“Om, Tante, saya pamit.” Citra berpamitan usai membereskan perkakas dapur di apartemen Rani. Dia sudah bersiap pulang setelah pamit dengan Rani. Tak lupa, diam-diam sebuah tatapan sinis ditujukan pada Firman yang hanya mampu tertunduk. “Makasih, ya, Citra. Kapan-kapan Om dan Tante berkunjung ke rumahmu ya,“ ucap Bu Mirna, sambil menemani Citra sampai pintu. "Siap, Tante," sahut Citra. Dia tak mau menimbulkan kecurigaan jika menolaknya. Apalagi, dulunya mereka sangat akrab. “Salam buat suamimu,” seru Pak Aryo sambil melambaikan tangannya. "Insyaalloh, nanti saya sampaikan, Om." Mendengar kata-kata Pak Aryo, sontak membuat tenggorokan Firman tercekat. Apa jadinya kalau orang tua Rani mengetahui bahwa suami Citra adalah dirinya? Citra tersenyum, meski harus sekuat tenaga menyembunyikan rasa masam di hatinya. Sekilas dia melirik Firman yang juga turut mengantarnya ke depan pintu bersama mertuanya, dan dia hanya dapat tertunduk. ***ETW***Sore itu, Citra sengaja mengajak Rio belanj
“Mas, apa kamu menyembunyikan sesuatu dariku?” tanya Rani saat mereka dalam perjalanan pulang. Sejak peristiwa tadi, Firman hanya terdiam, tak mengeluarkan sepatah kata pun. “Oh,” jawab Firman pendek. Firman tak tahu harus berkata apa. Kebohongannya sudah bertumpuk-tumpuk. Entah sampai kapan semua itu harus berakhir.“Tentang anak tadi?” tanya Rani penasaran. “Bisa jadi dia salah orang 'kan?” ujar Firman tanpa menoleh ke Rani. Pandangan Firman tetap lurus ke depan. Dia tak mau menimbulkan kecurigaan, namun tak tahu harus menjawab bagaimana. Rani hanya mendesah. Mereka kembali dalam kebisuan. Tapi, hati kecil Rani berkata, ada yang tidak beres. [Cit, kok aku merasa ada yang aneh dari Mas Firman, ya?] Rani akhirnya memutuskan mengirim pesan ke sahabatnya. [Jangan banyak berprasangka. Kamu kan lagi hamil. Selalu berfikir positif, ya.] Jawaban Citra masuk ke ponsel Rani setelah sekian menit menunggu. Rani mengangguk setuju. Bisa jadi, dia hanya terbawa perasaan, karena kondisinya
“Jadi benar, Firman suamimu adalah sama dengan Firman suami Rani?” ulang Bu Mirna. Tiba-tiba Bu Mirna teringat, sebelum berangkat ke rumah Citra, dia sudah mengajak Firman dan Rani. Anehnya Firman bersikeras tidak mau ikut ke rumah Citra dengan alasan Rani butuh istirahat. Dan Rani pun seperti menurut saja. Padahal, Citra adalah sahabat dekat Rani.Citra mengangguk lesu. “Sebentar…sebentar….”Mama Firman ikut mendekat ke Citra. Mama Firman mengambil duduk di sebelah Citra. Belum hilang rasa penasarannya. Antara percaya dan tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.“Coba Citra, jelaskan apa yang baru saja kamu katakan!” tukas Mama Firman tidak sabar. “Maafkan Citra, Tante, Ma. Bukan maksudnya Citra menutupi semua ini. Tapi, Citra hanya berharap Mas Firman lah yang mengatakannya. Bukan dari Citra,” jawab Citra. Sudah tak ada air mata yang keluar. Rasanya sudah tak berguna tenggelam dalam kesedihan. Biarlah Firman yang akan memutuskan. “Anak kurang ajar!” suara Papa Firman
“Mama yang sabar. Yang penting Papa sehat dulu, Ma. Baru kita pikirkan langkah ke depan,” ujar Citra.“Kamu jadi wanita jangan lemah seperti itu. Makanya suamimu jadi nglunjak. Kalau dia bilang lembur, kamu harus tanya. Benarnya dia lembur. Jangan percaya-percaya aja. Maling itu tidak hanya karena niat, tapi karena ada kesempatan juga!” “Iya, Ma. Maafin Citra.” Citra kembali menunduk lesu. Citra menyadari, dia pun salah selama ini terlalu mempercayai Firman, hingga baunya saja tidak terendus. Entahlah kalau waktu itu dia tidak ke Surabaya untuk reuni, barangkali hingga saat ini dia tetap tidak tahu kelakuan busuknya Firman. ***ETW***“Ayah, Ibu, ada apa? Kenapa sudah beres-beres?” tanya Rani saat pulang dari jalan-jalan dengan Firman melihat Ayah Ibunya sudah berkemas. Bu Mirna menatap Firman sinis. Bukannya tadi mereka menolak diajak ke rumah Citra dengan alasan Rani harus istirahat? Kenapa malah diajak jalan keluar? Firman jadi merasa serba salah. Perasaannya tidak enak. Adakah
