[Share loc, ya. Aku jemput!]
Citra dengan semangat mengirimkan pesan ke Rani setelah duduk di belakang kemudi. Dia sudah terbiasa menyetir sendiri. Tak hanya mengantar anak-anak sekolah, namun juga belanja dan bekerja, selama ini sudah terbiasa dengan mobil sendiri.
Hatinya sedikit lega karena Firman ada di rumah. Artinya tidak perlu energi untuk banyak bersandiwara di depan Rani. Meskipun tetap saja Citra mesti bersandiwara seolah-olah Firman suami Rani adalah Firman yang berbeda dengan suaminya.
Citra melajukan mobilnya menuju apartemen Rani setelah memperoleh lokasi. Dia ingin mengorek banyak hal tentang hubungan Rani dan Firman. Seberapa lama Firman, yang dia pikir setia, telah mengkhianatinya.
“Mana suamimu?” tanya Citra begitu masuk ke apartemen milik Rani penuh selidik. Pandangannya mengedar ke seluruh penjuru ruangan. Keningnya berkerut. Apartemen ini masih kosong!
Dalam hati Citra berfikir keras. Jadi, Firman benar-benar tak punya tempat tinggal lain, selain rumah yang mereka tempati. Seculas apa permainan Firman sebenarnya? tanya Citra dalam hati.
“Suamiku lembur, dia sibuk sekali,” jawab Rani.
Ah, Rani kasihan sekali dirimu. Andai kau tahu, dia telah berbohong padamu. Batin Citra.
“Mau langsung jalan sekarang?” pertanyaan Rani membuyarkan lamunan Citra.
“Aku haus, boleh aku minta minum, Rani,” tanya Citra.
Sebenarnya Citra masih ingin sejenak di tempat ini. Dia ingin tahu bagaimana Firman bersandiwara. Rasanya tak percaya Firman pernah tinggal di apartemen ini. Sedangkan sejak menikah saja semua kebutuhannya, Citra yang urus.
Bergegas Rani membuka kulkas yang ada di dapur. Keningnya berkerut. Kenapa kulkas ini kosong? Tak ada satupun makanan tertinggal di kulkas.
Rani lalu membuka lemari dapur, berharap menemukan gula dan kopi di sana. Kosong!
Tiba-tiba perasaan Rani tidak enak. Mengapa masih bersih semua? Perabot dapur pun seperti tak pernah tersentuh.
“Sepertinya suamiku sibuk sekali, Cit. Dia bahkan tak sempat belanja,” kata Rani kemudian.
“Benar juga. Pasti dia tiap saat tinggal pesan antar. Laki-laki kadang mau simple nya aja,” timpal Citra berusaha menghibur Rani.
Rani mengangguk. Dia segera menepiskan kecurigaannya. Nanti saja dia akan bertanya pada Firman setelah pulang dari jalan-jalan.
“Yuk, jalan aja kalau begitu,” ajak Citra. Mereka berdua menuruni lantai apartemen dan menuju ke parkiran.
“Jadi kamu baru pertama ini mengunjungi suamimu?” tanya Citra setelah mereka duduk di sebuah Cafe.
“Iya. Suamiku sibuk sekali. Dia sering bilang kalau Sabtu Minggu pun mesti harus kerja. Inipun aku sedikit memaksa karena aku ingin ketemu denganmu,” jawab Rani antusias.
Ya, Rani sangat antusias. Baru kali ini dia bertemu teman lama dengan status barunya. Biasanya Rani selalu menghindar jika bertemu teman lama yang rata-rata sudah menikah. Meskipun Rani sukses di karir, tetap saja tidak nyaman dengan statusnya yang masih single.
Citra mendengarkan cerita Rani dengan seksama. Sepertinya Rani sangat bahagia dengan pernikahannya. Rasanya tak tega bagi Citra untuk menyakiti Rani.
“Kapan kamu kenal suamimu?” tanya Citra lagi.
“Lima bulan lalu. Dia ada proyek di Surabaya. Kebetulan aku yang handle proyek kerjasama dengan perusahaan Mas Firman.” Rani melanjutkan ceritanya.
