“Mas, apakah kamu masih mencintai Citra?” tanya Rani lirih. Meski jawabannya tentu akan sangat menyakitkannya, tapi Rani perlu kepastian. Dia tidak ingin cintanya hanya terombang-ambing tanpa kejelasan. Rani tak mau mempertahankan cinta, jika ternyata hati Firman masih tersandera. Firman menatap Rani.“Kamu jangan memikirkan hal yang terlalu berat. Ingat kesehatanmu, dan bayi dalam kandunganmu,” jawab Firman sambil menggenggam tangan Rani. Dia tak ingin menjawab pertanyaan apa-apa tentang Citra.Rani segera melepaskan genggaman tangan Firman. Ada rasa benci karena tangan itu telah menggenggam tangan yang lain. Meskipun itu sahabatnya sendiri.“Apa kamu tak benar-benar mengurus perceraianmu?” tanya Rani kemudian. Rani masih penasaran dengan apa yang dilihatnya. Jika Firman sudah mengurus perceraiannya, mengapa dia masih begitu mesra menemui Citra?Pertanyaan Rani begitu menusuk hati Firman. Benar dia telah mengurusnya. Tapi, Firman tak sanggup mengatakan bahwa dia batal memproses perc
“Kenapa kamu tidak pernah menceritakan hal ini ke Papi dan Mami, ha?” tanya papi lagi.Citra adalah anak kesayangannya. Luka Citra adalah lukanya juga. Dari kecil diasuh dengan cinta. Betapa kecewanya Papi Citra begitu mendengar Firman telah menduakannya. “Papi, Mami, Citra baik-baik saja,” jawab Citra dengan mata yang mulai mengembun. “Kamu fikir, Papi dan Mami akan percaya. Kamu lihat, tak ada satupun foto Firman di dinding ini lagi,” tukas papi sambil mengedarkan pandangannya ke dinding rumah Citra. “Fotonya sedang dibersihkan, Papi,” jawab Citra sambil menunduk. Tidak perlu dibantah, papinya sudah tahu. Itu hanya dalih Citra. Papi sudah hafal sikap Citra yang selalu berusaha menutupi masalahnya dan membuat seolah semua baik-baik saja. Dari dulu, Citra memang anak yang berbakti. Dia selalu berusaha menyenangkan hati orang tuanya. Meskipun mereka bukan berasal dari kalangan mampu, tapi Citra tak pernah mengeluh. Tak pernah meminta macam-macam. Dan kini, hati Papi Citra merasa
“Gimana Rani, Mas?” tanya Citra saat menemui Firman di rumah sakit tempat Rani di rawat. Citra seperti merasakan jatuh cinta lagi pada Firman. Entahlah, rasa hatinya seperti ingin selalu menemui Firman mumpung dia ada di Jakarta. Citra takut, jika Firman sudah kembali ke tempat kerjanya, dia akan sulit menemuinya. Firman mendesah.“Aku akan bawa Rani kembali ke Medan. Pekerjaanku di sana tak dapat ditinggalkan,” jawab Firman berat. Kondisi Rani belum stabil. Firman tak mungkin meninggalkan Rani seorang diri. Apalagi sampai memberi tahu pada orang tua Rani. Kalau sampai mereka tahu Firman kembali ke Jakarta, habislah ia. Firman bimbang, harus bagaimana. Harapannya ke Jakarta untuk menemui Citra dan anak-anak, justru malah berakhir dengan merawat Rani di rumah sakit. Tak mungkin Firman meninggalkan pekerjaannya. Dia ke Jakarta hanya dalih pekerjaan. Padahal, sebenarnya tak ada hubungannya sama sekali. Tak mungkin dia berlama-lama ada di Jakarta. Apalagi penugasannya di kota itu masih
