Selama Rani di rumah sakit, Citra tak pernah absen menjenguknya. Sementara Firman mendapatkan izin dari kantornya di Medan untuk mendampingi istrinya melahirkan. Firman tak pernah bertanya tentang kronologis kejadian, mengapa Rani bisa melahirkan prematur. Dia tak ingin menyalahkan Citra, atau menimbulkan perdebatan baru. Apalagi, jelas-jelas banyak kesalahan yang telah menumpuk padanya. Entah mengapa, Firman merasa satu persatu kesalahannya tersingkap dan terkuliti. Kalau dulu hanya Citra yang tahu dan menyembunyikan semuanya, kini Rani pun mulai mencium kebusukannya. Belum lagi Farhan yang hampir tiap hari mengintimidasinya, “Sebaiknya, kamu pulang ke rumahku aja, Rani. Kamu masih sakit,” tawar Citra. Dia paham betul bagaimana psikologis orang habis melahirkan, karena dia pun punya pengalaman. Secara fisik terlihat sehat, namun, beban mental, ketakutan dan lain-lain, tanpa disadari sering menganggu kewarasan ibu pasca melahirkan. Apalagi ini adalah anak pertamanya. Tidak sampai
Sejak dulu Firman adalah orang yang tidak teguh pendirian. Citra lah yang sering menjadi penyokong hidupnya. Citra lah yang sering menjadi penguat keputusannya. Citra lah tempat dia berbagi dan mengeluhkan masalahnya. Tak heran, setelah hubungannya bermasalah dengan Citra, Firman tak dapat mengambil keputusan dengan jernih. Firman memilih mengulur-ulur keputusannya karena otaknya dipenuhi kebimbangan. Termasuk memutuskan satu di antara dua istrinya.Firman tak kan bisa hidup tanpa Citra. Citra lah tempatnya berlabuh. Citra lah tempatnya bersandar. Dan, peran besar Citra hanya Firman sadari setelah jarak memisahkan antara keduanya. Rani memang sosok yang cerdas dan pintar dalam urusan pekerjaan kantor. Tapi, rupanya, bukan itu yang dapat melengkapi hidup Firman. Bersama Rani, hatinya merasa kosong. Kerinduannya pada sosok Citra semakin menganggu kebersamaannya dengan Rani. Enam tahun membangun biduk rumah tangga dengan Citra dari nol memang membuatnya sudah hafal seluk beluk masing-
Setega itu kah Firman membohonginya? Mengapa dia tidak berterus terang saja kalau akan mengantarkan Citra kontrol ke dokter kandungan? Apakah karena Firman takut menyakiti hatinya? Sampai kapan Firman akan terus-terusan membohonginya? Bahkan, melihat Firman menggandeng mesra Citra saja, kepalanya terasa berdenyut. Begini pulakah apa yang Citra rasakan saat ia bersama Firman. Tiba-tiba Rani merasa tak bisa menguasai diri. Farhan segera menjalankan kemudinya, dan meninggalkan halaman klinik itu, setelah melihat Rani tak baik-baik saja. Dia memang ingin menunjukkan kenyataan kepada Rani. Bahwa pria yang sedang dia pertahankan, bukanlah pria yang berjiwa ksatria. Dia hanyalah seorang pecundang yang tak punya nyali untuk berbicara hal yang sebenarnya. “Maaf, ya, Ran. Kamu harus melihatnya. Karena kamu layak untuk bahagia. Buat apa kamu mempertahankan jika itu hanya menyakitkan bagimu? Berapa lama kamu akan bertahan. Cepat atau lambat, kamu pasti akan melihat pemandangan seperti ini,” uj
“Apa rencanamu setelah ini?” tanya Farhan saat sudah tiba di bandara Juanda Surabaya. Hari masih pagi. “Kita langsung ke pengadilan agama,” kata Rani sambil tersenyum.Ada rasa lega menyelinap dalam benaknya. Lega dengan keputusannya. Lega dengan kebahagiaan yang sepertinya sudah di depan mata. Dia tinggal menata masa depannya dengan putri semata wayangnya. Tak akan ada lagi cerita tentang dia pelakor atau duri dalam perkawinan sahabatnya. “Apa?!” Farhan tersentak kaget. Tak percaya Rani akan bertindak secepat itu. Tapi memang, dengan latar belakang Rani yang cemerlang di karirnya, bukan tak mungkin dia berani mengambil keputusan. Apalagi ini menyangkut masa depannya. “Aku nggak mungkin kan menunggu Mas Firman mengeksekusinya?“ tanya Rani retoris.Pengalamannya mengurus akta nikah saja, Firman selalu mengulur-ulur. Apalagi akta perceraian. Rani sudah tak ingin lagi ada campur tangan orang tuanya. Dia lah yang akan mengalami masa depannya nanti. Jadi, dia pula yang harus memikirkan
