“Setelah bayi dalam perutmu lahir, kamu jadi kan bercerai dengan Firman?” tagih Farhan serius. Dia butuh memastikan bahwa jalannya sudah mulus. Farhan sengaja duduk mendekati Citra. Ingin rasanya dia sandarkan kepala Citra di bahunya, andaikan dia bukan istri orang. Sayangnya dia kalah poin dengan kakaknya sendiri. Dan bre*ngse*knya lagi, kakaknya dengan tega menerlantarkan istrinya begitu saja. Wanita yang sejak dulu dipujanya. “Sudahlah, Han. Jangan bahas itu lagi,” jawab Citra sambil menerawang.Citra mulai ragu. Akhir-akhir ini dia merasa sangat merindukan Firman. Berbeda dengan saat pertama dia mengetahui Firman telah mendua. Saat itu, dia sangat membencinya.“Aku hanya tidak mau kamu terluka, Cit. Kamu tahu sendiri, kan, Firman itu nggak bisa tegas urusan beginian. Setelah anak Rani lahir, pasti Firman akan makin plin-plan. Dia itu cuma manfaatin kamu aja, Cit. Aku nggak rela,” kata Farhan panjang lebar.Farhan sangat mengenal abangnya. Mereka hanya berbeda satu tahun. Mereka
“Selamat, ya, sudah jadi ibu.” Ucapan itu tulus diberikan Citra sebagai seorang sahabat. Lalu, ia memeluk sahabatnya itu hangat, meski Rani masih terbaring di ranjangnya.Operasi berjalan lancar. Sayangnya, bayinya harus masuk inkubator karena terlalu dini dilahirkan. “Bagaimana anakku, Citra?” tanya Rani sambil menatap Citra penuh harap. “Cantik! Mirip bundanya,” sahut Citra sambil mengusap pundak Rani.Senyuman Citra masih sama seperti yang dulu. Ia selalu ikut bahagia jika sahabatnya bergembira. Meski bisa jadi, kali ini ada rasa yang berbeda. Mengingat, anak itu adalah buah cinta suaminya dengan perempuan lain.“Tuh, Om nya yang kemaren mengadzani si cantik,” tunjuk Citra pada Farhan yang masih menunjukkan raut jutek, berdiri di ujung ranjang. Laki-laki itu hanya mencebik sembari mengangkat satu alisnya.“Makasih, ya,” kata Rani lirih sambil menatap Farhan.Lelaki yang baru diketahuinya adalah adik iparnya. Wajahnya tak kalah tampan dengan kakaknya. Bedanya, lelaki ini betah mel
Firman tergesa memasuki kamar dimana Rani di rawat. “Rani, maafin, Mas ya. Mas tidak tahu kalau kamu sudah melahirkan anak kita,” tukas Firman sambil mengecup kening Rani. Tadinya Firman berencana pulang mengunjungi Citra. Tapi oleh Mbok Sumi malah diberitahu kalau Citra sudah dua hari di rumah sakit mengantar Rani. “Ponsel kamu ngga aktif, Mas. Kamu sibuk sepertinya,” jawab Rani. Air matanya kembali menggenang mengingat perkataan Farhan tadi. Apa benar suaminya ini tak benar-benar mencintainya? Apa benar menikah dengannya hanya suatu kesalahan? “Mas, apa kamu mencintaiku?” tanya Rani sambil menatap wajah suaminya. “Tentu saja,” jawab Firman getir. Dia merasa munafik. Dulu memang dia merasa mencintai Rani. Perasaannya menggebu saat ingin menjumpainya. Tapi, sejak Citra mengetahui semuanya, menyentuh Rani pun rasanya enggan. Bayang-bayang bersalah kepada Citra sering menghantuinya. “Mas, katakan sebenarnya,” pinta Rani. Sepertinya Rani sudah memikirkan perkataan Farhan. Buat apa
Selama Rani di rumah sakit, Citra tak pernah absen menjenguknya. Sementara Firman mendapatkan izin dari kantornya di Medan untuk mendampingi istrinya melahirkan. Firman tak pernah bertanya tentang kronologis kejadian, mengapa Rani bisa melahirkan prematur. Dia tak ingin menyalahkan Citra, atau menimbulkan perdebatan baru. Apalagi, jelas-jelas banyak kesalahan yang telah menumpuk padanya. Entah mengapa, Firman merasa satu persatu kesalahannya tersingkap dan terkuliti. Kalau dulu hanya Citra yang tahu dan menyembunyikan semuanya, kini Rani pun mulai mencium kebusukannya. Belum lagi Farhan yang hampir tiap hari mengintimidasinya, “Sebaiknya, kamu pulang ke rumahku aja, Rani. Kamu masih sakit,” tawar Citra. Dia paham betul bagaimana psikologis orang habis melahirkan, karena dia pun punya pengalaman. Secara fisik terlihat sehat, namun, beban mental, ketakutan dan lain-lain, tanpa disadari sering menganggu kewarasan ibu pasca melahirkan. Apalagi ini adalah anak pertamanya. Tidak sampai
