[Citra, ini hari pertamaku bekerja. Apakah kamu bisa membagi lokasi kantormu? Siapa tahu kita bisa makan siang bersama.] Rani mengirimkan pesan singkat kepada Citra. Menjadi pegawai baru di kota yang asing bagi Rani memang tidak lah mudah. Citra adalah satu-satunya sahabat yang dia miliki di kota itu, selain suaminya, Firman. Sayangnya, jika Firman sedang sibuk dengan pekerjaannya, ponselnya selalu dimatikan. Sehingga Rani merasa kesepian. [Kamu nggak makan siang sama Mas Firman?] pancing Citra. Citra penasaran, kira-kira apa alasan yang diberikan ke Rani ketika Firman menghabiskan waktu di rumahnya. [Mas Firman sedang di luar kota, Cit.] Sebuah balasan dari Rani, membuat Citra menghela nafas. Ah, kasihan kamu, Rani. Bahkan, di hari bahagiamu ada di Jakarta, suamimu harus membohongimu, gumam Citra. [Maaf Rani, aku hari ini ada meeting. Besok aja ya. Aku janji] balas Citra. Dia masih belum ingin bertemu Rani. Paling tidak untuk saat itu. Dia tak ingin bangkai itu tercium sebelum
“Kenapa kamu tidak telpon, Firman?” tanya Citra setelah mereka kembali ke unit apartemen Rani. Dengan telaten, Citra menyuruh Rani segera istirahat di ranjangnya. Sesuai pesan dokter, sahabatnya itu harus bedrest. “Mas Firman selalu mematikan ponselnya saat dia bekerja,” tukas Rani. Hidup hampir lima bulan LDR membuatnya terbiasa dengan kehidupan terpisah. Apalagi dia sudah mengetahui kebiasaan Firman, dan Rani cukup memakluminya. Citra menaikkan satu alisnya. Ada hal aneh dengan jawaban Rani. Dia tak percaya jika Firman, yang juga suaminya itu, menon-aktifkan ponsel selama bekerja. Karena selama ini, ia bebas menelpon kapan saja, termasuk jam kerja, meski hal itu jarang dilakukannya. Justru, kini timbul kecurigaan lain. Apakah nomer yang dimiliki Rani berbeda dengan yang dimiliki Citra? “Tapi, ini sudah malam. Memangnya suamimu selalu bekerja sampai larut malam?” Citra ingin menelisik lebih jauh. Diam-diam, Citra mengecek nomer Firman yang pernah diberikan oleh Rani padanya
“Kok kamu sudah pulang, Mas. Mana kopernya?” tanya Rani saat Firman masuk ke dalam unit apartemen mereka. Padahal Firman baru kemarin berangkat ke luar kota. Dan waktu itu bilang kalau kemungkinan akan dinas selama seminggu. “Ada di mobil.” Firman menarik nafas. Bohong untuk yang kesekian. “Mas....” Rani mengambil jeda.” Aku hamil,” lanjutnya. Firman hanya tersenyum. Dia sudah mendengar dari Citra tadi pagi. “Kamu nggak kaget? Kamu nggak senang?” tanya Rani heran. Di benak Rani, seharusnya ekspresi Firman bahagia atau kaget. Lalu pria itu akan memeluknya, atau memberi hadiah lain yang selama ini diberikan saat mereka masih di Surabaya. Bukan datar seperti yang terlihat kini. Firman meraih tangan Rani dan menggenggamnya. “Tentu saja, Mas sangat senang. Yang penting kamu sehat,” lanjut Firman. Dia sendiri bingung harus bagaimana. Dia menyadarai, masalahnya akan kian menjadi rumit setelah ini. “Mas, Aku ingin pernikahan kita segera diurus sebelum aku mengabarkan berita bahagi
