“Kok kamu sudah pulang, Mas. Mana kopernya?” tanya Rani saat Firman masuk ke dalam unit apartemen mereka. Padahal Firman baru kemarin berangkat ke luar kota. Dan waktu itu bilang kalau kemungkinan akan dinas selama seminggu. “Ada di mobil.” Firman menarik nafas. Bohong untuk yang kesekian. “Mas....” Rani mengambil jeda.” Aku hamil,” lanjutnya. Firman hanya tersenyum. Dia sudah mendengar dari Citra tadi pagi. “Kamu nggak kaget? Kamu nggak senang?” tanya Rani heran. Di benak Rani, seharusnya ekspresi Firman bahagia atau kaget. Lalu pria itu akan memeluknya, atau memberi hadiah lain yang selama ini diberikan saat mereka masih di Surabaya. Bukan datar seperti yang terlihat kini. Firman meraih tangan Rani dan menggenggamnya. “Tentu saja, Mas sangat senang. Yang penting kamu sehat,” lanjut Firman. Dia sendiri bingung harus bagaimana. Dia menyadarai, masalahnya akan kian menjadi rumit setelah ini. “Mas, Aku ingin pernikahan kita segera diurus sebelum aku mengabarkan berita bahagi
“Om Aryo, Tante Mirna?” Spontan Citra menghamburkan pelukan ke Bu Mirna, orang tua Rani. Citra sudah cukup akrab, karena saat SMA, dia sudah sering menginap di rumah Rani. “Kamu tinggal disini juga?” tanya Bu Mirna sambil mengamati belanjaan yang dibawa oleh Citra.“Saya mau ke tempat Rani, Tante. Mari...” Citra mempersilahkan Mirna dan Aryo setelah lift terbuka di lantai 7. Mereka ngobrol sangat akrab sambil temu kangen sepanjang jalan dari lift hingga depan unit apartemen Rani. Hingga Citra tak sempat memikiran apa yang terjadi setelah ini. Citra segera mendahului langkah kedua orang tua sahabatnya itu, begitu tiba di depan pintu. Dia lalu memencet bel dan mempersilahkan satpam meninggalkan mereka. “Ayah?! Ibu?!” Firman yang membuka pintu, refleks kaget melihat Ayah dan ibunya Rani sudah berdiri di depan pintu, bersama Citra. “Ayah sama Ibu memang mau ngasih kejutan,” kata Pak Aryo sambil menepuk pundak Firman.Firman masih berdiri mematung, tak percaya, saat kedua mertuanya
“Om, Tante, saya pamit.” Citra berpamitan usai membereskan perkakas dapur di apartemen Rani. Dia sudah bersiap pulang setelah pamit dengan Rani. Tak lupa, diam-diam sebuah tatapan sinis ditujukan pada Firman yang hanya mampu tertunduk. “Makasih, ya, Citra. Kapan-kapan Om dan Tante berkunjung ke rumahmu ya,“ ucap Bu Mirna, sambil menemani Citra sampai pintu. "Siap, Tante," sahut Citra. Dia tak mau menimbulkan kecurigaan jika menolaknya. Apalagi, dulunya mereka sangat akrab. “Salam buat suamimu,” seru Pak Aryo sambil melambaikan tangannya. "Insyaalloh, nanti saya sampaikan, Om." Mendengar kata-kata Pak Aryo, sontak membuat tenggorokan Firman tercekat. Apa jadinya kalau orang tua Rani mengetahui bahwa suami Citra adalah dirinya? Citra tersenyum, meski harus sekuat tenaga menyembunyikan rasa masam di hatinya. Sekilas dia melirik Firman yang juga turut mengantarnya ke depan pintu bersama mertuanya, dan dia hanya dapat tertunduk. ***ETW***Sore itu, Citra sengaja mengajak Rio belanj
“Mas, apa kamu menyembunyikan sesuatu dariku?” tanya Rani saat mereka dalam perjalanan pulang. Sejak peristiwa tadi, Firman hanya terdiam, tak mengeluarkan sepatah kata pun. “Oh,” jawab Firman pendek. Firman tak tahu harus berkata apa. Kebohongannya sudah bertumpuk-tumpuk. Entah sampai kapan semua itu harus berakhir.“Tentang anak tadi?” tanya Rani penasaran. “Bisa jadi dia salah orang 'kan?” ujar Firman tanpa menoleh ke Rani. Pandangan Firman tetap lurus ke depan. Dia tak mau menimbulkan kecurigaan, namun tak tahu harus menjawab bagaimana. Rani hanya mendesah. Mereka kembali dalam kebisuan. Tapi, hati kecil Rani berkata, ada yang tidak beres. [Cit, kok aku merasa ada yang aneh dari Mas Firman, ya?] Rani akhirnya memutuskan mengirim pesan ke sahabatnya. [Jangan banyak berprasangka. Kamu kan lagi hamil. Selalu berfikir positif, ya.] Jawaban Citra masuk ke ponsel Rani setelah sekian menit menunggu. Rani mengangguk setuju. Bisa jadi, dia hanya terbawa perasaan, karena kondisinya
