“Mama yang sabar. Yang penting Papa sehat dulu, Ma. Baru kita pikirkan langkah ke depan,” ujar Citra.“Kamu jadi wanita jangan lemah seperti itu. Makanya suamimu jadi nglunjak. Kalau dia bilang lembur, kamu harus tanya. Benarnya dia lembur. Jangan percaya-percaya aja. Maling itu tidak hanya karena niat, tapi karena ada kesempatan juga!” “Iya, Ma. Maafin Citra.” Citra kembali menunduk lesu. Citra menyadari, dia pun salah selama ini terlalu mempercayai Firman, hingga baunya saja tidak terendus. Entahlah kalau waktu itu dia tidak ke Surabaya untuk reuni, barangkali hingga saat ini dia tetap tidak tahu kelakuan busuknya Firman. ***ETW***“Ayah, Ibu, ada apa? Kenapa sudah beres-beres?” tanya Rani saat pulang dari jalan-jalan dengan Firman melihat Ayah Ibunya sudah berkemas. Bu Mirna menatap Firman sinis. Bukannya tadi mereka menolak diajak ke rumah Citra dengan alasan Rani harus istirahat? Kenapa malah diajak jalan keluar? Firman jadi merasa serba salah. Perasaannya tidak enak. Adakah
Rani berfikir keras. Rahasia apa yang disembunyikan Firman darinya? Siapakah mertua Citra sebenarnya? Ada hubungan apa dengan Firman? Apakah mereka sebelumnya sudah saling mengenal? “Dari mana, Mas?” tanya Rani pura-pura tidak tahu kemana Firman pergi. Dia sudah sampai apartemen sebelum Firman datang. Tak lupa, Rani segera berganti baju agar tak terlihat dari bepergian. Bekas make up juga sudah dihapus. Firman hanya terdiam. Dia menimbang dalam-dalam, haruskah bohong lagi? Bukannya keluarganya pun kini sudah tahu kalau dia sudah menikah lagi? Bisa jadi orang tua Rani pun juga sudah mengetahui. “Mas mau mandi dulu,” akhirnya Firman mengalihkan pertanyaan. Dia berharap, seusai mandi, Rani sudah tidur. Firman memilih berlama-lama di kamar mandi. Pikirannya kalut. Papanya yang memdadak jatuh sakit karena ulahnya, tentu saja bukan hanya papa dan mamanya yang terluka. Bisa jadi kak Fira, kakaknya satu-satunya juga akan marah besar padanya. Belum lagi keluarga Citra. Papi mami mert
“Pak Firman baru saja keluar. Ke Rumah sakit. Ayahnya kena serangan Jantung,” jawab sang resepsionis. Kening Rani berkerut. "Ayahnya? Bukannya ayah Mas Firman ada di Bandung? Kenapa Mas Firman tidak bercerita kalau ayahnya sakit? Mengapa disembunyikan harus disembunyikan dariku? Bukannya aku istrinya? Ataukah Mas Firman tidak menganggap aku sebagai istrinya?" Rani bertanya dalam hati. “Rumah sakit mana, ya, Mbak?” tanya Rani kemudian. “Kurang tahu, ya, Bu. Tadi hanya bilang begitu,” jawab resepsionis itu dengan sopan. Rani menarik nafas dalam. Bergegas dia pergi setelah mengucapkan terimakasih kepada resepsionis itu. Pikiran Rani tiba-tiba tertuju pada rumah sakit yang semalam dikunjungi Firman. Segera Rani memesan taksi dan menuju rumah sakit itu. Rani tergesa menuju ruang perawatan tempat kemaren dia melihat Firman ditampar oleh seorang ibu. Langkah kaki Rani terhenti saat melihat bayangan Firman masuk ke ruangan itu. Pelan Rani melangkah ke sana. Lalu dia memilih meliha
“Citra!” panggil Fira, kakak Firman, saat Citra dan Rani hampir tiba di area ruang perawatan. “Hai, Kak Fira!" sahut Citra sambil menghentikan langkahnya. Dihamburkannya pelukan ke kakak ipar perempuan semata wayangnya ini. Citra dan Fira memang dekat. Sudah seperti kakak kandungnya, karena Fira tidak memiliki saudara perempuan. "Kapan datang dari Bandung?” tanya Citra. Sudah lama mereka tak bersua. Biasanya keduanya sangat nyambung diskusi apa saja. Fira tidak segera menjawab pertanyaan Citra. Matanya menatap Rani lekat. Sementara Rani mencoba untuk tersenyum, meskipun dia merasa getir. Peristiwa siang tadi masih melekat di bayangannya. Sebutan pelakor! Tapi, Rani masih penasaran. Jika memang orang tua Firman adalah mertua Citra, lalu apa hubungannya Firman dengan Citra? Apakah mereka hanya ipar? Atau…ah, tiba-tiba pikiran buruk menghantui Rani. Tapi Rani harus kuat menerima kenyataan ini. “Aku harus bisa mengetahui rahasia Firman dan keluarganya, karena aku akan menjadi ba
