“Pak Firman baru saja keluar. Ke Rumah sakit. Ayahnya kena serangan Jantung,” jawab sang resepsionis. Kening Rani berkerut. "Ayahnya? Bukannya ayah Mas Firman ada di Bandung? Kenapa Mas Firman tidak bercerita kalau ayahnya sakit? Mengapa disembunyikan harus disembunyikan dariku? Bukannya aku istrinya? Ataukah Mas Firman tidak menganggap aku sebagai istrinya?" Rani bertanya dalam hati. “Rumah sakit mana, ya, Mbak?” tanya Rani kemudian. “Kurang tahu, ya, Bu. Tadi hanya bilang begitu,” jawab resepsionis itu dengan sopan. Rani menarik nafas dalam. Bergegas dia pergi setelah mengucapkan terimakasih kepada resepsionis itu. Pikiran Rani tiba-tiba tertuju pada rumah sakit yang semalam dikunjungi Firman. Segera Rani memesan taksi dan menuju rumah sakit itu. Rani tergesa menuju ruang perawatan tempat kemaren dia melihat Firman ditampar oleh seorang ibu. Langkah kaki Rani terhenti saat melihat bayangan Firman masuk ke ruangan itu. Pelan Rani melangkah ke sana. Lalu dia memilih meliha
“Citra!” panggil Fira, kakak Firman, saat Citra dan Rani hampir tiba di area ruang perawatan. “Hai, Kak Fira!" sahut Citra sambil menghentikan langkahnya. Dihamburkannya pelukan ke kakak ipar perempuan semata wayangnya ini. Citra dan Fira memang dekat. Sudah seperti kakak kandungnya, karena Fira tidak memiliki saudara perempuan. "Kapan datang dari Bandung?” tanya Citra. Sudah lama mereka tak bersua. Biasanya keduanya sangat nyambung diskusi apa saja. Fira tidak segera menjawab pertanyaan Citra. Matanya menatap Rani lekat. Sementara Rani mencoba untuk tersenyum, meskipun dia merasa getir. Peristiwa siang tadi masih melekat di bayangannya. Sebutan pelakor! Tapi, Rani masih penasaran. Jika memang orang tua Firman adalah mertua Citra, lalu apa hubungannya Firman dengan Citra? Apakah mereka hanya ipar? Atau…ah, tiba-tiba pikiran buruk menghantui Rani. Tapi Rani harus kuat menerima kenyataan ini. “Aku harus bisa mengetahui rahasia Firman dan keluarganya, karena aku akan menjadi ba
Citra kembali ke rumah sakit. Dia terduduk di teras ruang perawatan papa mertuanya setelah melihat melalui jendela ada Firman di sana. Masih terbayang olehnya betapa kecewanya Rani terhadapnya. Citra tahu, ini sangat menyakitkan bagi Rani. Pasti Rani merasa ditipu olehnya, setelah beberapa minggu saja dia berpura-pura tidak mengenal Firman. "Sungguh, aku tak bermaksud menyakitimu, Ran. Maafkan aku Rani. Kalau kamu tahu, aku lebih sakit dari itu," gumam Citra. Citra memaki dirinya. Memaki dirinya yang lemah. Seharusnya, dia tidak perlu berpura-pura seperti itu di depan Rani. Seharusnya dia berterus terang dari awal, saat pertama kali melihat Firman. Seharusnya, hari itu dia bisa saja menampar Firman atau marah pada laki-laki yang telah menyakitinya dan juga menyakiti sahabatnya. Tapi buktinya, dia tak bisa. Dia tidak tega menyakiti Rani. Rani adalah sahabatnya. Meski sekian tahun mereka berpisah dan tak pernah berkomunikasi, namun buktinya, rasa persahabatan itu masih ada. Tak ha
Rani menyeka air matanya. Dia sudah menelpon kantornya di Surabaya dan sudah mengajukan pindah kembali dari kantor pusat di Jakarta. Keputusannya bulat. Dia akan kembali ke Surabaya. Rasa sakit hatinya, tak mampu membuatnya bertahan di Jakarta. Rani segera mengemasi barang-barangnya. Dia tidak mau bertahan dengan Firman. Lelaki yang telah membohonginya. Bahkan tega menyembunyikan identitasnya. Bodohnya, selama ini mengapa dia benar-benar tidak ingin mencari tahu. Rani begitu terbuai. Mungkin karena keinginan besarnya yang ingin segera menikah. Datangnya Firman sungguh sangat membutakannya. Rani bergegas segera meninggalkan apartemen sebelum Firman pulang. Segera di-booking-nya hotel yang terletak di dekat bandara. Keesokan pagi, Rani bertekat harus terbang ke Surabaya dengan penerbangan paling pagi. Dia ingin menenangkan diri. Tak ingin lagi bertemu dengan Firman. Entahlah rencana ke depan. Mungkin juga dia akan mencari pekerjaan di tempat lain dan pindah apartemen di Surabaya ag
