“Ran, kamu turun sini ya. Tinggal lanjut naik kereta ke Amsterdam,” kata Citra saat mobil Farhan minggir di dekat stasiun Den haag. Farhan sama sekali tidak ada niat mengantarkan Rani. Toh dia juga sebenarnya tidak diajak, pikir Farhan. Bahkan, sepanjang perjalanan Farhan tidak berniat mengajak Rani bicara. Mereka sudah pulang dari Paris setelah menghabiskan akhir pekan di negeri Napoleon itu. Bagi Farhan, kehadiran Rani menghancurkan segala rencananya. Namun, tak ada gurat kecewa di wajah Citra. Wanita itu selalu saja merasa baik-baik saja. Bahkan, beberapa kali berusaha menghibur suaminya yang terus saja menunjukkan kekesalannya. Namun, kini Citra harus mengalah saat Farhan memutuskan untuk menurunkan Rani di depan stasiun. Farhan hanya tak mengerti. Sampai sebegitunya Citra harus mengorbankan perasaannya demi sahabatnya. Kadang Farhan berfikir dia tak salah memilih istri. Meski sudah punya empat anak, tapi hatinya bak bidadari. Tapi, kalau sudah berlebihan, dia tak tahan juga. K
Farhan tidak habis mengerti dengan Citra. Jelas-jelas Rani menunjukkan gelagat yang kurang baik. Tapi, masih bisa-bisanya Citra selalu membelanya. Dalam banyak hal, Citra memang terlalu banyak berprasangka baik ke orang lain. Itu juga yang membuatnya terjatuh saat bersama Firman. Tak pernah sekalipun ada rasa curiga ke suaminya, hingga akhirnya Citra melihat dengan mata kepalanya sendiri kenyataan yang ada. Akhirnya, Farhan harus mengalah. Tak ada gunanya terus menerus berdebat dengan Citra. Ini masalah kecil. Tapi jadi rumit jika tidak segera diatasi. Farhan segera mengambil ponselnya. Lalu memblokir semua akses yang mengarah ke Rani. Tak lupa, ponsel Citra yang biasanya hanya diletakkan di ruang tamu, juga diblokkir aksesnya dengan sahabat istrinya itu. Farhan tak mau ada duri dalam daging dalam keluarganya. ***“Rani?! Sejak kapan kamu di sini?” tanya Citra yang baru pulang menjemput Romi. Dilihatnya Rani sedang berdiri di ambang pintu rumahnya. “Setengah jam yang lalu. Ponselm
“Aku minta maaf atas kejadian tadi,” kata Farhan usai Citra menidurkan anak-anaknya. Farhan mendekati Citra yang sudah duduk di sisi ranjang. Lalu ia duduk disebelahnya. “Kali ini, tolong dengarkan aku, Citra,” tukas Farhan lagi. Dipandanginya wajah istrinya yang tampak masih kecewa. “Han, sampai kapan kamu membenci Rani?” tanya Citra. Citra memang kadang lupa memanggil ‘mas’ ke Farhan, karena memang mereka dulu berteman dan mantan adik iparnya. Tapi, Farhan tak masalah. Citra memang perlu waktu untuk beradaptasi dengan kehidupan barunya setelah sepuluh tahun menganggapnya bukan siapa-siapa. “Aku tidak membenci Rani. Aku tidak suka dengan kelakuannya. Nih lihat!” Farhan mengangsurkan ponselnya ke Citra. Mata Citra membulat sempurna. Di gambar itu terlihat Rani sedang dibantu berjalan oleh Farhan. Tangannya merangkul ke pundak Farhan. Sedang Farhan memeluk pinggang Rani. Dan Rani menggunakan pakaian terbuka. Sangat berbeda dengan tampilan tadi saat berkunjung ke rumah mereka.