Ada rasa nyeri di relung hati Citra saat mendengar Rani memanggil suaminya dengan sebutan "Mas". Meskipun harusnya biasa saja. Itu panggilan lumrah bagi orang Jawa.
Sambil mendengarkan cerita Rani, pikiran Citra mengembara.
Lima bulan lalu, memang Firman cukup lama di Surabaya. Bahkan, sering mengajaknya berakhir pekan ke sana dengan anak-anak, tapi selalu ditolaknya. Pekerjaan kantor Citra yang sibuk, membuatnya enggan keluar kota di akhir pekan. Dia lebih memilih menghabiskan waktu di rumah dengan anak-anak.
Apakah karena itu Firman berpaling?
Citra menghela nafasnya. 'Maafkan aku, Mas,' batinnya.
Perih rasa hatinya menyadari khilafnya yang mengabaikan ajakan suaminya menghabiskan akhir pekan di Surabaya kala itu.
“Ayahku tidak suka aku dekat dengan Mas Firman tanpa ikatan,” lanjut Rani. “Beliau selalu bertanya ke Mas Firman kapan akan melamarku setiap Mas Firman mengantarku pulang.”
Sorot mata keceriaan terpancar dari wajah Rani yang cantik, menambah luka di hati Citra.
“Hingga sekarang, sebenarnya kami masih nikah siri, tapi aku bahagia. Nanti kalau Mas Firman sudah tidak sibuk, dia akan mengenalkanku ke orangtuanya, sekalian kita akan menikah secara resmi,” lanjut Rani.
Tiba-tiba kepala Citra terasa pening. Memikirkan kebahagiaan yang Rani impikan. Sudah hilangkan cinta Firman kepadanya? Sebegitu dalamkah cinta Firman kepada Rani?
“Hei, kok malah ngelamun. Kamu kenapa? Kok nangis?” tanya Rani saat melihat mata Citra sudah berkaca-kaca.
“Rani, aku bahagia. Akhirnya kamu mendapatkan pasangan yang kamu impikan,” kata Citra lirih sambil mengusap air matanya. Meskipun kata-kata itu sebenarnya hanya untuk menutupi hatinya yang remuk.
“Makasih, Citra. Nanti, kamu harus datang ya kalau aku menikah!” ancam Rani dengan wajah berbinar.
“Pasti, Rani!” jawab Citra mantap.
'Biarlah luka ini akan sembuh dengan berjalannya waktu. Tak ada gunanya mempertahankan Firman, jika ternyata dia tidak bahagia bersamaku. Biarlah Rani dan Firman berbahagia dan aku akan mencari kebahagiaanku sendiri,' gumam Citra dalam hati.
***ETW***
Citra mengantar Rani sampai lobi apartemennya, lalu ia langsung pulang. Memasuki gerbang rumahnya, dilihatnya Firman sedang main dengan ketiga buah hatinya. Rara tampak nyaman di gendongan papanya sambil mengejar kedua kakaknya yang berlarian kesana kemari. Canda tawa menggema membuat rumah menjadi ramai.
Hati Citra semakin perih melihatnya. Akankah momen seperti ini akan tetap ada kedepannya. Apakah ini semua akan segera berakhir? Istana yang dia bangun dengan cinta, akankah segera terkoyak? Maafkan mama, anak-anakku.
Firman segera beranjak mendekati Citra saat melihat Citra berdiri mematung melihat anak-anaknya.
Namun, Citra segera menjauh saat menyadari keberadaan Firman.
Firman hanya bisa mendesah. Semakin sulit dan jauh rasanya Citra dalam jangkauannya.
“Rara, sama Mba Susi dulu,” kata Firman sambil menyerahkan Rara dari gendongannya.
Firman bergegas menghampiri Citra yang langsung masuk ke kamarnya. Citra selalu langsung ganti baju dan cuci tangan seusai bepergian sebelum menemui anak-anaknya.