Firman segera melangkah masuk ke mobil. Dia sudah tak tahan lagi untuk tidak menyeka air matanya yang luruh. Rasa bersalah kepada anak-anak menyelimuti pikirannya. Segera Firman mengemudikan mobil menuju apartemen. Apartemen yang sepi tiada celoteh anak-anaknya. Apartemen yang terpaksa menjadi pelabuhan akibat kesalahan fatalnya. Hanya Rani yang ada disana, dan entah bagaimana dia akan menjelaskan semua ini kepada Rani. Firman berusaha keras memutar otaknya. Firman melangkah tanpa semangat ke unit apartemennya. Berjuta penyesalan seolah tak berguna lagi. Haruskah dia menjalani takdir, atau memperbaiki semuanya? “Rani! Rani?” dipanggilnya istri mudanya itu berulang kali. Tak biasanya apartemen itu sepi. Sejak ada Rani, wanita itu selalu menyambut hangat kedatangannya, meski dia sudah tak sehangat sebelumnya. Sepi. Firman memindai pandangannya ke seluruh sudut apartemen. Keningnya berkerut. Kenapa benda-benda milik Rani tidak ada? Firman segera membuka lemari pakainnya. Kos
Pagi itu Firman memutuskan pergi ke kantor Rani untuk mencari informasi tentang keberadaan istri mudanya itu. Karena masih menikah siri, Firman tak banyak kenal dengan karyawan di kantor tempat Rani bekerja. Berkenalan pun juga belum pernah. Firman terdiam sesaat di depan meja salah satu rekan kerja Rani. Setelah memperkenalkan diri sebagai teman Rani, Firman segera menanyakan keberadaan Rani. “Maaf Pak, Bu Maharani sudah mengajukan proses mutasi kembali ke Surabaya. Katanya ada masalah keluarga,” jawab wanita dengan name tag bernama Asri, rekan kerja Rani.Mata Firman membola. Apa? Rani ke Surabaya?Firman hampir tak percaya. Secepat itukah dia mengambil keputusan kembali ke kotanya. Padahal belum ada sebulan Rani pindah ke Jakarta. Tentu saja, ini tak mudah. Jika saja Rani bukan pegawai yang diandalkan di kantornya, tentu saja hal ini hampir mustahil.Perasaan Firman tak karuan. Bahkan, Rani sebagai istrinya, tak meminta pertimbangan apapun padanya tentang keputusan besar itu. Fi
“Akhirnya, kamu datang juga!” Wajah dingin Ayah Rani menyambutnya di depan pintu.Ayah Rani yang dulu selalu hangat, kini hanya menyisakan tatapan mata sinis. Tak ada keramahan tergambar di wajahnya. “Mana Rani, Ayah?” tanya Firman setelah menyalami Ayah dan ibu Rani. Firman sangat mengkhawatirkan kondisi Rani. Apalagi dia sedang mengandung dan belum lama harus bedrest. “Jangan panggil aku ayah, kalau kamu belum juga mengurus pernikahan sahmu dengan Rani!” kata Ayah Rani tegas. Mendengar kata pernikahan, kepala Firman terasa berdenyut. Bagaimana mungkin dia meminta ijin ke Citra? Bagaimana jika Citra malah meminta menceraikannya? “Kalau kamu tidak segera urus, jangan harap kamu bisa bertemu dengan Rani!” seru Ayah Rani. Jawaban itu sebenarnya menegaskan kalau Rani ada di rumah itu. Tapi, Firman merasa harus bertemu. Dia harus menjelaskan semuanya. Dia tak ingin hal buruk terjadi pada Rani. “Pergi kamu sekarang juga dari rumah saya!” seru Ayah Rani lagi. “Tapi, Ayah…” Firman ter
Firman langsung kembali ke Jakarta. Sesuai permintaan orang tua Rani, Firman akan segera mengurus dokumen pengesahan pernikahannya dengan Rani. Itu adalah satu-satunya jalan untuk mengurangi beban mental yang Rani rasakan. Melihat Rani mencoba bunuh diri, perasaan Firman hancur. Tak terpikirkan olehnya jika keadaan akan menjadi seburuk ini. “Dik, maafkan Mas,” ucap Firman pada Citra. “Mas, aku sudah bilang berkali-kali. Aku sudah memaafkanmu. Kembalilah ke Rani. Dan segera urus perpisahan kita,” jawab Citra datar. Rasa cinta Cintra pada Firman sudah terkikis. Bagi Citra, pengkianatan ini tak dapat dimaafkan. Pengkhianatan itu telah melahirkan banyak kebohongan-kebohongan. Citra tak bisa hidup dengan kebohongan. Citra tak ingin sama sekali dimadu. Citra yakin, Firman tak akan bisa adil. Dia hanya bisa berbohong untuk menyenangkannya. Termasuk berbohong ke anak-anak agar tidak membuatnya luka. Bukankah ini lebih menyakitkan? Bisakah berbahagia di atas kebohongan? “Dik, aku t