“Gimana, Pak kondisi Ibu?” tanya Mbok Sumi saat Firman saat masuk ke rumah setiba dari Surabaya. Karena hari kerja, rumah memang sepi. Anak-anak sekolah. Hanya ada Rara yang sedang diasuh oleh Mbak Susi. “Bu Citra? Kok tanya ke saya?” tanya Firman keheranan. Mbok Sumi jadi ikut keheranan. Dia fikir majikannya sudah tahu kalau Citra sudah di bawa ke rumah sakit dari kemaren. Meskipun Farhan sudah mengabarkan lewat telepon, namun Mbok Sumi merasa tak ada salah nya bertanya secara langsung ke majikannya. “Lhoh, Ibu kan sudah melahirkan, Pak!”jawab Mbok Sumi. Citra dan Firman memang memperlakukan ART nya seperti layaknya saudara. Sehingga Mbok Sumi biasanya tidak terlalu canggung menanyakan mengenai kondisi dan kabar majikannya. “Melahirkan?” Seketika mata Firman membulat. Dia langsung bangkit dari duduknya, lalu menyambar kunci mobilnya tanpa bertanya lebih jauh. Dia sudah tahu kemana dia harus pergi. Setiba di rumah sakit diilihatnya Farhan baru saja keluar dari kamar dimana Ci
“Tidak!” terdengar suara lantang dari arah pintu. Serentak Citra dan Firman menoleh ke sumber suara. “Kami tidak rela Citra hidup bersamamu lagi! sudah banyak kebohongan dan kekecewaan yang kamu berikan kepadanya.” Hanung tiba-tiba sudah berdiri di depan pintu bersama Papi dan Maminya Citra. Rupanya mereka sudah mendengar kalau Citra sudah melahirkan. “Urus segera perceraianmu dengan Citra. Semua sudah berakhir,” ujar Papi Citra. Citra tahu, papi dan maminya sangat kecewa kepada Firman. Bagi orang tua Citra sudah tidak ada maaf bagi pengkhianat cinta. Apalagi sekarang Citra sudah melahirkan dan tidak menunjukkan hubungan yang membaik. Buat apa mempertahankan ikatan jika salah satu darinya masih terus mengkianatinya.“Jika kamu tidak sanggup mengurusnya, biar papi yang akan mengurus semuanya. Sampai ketemu di penggadilan agama,” ujar Papi Citra lagi. Firman baru saja hendak bersimpuh di hadapan mertuanya, namun mereka justru pergi meninggalkannya.***Sepulang dari rumah sakit, Fir
“Farhan!” Farhan mencari ke sumber suara. Dia sedikit tertegun saat melihat Rani dengan setelan baju kerja berdiri di ruang meeting, tempat dia sebentar lagi akan melakukan meeting dengan klien-nya di Makassar. “Rani, kok kamu ada di sini?” tanya Farhan sedikit keheranan. Tentu saja Farhan tidak menyangka akan bertemu Rani di kantor mitra nya di Makassar. Bahkan, Firman pun tidak pernah bercerita soal hal ini. Mungkin juga karena ini tidak penting untuk diceritakan. Toh mereka bukan lagi suami istri. Tapi? Bagaimana dengan anak mereka?“Surat ceraiku sudah turun. Aku sudah resmi berpisah dengan Firman,” ujar Rani dengan rona bahagia. Rani ingin memberi tahu hal ini kepada Farhan seolah ingin memberikan kesempatan kepada Farhan.“Aku sengaja menjauh dari kota asalku. Meninggalkan segala kenangan masa lalu,” lanjutnya. Percakapan keduanya terhenti karena meeting segera akan dimulai. __“Gimana kabar Caca?” tanya Farhan. Mereka memutuskan melanjutkan perbincangan usai jam kerja. Farh
“Apa ini?” tanya Firman sambil membanting amplop surat dan secarik kertas yang sudah di keluarkan di hadapan Citra yang sedang menyusui anak bungsunya, Reva.Citra terlihat tidak kaget. Dia hanya melirik sekilas kop surat yang tertera di kertas itu. Surat yang mirip dengan yang pernah diterima Citra saat gugatan cerai dari Rani datang ditujukan untuk Firman.Selama bersama Citra, Firman tidak mencurigai apapun. Sejak kelahiran Reva, Citra lebih memilih tidur di kamar Rara dan Reva dengan alasan khawatir Reva rewel. Tapi, rupanya itu hanya alasan Citra untuk diam-diam menjauhinya. “Aku sudah bilang, Mas. Aku serius. Tapi, kamu selalu menganggapku main-main,” jawab Citra datar. Sudah tak ada air mata di sana.Citra sudah mengetahui semua sandiwara Firman. Pria itu hanya berpura-pura setiap minggu ke Surabaya demi menyenangkan hati Citra, karena Citra meminta Firman tidak berpisah dari Rani. Tapi, nyatanya? Farhan bahkan memberitahukannya kalau Rani sudah lama bekerja di Makassar sejak
