“Apa rencanamu setelah ini?” tanya Farhan saat sudah tiba di bandara Juanda Surabaya. Hari masih pagi. “Kita langsung ke pengadilan agama,” kata Rani sambil tersenyum.Ada rasa lega menyelinap dalam benaknya. Lega dengan keputusannya. Lega dengan kebahagiaan yang sepertinya sudah di depan mata. Dia tinggal menata masa depannya dengan putri semata wayangnya. Tak akan ada lagi cerita tentang dia pelakor atau duri dalam perkawinan sahabatnya. “Apa?!” Farhan tersentak kaget. Tak percaya Rani akan bertindak secepat itu. Tapi memang, dengan latar belakang Rani yang cemerlang di karirnya, bukan tak mungkin dia berani mengambil keputusan. Apalagi ini menyangkut masa depannya. “Aku nggak mungkin kan menunggu Mas Firman mengeksekusinya?“ tanya Rani retoris.Pengalamannya mengurus akta nikah saja, Firman selalu mengulur-ulur. Apalagi akta perceraian. Rani sudah tak ingin lagi ada campur tangan orang tuanya. Dia lah yang akan mengalami masa depannya nanti. Jadi, dia pula yang harus memikirkan
Taksi yang ditumpangi Rani dan Farhan masuk ke perumahan di wilayah timur Surabaya. Taksi itu berhenti tepat di depan gerbang rumah Rani.“Han, kamu langsung pulang aja, ya. Tidak usah ketemu ayahku. Aku takut mereka masih emosi,” ujar Rani sebelum turun dari taksi. Rani masih mengkhawatirkan kondisi ayah dan ibunya yang kurang menyukai Firman setelah mengetahui bahwa ternyata Firman sudah berkeluarga. Apalagi, Farhan adalah adik Firman. Besar kemungkinan Farhan akan mendapatkan perlakuan kurang menyenangkan dari ayahnya juga seperti halnya Firman. “Justru, kalau aku tidak ketemu ayahmu, beliau bakal lebih emosi. Tenang aja. Aku hanya menyapa ayahmu, dan menitipkan keponakanku pada beliau. Habis itu aku pulang. Janji,” kata Farhan sambil menautkan jari telunjuk dan jempolnya, sedangkan ketiga jarinya dibiarkan terbuka. Menurut Farhan, itu adalah adab baginya mengantarkan Rani dan keponakannya ke keluarga Rani. Paling tidak, dia mewakili kakaknya yang kurang memperhatikan Rani. Baga
Ayah Rani merasa ada yang tidak beres dari cara Rani memperlakukan Farhan. Meskipun Ayah Rani tak menyukai Firman, tapi, harga diri tetap harus di jaga. Jangan sampai setelah Rani di cap sebagai pelakor, akan ada cap-cap yang lain. Dia tak ingin putrinya terjerumus ke lubang yang sama. “Rani sudah melayangkan gugatan cerai, Ayah!” tukas Rani kemudian. Ada binar kebahagian sekaligus kelegaan terpancar di wajah Rani nan ayu. Sesak yang selama ini menghimpit, seolah sudah terlepaskan. “Apa?!” kata Ayah dan Ibu Rani serempak, lalu mereka saling berpandangan. Kemudian menatap ke Rani seolah tak percaya. “Kenapa kamu tidak meminta pertimbangan Ayah?” tanya Ayah Rani.Apalagi, Firman justru tidak mengantar Rani dan bayinya ketika pulang ke rumah orang tua nya. Seharusnya, ia mengembalikan putrinya baik-baik, jika sudah tak mampu mengurusnya. Paling tidak mengantarkannya. Bukan alasan sibuk dan sibuk terus. Sungguh tidak ada sopan-santunnya. “Sudahlah, Ayah. Rani tidak bisa mempertahankan