“Mas, sebaiknya kamu bersama Rani malam ini, kasihan dia,” kata Citra tanpa menatap saat Firman masuk ke kamarnya. Sejak peristiwa itu, Citra memang enggan bertatapan langsung dengan Firman. Itu sangat menyakitkan bagi Firman.
“Aku akan tetap di sini, sampai kamu mau memaafkanku,” jawab Firman lirih.
“Aku sudah memaafkanmu, Mas. Tolong, jangan sakiti Rani. Cukup aku saja,” sahut Citra sambil meninggalkan Firman.
Citra bergegas keluar kamar untuk menemui anak-anaknya. Baginya, sibuk dengan anak-anak jauh lebih baik dibanding harus melayani permintaan Firman yang sudah sangat terlambat.
***ETW***
Rani membuka lemari baju yang ada di kamar apartemen itu. Hanya beberapa setel baju Firman di sana. Kemana baju-bajunya yang lain? Baju-baju yang sering dipakai saat di Surabaya.
Dipindainya seluruh ruangan di apartemen itu. Tak ada sepatu atau sendal milik Firman tertinggal di sana? Tak ada pernak-pernik milik Firman seperti yang ditinggal di rumahnya. Parfum, deodoran, pisau cukur.
Rani segera menghilangkan dugaan kotornya. Di ambilnya ponsel untuk bertanya langsung ke Firman.
[Sayang, maaf, Mas lembur malam ini di kantor. Besok aku baru ke sana sekalian mengantarkanmu ke bandara]
Rani menghela nafas. Rani memang paham kesibukan Firman. Di Surabaya pun sering lembur di kantor sampai malam. Firman juga punya kebiasaan mematikan ponsel saat bekerja. Jadi percuma saja jika dia menghubungi saat ini.
Rani memutuskan untuk bersih-bersih sebelum beranjak tidur. Tapi, lagi-lagi dia heran. Mengapa kamar mandi ini tidak ada peralatan mandi? Bahkan pasta gigi dan sikat gigi sekalipun tidak ada. Sabun untuk toilet dan tisu pun tak ada.
Pikiran Rani tiba-tiba menerawang penuh dugaan liar. Apakah apartemen ini baru disewa? Lalu, dimana Mas Firman tinggal sebenarnya?
Setelah menidurkan anak-anak, Citra masih melihat Firman duduk di depan TV. Setiap melihat Firman, denyut jantungnya seperti terpompa lebih cepat. Ada rasa gusar dan marah. Tapi semuanya tak bisa diungkapkan. Mungkin, terlalu sakit luka yang tertoreh. Tak pernah sedikitpun terbersit Firman akan mengkianatinya. Laki-laki yang dulu sangat di cintainya. Seorang ayah yang sangat sayang kepada anak-anaknya. Sepertinya, semua itu hanya akan tinggal kenangan. “Mas, pergi temui Rani. Kamu sudah menghancurkan hidupku. Janganlah kamu hancurkan hidup Rani,” kata Citra lirih penuh penekanan. Hati Citra berkata, sepertinya lebih baik dia tak melihat Firman di rumah ini. Itu jauh lebih baik bagi emosinya. Dibandingkan melihatnya hanya akan menambah luka hatinya. Bayangan Firman bersama Rani pun semakin membuatnya terasa nyeri. Firman menatap ke arah Citra. Tapi, Citra segera berpaling dan bergegas pergi menjauhinya. “Dik, Mas ngga akan pergi sebelum kamu maafkan.” Firman sudah berdiri di belak