Citra kembali ke rumah sakit. Dia terduduk di teras ruang perawatan papa mertuanya setelah melihat melalui jendela ada Firman di sana. Masih terbayang olehnya betapa kecewanya Rani terhadapnya. Citra tahu, ini sangat menyakitkan bagi Rani. Pasti Rani merasa ditipu olehnya, setelah beberapa minggu saja dia berpura-pura tidak mengenal Firman. "Sungguh, aku tak bermaksud menyakitimu, Ran. Maafkan aku Rani. Kalau kamu tahu, aku lebih sakit dari itu," gumam Citra. Citra memaki dirinya. Memaki dirinya yang lemah. Seharusnya, dia tidak perlu berpura-pura seperti itu di depan Rani. Seharusnya dia berterus terang dari awal, saat pertama kali melihat Firman. Seharusnya, hari itu dia bisa saja menampar Firman atau marah pada laki-laki yang telah menyakitinya dan juga menyakiti sahabatnya. Tapi buktinya, dia tak bisa. Dia tidak tega menyakiti Rani. Rani adalah sahabatnya. Meski sekian tahun mereka berpisah dan tak pernah berkomunikasi, namun buktinya, rasa persahabatan itu masih ada. Tak ha
Rani menyeka air matanya. Dia sudah menelpon kantornya di Surabaya dan sudah mengajukan pindah kembali dari kantor pusat di Jakarta. Keputusannya bulat. Dia akan kembali ke Surabaya. Rasa sakit hatinya, tak mampu membuatnya bertahan di Jakarta. Rani segera mengemasi barang-barangnya. Dia tidak mau bertahan dengan Firman. Lelaki yang telah membohonginya. Bahkan tega menyembunyikan identitasnya. Bodohnya, selama ini mengapa dia benar-benar tidak ingin mencari tahu. Rani begitu terbuai. Mungkin karena keinginan besarnya yang ingin segera menikah. Datangnya Firman sungguh sangat membutakannya. Rani bergegas segera meninggalkan apartemen sebelum Firman pulang. Segera di-booking-nya hotel yang terletak di dekat bandara. Keesokan pagi, Rani bertekat harus terbang ke Surabaya dengan penerbangan paling pagi. Dia ingin menenangkan diri. Tak ingin lagi bertemu dengan Firman. Entahlah rencana ke depan. Mungkin juga dia akan mencari pekerjaan di tempat lain dan pindah apartemen di Surabaya ag
Firman segera melangkah masuk ke mobil. Dia sudah tak tahan lagi untuk tidak menyeka air matanya yang luruh. Rasa bersalah kepada anak-anak menyelimuti pikirannya. Segera Firman mengemudikan mobil menuju apartemen. Apartemen yang sepi tiada celoteh anak-anaknya. Apartemen yang terpaksa menjadi pelabuhan akibat kesalahan fatalnya. Hanya Rani yang ada disana, dan entah bagaimana dia akan menjelaskan semua ini kepada Rani. Firman berusaha keras memutar otaknya. Firman melangkah tanpa semangat ke unit apartemennya. Berjuta penyesalan seolah tak berguna lagi. Haruskah dia menjalani takdir, atau memperbaiki semuanya? “Rani! Rani?” dipanggilnya istri mudanya itu berulang kali. Tak biasanya apartemen itu sepi. Sejak ada Rani, wanita itu selalu menyambut hangat kedatangannya, meski dia sudah tak sehangat sebelumnya. Sepi. Firman memindai pandangannya ke seluruh sudut apartemen. Keningnya berkerut. Kenapa benda-benda milik Rani tidak ada? Firman segera membuka lemari pakainnya. Kos
Pagi itu Firman memutuskan pergi ke kantor Rani untuk mencari informasi tentang keberadaan istri mudanya itu. Karena masih menikah siri, Firman tak banyak kenal dengan karyawan di kantor tempat Rani bekerja. Berkenalan pun juga belum pernah. Firman terdiam sesaat di depan meja salah satu rekan kerja Rani. Setelah memperkenalkan diri sebagai teman Rani, Firman segera menanyakan keberadaan Rani. “Maaf Pak, Bu Maharani sudah mengajukan proses mutasi kembali ke Surabaya. Katanya ada masalah keluarga,” jawab wanita dengan name tag bernama Asri, rekan kerja Rani.Mata Firman membola. Apa? Rani ke Surabaya?Firman hampir tak percaya. Secepat itukah dia mengambil keputusan kembali ke kotanya. Padahal belum ada sebulan Rani pindah ke Jakarta. Tentu saja, ini tak mudah. Jika saja Rani bukan pegawai yang diandalkan di kantornya, tentu saja hal ini hampir mustahil.Perasaan Firman tak karuan. Bahkan, Rani sebagai istrinya, tak meminta pertimbangan apapun padanya tentang keputusan besar itu. Fi