Firman melajukan mobilnya membelah jalanan kota Jakarta menuju apartemennya. Hari itu dia harus menyiapkan diri karena akan berangkat lagi ke Surabaya. Hanya satu cara kembali ke Rani, satu-satunya kesalahan yang harus dia perbaiki. Namun, tiba-tiba sejuta kenangan manis bersama Citra dan anak-anak begitu saja hadir dalam lamunannya. Begitu menyakitkan. Firman keluar dari mobilnya dengan langkah tergesa setelah memarkir mobilnya di area basement gedung apartemen. BUGGG!! Sebuah bogem mentah tiba-tiba mendarat di wajahnya. Firman jatuh terjungkal. Tak jelas siapa yang memukulnya. Pria bertubuh tinggi atletis itu sudah pergi meninggalkan Firman yang sedang menahan rasa sakit luar biasanya. **** Papa Firman sudah diizinkan keluar dari rumah sakit. Citra sudah menyiapkan kamar khusus untuk mertuanya. “Kemana anak itu?” tanya Papa Firman begitu menyadari tak ada kehadiran Firman menyambutnya. “Papa nggka usah banyak mikirin Mas Firman. Yang penting papa lekas sehat, ya, Pa,” tuk
Usai mengurus semua keperluan, Firman kembali ke Surabaya. Firman berdiri di samping ranjang tempat Rani di rawat. istri mudanya itu terbaring lemah. Rani masih enggan membuka mulut nya untuk makan. Termasuk untuk berbicara. Dia hanya mau berbicara dengan ibunya. Itupun hanya sesekali. “Kalau kamu mau kembali untuk bersama Rani, maka lepaskan istrimu,” ujar Ayah Rani. “Saya tidak menginginkan anak saya tersakiti. Cukup sekarang kamu sakiti dia dengan kebohonganmu. Tapi, tidak untuk nanti. Saya tidak mengijinkan kamu berbagi,” lanjut Ayah Rani. Firman diam membisu. Hatinya kalut. Di satu sisi, Citra benar-benar sudah memintanya berpisah. Wanita yang dicintainya itu sama sekali tidak mau bertahan. Firman sadar, sebenarnya cintanya untuk Citra tak berkurang sekdikit pun. Malah, belakangan Firman semakin merindukan Citra. Bagi Firman, kemarahan dan sikap dingin Citra saat ini adalah tanda bahwa dia masih mencintainya. Firman menyesal, betapa naifnya dirinya. Mengapa harus me
Tapi, Farhan sama sekali tak mengindahkan. Farhan puas, beberapa hari lalu dia berhasil menghadiahkan bogem mentah pada kakaknya. Bahkan, dia yakin, Firman tak menyadari kalau itu dirinya. Karena begitu Firman terhuyung, dia langsung bergegas pergi. Laki-laki mana yang rela, jika kekasih hatinya disakiti. Bahkan, oleh orang terdekatnya sendiri. Farhan mengulum senyum, saat melihat, bekas kebiruannya masih jelas di wajah Firman. “Ngapain kamu kembali ke sini, Mas? Bukannya seharusnya kamu di Surabaya?” tanya Citra begitu Farhan sudah pergi. Sebenarnya, Citra melihat lebam di wajah Firman. Namun, dia malas untuk bertanya. Rasa sakit hati, membuat hati Citra pun turut membeku. “Aku akan meluluskan keinginanmu. Tapi ijinkan aku sekali saja bersamamu. Untuk terakhir kalinya. Setelah itu, aku tak akan menganggumu lagi.” Firman melangkah ke kamar. Citra mengernyit. “Apa maksudmu, Mas?” tanya Citra setelah mengikuti Firman masuk ke kamar. Firman sudah duduk di sisi ranjang. Citr