Firman sudah kembali ke kota tempat dia bekerja. Dengan berat hati, dia menyetujui usul Citra. “Mas, aku bisa sendiri," tolak Rani. “Aku nggak mau terjadi apa-apa padamu, tanpa pengawasan orang lain. Kamu mau ayah dan ibu tahu, kamu ada di Jakarta?” tanya Firman. Rani menunduk. Dia memang salah, diam-diam mengikuti Firman. Dia tak pernah menyangka kalau akhirnya malah dia menjadi merepotkan suaminya. Padahal, awalnya dia hanya ingin tahu kejujuran Firman selama ini. “Kita harus jaga anak kita, Rani.” Ucapan Firman, seolah menghipnotis Rani kembali. “Kamu sudah kenal Citra dengan baik. Dia tak mungkin melakukan hal yang membahayakan buat kamu.” Firman kembali meyakinkan. Mas Firman benar, pikir Rani. Citra terlalu baik padanya. Bahkan, saat tahu Firman mendua pun, Citra tak pernah mengatakan langsung padanya. Alih-alih menghujat atau pun menyalahkan. Justru Citra lah yang mengizinkan Firman tetap bersmanya. “Mas nggak bisa tenang bekerja, kalau kamu sendirian di sini. Kita b
Rani dan Citra saling bertatapan. Keduanya tercekat dan menahan nafas. Tak menyangka Rio masih mengingat kejadian itu. Meski sebenarnya Citra juga tahu. “Hanya mirip saja, sayang.” Citra mengusap kepala anak sulungnya, berusaha mengalihkan pembicaraan. “Apa tante ini juga hamil?” tanya Rio sambil menunjuk perut Rani. Rani tersenyum, lalu mengangguk. “Iya, sayang. Di perut tante ada adik bayinya,” sahut Rani dengan ramah. Rani memang tak biasa berkomunikasi dengan anak kecil. Dia merasa sedikit canggung. “Mama aku juga ada adik bayinya di perut!” Rio memeluk Citra. Lalu ia menciumi perut Citra yang belum terlalu membuncit. Citra tersentak kaget. Dia tak menyangka Rio akan mengatakan hal ini ke Rani. Padahal, Citra ingin menyembunyikan perihal kehamilannya dari Rani. Dia tidak mau Rani kecewa padanya. Bagaimana bisa, wanita yang ingin menggugat cerai suaminya malah hamil? Citra menggigit bibirnya. Otaknya mencoba berfikir apa yang harus dikatakannya kepada Rani. Sementar
Citra menunggu Rani di depan ruang UGD bersama Farhan. Kecemasan tergambar di raut wajahnya. Dia takut kenapa-napa. Apalagi dia sudah janji pada Firman akan menjaga Rani selama suaminya itu tidak di Jakarta. Citra berusaha menghubungi Firman melalui ponsel milik Rani. Namun, hasilnya nihil. Tak ada sahutan sama sekali. "Gimana? Nggak ada jawaban?" Farhan menatap Citra intens sembari mengerutkan dahi. "Kamu aja gih yang coba."Diangsurkannya ponsel Rani pada Farhan.Farhan ikut mencoba menghubungi Firman dengan ponsel itu, namun ada kecurigaan di sana. Sepertinya nomor yang mereka hubungi itu tidak aktif. “Gila memang si Firman. Ninggalin istrinya bunting, tapi ponselnya nggak aktif,” gerutu Farhan sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Maksudmu?" "Ini nada ponsel nggak aktif, Cit!" jelas Farhan geram. Citra hanya dapat menarik nafas. Tak lama, seorang petugas medis keluar dari ruang ICU dan memanggil keluarga atas nama pasien Maharani. “Maaf, Bu. Pasien harus segera diambil tin
“Setelah bayi dalam perutmu lahir, kamu jadi kan bercerai dengan Firman?” tagih Farhan serius. Dia butuh memastikan bahwa jalannya sudah mulus. Farhan sengaja duduk mendekati Citra. Ingin rasanya dia sandarkan kepala Citra di bahunya, andaikan dia bukan istri orang. Sayangnya dia kalah poin dengan kakaknya sendiri. Dan bre*ngse*knya lagi, kakaknya dengan tega menerlantarkan istrinya begitu saja. Wanita yang sejak dulu dipujanya. “Sudahlah, Han. Jangan bahas itu lagi,” jawab Citra sambil menerawang.Citra mulai ragu. Akhir-akhir ini dia merasa sangat merindukan Firman. Berbeda dengan saat pertama dia mengetahui Firman telah mendua. Saat itu, dia sangat membencinya.“Aku hanya tidak mau kamu terluka, Cit. Kamu tahu sendiri, kan, Firman itu nggak bisa tegas urusan beginian. Setelah anak Rani lahir, pasti Firman akan makin plin-plan. Dia itu cuma manfaatin kamu aja, Cit. Aku nggak rela,” kata Farhan panjang lebar.Farhan sangat mengenal abangnya. Mereka hanya berbeda satu tahun. Mereka
