“Ayo, lah, Citra. Aku antar kamu ke dokter,” bujuk Farhan saat berkunjung ke rumah Citra. Hampir setiap hari sepulang dari kantor dia mengunjungi Citra dan anak-anaknya.Meskipun papa dan mamanya sudah kembali ke Bandung, Farhan tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Toh, anak-anak Citra juga keponakannya. Tentunya papa dan mamanya tetap akan menyayanginya jika kelak Citra menjadi istrinya. “Han, aku nggak papa. Aku sehat. Percaya, deh,” tolak Citra. Teman sewaktu kuliahnya itu sebenarnya sejak dulu sangat perhatian. Tapi, siapa sangka jika ternyata dia menyimpan rasa. Farhan mendesah kesal. Wanita di depannya ini masih sama seperti dulu. Keras kepala. Tak pernah mau menerima bantuannya. Sewaktu kuliah memang Farhan sudah berusaha mendekati. Tapi, entah kenapa, justru kakaknya yang berhasil mencuri hati Citra. Mungkin karena sifat Farhan yang pemalu dan tertutup, sehingga tak segera berani menyatakan cintanya. Hingga akhirnya, dia terlambat menyatakannya, di saat hati Citra sudah
Firman masih menatap kepergian Farhan. Firman baru beranjak ketika mobil yang dikendarai adiknya itu benar-benar hilang dari pandangannya. “Ngapain dia ke sini, Dik?” tanya Firman. Nadanya meninggi, kentara dia menyimpan cemburu. Bahkan, sikap Firman seolah hubungannya dengan Citra masih sama seperti sebelumnya. Dia menganggap masuk rumahnya sendiri. Apalagi, saat dia pergi pun, dia belum menjatuhkan talak pada Citra. Firman sengaja mengulur waktu, sembari menanti keajaiban akan berpihak padanya. Tiga bulan Firman meninggalkannya. Entah mengapa, tiba-tiba ada rasa rindu dalam dadanya. Citra menggeleng. Dia ingin menghempaskan rasa yang tak seharusnya ada. Ah, Citra benci perasaan itu. Harusnya dia segera melupakan Firman. Tapi, mengapa ini menjadi sulit. Janin dalam kandungannya seperti menginginkan dia untuk dapat bermanja dengan papanya. Citra menatap Firman. Begitu juga sebaliknya. Keduanya masih terdiam. Meski masing-masing sebenarnya menahan kerinduan. “Citra. Aku r
Rasa bahagia yang tadi menyeruak, kini berubah menjadi kebimbangan. Haruskah dia menambah dusta demi membahagiakan salah satu di antaranya? Firman merasa lelah terus berdusta. Tapi, dia tak mampu juga untuk jujur. Di satu pihak, dia memang sudah berjanji kepada orang tua Rani untuk menjauh dari anak-anak dan istrinya. Di lain pihak, dia masih mencintai Citra. Bahkan, Firman yakin, keluarga Citra pun belum mengetahui masalah ini. Citra memang tidak terlalu suka menceritakan problem rumah tangga ke orang lain, termasuk keluarganya. Bahkan, hatinya rela menahan sakit saat mengetahui hubungan Firman dengan Rani. Tapi, Citra tak jua angkat bicara, hingga hal itu terkuak sendiri. “Apakah kamu membohongi Rani untuk menemuiku?” tanya Citra. Pertanyaan Citra, membuat Firman tergagap. Sejak pengkhianatan Firman, Citra sudah dapat membaca kebiasaan baru Firman, yaitu suka berbohong. Sebagai orang yang sudah tujuh tahun bersama, dia amat mengenal Firman. Lidah Firman terasa tercekat
“Apakah kamu kenal mereka?” tanya Farhan. Ia ingin meyakinkan siapa sebenarnya wanita yang ada di sampingnya ini. Wanita itu terus saja berurai air mata. Sesekali disekanya dengan sapu tangan yang diberikan Farhan. “Aku istri laki-laki itu. Dan perempuan itu sahabatku,” sahut Rani sambil terisak tanpa menatap ke Farhan. Farhan mengangkat sebelah alisnya. “Jadi, kamu istri Firman?” tanya Farhan lagi. Wanita itu balas menatap Farhan. Bagaimana bisa lelaki ini tahu siapa lelaki yang sedang dia amati dari kejauhan itu. “Jadi kamu yang menganggu keluarga kakakku? Iya?” Tatapan Farhan berubah menjadi tatapan tajam penuh intimidasi. Terbayang olehnya kepedihan yang dialami Citra akibat pecahnya keluarganya. Meskipun dalam hati Farhan ingin mengambil kesempatan mengambil Citra dari Firman. Namun, hati kecilnya tetap tak terima ketika melihat Citra menanggung akibat dari ulah pelakor di depannya itu. Rani menjadi gemetar melihat perubahan air muka Farhan. Tiba-tiba--- Brugggg