Pagi itu, Citra menjadi kurang fokus pada pekerjaannya. Pikirannya menggembara, mencari strategi bagaimana dia harus mengatakan siapa Firman sesungguhnya pada Rani. Citra menghela nafas. “Sepertinya aku harus segera mengambil keputusan, sebelum Rani tahu semuanya,” batin Citra. Ibu muda itu tak ingin sahabatnya merasakan sakit hati, seperti yang dirasakannya. Wanita manapun, pasti tak mau hatinya diduakan. Baik dia sebagai istri pertama, maupun istri kedua. Mendadak, nada panggilan masuk ke ponsel Citra. Meski tak biasa menerima panggilan saat jam kerja, pagi itu melihat nama Rani tertera di layar, Citra segera bangkit. Dia keluar ruangan sejenak, mencari tempat yang agak sepi untuk menerima panggilan telepon. “Citra, akhirnya benar katamu. Sepertinya kamu nggak perlu repot mencari tahu tentang Mas Firman. Lusa, aku pindah tugas ke Jakarta. Aku dapat mutasi ke kantor pusat di Jakarta.” Suara Rani dari seberang telepon terdengar ceria, namun, sontak membuat Citra ternganga. P
Mata Firman membulat. Apa? Rani pindah ke Jakarta? Bahkan dia belum mengetahui berita ini. Apa Rani sengaja menyembunyikan rencana ini? pikir Firman. Kadang wanita penuh kejutan. Mereka sulit ditebak. “Dua hari lagi dia akan datang. Kembalilah engkau padanya. Dia lebih membutuhkanmu,” lanjut Citra. Seketika Firman merasakan lututnya lemas. Dia luruh terjatuh di lantai. Pandangannya kosong. “Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan,” desis Firman lirih nyaris tak terdengar. Kepalanya menunduk. Bahkan tangannya mengacak rambutnya karena tak tahu harus berbuat apa. Dengan gerak cepat, Citra segera menyelesaikan mengemas barang-barang Firman, lalu ia menutup koper tersebut. “Sekarang kamu pilih, Mas. Aku atau kamu yang pergi!” seru Citra. Citra makin mantap untuk berpisah. Tak ada gunanya dipertahankan. Bahkan berbicara saja rasanya enggan. Sejak peristiwa pengkianatan itu tersingkap, Citra merasa tak ada upaya dari Firman untuk berbicara baik-baik dengannya. Tak pernah ada pembi
Firman masih diam mematung di kamarnya, ketika bel apartemennya berbunyi. Mungkin hanya pengelola apartemen, batinnya. Karena hanya mereka yang bisa langsung naik hingga depan unitnya. Tamu yang tak punya kartu akses tak bisa langsung ke atas. Firman beranjak, bergegas membuka pintu.“KEJUTAN!” teriak Rani. Wanita muda itu sudah berdiri di depan pintu membawa dua buah koper besar dengan kedua tangan terentang siap memeluknya.Mata Firman terbelalak. Tak menyangka, secepat itu istri mudanya datang. Untungnya Citra segera menyuruhnya pergi. Jika tidak? Bagaimana kalau Rani sampai tahu sebenarnya dia tak tinggal di tempat itu. “Aku pindah Jakarta, Mas. Aku bahagia akhirnya bisa bersamamu!” Rani memeluk Firman yang masih mematung. “Kenapa? Kamu kaget ya?” tanya Rani sambil mendorong kopernya masuk ke dalam. Firman masih seperti bangun dari mimpi. Berkali-kali dia mengerjap, namun kemudian dia tersadar dan membantu Rani memasukkan barangnya ke apartemen. “Aku sengaja nggak ngabarin ka
Kepala Firman berdenyut. Sedangkan masalahnya dengan Citra saja belum dia tuntaskan. Mengurus dokumen pernikahan kedua, bukanlah hal mudah. Bahkan berlipat-lipat rumitnya. Dan itu tak pernah terbayangkan oleh Firman sebelumnya. Dia terlalu larut oleh kenyamanan semu yang selama ini diperoleh dari Rani. Kalau boleh memilih, tentu Firman akan mempertahankan Citra. Wanita yang teramat dicintainya. Selain cinta pertamanya, Citra sudah berkorban mendampinginya dari dia belum siapa-siapa. Cita pula yang selama ini menghadirkan kebahagiaan, yang telah memberinya tiga anak-anak yang lucu dan pintar. Hanya kebodohannyalah yang menghancurkan semuanya. Tapi, Firman pun tidak bisa begitu saja meninggalkan Rani. Gadis cerdas dengan karir gemilang yang begitu penuh harap mendapatkan jodoh yang diimpikannya. Dengan karirnya yang bersinar, hanya pria mapan yang berani mendekatinya. Dan Firman melakukan kesalahan besar untuk itu. “Mas, kamu kok malah melamun?” tanya Rani. Dia sedikit heran dengan