“Farhan, kamu dimana?” Suara Citra dari ujung telpon memekakkan telinga Farhan yang sedang menunggu penerbangan malam itu dari Surabaya menuju Jakarta. Namun begitu, Farhan menyukainya“Ada apa, Sayang? Kamu kangen?” goda Farhan. Meskipun Farhan sadar, sepertinya susah memisahkan Citra dengan Firman, tapi rasa sayangnya ke Citra memang tak bisa begitu saja dihilangkan. Selalu ada getaran aneh saat ia berkomunikasi dengan Citra. Sama seperti dulu saat ia masih kuliah. “Farhan! Aku serius. Kamu lagi sama Rani bukan?” teriak Citra kesal.Citra yakin, pasti Farhan dalang dibalik kekacauan ini. Tak mungkin Rani dengan berani membawa bayi prematur keluar rumah sakit tanpa orang yang menemani. “Ya, aku sedang siap-siap boarding dari Surabaya,” jawab Farhan kemudian. Tak sampai hati dia mempermainkan Citra dengan candaan di kala pujaan hatinya itu sedang serius. Bisa-bisa, Citra akan mendiamkannya sebelum keinginannya tercapai. “Gila kamu, Han, nyulik anak orang nggak bilang-bilang bapakn
Firman masih memegangi pelipisnya. Kepalanya terasa berdenyut dan pening akibat pukulan dari mertuanya. "Cukup, Ayah!" Rani berlari keluar saat mendengar kegaduhan. Andai Rani tidak segera menghampiri, mungkin saja mertua Firman sudah bertidak brutal, menonjok atau menendang tubuhnya. "Ibu, ajak Ayah masuk," titah Rani pada ibunya yang juga ikut menghambur ke luar. Ayahnya masih emosi. Tak mungkin dapat berbicara baik-baik dengan menantunya itu. Rani segera kembali membawakan secangkir teh panas setelah Firman duduk dengan nyaman di teras rumahnya. Rani sengaja belum mempersilahkan masuk. "Dikompres dulu, Mas. Biar nggak memar," ujar Rani sembari mengangsurkan kompres berisi air dingin. "Maafin, Ayah, ya, Mas," tutur Rani sambil duduk di sebelah Firman. Dulu, di teras itu mereka sering menghabiskan waktu. Dulu, teras itu adalah saksi bisu cinta mereka tumbuh karena terbiasa bertemu. Dulu, teras itu pula, mertuanya menyambut Firman dengan hangat. Kini, teras itu pula saksi
Sejak Rani menggugat cerai, Firman memilih merahasiakannya dari Citra. Sebagai sahabatnya, pasti Citra tidak merelakan perceraiannya dengan Rani. Tapi, Firman juga tidak sanggup berpisah dengan Citra. "Gimana kabar Caca dan Rani?" tanya Citra saat Firman pulang dari Surabaya. "Baik." Firman hanya menjawab pendek. Dia tak mau bicara panjang lebar, karena takut terjebak pada kebohongan lain. "Mereka nggak ingin tinggal di Jakarta lagi?" Sejak kelahiran anaknya hasil buah cinta dengan Rani, Firman sudah mengurus kembali pekerjaannya ke kantornya di Jakarta.Setelah Rani pulang ke Surabaya, Firman pun juga kembali ke keluarga Citra dan anak-anak dengan alasan kehamilan Citra yang mulai membesar sehingga kehadirannya sangat diperlukan. "Neneknya ingin mengasuh Caca," jawab Firman sekenanya. Citra tak lagi menaruh curiga. Sejak dia sering kecewa, Citra memilih tak ingin jauh mencampuri urusan Firman. "Tapi kamu papanya Caca. Sebaiknya, kamu juga memperhatikan tumbuh kembangnya. Janga
"Selamat, ya. Keponakanku cantik, kayak mamanya," ucap Farhan, usai meng-adzan-i keponakannya. "Han..." panggil Citra setelah suster mengambil putrinya dan membawanya ke ruang bayi. "Rani menggungat cerai Mas Firman," sambung Citra. "Sttt. Kamu habis lahiran. Ngomong yang lain aja, ya." Farhan meletakkan telunjuk di depan bibirnya. Dia tak ingin membahas tentang apapun hingga kondisi Citra stabil. Dia baru saja melahirkan. "Apa kamu sudah tahu?" Citra mencurigai sesuatu. Farhan menarik nafas. Dia ingat kalau Citra keras kepala. Apa yang ingin diketahui. pasti saat itu juga harus tahu. “Kamu baru tahu kalau Firman dan Rani akan bercerai?” Farhan balik bertanya. “Jadi, kamu sudah tahu?" Mata Citra menatap tajam pada Farhan yang duduk di kursi di samping ranjang. Mengapa tidak mengatakannya padaku?” tanya Citra sendu. Dia semakin merasa tak ada satu pun orang yang menyayanginya. Buktinya, Farhan [un ikut merahasiakan masalah besar ini darinya. Farhan mendesah. “Aku tak mau turut