Rani berfikir keras. Rahasia apa yang disembunyikan Firman darinya? Siapakah mertua Citra sebenarnya? Ada hubungan apa dengan Firman? Apakah mereka sebelumnya sudah saling mengenal? “Dari mana, Mas?” tanya Rani pura-pura tidak tahu kemana Firman pergi. Dia sudah sampai apartemen sebelum Firman datang. Tak lupa, Rani segera berganti baju agar tak terlihat dari bepergian. Bekas make up juga sudah dihapus. Firman hanya terdiam. Dia menimbang dalam-dalam, haruskah bohong lagi? Bukannya keluarganya pun kini sudah tahu kalau dia sudah menikah lagi? Bisa jadi orang tua Rani pun juga sudah mengetahui. “Mas mau mandi dulu,” akhirnya Firman mengalihkan pertanyaan. Dia berharap, seusai mandi, Rani sudah tidur. Firman memilih berlama-lama di kamar mandi. Pikirannya kalut. Papanya yang memdadak jatuh sakit karena ulahnya, tentu saja bukan hanya papa dan mamanya yang terluka. Bisa jadi kak Fira, kakaknya satu-satunya juga akan marah besar padanya. Belum lagi keluarga Citra. Papi mami mert
“Pak Firman baru saja keluar. Ke Rumah sakit. Ayahnya kena serangan Jantung,” jawab sang resepsionis. Kening Rani berkerut. "Ayahnya? Bukannya ayah Mas Firman ada di Bandung? Kenapa Mas Firman tidak bercerita kalau ayahnya sakit? Mengapa disembunyikan harus disembunyikan dariku? Bukannya aku istrinya? Ataukah Mas Firman tidak menganggap aku sebagai istrinya?" Rani bertanya dalam hati. “Rumah sakit mana, ya, Mbak?” tanya Rani kemudian. “Kurang tahu, ya, Bu. Tadi hanya bilang begitu,” jawab resepsionis itu dengan sopan. Rani menarik nafas dalam. Bergegas dia pergi setelah mengucapkan terimakasih kepada resepsionis itu. Pikiran Rani tiba-tiba tertuju pada rumah sakit yang semalam dikunjungi Firman. Segera Rani memesan taksi dan menuju rumah sakit itu. Rani tergesa menuju ruang perawatan tempat kemaren dia melihat Firman ditampar oleh seorang ibu. Langkah kaki Rani terhenti saat melihat bayangan Firman masuk ke ruangan itu. Pelan Rani melangkah ke sana. Lalu dia memilih meliha
“Citra!” panggil Fira, kakak Firman, saat Citra dan Rani hampir tiba di area ruang perawatan. “Hai, Kak Fira!" sahut Citra sambil menghentikan langkahnya. Dihamburkannya pelukan ke kakak ipar perempuan semata wayangnya ini. Citra dan Fira memang dekat. Sudah seperti kakak kandungnya, karena Fira tidak memiliki saudara perempuan. "Kapan datang dari Bandung?” tanya Citra. Sudah lama mereka tak bersua. Biasanya keduanya sangat nyambung diskusi apa saja. Fira tidak segera menjawab pertanyaan Citra. Matanya menatap Rani lekat. Sementara Rani mencoba untuk tersenyum, meskipun dia merasa getir. Peristiwa siang tadi masih melekat di bayangannya. Sebutan pelakor! Tapi, Rani masih penasaran. Jika memang orang tua Firman adalah mertua Citra, lalu apa hubungannya Firman dengan Citra? Apakah mereka hanya ipar? Atau…ah, tiba-tiba pikiran buruk menghantui Rani. Tapi Rani harus kuat menerima kenyataan ini. “Aku harus bisa mengetahui rahasia Firman dan keluarganya, karena aku akan menjadi ba
Citra kembali ke rumah sakit. Dia terduduk di teras ruang perawatan papa mertuanya setelah melihat melalui jendela ada Firman di sana. Masih terbayang olehnya betapa kecewanya Rani terhadapnya. Citra tahu, ini sangat menyakitkan bagi Rani. Pasti Rani merasa ditipu olehnya, setelah beberapa minggu saja dia berpura-pura tidak mengenal Firman. "Sungguh, aku tak bermaksud menyakitimu, Ran. Maafkan aku Rani. Kalau kamu tahu, aku lebih sakit dari itu," gumam Citra. Citra memaki dirinya. Memaki dirinya yang lemah. Seharusnya, dia tidak perlu berpura-pura seperti itu di depan Rani. Seharusnya dia berterus terang dari awal, saat pertama kali melihat Firman. Seharusnya, hari itu dia bisa saja menampar Firman atau marah pada laki-laki yang telah menyakitinya dan juga menyakiti sahabatnya. Tapi buktinya, dia tak bisa. Dia tidak tega menyakiti Rani. Rani adalah sahabatnya. Meski sekian tahun mereka berpisah dan tak pernah berkomunikasi, namun buktinya, rasa persahabatan itu masih ada. Tak ha