“Ada apa, Mas?” tanya Rani sesaat setelah Firman menutup sambungan teleponnya. Sedari tadi, tanpa Firman sadari, Rani memperhatikannya. Dia bisa melihat dengan jelas perubahan wajah Firman yang tadinya murung, seketika berubah berbinar. “Oh, ada panggilan ke Jakarta. Tapi, apa kamu ngga apa-apa?” jawab Firman setengah berbohong. Tiga bulan lamanya dia menahan kerinduan ingin bertemu anak-anak dan tentu saja, Citra. Dan kini, ia mendapat kabar gembira bahwa Citra tengah mengandung anaknya. Firman berusaha keras menyembunyikan kebahagiaannya. Dia tak ingin Rani sampai mencurigai. “Panggilan pekerjaan maksudmu? Bukannya kamu sudah dilarang ayah kembali ke Jakarta?” tanya Rani mengingatkan. Dalam hati, Rani heran mengapa Firman begitu bahagianya setelah menerima telpon ini? Apakah karena dia akan ke Jakarta? Tentu saja itu membuat Rani gundah. Jakarta adalah kota yang dibencinya. Kota yang melahirkan luka di hatinya. Rani takut, Firman akan bertemu kembali dengan keluarganya, lalu men
“Ayo, lah, Citra. Aku antar kamu ke dokter,” bujuk Farhan saat berkunjung ke rumah Citra. Hampir setiap hari sepulang dari kantor dia mengunjungi Citra dan anak-anaknya.Meskipun papa dan mamanya sudah kembali ke Bandung, Farhan tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Toh, anak-anak Citra juga keponakannya. Tentunya papa dan mamanya tetap akan menyayanginya jika kelak Citra menjadi istrinya. “Han, aku nggak papa. Aku sehat. Percaya, deh,” tolak Citra. Teman sewaktu kuliahnya itu sebenarnya sejak dulu sangat perhatian. Tapi, siapa sangka jika ternyata dia menyimpan rasa. Farhan mendesah kesal. Wanita di depannya ini masih sama seperti dulu. Keras kepala. Tak pernah mau menerima bantuannya. Sewaktu kuliah memang Farhan sudah berusaha mendekati. Tapi, entah kenapa, justru kakaknya yang berhasil mencuri hati Citra. Mungkin karena sifat Farhan yang pemalu dan tertutup, sehingga tak segera berani menyatakan cintanya. Hingga akhirnya, dia terlambat menyatakannya, di saat hati Citra sudah
Firman masih menatap kepergian Farhan. Firman baru beranjak ketika mobil yang dikendarai adiknya itu benar-benar hilang dari pandangannya. “Ngapain dia ke sini, Dik?” tanya Firman. Nadanya meninggi, kentara dia menyimpan cemburu. Bahkan, sikap Firman seolah hubungannya dengan Citra masih sama seperti sebelumnya. Dia menganggap masuk rumahnya sendiri. Apalagi, saat dia pergi pun, dia belum menjatuhkan talak pada Citra. Firman sengaja mengulur waktu, sembari menanti keajaiban akan berpihak padanya. Tiga bulan Firman meninggalkannya. Entah mengapa, tiba-tiba ada rasa rindu dalam dadanya. Citra menggeleng. Dia ingin menghempaskan rasa yang tak seharusnya ada. Ah, Citra benci perasaan itu. Harusnya dia segera melupakan Firman. Tapi, mengapa ini menjadi sulit. Janin dalam kandungannya seperti menginginkan dia untuk dapat bermanja dengan papanya. Citra menatap Firman. Begitu juga sebaliknya. Keduanya masih terdiam. Meski masing-masing sebenarnya menahan kerinduan. “Citra. Aku r
Rasa bahagia yang tadi menyeruak, kini berubah menjadi kebimbangan. Haruskah dia menambah dusta demi membahagiakan salah satu di antaranya? Firman merasa lelah terus berdusta. Tapi, dia tak mampu juga untuk jujur. Di satu pihak, dia memang sudah berjanji kepada orang tua Rani untuk menjauh dari anak-anak dan istrinya. Di lain pihak, dia masih mencintai Citra. Bahkan, Firman yakin, keluarga Citra pun belum mengetahui masalah ini. Citra memang tidak terlalu suka menceritakan problem rumah tangga ke orang lain, termasuk keluarganya. Bahkan, hatinya rela menahan sakit saat mengetahui hubungan Firman dengan Rani. Tapi, Citra tak jua angkat bicara, hingga hal itu terkuak sendiri. “Apakah kamu membohongi Rani untuk menemuiku?” tanya Citra. Pertanyaan Citra, membuat Firman tergagap. Sejak pengkhianatan Firman, Citra sudah dapat membaca kebiasaan baru Firman, yaitu suka berbohong. Sebagai orang yang sudah tujuh tahun bersama, dia amat mengenal Firman. Lidah Firman terasa tercekat