“Gimana, Pak kondisi Ibu?” tanya Mbok Sumi saat Firman saat masuk ke rumah setiba dari Surabaya. Karena hari kerja, rumah memang sepi. Anak-anak sekolah. Hanya ada Rara yang sedang diasuh oleh Mbak Susi. “Bu Citra? Kok tanya ke saya?” tanya Firman keheranan. Mbok Sumi jadi ikut keheranan. Dia fikir majikannya sudah tahu kalau Citra sudah di bawa ke rumah sakit dari kemaren. Meskipun Farhan sudah mengabarkan lewat telepon, namun Mbok Sumi merasa tak ada salah nya bertanya secara langsung ke majikannya. “Lhoh, Ibu kan sudah melahirkan, Pak!”jawab Mbok Sumi. Citra dan Firman memang memperlakukan ART nya seperti layaknya saudara. Sehingga Mbok Sumi biasanya tidak terlalu canggung menanyakan mengenai kondisi dan kabar majikannya. “Melahirkan?” Seketika mata Firman membulat. Dia langsung bangkit dari duduknya, lalu menyambar kunci mobilnya tanpa bertanya lebih jauh. Dia sudah tahu kemana dia harus pergi. Setiba di rumah sakit diilihatnya Farhan baru saja keluar dari kamar dimana Ci
Firman mendorong troly berisi koper miliknya dan juga koper kepunyaan papa dan mamanya. Pagi itu mereka sudah mendarat di bandara Schipol Amsterdam. Jam di bandara masih menunjukkan pukul tujuh pagi waktu Belanda. Ini adalah pertama kalinya Firman menginjakkan kaki di Belanda. Negeri dimana keempat anaknya dan mantan istrinya tinggal. Ada rasa ngilu menjalar di dadanya, bercampur dengan kerinduan. Ngilu mengingat kesalahannya yang berakibat hancurnya keluarga yang sudah sekian tahun dia bina bersama Citra. Hancur karena kesalahannya, terlena dengan kelembutan Citra. Tak dipungkirinya, setahun mereka berpisah, ada rindu yang menggelora dalam jiwanya. Rindu kepada Citra yang tak kan mungkin bisa kembali lagi. Rindu kepada ke empat anaknya, terutama Reva yang mungkin belum pernah merasakan belaian kasih sayangnya. “Man, itu adikmu di sebelah sana,” ujar Mama Firman saat melihat Farhan melambaikan tangan dari arah pintu keluar. Papa dan Mama Firman segera beranjak menghampiri Farha
“Aku minta maaf atas kejadian tadi,” kata Farhan usai Citra menidurkan anak-anaknya. Farhan mendekati Citra yang sudah duduk di sisi ranjang. Lalu ia duduk disebelahnya. “Kali ini, tolong dengarkan aku, Citra,” tukas Farhan lagi. Dipandanginya wajah istrinya yang tampak masih kecewa. “Han, sampai kapan kamu membenci Rani?” tanya Citra. Citra memang kadang lupa memanggil ‘mas’ ke Farhan, karena memang mereka dulu berteman dan mantan adik iparnya. Tapi, Farhan tak masalah. Citra memang perlu waktu untuk beradaptasi dengan kehidupan barunya setelah sepuluh tahun menganggapnya bukan siapa-siapa. “Aku tidak membenci Rani. Aku tidak suka dengan kelakuannya. Nih lihat!” Farhan mengangsurkan ponselnya ke Citra. Mata Citra membulat sempurna. Di gambar itu terlihat Rani sedang dibantu berjalan oleh Farhan. Tangannya merangkul ke pundak Farhan. Sedang Farhan memeluk pinggang Rani. Dan Rani menggunakan pakaian terbuka. Sangat berbeda dengan tampilan tadi saat berkunjung ke rumah mereka.