Taksi yang ditumpangi Rani dan Farhan masuk ke perumahan di wilayah timur Surabaya. Taksi itu berhenti tepat di depan gerbang rumah Rani.“Han, kamu langsung pulang aja, ya. Tidak usah ketemu ayahku. Aku takut mereka masih emosi,” ujar Rani sebelum turun dari taksi. Rani masih mengkhawatirkan kondisi ayah dan ibunya yang kurang menyukai Firman setelah mengetahui bahwa ternyata Firman sudah berkeluarga. Apalagi, Farhan adalah adik Firman. Besar kemungkinan Farhan akan mendapatkan perlakuan kurang menyenangkan dari ayahnya juga seperti halnya Firman. “Justru, kalau aku tidak ketemu ayahmu, beliau bakal lebih emosi. Tenang aja. Aku hanya menyapa ayahmu, dan menitipkan keponakanku pada beliau. Habis itu aku pulang. Janji,” kata Farhan sambil menautkan jari telunjuk dan jempolnya, sedangkan ketiga jarinya dibiarkan terbuka. Menurut Farhan, itu adalah adab baginya mengantarkan Rani dan keponakannya ke keluarga Rani. Paling tidak, dia mewakili kakaknya yang kurang memperhatikan Rani. Baga
Ayah Rani merasa ada yang tidak beres dari cara Rani memperlakukan Farhan. Meskipun Ayah Rani tak menyukai Firman, tapi, harga diri tetap harus di jaga. Jangan sampai setelah Rani di cap sebagai pelakor, akan ada cap-cap yang lain. Dia tak ingin putrinya terjerumus ke lubang yang sama. “Rani sudah melayangkan gugatan cerai, Ayah!” tukas Rani kemudian. Ada binar kebahagian sekaligus kelegaan terpancar di wajah Rani nan ayu. Sesak yang selama ini menghimpit, seolah sudah terlepaskan. “Apa?!” kata Ayah dan Ibu Rani serempak, lalu mereka saling berpandangan. Kemudian menatap ke Rani seolah tak percaya. “Kenapa kamu tidak meminta pertimbangan Ayah?” tanya Ayah Rani.Apalagi, Firman justru tidak mengantar Rani dan bayinya ketika pulang ke rumah orang tua nya. Seharusnya, ia mengembalikan putrinya baik-baik, jika sudah tak mampu mengurusnya. Paling tidak mengantarkannya. Bukan alasan sibuk dan sibuk terus. Sungguh tidak ada sopan-santunnya. “Sudahlah, Ayah. Rani tidak bisa mempertahankan
“Farhan, kamu dimana?” Suara Citra dari ujung telpon memekakkan telinga Farhan yang sedang menunggu penerbangan malam itu dari Surabaya menuju Jakarta. Namun begitu, Farhan menyukainya“Ada apa, Sayang? Kamu kangen?” goda Farhan. Meskipun Farhan sadar, sepertinya susah memisahkan Citra dengan Firman, tapi rasa sayangnya ke Citra memang tak bisa begitu saja dihilangkan. Selalu ada getaran aneh saat ia berkomunikasi dengan Citra. Sama seperti dulu saat ia masih kuliah. “Farhan! Aku serius. Kamu lagi sama Rani bukan?” teriak Citra kesal.Citra yakin, pasti Farhan dalang dibalik kekacauan ini. Tak mungkin Rani dengan berani membawa bayi prematur keluar rumah sakit tanpa orang yang menemani. “Ya, aku sedang siap-siap boarding dari Surabaya,” jawab Farhan kemudian. Tak sampai hati dia mempermainkan Citra dengan candaan di kala pujaan hatinya itu sedang serius. Bisa-bisa, Citra akan mendiamkannya sebelum keinginannya tercapai. “Gila kamu, Han, nyulik anak orang nggak bilang-bilang bapakn
Firman masih memegangi pelipisnya. Kepalanya terasa berdenyut dan pening akibat pukulan dari mertuanya. "Cukup, Ayah!" Rani berlari keluar saat mendengar kegaduhan. Andai Rani tidak segera menghampiri, mungkin saja mertua Firman sudah bertidak brutal, menonjok atau menendang tubuhnya. "Ibu, ajak Ayah masuk," titah Rani pada ibunya yang juga ikut menghambur ke luar. Ayahnya masih emosi. Tak mungkin dapat berbicara baik-baik dengan menantunya itu. Rani segera kembali membawakan secangkir teh panas setelah Firman duduk dengan nyaman di teras rumahnya. Rani sengaja belum mempersilahkan masuk. "Dikompres dulu, Mas. Biar nggak memar," ujar Rani sembari mengangsurkan kompres berisi air dingin. "Maafin, Ayah, ya, Mas," tutur Rani sambil duduk di sebelah Firman. Dulu, di teras itu mereka sering menghabiskan waktu. Dulu, teras itu adalah saksi bisu cinta mereka tumbuh karena terbiasa bertemu. Dulu, teras itu pula, mertuanya menyambut Firman dengan hangat. Kini, teras itu pula saksi