Firman mendorong troly berisi koper miliknya dan juga koper kepunyaan papa dan mamanya. Pagi itu mereka sudah mendarat di bandara Schipol Amsterdam. Jam di bandara masih menunjukkan pukul tujuh pagi waktu Belanda. Ini adalah pertama kalinya Firman menginjakkan kaki di Belanda. Negeri dimana keempat anaknya dan mantan istrinya tinggal. Ada rasa ngilu menjalar di dadanya, bercampur dengan kerinduan. Ngilu mengingat kesalahannya yang berakibat hancurnya keluarga yang sudah sekian tahun dia bina bersama Citra. Hancur karena kesalahannya, terlena dengan kelembutan Citra. Tak dipungkirinya, setahun mereka berpisah, ada rindu yang menggelora dalam jiwanya. Rindu kepada Citra yang tak kan mungkin bisa kembali lagi. Rindu kepada ke empat anaknya, terutama Reva yang mungkin belum pernah merasakan belaian kasih sayangnya. “Man, itu adikmu di sebelah sana,” ujar Mama Firman saat melihat Farhan melambaikan tangan dari arah pintu keluar. Papa dan Mama Firman segera beranjak menghampiri Farha
“Jadi, Nak Firman, kapan orang tua nya akan datang melamar Rani?” tanya Ayah Rani.Namanya Maharani. Usianya nyaris kepala tiga. Karir di kantornya bagus, hingga dia melupakan mencari pendamping. Di saat semua teman sekolah dan teman kuliah sudah membahas masalah menikah dan berkeluarga, Rani justru sibuk dengan karirnya. Lama-kelamaan, dia menarik diri dari aktivitas sosialnya.Entah bagaimana awalnya, Firman, penanggungjawab proyek yang bekerjasama dengan kantor Rani menjalin hubungan dekat dengannya. Yang tadinya hanya sebatas urusan kerja, lama-kelamaan hubungan keduanya menjadi nyaman dan saling bergantung. Tak jarang Firman bertandang ke rumah Rani dari sekedar mengantar pulang, hingga benar-benar menghabiskan waktu di saat luang.Firman yang tidak menyangka dengan pertanyaan Ayah Rani tergagap. Dia tak menyangka jika harapan orang tua Rani sampai sejauh itu. Karena Firman sendiri selama ini hanya ingin mengisi kekosongan selama mengerjakan proyek di Surabaya.Kantor Pusat tempa
Citra yang duduknya berhadapan dengan Rani, segera menoleh ke belakang mengikuti arah Rani melihat. Seketika mata Citra langsung membulat sempurna.Begitu juga Firman. Pria itu tak menyangka Citra, istrinya, ada di Surabaya. “Citra!” Citra mengulurkan tangannya sambil tersenyum menyebutkan namanya, seolah tidak mengenal Firman. Firman ragu melihat uluran tangan itu. Namun, demi menutupi fakta yang sesungguhnya di depan Rani, terpaksa dia menerima uluran tangan singkat itu. “Mas, ini Citra sahabatku SMA.”Bak disambar petir mendengar ucapan Rani. Mata Firman seketika membulat, lalu segera mencoba mengendalikan diri. Firman segera menunduk, tak berani menatap Citra lebih lama. Gemuruh di dadanya tak karuan. Degup jantungnya menjadi tak menentu. Rasa bersalah dan malu pada istrinya, bercampur menjadi satu. Bersamaan dengan itu, Rani pindah posisi duduk, mendekat ke Citra. Kini, kedua istrinya duduk bersebelahan, membuat denyut jantung Firman semakin tak karuan. Sedang Citra berlaku
[Weekend ini aku ke Jakarta, lho. Kita ketemuan, ya.] Sebuah pesan masuk ke ponsel Citra.Citra hanya mengernyit. Tidak ada namanya. Tepatnya, Citra belum menyimpan nomor kontak itu.Citra memilih memasukkan kembali ponsel itu ke dalam laci meja kerjanya. Tak ada niat membalasnya segera. Pekerjaan kantornya yang menumpuk, membuatnya melupakan segala masalahnya. Dan Citra sangat bersyukur dengan hal ini. Karena membuatnya tidak tenggelam dalam emosi. Sayangnya, saat dia memasuki rumah, emosinya kembali terkuras. Melihat anak-anak yang ceria, membuat dia teringat masa-masa bahagianya bersama Firman, yang kini hancur dalam sekejap.Menjelang tidur, Citra membuka kembali ponselnya yang sejak siang tadi hanya berada di tas kerjanya. Dilihatnya berderet notifikasi pesan singkat disana. [Hei, nggak dibales, sih. Ini Rani.] Pesan itu masuk beberapa saat setelah pesan yang pertama. [Aku boleh main ke rumahmu, kan? Aku ingin lihat keponakanku yang lucu-lucu.] Pesan berikutnya terbaca oleh
[Share loc, ya. Aku jemput!] Citra dengan semangat mengirimkan pesan ke Rani setelah duduk di belakang kemudi. Dia sudah terbiasa menyetir sendiri. Tak hanya mengantar anak-anak sekolah, namun juga belanja dan bekerja, selama ini sudah terbiasa dengan mobil sendiri.Hatinya sedikit lega karena Firman ada di rumah. Artinya tidak perlu energi untuk banyak bersandiwara di depan Rani. Meskipun tetap saja Citra mesti bersandiwara seolah-olah Firman suami Rani adalah Firman yang berbeda dengan suaminya. Citra melajukan mobilnya menuju apartemen Rani setelah memperoleh lokasi. Dia ingin mengorek banyak hal tentang hubungan Rani dan Firman. Seberapa lama Firman, yang dia pikir setia, telah mengkhianatinya. “Mana suamimu?” tanya Citra begitu masuk ke apartemen milik Rani penuh selidik. Pandangannya mengedar ke seluruh penjuru ruangan. Keningnya berkerut. Apartemen ini masih kosong!Dalam hati Citra berfikir keras. Jadi, Firman benar-benar tak punya tempat tinggal lain, selain rumah yang mer