“Apakah kamu kenal mereka?” tanya Farhan. Ia ingin meyakinkan siapa sebenarnya wanita yang ada di sampingnya ini. Wanita itu terus saja berurai air mata. Sesekali disekanya dengan sapu tangan yang diberikan Farhan. “Aku istri laki-laki itu. Dan perempuan itu sahabatku,” sahut Rani sambil terisak tanpa menatap ke Farhan. Farhan mengangkat sebelah alisnya. “Jadi, kamu istri Firman?” tanya Farhan lagi. Wanita itu balas menatap Farhan. Bagaimana bisa lelaki ini tahu siapa lelaki yang sedang dia amati dari kejauhan itu. “Jadi kamu yang menganggu keluarga kakakku? Iya?” Tatapan Farhan berubah menjadi tatapan tajam penuh intimidasi. Terbayang olehnya kepedihan yang dialami Citra akibat pecahnya keluarganya. Meskipun dalam hati Farhan ingin mengambil kesempatan mengambil Citra dari Firman. Namun, hati kecilnya tetap tak terima ketika melihat Citra menanggung akibat dari ulah pelakor di depannya itu. Rani menjadi gemetar melihat perubahan air muka Farhan. Tiba-tiba--- Brugggg
Firman mendorong troly berisi koper miliknya dan juga koper kepunyaan papa dan mamanya. Pagi itu mereka sudah mendarat di bandara Schipol Amsterdam. Jam di bandara masih menunjukkan pukul tujuh pagi waktu Belanda. Ini adalah pertama kalinya Firman menginjakkan kaki di Belanda. Negeri dimana keempat anaknya dan mantan istrinya tinggal. Ada rasa ngilu menjalar di dadanya, bercampur dengan kerinduan. Ngilu mengingat kesalahannya yang berakibat hancurnya keluarga yang sudah sekian tahun dia bina bersama Citra. Hancur karena kesalahannya, terlena dengan kelembutan Citra. Tak dipungkirinya, setahun mereka berpisah, ada rindu yang menggelora dalam jiwanya. Rindu kepada Citra yang tak kan mungkin bisa kembali lagi. Rindu kepada ke empat anaknya, terutama Reva yang mungkin belum pernah merasakan belaian kasih sayangnya. “Man, itu adikmu di sebelah sana,” ujar Mama Firman saat melihat Farhan melambaikan tangan dari arah pintu keluar. Papa dan Mama Firman segera beranjak menghampiri Farha
“Aku minta maaf atas kejadian tadi,” kata Farhan usai Citra menidurkan anak-anaknya. Farhan mendekati Citra yang sudah duduk di sisi ranjang. Lalu ia duduk disebelahnya. “Kali ini, tolong dengarkan aku, Citra,” tukas Farhan lagi. Dipandanginya wajah istrinya yang tampak masih kecewa. “Han, sampai kapan kamu membenci Rani?” tanya Citra. Citra memang kadang lupa memanggil ‘mas’ ke Farhan, karena memang mereka dulu berteman dan mantan adik iparnya. Tapi, Farhan tak masalah. Citra memang perlu waktu untuk beradaptasi dengan kehidupan barunya setelah sepuluh tahun menganggapnya bukan siapa-siapa. “Aku tidak membenci Rani. Aku tidak suka dengan kelakuannya. Nih lihat!” Farhan mengangsurkan ponselnya ke Citra. Mata Citra membulat sempurna. Di gambar itu terlihat Rani sedang dibantu berjalan oleh Farhan. Tangannya merangkul ke pundak Farhan. Sedang Farhan memeluk pinggang Rani. Dan Rani menggunakan pakaian terbuka. Sangat berbeda dengan tampilan tadi saat berkunjung ke rumah mereka.