Setiba di apartemen, Firman segera membuka koper dan memasukkan baju-bajunya.“Mau ke mana, Mas?” tanya Rani yang baru keluar dari kamar mandi. Wanita itu menatap Firman dengan tatapan keheranan.“Ada pekerjaan,” jawab Firman singkat. Dalam hati dia mendesah. Mengapa hidupku penuh dengan kebohongan. Beginikah akibat dari pengkianatan. “Mendadak sekali....” timpal Rani seraya tak lepas menatap setiap gerakan firman. Padahal dirinya baru tiba kemarin dari Surabaya, dan besok adalah hari pertamanya kerja. Jakarta adalah kota baru baginya. Meskipun taksi online mudah dipesan. Tapi, tetap saja ditinggal sendiri bukan hal yang diharapkan. “Berapa hari, Mas? Kok bawa baju banyak banget?” tanya Rani penasaran. Biasanya yang Rani lihat sewaktu di Surabaya, Firman hanya membawa beberapa potong baju setiap datang ke sana. Sejenak Fiman berfikir, lalu menjawab, “Mungkin seminggu.”Bahkan, dia tak tahu tepatnya berapa lama akan pergi. Karena, papa dan mamanya kadang tidak dapat ditebak keingin
[Citra, ini hari pertamaku bekerja. Apakah kamu bisa membagi lokasi kantormu? Siapa tahu kita bisa makan siang bersama.] Rani mengirimkan pesan singkat kepada Citra. Menjadi pegawai baru di kota yang asing bagi Rani memang tidak lah mudah. Citra adalah satu-satunya sahabat yang dia miliki di kota itu, selain suaminya, Firman. Sayangnya, jika Firman sedang sibuk dengan pekerjaannya, ponselnya selalu dimatikan. Sehingga Rani merasa kesepian. [Kamu nggak makan siang sama Mas Firman?] pancing Citra. Citra penasaran, kira-kira apa alasan yang diberikan ke Rani ketika Firman menghabiskan waktu di rumahnya. [Mas Firman sedang di luar kota, Cit.] Sebuah balasan dari Rani, membuat Citra menghela nafas. Ah, kasihan kamu, Rani. Bahkan, di hari bahagiamu ada di Jakarta, suamimu harus membohongimu, gumam Citra. [Maaf Rani, aku hari ini ada meeting. Besok aja ya. Aku janji] balas Citra. Dia masih belum ingin bertemu Rani. Paling tidak untuk saat itu. Dia tak ingin bangkai itu tercium sebelum
“Kenapa kamu tidak telpon, Firman?” tanya Citra setelah mereka kembali ke unit apartemen Rani. Dengan telaten, Citra menyuruh Rani segera istirahat di ranjangnya. Sesuai pesan dokter, sahabatnya itu harus bedrest. “Mas Firman selalu mematikan ponselnya saat dia bekerja,” tukas Rani. Hidup hampir lima bulan LDR membuatnya terbiasa dengan kehidupan terpisah. Apalagi dia sudah mengetahui kebiasaan Firman, dan Rani cukup memakluminya. Citra menaikkan satu alisnya. Ada hal aneh dengan jawaban Rani. Dia tak percaya jika Firman, yang juga suaminya itu, menon-aktifkan ponsel selama bekerja. Karena selama ini, ia bebas menelpon kapan saja, termasuk jam kerja, meski hal itu jarang dilakukannya. Justru, kini timbul kecurigaan lain. Apakah nomer yang dimiliki Rani berbeda dengan yang dimiliki Citra? “Tapi, ini sudah malam. Memangnya suamimu selalu bekerja sampai larut malam?” Citra ingin menelisik lebih jauh. Diam-diam, Citra mengecek nomer Firman yang pernah diberikan oleh Rani padanya