“Om Aryo, Tante Mirna?” Spontan Citra menghamburkan pelukan ke Bu Mirna, orang tua Rani. Citra sudah cukup akrab, karena saat SMA, dia sudah sering menginap di rumah Rani. “Kamu tinggal disini juga?” tanya Bu Mirna sambil mengamati belanjaan yang dibawa oleh Citra.“Saya mau ke tempat Rani, Tante. Mari...” Citra mempersilahkan Mirna dan Aryo setelah lift terbuka di lantai 7. Mereka ngobrol sangat akrab sambil temu kangen sepanjang jalan dari lift hingga depan unit apartemen Rani. Hingga Citra tak sempat memikiran apa yang terjadi setelah ini. Citra segera mendahului langkah kedua orang tua sahabatnya itu, begitu tiba di depan pintu. Dia lalu memencet bel dan mempersilahkan satpam meninggalkan mereka. “Ayah?! Ibu?!” Firman yang membuka pintu, refleks kaget melihat Ayah dan ibunya Rani sudah berdiri di depan pintu, bersama Citra. “Ayah sama Ibu memang mau ngasih kejutan,” kata Pak Aryo sambil menepuk pundak Firman.Firman masih berdiri mematung, tak percaya, saat kedua mertuanya
“Om, Tante, saya pamit.” Citra berpamitan usai membereskan perkakas dapur di apartemen Rani. Dia sudah bersiap pulang setelah pamit dengan Rani. Tak lupa, diam-diam sebuah tatapan sinis ditujukan pada Firman yang hanya mampu tertunduk. “Makasih, ya, Citra. Kapan-kapan Om dan Tante berkunjung ke rumahmu ya,“ ucap Bu Mirna, sambil menemani Citra sampai pintu. "Siap, Tante," sahut Citra. Dia tak mau menimbulkan kecurigaan jika menolaknya. Apalagi, dulunya mereka sangat akrab. “Salam buat suamimu,” seru Pak Aryo sambil melambaikan tangannya. "Insyaalloh, nanti saya sampaikan, Om." Mendengar kata-kata Pak Aryo, sontak membuat tenggorokan Firman tercekat. Apa jadinya kalau orang tua Rani mengetahui bahwa suami Citra adalah dirinya? Citra tersenyum, meski harus sekuat tenaga menyembunyikan rasa masam di hatinya. Sekilas dia melirik Firman yang juga turut mengantarnya ke depan pintu bersama mertuanya, dan dia hanya dapat tertunduk. ***ETW***Sore itu, Citra sengaja mengajak Rio belanj
“Mas, apa kamu menyembunyikan sesuatu dariku?” tanya Rani saat mereka dalam perjalanan pulang. Sejak peristiwa tadi, Firman hanya terdiam, tak mengeluarkan sepatah kata pun. “Oh,” jawab Firman pendek. Firman tak tahu harus berkata apa. Kebohongannya sudah bertumpuk-tumpuk. Entah sampai kapan semua itu harus berakhir.“Tentang anak tadi?” tanya Rani penasaran. “Bisa jadi dia salah orang 'kan?” ujar Firman tanpa menoleh ke Rani. Pandangan Firman tetap lurus ke depan. Dia tak mau menimbulkan kecurigaan, namun tak tahu harus menjawab bagaimana. Rani hanya mendesah. Mereka kembali dalam kebisuan. Tapi, hati kecil Rani berkata, ada yang tidak beres. [Cit, kok aku merasa ada yang aneh dari Mas Firman, ya?] Rani akhirnya memutuskan mengirim pesan ke sahabatnya. [Jangan banyak berprasangka. Kamu kan lagi hamil. Selalu berfikir positif, ya.] Jawaban Citra masuk ke ponsel Rani setelah sekian menit menunggu. Rani mengangguk setuju. Bisa jadi, dia hanya terbawa perasaan, karena kondisinya
“Jadi benar, Firman suamimu adalah sama dengan Firman suami Rani?” ulang Bu Mirna. Tiba-tiba Bu Mirna teringat, sebelum berangkat ke rumah Citra, dia sudah mengajak Firman dan Rani. Anehnya Firman bersikeras tidak mau ikut ke rumah Citra dengan alasan Rani butuh istirahat. Dan Rani pun seperti menurut saja. Padahal, Citra adalah sahabat dekat Rani.Citra mengangguk lesu. “Sebentar…sebentar….”Mama Firman ikut mendekat ke Citra. Mama Firman mengambil duduk di sebelah Citra. Belum hilang rasa penasarannya. Antara percaya dan tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.“Coba Citra, jelaskan apa yang baru saja kamu katakan!” tukas Mama Firman tidak sabar. “Maafkan Citra, Tante, Ma. Bukan maksudnya Citra menutupi semua ini. Tapi, Citra hanya berharap Mas Firman lah yang mengatakannya. Bukan dari Citra,” jawab Citra. Sudah tak ada air mata yang keluar. Rasanya sudah tak berguna tenggelam dalam kesedihan. Biarlah Firman yang akan memutuskan. “Anak kurang ajar!” suara Papa Firman