Farhan tidak habis mengerti dengan Citra. Jelas-jelas Rani menunjukkan gelagat yang kurang baik. Tapi, masih bisa-bisanya Citra selalu membelanya. Dalam banyak hal, Citra memang terlalu banyak berprasangka baik ke orang lain. Itu juga yang membuatnya terjatuh saat bersama Firman. Tak pernah sekalipun ada rasa curiga ke suaminya, hingga akhirnya Citra melihat dengan mata kepalanya sendiri kenyataan yang ada. Akhirnya, Farhan harus mengalah. Tak ada gunanya terus menerus berdebat dengan Citra. Ini masalah kecil. Tapi jadi rumit jika tidak segera diatasi. Farhan segera mengambil ponselnya. Lalu memblokir semua akses yang mengarah ke Rani. Tak lupa, ponsel Citra yang biasanya hanya diletakkan di ruang tamu, juga diblokkir aksesnya dengan sahabat istrinya itu. Farhan tak mau ada duri dalam daging dalam keluarganya. ***“Rani?! Sejak kapan kamu di sini?” tanya Citra yang baru pulang menjemput Romi. Dilihatnya Rani sedang berdiri di ambang pintu rumahnya. “Setengah jam yang lalu. Ponselm
“Ran, kamu turun sini ya. Tinggal lanjut naik kereta ke Amsterdam,” kata Citra saat mobil Farhan minggir di dekat stasiun Den haag. Farhan sama sekali tidak ada niat mengantarkan Rani. Toh dia juga sebenarnya tidak diajak, pikir Farhan. Bahkan, sepanjang perjalanan Farhan tidak berniat mengajak Rani bicara. Mereka sudah pulang dari Paris setelah menghabiskan akhir pekan di negeri Napoleon itu. Bagi Farhan, kehadiran Rani menghancurkan segala rencananya. Namun, tak ada gurat kecewa di wajah Citra. Wanita itu selalu saja merasa baik-baik saja. Bahkan, beberapa kali berusaha menghibur suaminya yang terus saja menunjukkan kekesalannya. Namun, kini Citra harus mengalah saat Farhan memutuskan untuk menurunkan Rani di depan stasiun. Farhan hanya tak mengerti. Sampai sebegitunya Citra harus mengorbankan perasaannya demi sahabatnya. Kadang Farhan berfikir dia tak salah memilih istri. Meski sudah punya empat anak, tapi hatinya bak bidadari. Tapi, kalau sudah berlebihan, dia tak tahan juga. K
Tok tok tok“Citra!”panggil Rani sambil mengetuk pintu kamar Citra dan Farhan. Hari sudah malam, tapi Rani belum juga dapat memicingkan matanya.“See?” ucap Farhan sambil menatap tajam ke Citra, seolah memberi isyarat bahwa apa mengajak Rani ke Paris adalah keputusan yang keliru. “Maaf,” tukas Citra dengan nada bersalah. Citra segera menyambar kimono tidurnya dan keluar kamar menemui Rani. “Ada apa Ran?” tanya Citra sambil menutup kembali pintu kamarnya. “Temeni aku, dong. Aku nggak bisa tidur,” kata Rani sambil menarik tangan Citra menuju kamarnya.Dulu saat masih SMA Citra dengan Rani memang akrab. Mereka sering menginap bersama dan cerita-cerita sampai mereka mengantuk. “Jadi, aku pengen melupakan masa laluku, Cit. Makanya aku bela-belain kuliah sampai sini. Aku pikir, aku tidak akan bertemu siapapun orang yang pernah kukenal. Taunya, malah ketemu kamu. Dunia sempit, ya!” ujar Rani. Rani lantas melanjutkan ceritanya mengenai studinya. Tentu saja bukan hal yang sulit bagi Rani
“Ayo sayang, kita berangkat sekarang,” kata Farhan sambil menggendong Reva. Lalu ia meletakkan bayi mungil itu ke car seat yang ada di baris ke dua mobilnya. Sedang Rio dan Romi sudah siap di bangku belakang. Tak lama, Rara pun ikut duduk di car seat sebelah Reva. Akhir pekan ini, seperti janji Farhan, dia akan mengajak Citra liburan ke Perancis. Negara yang tak jauh dari Belanda ini. Jarak Paris dari Den haag hanya memakan waktu empat jam perjalanan. Farhan sengaja berangkat pagi-pagi, agar ia dapat mengajak Citra dan anak-anaknya keliling di beberapa tempat tujuan wisata di kota Paris. Besoknya, mereka akan mengajak anak-anak ke Disneyland. “Tunggu!” Baru saja Farhan akan menjalankan mobilnya ketika sebuah panggilan dalam bahasa Indonesia mengagetkan mereka. “Rani?” Farhan dan Citra saling berpandangan. Mengapa Rani sudah berada di sini sepagi ini? Gumam Farhan. Dari mana dia tahu tempat tinggalnya? Apa Citra memberitahukannya? Citra segera keluar dari mobil untuk menghampiri