Keputusan perceraian Citra dan Firman tidak memakan waktu yang lama. Firman akhirnya mengikhlaskan berpisah dengan Citra. Baik orang tuanya maupun orang tua Citra sudah tak ada yang menghendaki keduanya bersatu."Maafin aku, Citra. Demi kebahagiaanmu, aku rela melepasmu." Firman tertunduk lesu. Penyesalan Firman tak lagi ada gunanya. Niatnya hanya bermain api, ternyata menuai badai. Seluruh asset yang dia miliki, diberikan semuanya kepada Citra. Firman sudah tak menginginkan apa-apa lagi. hatinya sudah hancur. Dia hanya ingin focus kembali bekerja di kantor, setelah dia diturunkan dari jabatannya karena kinerja nya yang semakin memburuk. "Kamu tetap papanya anak-anak. Kapan pun kamu mau, kamu bisa temui mereka," tutur Citra bijak. Baginya kegagalan dalam berumah tangga bukan akhir segalanya. Usai perceraian itu, Citra kembali bekerja di kantornya seperti biasa setelah masa cuti melahirkan habis. Kedua asistennya pun masih bekerja membantunya. Sebagai single parents memang penghasil
“Makasih ya, sayang. Kamu sudah bersedia menjadi pendamping hidupku. Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat menantimu,” ujar Farhan di antara semilir angin musin semi di kota Den Haag. Dibukanya jendela apartemennya. Tampak dari kejauhan pemandangan wind molen terlihat dari jendela. “Aku yang berterimakasih kepadamu, sudah mau menerima anak-anak,” sahut Citra. Jarum sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Citra segera beranjak untuk menyiapkan sarapan. Tidak seperti di Indonesia yang sarapannya ribet. Di sana, Citra hanya cukup menyiapkan susu sereal, atau roti bakar. Mereka benar-benar memulai hidup baru. Bagi, Farhan menjadi ayah baru dari empat keponakannya tidaklah berat di negeri kincir angin ini. Tidak ada stigma buruk menikah dengan janda punya anak banyak. Di kota itu pun, Citra tidak akan kesepian. Banyak orang Indonesia yang tinggal disini. Citra bisa ikut aktivitas di Masjid Indonesia, atau pengajian warga Indonesia yang ada di Belanda atau pun di KBRI jika mau. Ter
Bekerja lembur bukanlah tradisi orang Belanda. Mereka bekerja dengan sangat efisien. Jam lima sore lewat sedikit biasanya mobil-mobil sudah terparkir kembali di depan rumah. Jam enam sore, umumnya orang Belanda sudah selesai makan malam. Jam delapan malam anak-anak di Belanda sudah berangkat tidur.“Citra, apa kamu bersedia jika aku meminta satu anak dari darah dagingku?” bisik Farhan.Citra sudah selesai menidurkan Reva dan Rara. Musim semi di Belanda membuat udara terasa segar. Tidak terlalu gerah tapi juga tidak terlalu dingin. Semilir angin mengintip melalui celah ventilasi yang dibiarkan terbuka. Sangat cocok pagi pasangan untuk memadu kasih. “Jangankan satu, lima pun aku bersedia,” jawab Citra sambil mengerling manja. Mungkin Farhan benar. Cinta Citra akan tumbuh seiring dengan waktu. Beruntung Farhan membawanya ke tempat yang baru. Ke tempat yang dia bisa melupakan kenangan tentang Firman. Ke tempat dimana hanya ada Farhan di sisinya dan mencurahkan segala kasih kepadanya. F
Setelah mendapatkan nomor Farhan, Rani tak tinggal diam. Berawal hanya menanyakan nama kantor dan alamat kantornya, akhirnya Rani berhasil mengajak Farhan makan siang. "Waktuku nggak banyak, Ran. Kalau kamu mau, kamu harus datang tepat waktu," ujar Farhan setelah beberapa kali menolak ajakan Rani. Tak perlu menyia-nyiakan kesempatan. Rani segera bergegas. Bahkan dia tak peduli kalau usai makan siang ada jadwal kuliah. Toh, selama ini dia belum pernah bolos. Jadi, tak mengapa sesekali absen. Perkara alasan, nanti bisa dicari. Demi agar tidak terlambat, Rani datang duluan. Sedikit banyak dia ingat karakter Farhan yang selalu on time, jutek dan tidak mau ditawar. Cafe yang tak jauh dari kantor Farhan menjadi pilihan. Ada menu halal di sana. Biasanya Farhan hanya makan siang dengan bekal yang disiapkan Citra. Namun, karena dia sudah janji dengan Rani, terpaksa dia harus makan di luar. Rani tersenyum simpul saat melihat Farhan menghampiri. Pria itu terlihat lebih tampan dengan stelan