“Mama yang sabar. Yang penting Papa sehat dulu, Ma. Baru kita pikirkan langkah ke depan,” ujar Citra.“Kamu jadi wanita jangan lemah seperti itu. Makanya suamimu jadi nglunjak. Kalau dia bilang lembur, kamu harus tanya. Benarnya dia lembur. Jangan percaya-percaya aja. Maling itu tidak hanya karena niat, tapi karena ada kesempatan juga!” “Iya, Ma. Maafin Citra.” Citra kembali menunduk lesu. Citra menyadari, dia pun salah selama ini terlalu mempercayai Firman, hingga baunya saja tidak terendus. Entahlah kalau waktu itu dia tidak ke Surabaya untuk reuni, barangkali hingga saat ini dia tetap tidak tahu kelakuan busuknya Firman. ***ETW***“Ayah, Ibu, ada apa? Kenapa sudah beres-beres?” tanya Rani saat pulang dari jalan-jalan dengan Firman melihat Ayah Ibunya sudah berkemas. Bu Mirna menatap Firman sinis. Bukannya tadi mereka menolak diajak ke rumah Citra dengan alasan Rani harus istirahat? Kenapa malah diajak jalan keluar? Firman jadi merasa serba salah. Perasaannya tidak enak. Adakah
Firman mendorong troly berisi koper miliknya dan juga koper kepunyaan papa dan mamanya. Pagi itu mereka sudah mendarat di bandara Schipol Amsterdam. Jam di bandara masih menunjukkan pukul tujuh pagi waktu Belanda. Ini adalah pertama kalinya Firman menginjakkan kaki di Belanda. Negeri dimana keempat anaknya dan mantan istrinya tinggal. Ada rasa ngilu menjalar di dadanya, bercampur dengan kerinduan. Ngilu mengingat kesalahannya yang berakibat hancurnya keluarga yang sudah sekian tahun dia bina bersama Citra. Hancur karena kesalahannya, terlena dengan kelembutan Citra. Tak dipungkirinya, setahun mereka berpisah, ada rindu yang menggelora dalam jiwanya. Rindu kepada Citra yang tak kan mungkin bisa kembali lagi. Rindu kepada ke empat anaknya, terutama Reva yang mungkin belum pernah merasakan belaian kasih sayangnya. “Man, itu adikmu di sebelah sana,” ujar Mama Firman saat melihat Farhan melambaikan tangan dari arah pintu keluar. Papa dan Mama Firman segera beranjak menghampiri Farha
“Aku minta maaf atas kejadian tadi,” kata Farhan usai Citra menidurkan anak-anaknya. Farhan mendekati Citra yang sudah duduk di sisi ranjang. Lalu ia duduk disebelahnya. “Kali ini, tolong dengarkan aku, Citra,” tukas Farhan lagi. Dipandanginya wajah istrinya yang tampak masih kecewa. “Han, sampai kapan kamu membenci Rani?” tanya Citra. Citra memang kadang lupa memanggil ‘mas’ ke Farhan, karena memang mereka dulu berteman dan mantan adik iparnya. Tapi, Farhan tak masalah. Citra memang perlu waktu untuk beradaptasi dengan kehidupan barunya setelah sepuluh tahun menganggapnya bukan siapa-siapa. “Aku tidak membenci Rani. Aku tidak suka dengan kelakuannya. Nih lihat!” Farhan mengangsurkan ponselnya ke Citra. Mata Citra membulat sempurna. Di gambar itu terlihat Rani sedang dibantu berjalan oleh Farhan. Tangannya merangkul ke pundak Farhan. Sedang Farhan memeluk pinggang Rani. Dan Rani menggunakan pakaian terbuka. Sangat berbeda dengan tampilan tadi saat berkunjung ke rumah mereka.