Sejak dulu Firman adalah orang yang tidak teguh pendirian. Citra lah yang sering menjadi penyokong hidupnya. Citra lah yang sering menjadi penguat keputusannya. Citra lah tempat dia berbagi dan mengeluhkan masalahnya. Tak heran, setelah hubungannya bermasalah dengan Citra, Firman tak dapat mengambil keputusan dengan jernih. Firman memilih mengulur-ulur keputusannya karena otaknya dipenuhi kebimbangan. Termasuk memutuskan satu di antara dua istrinya.Firman tak kan bisa hidup tanpa Citra. Citra lah tempatnya berlabuh. Citra lah tempatnya bersandar. Dan, peran besar Citra hanya Firman sadari setelah jarak memisahkan antara keduanya. Rani memang sosok yang cerdas dan pintar dalam urusan pekerjaan kantor. Tapi, rupanya, bukan itu yang dapat melengkapi hidup Firman. Bersama Rani, hatinya merasa kosong. Kerinduannya pada sosok Citra semakin menganggu kebersamaannya dengan Rani. Enam tahun membangun biduk rumah tangga dengan Citra dari nol memang membuatnya sudah hafal seluk beluk masing-
Setega itu kah Firman membohonginya? Mengapa dia tidak berterus terang saja kalau akan mengantarkan Citra kontrol ke dokter kandungan? Apakah karena Firman takut menyakiti hatinya? Sampai kapan Firman akan terus-terusan membohonginya? Bahkan, melihat Firman menggandeng mesra Citra saja, kepalanya terasa berdenyut. Begini pulakah apa yang Citra rasakan saat ia bersama Firman. Tiba-tiba Rani merasa tak bisa menguasai diri. Farhan segera menjalankan kemudinya, dan meninggalkan halaman klinik itu, setelah melihat Rani tak baik-baik saja. Dia memang ingin menunjukkan kenyataan kepada Rani. Bahwa pria yang sedang dia pertahankan, bukanlah pria yang berjiwa ksatria. Dia hanyalah seorang pecundang yang tak punya nyali untuk berbicara hal yang sebenarnya. “Maaf, ya, Ran. Kamu harus melihatnya. Karena kamu layak untuk bahagia. Buat apa kamu mempertahankan jika itu hanya menyakitkan bagimu? Berapa lama kamu akan bertahan. Cepat atau lambat, kamu pasti akan melihat pemandangan seperti ini,” uj
“Apa rencanamu setelah ini?” tanya Farhan saat sudah tiba di bandara Juanda Surabaya. Hari masih pagi. “Kita langsung ke pengadilan agama,” kata Rani sambil tersenyum.Ada rasa lega menyelinap dalam benaknya. Lega dengan keputusannya. Lega dengan kebahagiaan yang sepertinya sudah di depan mata. Dia tinggal menata masa depannya dengan putri semata wayangnya. Tak akan ada lagi cerita tentang dia pelakor atau duri dalam perkawinan sahabatnya. “Apa?!” Farhan tersentak kaget. Tak percaya Rani akan bertindak secepat itu. Tapi memang, dengan latar belakang Rani yang cemerlang di karirnya, bukan tak mungkin dia berani mengambil keputusan. Apalagi ini menyangkut masa depannya. “Aku nggak mungkin kan menunggu Mas Firman mengeksekusinya?“ tanya Rani retoris.Pengalamannya mengurus akta nikah saja, Firman selalu mengulur-ulur. Apalagi akta perceraian. Rani sudah tak ingin lagi ada campur tangan orang tuanya. Dia lah yang akan mengalami masa depannya nanti. Jadi, dia pula yang harus memikirkan
Taksi yang ditumpangi Rani dan Farhan masuk ke perumahan di wilayah timur Surabaya. Taksi itu berhenti tepat di depan gerbang rumah Rani.“Han, kamu langsung pulang aja, ya. Tidak usah ketemu ayahku. Aku takut mereka masih emosi,” ujar Rani sebelum turun dari taksi. Rani masih mengkhawatirkan kondisi ayah dan ibunya yang kurang menyukai Firman setelah mengetahui bahwa ternyata Firman sudah berkeluarga. Apalagi, Farhan adalah adik Firman. Besar kemungkinan Farhan akan mendapatkan perlakuan kurang menyenangkan dari ayahnya juga seperti halnya Firman. “Justru, kalau aku tidak ketemu ayahmu, beliau bakal lebih emosi. Tenang aja. Aku hanya menyapa ayahmu, dan menitipkan keponakanku pada beliau. Habis itu aku pulang. Janji,” kata Farhan sambil menautkan jari telunjuk dan jempolnya, sedangkan ketiga jarinya dibiarkan terbuka. Menurut Farhan, itu adalah adab baginya mengantarkan Rani dan keponakannya ke keluarga Rani. Paling tidak, dia mewakili kakaknya yang kurang memperhatikan Rani. Baga