Mata Citra terbelalak. “Apa kamu bilang? Rani maksudmu?!” tanya Citra tak percaya. Perasaannya menjadi campur aduk. Antara rasa bersalah dan kesal. Bersalah dengan sahabatnya karena dia merasa mengkianatinya. Dan kesal dengan Firman. Pasti Firman membohongi Rani, hingga membuat Rani curiga dan nekat mengikutinya. Farhan hanya menoleh ke arah Citra sekilas. Lalu ia fokus kembali mengemudikan mobilnya. “Sudahlah, Cit. Apa sih yang kamu harapkan dari Firman?” kata Farhan kemudian. “Stttt! Jangan bahas di sini.” Citra memberi kode agar Farhan tak membahasnya lagi. Ada anak-anak yang harus dia jaga perasaannya. Bagaimanapun Firman adalah papa dari anak-anaknya. Citra tidak mau anak-anak nanti menaruh rasa tidak hormat kepada papanya. Farhan menyetir diiringi celoteh anak-anak. Mereka tak lagi membahas masalah orang dewasa di depan anak-anak. “Lalu, apa yang akan kamu lakukan?” tanya Farhan saat sudah tiba di rumah Citra. Anak-anak sudah bermain dengan Mbak Susi di belak
“Sudah, Pak...sudah.” Sekuriti rumah sakit dengan sigap mengamankan Hanung. Kakak kandung Citra yang bernama Hanung itu rupanya sudah membuntuti Citra. Dia baru saja datang dari Yogya ingin memberi kejutan pada adik dan keponakannya. "Citra mana, Mbok?" tanya Hanung saat tiba di rumah Citra. Hanya ada anak bungsunya karena anak-anak sudah berangkat sekolah. Padahal hari masih pagi. "Ibu baru saja berangkat, sekalian mengantar anak-anak ke sekolah," sahut Mbok Sumi setelah mempersilahkan Hanung masuk. Kakak Citra memang sering mampir apabila ada dinas ke ibukota. Tak menunggu lama, Hanung segera memesan taksi online. Dia sudah hafal di mana sekolah keponakannya. Karena, kalau dia menginap di rumah adiknya itu, dia pun sudah biasa mengantar ke sekolah keponakannya. Anehnya, begitu tiba di sekolah, Citra terlihat buru-buru pergi, namun bukan ke arah kantor. Tapi, ke arah rumah sakit bersalin. Hanung membuntuti dengan kepala penuh tanya. Kening Hanung berkerut. "Siapa yang hami
“Mas, apakah kamu masih mencintai Citra?” tanya Rani lirih. Meski jawabannya tentu akan sangat menyakitkannya, tapi Rani perlu kepastian. Dia tidak ingin cintanya hanya terombang-ambing tanpa kejelasan. Rani tak mau mempertahankan cinta, jika ternyata hati Firman masih tersandera. Firman menatap Rani.“Kamu jangan memikirkan hal yang terlalu berat. Ingat kesehatanmu, dan bayi dalam kandunganmu,” jawab Firman sambil menggenggam tangan Rani. Dia tak ingin menjawab pertanyaan apa-apa tentang Citra.Rani segera melepaskan genggaman tangan Firman. Ada rasa benci karena tangan itu telah menggenggam tangan yang lain. Meskipun itu sahabatnya sendiri.“Apa kamu tak benar-benar mengurus perceraianmu?” tanya Rani kemudian. Rani masih penasaran dengan apa yang dilihatnya. Jika Firman sudah mengurus perceraiannya, mengapa dia masih begitu mesra menemui Citra?Pertanyaan Rani begitu menusuk hati Firman. Benar dia telah mengurusnya. Tapi, Firman tak sanggup mengatakan bahwa dia batal memproses perc
“Kenapa kamu tidak pernah menceritakan hal ini ke Papi dan Mami, ha?” tanya papi lagi.Citra adalah anak kesayangannya. Luka Citra adalah lukanya juga. Dari kecil diasuh dengan cinta. Betapa kecewanya Papi Citra begitu mendengar Firman telah menduakannya. “Papi, Mami, Citra baik-baik saja,” jawab Citra dengan mata yang mulai mengembun. “Kamu fikir, Papi dan Mami akan percaya. Kamu lihat, tak ada satupun foto Firman di dinding ini lagi,” tukas papi sambil mengedarkan pandangannya ke dinding rumah Citra. “Fotonya sedang dibersihkan, Papi,” jawab Citra sambil menunduk. Tidak perlu dibantah, papinya sudah tahu. Itu hanya dalih Citra. Papi sudah hafal sikap Citra yang selalu berusaha menutupi masalahnya dan membuat seolah semua baik-baik saja. Dari dulu, Citra memang anak yang berbakti. Dia selalu berusaha menyenangkan hati orang tuanya. Meskipun mereka bukan berasal dari kalangan mampu, tapi Citra tak pernah mengeluh. Tak pernah meminta macam-macam. Dan kini, hati Papi Citra merasa