus mengorbankan perasaannya demi sahabatnya. Kadang Farhan berfikir dia tak salah memilih istri. Meski sudah punya empat anak, tapi hatinya bak bidadari. Tapi, kalau sudah berlebihan, dia tak tahan juga. K
Tok tok tok“Citra!”panggil Rani sambil mengetuk pintu kamar Citra dan Farhan. Hari sudah malam, tapi Rani belum juga dapat memicingkan matanya.“See?” ucap Farhan sambil menatap tajam ke Citra, seolah memberi isyarat bahwa apa mengajak Rani ke Paris adalah keputusan yang keliru. “Maaf,” tukas Citra dengan nada bersalah. Citra segera menyambar kimono tidurnya dan keluar kamar menemui Rani. “Ada apa Ran?” tanya Citra sambil menutup kembali pintu kamarnya. “Temeni aku, dong. Aku nggak bisa tidur,” kata Rani sambil menarik tangan Citra menuju kamarnya.Dulu saat masih SMA Citra dengan Rani memang akrab. Mereka sering menginap bersama dan cerita-cerita sampai mereka mengantuk. “Jadi, aku pengen melupakan masa laluku, Cit. Makanya aku bela-belain kuliah sampai sini. Aku pikir, aku tidak akan bertemu siapapun orang yang pernah kukenal. Taunya, malah ketemu kamu. Dunia sempit, ya!” ujar Rani. Rani lantas melanjutkan ceritanya mengenai studinya. Tentu saja bukan hal yang sulit bagi Rani
“Ayo sayang, kita berangkat sekarang,” kata Farhan sambil menggendong Reva. Lalu ia meletakkan bayi mungil itu ke car seat yang ada di baris ke dua mobilnya. Sedang Rio dan Romi sudah siap di bangku belakang. Tak lama, Rara pun ikut duduk di car seat sebelah Reva. Akhir pekan ini, seperti janji Farhan, dia akan mengajak Citra liburan ke Perancis. Negara yang tak jauh dari Belanda ini. Jarak Paris dari Den haag hanya memakan waktu empat jam perjalanan. Farhan sengaja berangkat pagi-pagi, agar ia dapat mengajak Citra dan anak-anaknya keliling di beberapa tempat tujuan wisata di kota Paris. Besoknya, mereka akan mengajak anak-anak ke Disneyland. “Tunggu!” Baru saja Farhan akan menjalankan mobilnya ketika sebuah panggilan dalam bahasa Indonesia mengagetkan mereka. “Rani?” Farhan dan Citra saling berpandangan. Mengapa Rani sudah berada di sini sepagi ini? Gumam Farhan. Dari mana dia tahu tempat tinggalnya? Apa Citra memberitahukannya? Citra segera keluar dari mobil untuk menghampiri
Setelah mendapatkan nomor Farhan, Rani tak tinggal diam. Berawal hanya menanyakan nama kantor dan alamat kantornya, akhirnya Rani berhasil mengajak Farhan makan siang. "Waktuku nggak banyak, Ran. Kalau kamu mau, kamu harus datang tepat waktu," ujar Farhan setelah beberapa kali menolak ajakan Rani. Tak perlu menyia-nyiakan kesempatan. Rani segera bergegas. Bahkan dia tak peduli kalau usai makan siang ada jadwal kuliah. Toh, selama ini dia belum pernah bolos. Jadi, tak mengapa sesekali absen. Perkara alasan, nanti bisa dicari. Demi agar tidak terlambat, Rani datang duluan. Sedikit banyak dia ingat karakter Farhan yang selalu on time, jutek dan tidak mau ditawar. Cafe yang tak jauh dari kantor Farhan menjadi pilihan. Ada menu halal di sana. Biasanya Farhan hanya makan siang dengan bekal yang disiapkan Citra. Namun, karena dia sudah janji dengan Rani, terpaksa dia harus makan di luar. Rani tersenyum simpul saat melihat Farhan menghampiri. Pria itu terlihat lebih tampan dengan stelan
Bekerja lembur bukanlah tradisi orang Belanda. Mereka bekerja dengan sangat efisien. Jam lima sore lewat sedikit biasanya mobil-mobil sudah terparkir kembali di depan rumah. Jam enam sore, umumnya orang Belanda sudah selesai makan malam. Jam delapan malam anak-anak di Belanda sudah berangkat tidur.“Citra, apa kamu bersedia jika aku meminta satu anak dari darah dagingku?” bisik Farhan.Citra sudah selesai menidurkan Reva dan Rara. Musim semi di Belanda membuat udara terasa segar. Tidak terlalu gerah tapi juga tidak terlalu dingin. Semilir angin mengintip melalui celah ventilasi yang dibiarkan terbuka. Sangat cocok pagi pasangan untuk memadu kasih. “Jangankan satu, lima pun aku bersedia,” jawab Citra sambil mengerling manja. Mungkin Farhan benar. Cinta Citra akan tumbuh seiring dengan waktu. Beruntung Farhan membawanya ke tempat yang baru. Ke tempat yang dia bisa melupakan kenangan tentang Firman. Ke tempat dimana hanya ada Farhan di sisinya dan mencurahkan segala kasih kepadanya. F
“Makasih ya, sayang. Kamu sudah bersedia menjadi pendamping hidupku. Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat menantimu,” ujar Farhan di antara semilir angin musin semi di kota Den Haag. Dibukanya jendela apartemennya. Tampak dari kejauhan pemandangan wind molen terlihat dari jendela. “Aku yang berterimakasih kepadamu, sudah mau menerima anak-anak,” sahut Citra. Jarum sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Citra segera beranjak untuk menyiapkan sarapan. Tidak seperti di Indonesia yang sarapannya ribet. Di sana, Citra hanya cukup menyiapkan susu sereal, atau roti bakar. Mereka benar-benar memulai hidup baru. Bagi, Farhan menjadi ayah baru dari empat keponakannya tidaklah berat di negeri kincir angin ini. Tidak ada stigma buruk menikah dengan janda punya anak banyak. Di kota itu pun, Citra tidak akan kesepian. Banyak orang Indonesia yang tinggal disini. Citra bisa ikut aktivitas di Masjid Indonesia, atau pengajian warga Indonesia yang ada di Belanda atau pun di KBRI jika mau. Ter