“Selamat, ya, sudah jadi ibu.” Ucapan itu tulus diberikan Citra sebagai seorang sahabat. Lalu, ia memeluk sahabatnya itu hangat, meski Rani masih terbaring di ranjangnya.Operasi berjalan lancar. Sayangnya, bayinya harus masuk inkubator karena terlalu dini dilahirkan. “Bagaimana anakku, Citra?” tanya Rani sambil menatap Citra penuh harap. “Cantik! Mirip bundanya,” sahut Citra sambil mengusap pundak Rani.Senyuman Citra masih sama seperti yang dulu. Ia selalu ikut bahagia jika sahabatnya bergembira. Meski bisa jadi, kali ini ada rasa yang berbeda. Mengingat, anak itu adalah buah cinta suaminya dengan perempuan lain.“Tuh, Om nya yang kemaren mengadzani si cantik,” tunjuk Citra pada Farhan yang masih menunjukkan raut jutek, berdiri di ujung ranjang. Laki-laki itu hanya mencebik sembari mengangkat satu alisnya.“Makasih, ya,” kata Rani lirih sambil menatap Farhan.Lelaki yang baru diketahuinya adalah adik iparnya. Wajahnya tak kalah tampan dengan kakaknya. Bedanya, lelaki ini betah mel
Firman mendorong troly berisi koper miliknya dan juga koper kepunyaan papa dan mamanya. Pagi itu mereka sudah mendarat di bandara Schipol Amsterdam. Jam di bandara masih menunjukkan pukul tujuh pagi waktu Belanda. Ini adalah pertama kalinya Firman menginjakkan kaki di Belanda. Negeri dimana keempat anaknya dan mantan istrinya tinggal. Ada rasa ngilu menjalar di dadanya, bercampur dengan kerinduan. Ngilu mengingat kesalahannya yang berakibat hancurnya keluarga yang sudah sekian tahun dia bina bersama Citra. Hancur karena kesalahannya, terlena dengan kelembutan Citra. Tak dipungkirinya, setahun mereka berpisah, ada rindu yang menggelora dalam jiwanya. Rindu kepada Citra yang tak kan mungkin bisa kembali lagi. Rindu kepada ke empat anaknya, terutama Reva yang mungkin belum pernah merasakan belaian kasih sayangnya. “Man, itu adikmu di sebelah sana,” ujar Mama Firman saat melihat Farhan melambaikan tangan dari arah pintu keluar. Papa dan Mama Firman segera beranjak menghampiri Farha
“Aku minta maaf atas kejadian tadi,” kata Farhan usai Citra menidurkan anak-anaknya. Farhan mendekati Citra yang sudah duduk di sisi ranjang. Lalu ia duduk disebelahnya. “Kali ini, tolong dengarkan aku, Citra,” tukas Farhan lagi. Dipandanginya wajah istrinya yang tampak masih kecewa. “Han, sampai kapan kamu membenci Rani?” tanya Citra. Citra memang kadang lupa memanggil ‘mas’ ke Farhan, karena memang mereka dulu berteman dan mantan adik iparnya. Tapi, Farhan tak masalah. Citra memang perlu waktu untuk beradaptasi dengan kehidupan barunya setelah sepuluh tahun menganggapnya bukan siapa-siapa. “Aku tidak membenci Rani. Aku tidak suka dengan kelakuannya. Nih lihat!” Farhan mengangsurkan ponselnya ke Citra. Mata Citra membulat sempurna. Di gambar itu terlihat Rani sedang dibantu berjalan oleh Farhan. Tangannya merangkul ke pundak Farhan. Sedang Farhan memeluk pinggang Rani. Dan Rani menggunakan pakaian terbuka. Sangat berbeda dengan tampilan tadi saat berkunjung ke rumah mereka.