Setelah mendapatkan nomor Farhan, Rani tak tinggal diam. Berawal hanya menanyakan nama kantor dan alamat kantornya, akhirnya Rani berhasil mengajak Farhan makan siang. "Waktuku nggak banyak, Ran. Kalau kamu mau, kamu harus datang tepat waktu," ujar Farhan setelah beberapa kali menolak ajakan Rani. Tak perlu menyia-nyiakan kesempatan. Rani segera bergegas. Bahkan dia tak peduli kalau usai makan siang ada jadwal kuliah. Toh, selama ini dia belum pernah bolos. Jadi, tak mengapa sesekali absen. Perkara alasan, nanti bisa dicari. Demi agar tidak terlambat, Rani datang duluan. Sedikit banyak dia ingat karakter Farhan yang selalu on time, jutek dan tidak mau ditawar. Cafe yang tak jauh dari kantor Farhan menjadi pilihan. Ada menu halal di sana. Biasanya Farhan hanya makan siang dengan bekal yang disiapkan Citra. Namun, karena dia sudah janji dengan Rani, terpaksa dia harus makan di luar. Rani tersenyum simpul saat melihat Farhan menghampiri. Pria itu terlihat lebih tampan dengan stelan
Bekerja lembur bukanlah tradisi orang Belanda. Mereka bekerja dengan sangat efisien. Jam lima sore lewat sedikit biasanya mobil-mobil sudah terparkir kembali di depan rumah. Jam enam sore, umumnya orang Belanda sudah selesai makan malam. Jam delapan malam anak-anak di Belanda sudah berangkat tidur.“Citra, apa kamu bersedia jika aku meminta satu anak dari darah dagingku?” bisik Farhan.Citra sudah selesai menidurkan Reva dan Rara. Musim semi di Belanda membuat udara terasa segar. Tidak terlalu gerah tapi juga tidak terlalu dingin. Semilir angin mengintip melalui celah ventilasi yang dibiarkan terbuka. Sangat cocok pagi pasangan untuk memadu kasih. “Jangankan satu, lima pun aku bersedia,” jawab Citra sambil mengerling manja. Mungkin Farhan benar. Cinta Citra akan tumbuh seiring dengan waktu. Beruntung Farhan membawanya ke tempat yang baru. Ke tempat yang dia bisa melupakan kenangan tentang Firman. Ke tempat dimana hanya ada Farhan di sisinya dan mencurahkan segala kasih kepadanya. F
“Makasih ya, sayang. Kamu sudah bersedia menjadi pendamping hidupku. Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat menantimu,” ujar Farhan di antara semilir angin musin semi di kota Den Haag. Dibukanya jendela apartemennya. Tampak dari kejauhan pemandangan wind molen terlihat dari jendela. “Aku yang berterimakasih kepadamu, sudah mau menerima anak-anak,” sahut Citra. Jarum sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Citra segera beranjak untuk menyiapkan sarapan. Tidak seperti di Indonesia yang sarapannya ribet. Di sana, Citra hanya cukup menyiapkan susu sereal, atau roti bakar. Mereka benar-benar memulai hidup baru. Bagi, Farhan menjadi ayah baru dari empat keponakannya tidaklah berat di negeri kincir angin ini. Tidak ada stigma buruk menikah dengan janda punya anak banyak. Di kota itu pun, Citra tidak akan kesepian. Banyak orang Indonesia yang tinggal disini. Citra bisa ikut aktivitas di Masjid Indonesia, atau pengajian warga Indonesia yang ada di Belanda atau pun di KBRI jika mau. Ter