Farhan tidak habis mengerti dengan Citra. Jelas-jelas Rani menunjukkan gelagat yang kurang baik. Tapi, masih bisa-bisanya Citra selalu membelanya. Dalam banyak hal, Citra memang terlalu banyak berprasangka baik ke orang lain. Itu juga yang membuatnya terjatuh saat bersama Firman. Tak pernah sekalipun ada rasa curiga ke suaminya, hingga akhirnya Citra melihat dengan mata kepalanya sendiri kenyataan yang ada. Akhirnya, Farhan harus mengalah. Tak ada gunanya terus menerus berdebat dengan Citra. Ini masalah kecil. Tapi jadi rumit jika tidak segera diatasi. Farhan segera mengambil ponselnya. Lalu memblokir semua akses yang mengarah ke Rani. Tak lupa, ponsel Citra yang biasanya hanya diletakkan di ruang tamu, juga diblokkir aksesnya dengan sahabat istrinya itu. Farhan tak mau ada duri dalam daging dalam keluarganya. ***“Rani?! Sejak kapan kamu di sini?” tanya Citra yang baru pulang menjemput Romi. Dilihatnya Rani sedang berdiri di ambang pintu rumahnya. “Setengah jam yang lalu. Ponselm
“Ran, kamu turun sini ya. Tinggal lanjut naik kereta ke Amsterdam,” kata Citra saat mobil Farhan minggir di dekat stasiun Den haag. Farhan sama sekali tidak ada niat mengantarkan Rani. Toh dia juga sebenarnya tidak diajak, pikir Farhan. Bahkan, sepanjang perjalanan Farhan tidak berniat mengajak Rani bicara. Mereka sudah pulang dari Paris setelah menghabiskan akhir pekan di negeri Napoleon itu. Bagi Farhan, kehadiran Rani menghancurkan segala rencananya. Namun, tak ada gurat kecewa di wajah Citra. Wanita itu selalu saja merasa baik-baik saja. Bahkan, beberapa kali berusaha menghibur suaminya yang terus saja menunjukkan kekesalannya. Namun, kini Citra harus mengalah saat Farhan memutuskan untuk menurunkan Rani di depan stasiun. Farhan hanya tak mengerti. Sampai sebegitunya Citra harus mengorbankan perasaannya demi sahabatnya. Kadang Farhan berfikir dia tak salah memilih istri. Meski sudah punya empat anak, tapi hatinya bak bidadari. Tapi, kalau sudah berlebihan, dia tak tahan juga. K
Tok tok tok“Citra!”panggil Rani sambil mengetuk pintu kamar Citra dan Farhan. Hari sudah malam, tapi Rani belum juga dapat memicingkan matanya.“See?” ucap Farhan sambil menatap tajam ke Citra, seolah memberi isyarat bahwa apa mengajak Rani ke Paris adalah keputusan yang keliru. “Maaf,” tukas Citra dengan nada bersalah. Citra segera menyambar kimono tidurnya dan keluar kamar menemui Rani. “Ada apa Ran?” tanya Citra sambil menutup kembali pintu kamarnya. “Temeni aku, dong. Aku nggak bisa tidur,” kata Rani sambil menarik tangan Citra menuju kamarnya.Dulu saat masih SMA Citra dengan Rani memang akrab. Mereka sering menginap bersama dan cerita-cerita sampai mereka mengantuk. “Jadi, aku pengen melupakan masa laluku, Cit. Makanya aku bela-belain kuliah sampai sini. Aku pikir, aku tidak akan bertemu siapapun orang yang pernah kukenal. Taunya, malah ketemu kamu. Dunia sempit, ya!” ujar Rani. Rani lantas melanjutkan ceritanya mengenai studinya. Tentu saja bukan hal yang sulit bagi Rani
“Ayo sayang, kita berangkat sekarang,” kata Farhan sambil menggendong Reva. Lalu ia meletakkan bayi mungil itu ke car seat yang ada di baris ke dua mobilnya. Sedang Rio dan Romi sudah siap di bangku belakang. Tak lama, Rara pun ikut duduk di car seat sebelah Reva. Akhir pekan ini, seperti janji Farhan, dia akan mengajak Citra liburan ke Perancis. Negara yang tak jauh dari Belanda ini. Jarak Paris dari Den haag hanya memakan waktu empat jam perjalanan. Farhan sengaja berangkat pagi-pagi, agar ia dapat mengajak Citra dan anak-anaknya keliling di beberapa tempat tujuan wisata di kota Paris. Besoknya, mereka akan mengajak anak-anak ke Disneyland. “Tunggu!” Baru saja Farhan akan menjalankan mobilnya ketika sebuah panggilan dalam bahasa Indonesia mengagetkan mereka. “Rani?” Farhan dan Citra saling berpandangan. Mengapa Rani sudah berada di sini sepagi ini? Gumam Farhan. Dari mana dia tahu tempat tinggalnya? Apa Citra memberitahukannya? Citra segera keluar dari mobil untuk menghampiri