Farhan tidak habis mengerti dengan Citra. Jelas-jelas Rani menunjukkan gelagat yang kurang baik. Tapi, masih bisa-bisanya Citra selalu membelanya. Dalam banyak hal, Citra memang terlalu banyak berprasangka baik ke orang lain. Itu juga yang membuatnya terjatuh saat bersama Firman. Tak pernah sekalipun ada rasa curiga ke suaminya, hingga akhirnya Citra melihat dengan mata kepalanya sendiri kenyataan yang ada. Akhirnya, Farhan harus mengalah. Tak ada gunanya terus menerus berdebat dengan Citra. Ini masalah kecil. Tapi jadi rumit jika tidak segera diatasi. Farhan segera mengambil ponselnya. Lalu memblokir semua akses yang mengarah ke Rani. Tak lupa, ponsel Citra yang biasanya hanya diletakkan di ruang tamu, juga diblokkir aksesnya dengan sahabat istrinya itu. Farhan tak mau ada duri dalam daging dalam keluarganya. ***“Rani?! Sejak kapan kamu di sini?” tanya Citra yang baru pulang menjemput Romi. Dilihatnya Rani sedang berdiri di ambang pintu rumahnya. “Setengah jam yang lalu. Ponselm
“Ran, kamu turun sini ya. Tinggal lanjut naik kereta ke Amsterdam,” kata Citra saat mobil Farhan minggir di dekat stasiun Den haag. Farhan sama sekali tidak ada niat mengantarkan Rani. Toh dia juga sebenarnya tidak diajak, pikir Farhan. Bahkan, sepanjang perjalanan Farhan tidak berniat mengajak Rani bicara. Mereka sudah pulang dari Paris setelah menghabiskan akhir pekan di negeri Napoleon itu. Bagi Farhan, kehadiran Rani menghancurkan segala rencananya. Namun, tak ada gurat kecewa di wajah Citra. Wanita itu selalu saja merasa baik-baik saja. Bahkan, beberapa kali berusaha menghibur suaminya yang terus saja menunjukkan kekesalannya. Namun, kini Citra harus mengalah saat Farhan memutuskan untuk menurunkan Rani di depan stasiun. Farhan hanya tak mengerti. Sampai sebegitunya Citra harus mengorbankan perasaannya demi sahabatnya. Kadang Farhan berfikir dia tak salah memilih istri. Meski sudah punya empat anak, tapi hatinya bak bidadari. Tapi, kalau sudah berlebihan, dia tak tahan juga. K
Tok tok tok“Citra!”panggil Rani sambil mengetuk pintu kamar Citra dan Farhan. Hari sudah malam, tapi Rani belum juga dapat memicingkan matanya.“See?” ucap Farhan sambil menatap tajam ke Citra, seolah memberi isyarat bahwa apa mengajak Rani ke Paris adalah keputusan yang keliru. “Maaf,” tukas Citra dengan nada bersalah. Citra segera menyambar kimono tidurnya dan keluar kamar menemui Rani. “Ada apa Ran?” tanya Citra sambil menutup kembali pintu kamarnya. “Temeni aku, dong. Aku nggak bisa tidur,” kata Rani sambil menarik tangan Citra menuju kamarnya.Dulu saat masih SMA Citra dengan Rani memang akrab. Mereka sering menginap bersama dan cerita-cerita sampai mereka mengantuk. “Jadi, aku pengen melupakan masa laluku, Cit. Makanya aku bela-belain kuliah sampai sini. Aku pikir, aku tidak akan bertemu siapapun orang yang pernah kukenal. Taunya, malah ketemu kamu. Dunia sempit, ya!” ujar Rani. Rani lantas melanjutkan ceritanya mengenai studinya. Tentu saja bukan hal yang sulit bagi Rani
“Ayo sayang, kita berangkat sekarang,” kata Farhan sambil menggendong Reva. Lalu ia meletakkan bayi mungil itu ke car seat yang ada di baris ke dua mobilnya. Sedang Rio dan Romi sudah siap di bangku belakang. Tak lama, Rara pun ikut duduk di car seat sebelah Reva. Akhir pekan ini, seperti janji Farhan, dia akan mengajak Citra liburan ke Perancis. Negara yang tak jauh dari Belanda ini. Jarak Paris dari Den haag hanya memakan waktu empat jam perjalanan. Farhan sengaja berangkat pagi-pagi, agar ia dapat mengajak Citra dan anak-anaknya keliling di beberapa tempat tujuan wisata di kota Paris. Besoknya, mereka akan mengajak anak-anak ke Disneyland. “Tunggu!” Baru saja Farhan akan menjalankan mobilnya ketika sebuah panggilan dalam bahasa Indonesia mengagetkan mereka. “Rani?” Farhan dan Citra saling berpandangan. Mengapa Rani sudah berada di sini sepagi ini? Gumam Farhan. Dari mana dia tahu tempat tinggalnya? Apa Citra memberitahukannya? Citra segera keluar dari mobil untuk menghampiri