Farhan tidak habis mengerti dengan Citra. Jelas-jelas Rani menunjukkan gelagat yang kurang baik. Tapi, masih bisa-bisanya Citra selalu membelanya. Dalam banyak hal, Citra memang terlalu banyak berprasangka baik ke orang lain. Itu juga yang membuatnya terjatuh saat bersama Firman. Tak pernah sekalipun ada rasa curiga ke suaminya, hingga akhirnya Citra melihat dengan mata kepalanya sendiri kenyataan yang ada. Akhirnya, Farhan harus mengalah. Tak ada gunanya terus menerus berdebat dengan Citra. Ini masalah kecil. Tapi jadi rumit jika tidak segera diatasi. Farhan segera mengambil ponselnya. Lalu memblokir semua akses yang mengarah ke Rani. Tak lupa, ponsel Citra yang biasanya hanya diletakkan di ruang tamu, juga diblokkir aksesnya dengan sahabat istrinya itu. Farhan tak mau ada duri dalam daging dalam keluarganya. ***“Rani?! Sejak kapan kamu di sini?” tanya Citra yang baru pulang menjemput Romi. Dilihatnya Rani sedang berdiri di ambang pintu rumahnya. “Setengah jam yang lalu. Ponselm
“Ran, kamu turun sini ya. Tinggal lanjut naik kereta ke Amsterdam,” kata Citra saat mobil Farhan minggir di dekat stasiun Den haag. Farhan sama sekali tidak ada niat mengantarkan Rani. Toh dia juga sebenarnya tidak diajak, pikir Farhan. Bahkan, sepanjang perjalanan Farhan tidak berniat mengajak Rani bicara. Mereka sudah pulang dari Paris setelah menghabiskan akhir pekan di negeri Napoleon itu. Bagi Farhan, kehadiran Rani menghancurkan segala rencananya. Namun, tak ada gurat kecewa di wajah Citra. Wanita itu selalu saja merasa baik-baik saja. Bahkan, beberapa kali berusaha menghibur suaminya yang terus saja menunjukkan kekesalannya. Namun, kini Citra harus mengalah saat Farhan memutuskan untuk menurunkan Rani di depan stasiun. Farhan hanya tak mengerti. Sampai sebegitunya Citra harus mengorbankan perasaannya demi sahabatnya. Kadang Farhan berfikir dia tak salah memilih istri. Meski sudah punya empat anak, tapi hatinya bak bidadari. Tapi, kalau sudah berlebihan, dia tak tahan juga. K
Tok tok tok“Citra!”panggil Rani sambil mengetuk pintu kamar Citra dan Farhan. Hari sudah malam, tapi Rani belum juga dapat memicingkan matanya.“See?” ucap Farhan sambil menatap tajam ke Citra, seolah memberi isyarat bahwa apa mengajak Rani ke Paris adalah keputusan yang keliru. “Maaf,” tukas Citra dengan nada bersalah. Citra segera menyambar kimono tidurnya dan keluar kamar menemui Rani. “Ada apa Ran?” tanya Citra sambil menutup kembali pintu kamarnya. “Temeni aku, dong. Aku nggak bisa tidur,” kata Rani sambil menarik tangan Citra menuju kamarnya.Dulu saat masih SMA Citra dengan Rani memang akrab. Mereka sering menginap bersama dan cerita-cerita sampai mereka mengantuk. “Jadi, aku pengen melupakan masa laluku, Cit. Makanya aku bela-belain kuliah sampai sini. Aku pikir, aku tidak akan bertemu siapapun orang yang pernah kukenal. Taunya, malah ketemu kamu. Dunia sempit, ya!” ujar Rani. Rani lantas melanjutkan ceritanya mengenai studinya. Tentu saja bukan hal yang sulit bagi Rani
“Ayo sayang, kita berangkat sekarang,” kata Farhan sambil menggendong Reva. Lalu ia meletakkan bayi mungil itu ke car seat yang ada di baris ke dua mobilnya. Sedang Rio dan Romi sudah siap di bangku belakang. Tak lama, Rara pun ikut duduk di car seat sebelah Reva. Akhir pekan ini, seperti janji Farhan, dia akan mengajak Citra liburan ke Perancis. Negara yang tak jauh dari Belanda ini. Jarak Paris dari Den haag hanya memakan waktu empat jam perjalanan. Farhan sengaja berangkat pagi-pagi, agar ia dapat mengajak Citra dan anak-anaknya keliling di beberapa tempat tujuan wisata di kota Paris. Besoknya, mereka akan mengajak anak-anak ke Disneyland. “Tunggu!” Baru saja Farhan akan menjalankan mobilnya ketika sebuah panggilan dalam bahasa Indonesia mengagetkan mereka. “Rani?” Farhan dan Citra saling berpandangan. Mengapa Rani sudah berada di sini sepagi ini? Gumam Farhan. Dari mana dia tahu tempat tinggalnya? Apa Citra memberitahukannya? Citra segera keluar dari mobil untuk menghampiri