“Jadi benar, Firman suamimu adalah sama dengan Firman suami Rani?” ulang Bu Mirna. Tiba-tiba Bu Mirna teringat, sebelum berangkat ke rumah Citra, dia sudah mengajak Firman dan Rani. Anehnya Firman bersikeras tidak mau ikut ke rumah Citra dengan alasan Rani butuh istirahat. Dan Rani pun seperti menurut saja. Padahal, Citra adalah sahabat dekat Rani.Citra mengangguk lesu. “Sebentar…sebentar….”Mama Firman ikut mendekat ke Citra. Mama Firman mengambil duduk di sebelah Citra. Belum hilang rasa penasarannya. Antara percaya dan tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.“Coba Citra, jelaskan apa yang baru saja kamu katakan!” tukas Mama Firman tidak sabar. “Maafkan Citra, Tante, Ma. Bukan maksudnya Citra menutupi semua ini. Tapi, Citra hanya berharap Mas Firman lah yang mengatakannya. Bukan dari Citra,” jawab Citra. Sudah tak ada air mata yang keluar. Rasanya sudah tak berguna tenggelam dalam kesedihan. Biarlah Firman yang akan memutuskan. “Anak kurang ajar!” suara Papa Firman
“Mama yang sabar. Yang penting Papa sehat dulu, Ma. Baru kita pikirkan langkah ke depan,” ujar Citra.“Kamu jadi wanita jangan lemah seperti itu. Makanya suamimu jadi nglunjak. Kalau dia bilang lembur, kamu harus tanya. Benarnya dia lembur. Jangan percaya-percaya aja. Maling itu tidak hanya karena niat, tapi karena ada kesempatan juga!” “Iya, Ma. Maafin Citra.” Citra kembali menunduk lesu. Citra menyadari, dia pun salah selama ini terlalu mempercayai Firman, hingga baunya saja tidak terendus. Entahlah kalau waktu itu dia tidak ke Surabaya untuk reuni, barangkali hingga saat ini dia tetap tidak tahu kelakuan busuknya Firman. ***ETW***“Ayah, Ibu, ada apa? Kenapa sudah beres-beres?” tanya Rani saat pulang dari jalan-jalan dengan Firman melihat Ayah Ibunya sudah berkemas. Bu Mirna menatap Firman sinis. Bukannya tadi mereka menolak diajak ke rumah Citra dengan alasan Rani harus istirahat? Kenapa malah diajak jalan keluar? Firman jadi merasa serba salah. Perasaannya tidak enak. Adakah
Rani berfikir keras. Rahasia apa yang disembunyikan Firman darinya? Siapakah mertua Citra sebenarnya? Ada hubungan apa dengan Firman? Apakah mereka sebelumnya sudah saling mengenal? “Dari mana, Mas?” tanya Rani pura-pura tidak tahu kemana Firman pergi. Dia sudah sampai apartemen sebelum Firman datang. Tak lupa, Rani segera berganti baju agar tak terlihat dari bepergian. Bekas make up juga sudah dihapus. Firman hanya terdiam. Dia menimbang dalam-dalam, haruskah bohong lagi? Bukannya keluarganya pun kini sudah tahu kalau dia sudah menikah lagi? Bisa jadi orang tua Rani pun juga sudah mengetahui. “Mas mau mandi dulu,” akhirnya Firman mengalihkan pertanyaan. Dia berharap, seusai mandi, Rani sudah tidur. Firman memilih berlama-lama di kamar mandi. Pikirannya kalut. Papanya yang memdadak jatuh sakit karena ulahnya, tentu saja bukan hanya papa dan mamanya yang terluka. Bisa jadi kak Fira, kakaknya satu-satunya juga akan marah besar padanya. Belum lagi keluarga Citra. Papi mami mert
“Pak Firman baru saja keluar. Ke Rumah sakit. Ayahnya kena serangan Jantung,” jawab sang resepsionis. Kening Rani berkerut. "Ayahnya? Bukannya ayah Mas Firman ada di Bandung? Kenapa Mas Firman tidak bercerita kalau ayahnya sakit? Mengapa disembunyikan harus disembunyikan dariku? Bukannya aku istrinya? Ataukah Mas Firman tidak menganggap aku sebagai istrinya?" Rani bertanya dalam hati. “Rumah sakit mana, ya, Mbak?” tanya Rani kemudian. “Kurang tahu, ya, Bu. Tadi hanya bilang begitu,” jawab resepsionis itu dengan sopan. Rani menarik nafas dalam. Bergegas dia pergi setelah mengucapkan terimakasih kepada resepsionis itu. Pikiran Rani tiba-tiba tertuju pada rumah sakit yang semalam dikunjungi Firman. Segera Rani memesan taksi dan menuju rumah sakit itu. Rani tergesa menuju ruang perawatan tempat kemaren dia melihat Firman ditampar oleh seorang ibu. Langkah kaki Rani terhenti saat melihat bayangan Firman masuk ke ruangan itu. Pelan Rani melangkah ke sana. Lalu dia memilih meliha