Setelah mendapatkan nomor Farhan, Rani tak tinggal diam. Berawal hanya menanyakan nama kantor dan alamat kantornya, akhirnya Rani berhasil mengajak Farhan makan siang. "Waktuku nggak banyak, Ran. Kalau kamu mau, kamu harus datang tepat waktu," ujar Farhan setelah beberapa kali menolak ajakan Rani. Tak perlu menyia-nyiakan kesempatan. Rani segera bergegas. Bahkan dia tak peduli kalau usai makan siang ada jadwal kuliah. Toh, selama ini dia belum pernah bolos. Jadi, tak mengapa sesekali absen. Perkara alasan, nanti bisa dicari. Demi agar tidak terlambat, Rani datang duluan. Sedikit banyak dia ingat karakter Farhan yang selalu on time, jutek dan tidak mau ditawar. Cafe yang tak jauh dari kantor Farhan menjadi pilihan. Ada menu halal di sana. Biasanya Farhan hanya makan siang dengan bekal yang disiapkan Citra. Namun, karena dia sudah janji dengan Rani, terpaksa dia harus makan di luar. Rani tersenyum simpul saat melihat Farhan menghampiri. Pria itu terlihat lebih tampan dengan stelan
Bekerja lembur bukanlah tradisi orang Belanda. Mereka bekerja dengan sangat efisien. Jam lima sore lewat sedikit biasanya mobil-mobil sudah terparkir kembali di depan rumah. Jam enam sore, umumnya orang Belanda sudah selesai makan malam. Jam delapan malam anak-anak di Belanda sudah berangkat tidur.“Citra, apa kamu bersedia jika aku meminta satu anak dari darah dagingku?” bisik Farhan.Citra sudah selesai menidurkan Reva dan Rara. Musim semi di Belanda membuat udara terasa segar. Tidak terlalu gerah tapi juga tidak terlalu dingin. Semilir angin mengintip melalui celah ventilasi yang dibiarkan terbuka. Sangat cocok pagi pasangan untuk memadu kasih. “Jangankan satu, lima pun aku bersedia,” jawab Citra sambil mengerling manja. Mungkin Farhan benar. Cinta Citra akan tumbuh seiring dengan waktu. Beruntung Farhan membawanya ke tempat yang baru. Ke tempat yang dia bisa melupakan kenangan tentang Firman. Ke tempat dimana hanya ada Farhan di sisinya dan mencurahkan segala kasih kepadanya. F
“Makasih ya, sayang. Kamu sudah bersedia menjadi pendamping hidupku. Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat menantimu,” ujar Farhan di antara semilir angin musin semi di kota Den Haag. Dibukanya jendela apartemennya. Tampak dari kejauhan pemandangan wind molen terlihat dari jendela. “Aku yang berterimakasih kepadamu, sudah mau menerima anak-anak,” sahut Citra. Jarum sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Citra segera beranjak untuk menyiapkan sarapan. Tidak seperti di Indonesia yang sarapannya ribet. Di sana, Citra hanya cukup menyiapkan susu sereal, atau roti bakar. Mereka benar-benar memulai hidup baru. Bagi, Farhan menjadi ayah baru dari empat keponakannya tidaklah berat di negeri kincir angin ini. Tidak ada stigma buruk menikah dengan janda punya anak banyak. Di kota itu pun, Citra tidak akan kesepian. Banyak orang Indonesia yang tinggal disini. Citra bisa ikut aktivitas di Masjid Indonesia, atau pengajian warga Indonesia yang ada di Belanda atau pun di KBRI jika mau. Ter