Setelah mendapatkan nomor Farhan, Rani tak tinggal diam. Berawal hanya menanyakan nama kantor dan alamat kantornya, akhirnya Rani berhasil mengajak Farhan makan siang. "Waktuku nggak banyak, Ran. Kalau kamu mau, kamu harus datang tepat waktu," ujar Farhan setelah beberapa kali menolak ajakan Rani. Tak perlu menyia-nyiakan kesempatan. Rani segera bergegas. Bahkan dia tak peduli kalau usai makan siang ada jadwal kuliah. Toh, selama ini dia belum pernah bolos. Jadi, tak mengapa sesekali absen. Perkara alasan, nanti bisa dicari. Demi agar tidak terlambat, Rani datang duluan. Sedikit banyak dia ingat karakter Farhan yang selalu on time, jutek dan tidak mau ditawar. Cafe yang tak jauh dari kantor Farhan menjadi pilihan. Ada menu halal di sana. Biasanya Farhan hanya makan siang dengan bekal yang disiapkan Citra. Namun, karena dia sudah janji dengan Rani, terpaksa dia harus makan di luar. Rani tersenyum simpul saat melihat Farhan menghampiri. Pria itu terlihat lebih tampan dengan stelan
Bekerja lembur bukanlah tradisi orang Belanda. Mereka bekerja dengan sangat efisien. Jam lima sore lewat sedikit biasanya mobil-mobil sudah terparkir kembali di depan rumah. Jam enam sore, umumnya orang Belanda sudah selesai makan malam. Jam delapan malam anak-anak di Belanda sudah berangkat tidur.“Citra, apa kamu bersedia jika aku meminta satu anak dari darah dagingku?” bisik Farhan.Citra sudah selesai menidurkan Reva dan Rara. Musim semi di Belanda membuat udara terasa segar. Tidak terlalu gerah tapi juga tidak terlalu dingin. Semilir angin mengintip melalui celah ventilasi yang dibiarkan terbuka. Sangat cocok pagi pasangan untuk memadu kasih. “Jangankan satu, lima pun aku bersedia,” jawab Citra sambil mengerling manja. Mungkin Farhan benar. Cinta Citra akan tumbuh seiring dengan waktu. Beruntung Farhan membawanya ke tempat yang baru. Ke tempat yang dia bisa melupakan kenangan tentang Firman. Ke tempat dimana hanya ada Farhan di sisinya dan mencurahkan segala kasih kepadanya. F
“Makasih ya, sayang. Kamu sudah bersedia menjadi pendamping hidupku. Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat menantimu,” ujar Farhan di antara semilir angin musin semi di kota Den Haag. Dibukanya jendela apartemennya. Tampak dari kejauhan pemandangan wind molen terlihat dari jendela. “Aku yang berterimakasih kepadamu, sudah mau menerima anak-anak,” sahut Citra. Jarum sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Citra segera beranjak untuk menyiapkan sarapan. Tidak seperti di Indonesia yang sarapannya ribet. Di sana, Citra hanya cukup menyiapkan susu sereal, atau roti bakar. Mereka benar-benar memulai hidup baru. Bagi, Farhan menjadi ayah baru dari empat keponakannya tidaklah berat di negeri kincir angin ini. Tidak ada stigma buruk menikah dengan janda punya anak banyak. Di kota itu pun, Citra tidak akan kesepian. Banyak orang Indonesia yang tinggal disini. Citra bisa ikut aktivitas di Masjid Indonesia, atau pengajian warga Indonesia yang ada di Belanda atau pun di KBRI jika mau. Ter