Setelah mendapatkan nomor Farhan, Rani tak tinggal diam. Berawal hanya menanyakan nama kantor dan alamat kantornya, akhirnya Rani berhasil mengajak Farhan makan siang. "Waktuku nggak banyak, Ran. Kalau kamu mau, kamu harus datang tepat waktu," ujar Farhan setelah beberapa kali menolak ajakan Rani. Tak perlu menyia-nyiakan kesempatan. Rani segera bergegas. Bahkan dia tak peduli kalau usai makan siang ada jadwal kuliah. Toh, selama ini dia belum pernah bolos. Jadi, tak mengapa sesekali absen. Perkara alasan, nanti bisa dicari. Demi agar tidak terlambat, Rani datang duluan. Sedikit banyak dia ingat karakter Farhan yang selalu on time, jutek dan tidak mau ditawar. Cafe yang tak jauh dari kantor Farhan menjadi pilihan. Ada menu halal di sana. Biasanya Farhan hanya makan siang dengan bekal yang disiapkan Citra. Namun, karena dia sudah janji dengan Rani, terpaksa dia harus makan di luar. Rani tersenyum simpul saat melihat Farhan menghampiri. Pria itu terlihat lebih tampan dengan stelan
Bekerja lembur bukanlah tradisi orang Belanda. Mereka bekerja dengan sangat efisien. Jam lima sore lewat sedikit biasanya mobil-mobil sudah terparkir kembali di depan rumah. Jam enam sore, umumnya orang Belanda sudah selesai makan malam. Jam delapan malam anak-anak di Belanda sudah berangkat tidur.“Citra, apa kamu bersedia jika aku meminta satu anak dari darah dagingku?” bisik Farhan.Citra sudah selesai menidurkan Reva dan Rara. Musim semi di Belanda membuat udara terasa segar. Tidak terlalu gerah tapi juga tidak terlalu dingin. Semilir angin mengintip melalui celah ventilasi yang dibiarkan terbuka. Sangat cocok pagi pasangan untuk memadu kasih. “Jangankan satu, lima pun aku bersedia,” jawab Citra sambil mengerling manja. Mungkin Farhan benar. Cinta Citra akan tumbuh seiring dengan waktu. Beruntung Farhan membawanya ke tempat yang baru. Ke tempat yang dia bisa melupakan kenangan tentang Firman. Ke tempat dimana hanya ada Farhan di sisinya dan mencurahkan segala kasih kepadanya. F
“Makasih ya, sayang. Kamu sudah bersedia menjadi pendamping hidupku. Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat menantimu,” ujar Farhan di antara semilir angin musin semi di kota Den Haag. Dibukanya jendela apartemennya. Tampak dari kejauhan pemandangan wind molen terlihat dari jendela. “Aku yang berterimakasih kepadamu, sudah mau menerima anak-anak,” sahut Citra. Jarum sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Citra segera beranjak untuk menyiapkan sarapan. Tidak seperti di Indonesia yang sarapannya ribet. Di sana, Citra hanya cukup menyiapkan susu sereal, atau roti bakar. Mereka benar-benar memulai hidup baru. Bagi, Farhan menjadi ayah baru dari empat keponakannya tidaklah berat di negeri kincir angin ini. Tidak ada stigma buruk menikah dengan janda punya anak banyak. Di kota itu pun, Citra tidak akan kesepian. Banyak orang Indonesia yang tinggal disini. Citra bisa ikut aktivitas di Masjid Indonesia, atau pengajian warga Indonesia yang ada di Belanda atau pun di KBRI jika mau. Ter