“Gimana Rani, Mas?” tanya Citra saat menemui Firman di rumah sakit tempat Rani di rawat. Citra seperti merasakan jatuh cinta lagi pada Firman. Entahlah, rasa hatinya seperti ingin selalu menemui Firman mumpung dia ada di Jakarta. Citra takut, jika Firman sudah kembali ke tempat kerjanya, dia akan sulit menemuinya. Firman mendesah.“Aku akan bawa Rani kembali ke Medan. Pekerjaanku di sana tak dapat ditinggalkan,” jawab Firman berat. Kondisi Rani belum stabil. Firman tak mungkin meninggalkan Rani seorang diri. Apalagi sampai memberi tahu pada orang tua Rani. Kalau sampai mereka tahu Firman kembali ke Jakarta, habislah ia. Firman bimbang, harus bagaimana. Harapannya ke Jakarta untuk menemui Citra dan anak-anak, justru malah berakhir dengan merawat Rani di rumah sakit. Tak mungkin Firman meninggalkan pekerjaannya. Dia ke Jakarta hanya dalih pekerjaan. Padahal, sebenarnya tak ada hubungannya sama sekali. Tak mungkin dia berlama-lama ada di Jakarta. Apalagi penugasannya di kota itu masih
Firman sudah kembali ke kota tempat dia bekerja. Dengan berat hati, dia menyetujui usul Citra. “Mas, aku bisa sendiri," tolak Rani. “Aku nggak mau terjadi apa-apa padamu, tanpa pengawasan orang lain. Kamu mau ayah dan ibu tahu, kamu ada di Jakarta?” tanya Firman. Rani menunduk. Dia memang salah, diam-diam mengikuti Firman. Dia tak pernah menyangka kalau akhirnya malah dia menjadi merepotkan suaminya. Padahal, awalnya dia hanya ingin tahu kejujuran Firman selama ini. “Kita harus jaga anak kita, Rani.” Ucapan Firman, seolah menghipnotis Rani kembali. “Kamu sudah kenal Citra dengan baik. Dia tak mungkin melakukan hal yang membahayakan buat kamu.” Firman kembali meyakinkan. Mas Firman benar, pikir Rani. Citra terlalu baik padanya. Bahkan, saat tahu Firman mendua pun, Citra tak pernah mengatakan langsung padanya. Alih-alih menghujat atau pun menyalahkan. Justru Citra lah yang mengizinkan Firman tetap bersmanya. “Mas nggak bisa tenang bekerja, kalau kamu sendirian di sini. Kita b
Rani dan Citra saling bertatapan. Keduanya tercekat dan menahan nafas. Tak menyangka Rio masih mengingat kejadian itu. Meski sebenarnya Citra juga tahu. “Hanya mirip saja, sayang.” Citra mengusap kepala anak sulungnya, berusaha mengalihkan pembicaraan. “Apa tante ini juga hamil?” tanya Rio sambil menunjuk perut Rani. Rani tersenyum, lalu mengangguk. “Iya, sayang. Di perut tante ada adik bayinya,” sahut Rani dengan ramah. Rani memang tak biasa berkomunikasi dengan anak kecil. Dia merasa sedikit canggung. “Mama aku juga ada adik bayinya di perut!” Rio memeluk Citra. Lalu ia menciumi perut Citra yang belum terlalu membuncit. Citra tersentak kaget. Dia tak menyangka Rio akan mengatakan hal ini ke Rani. Padahal, Citra ingin menyembunyikan perihal kehamilannya dari Rani. Dia tidak mau Rani kecewa padanya. Bagaimana bisa, wanita yang ingin menggugat cerai suaminya malah hamil? Citra menggigit bibirnya. Otaknya mencoba berfikir apa yang harus dikatakannya kepada Rani. Sementar
Citra menunggu Rani di depan ruang UGD bersama Farhan. Kecemasan tergambar di raut wajahnya. Dia takut kenapa-napa. Apalagi dia sudah janji pada Firman akan menjaga Rani selama suaminya itu tidak di Jakarta. Citra berusaha menghubungi Firman melalui ponsel milik Rani. Namun, hasilnya nihil. Tak ada sahutan sama sekali. "Gimana? Nggak ada jawaban?" Farhan menatap Citra intens sembari mengerutkan dahi. "Kamu aja gih yang coba."Diangsurkannya ponsel Rani pada Farhan.Farhan ikut mencoba menghubungi Firman dengan ponsel itu, namun ada kecurigaan di sana. Sepertinya nomor yang mereka hubungi itu tidak aktif. “Gila memang si Firman. Ninggalin istrinya bunting, tapi ponselnya nggak aktif,” gerutu Farhan sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Maksudmu?" "Ini nada ponsel nggak aktif, Cit!" jelas Farhan geram. Citra hanya dapat menarik nafas. Tak lama, seorang petugas medis keluar dari ruang ICU dan memanggil keluarga atas nama pasien Maharani. “Maaf, Bu. Pasien harus segera diambil tin
“Setelah bayi dalam perutmu lahir, kamu jadi kan bercerai dengan Firman?” tagih Farhan serius. Dia butuh memastikan bahwa jalannya sudah mulus. Farhan sengaja duduk mendekati Citra. Ingin rasanya dia sandarkan kepala Citra di bahunya, andaikan dia bukan istri orang. Sayangnya dia kalah poin dengan kakaknya sendiri. Dan bre*ngse*knya lagi, kakaknya dengan tega menerlantarkan istrinya begitu saja. Wanita yang sejak dulu dipujanya. “Sudahlah, Han. Jangan bahas itu lagi,” jawab Citra sambil menerawang.Citra mulai ragu. Akhir-akhir ini dia merasa sangat merindukan Firman. Berbeda dengan saat pertama dia mengetahui Firman telah mendua. Saat itu, dia sangat membencinya.“Aku hanya tidak mau kamu terluka, Cit. Kamu tahu sendiri, kan, Firman itu nggak bisa tegas urusan beginian. Setelah anak Rani lahir, pasti Firman akan makin plin-plan. Dia itu cuma manfaatin kamu aja, Cit. Aku nggak rela,” kata Farhan panjang lebar.Farhan sangat mengenal abangnya. Mereka hanya berbeda satu tahun. Mereka
“Selamat, ya, sudah jadi ibu.” Ucapan itu tulus diberikan Citra sebagai seorang sahabat. Lalu, ia memeluk sahabatnya itu hangat, meski Rani masih terbaring di ranjangnya.Operasi berjalan lancar. Sayangnya, bayinya harus masuk inkubator karena terlalu dini dilahirkan. “Bagaimana anakku, Citra?” tanya Rani sambil menatap Citra penuh harap. “Cantik! Mirip bundanya,” sahut Citra sambil mengusap pundak Rani.Senyuman Citra masih sama seperti yang dulu. Ia selalu ikut bahagia jika sahabatnya bergembira. Meski bisa jadi, kali ini ada rasa yang berbeda. Mengingat, anak itu adalah buah cinta suaminya dengan perempuan lain.“Tuh, Om nya yang kemaren mengadzani si cantik,” tunjuk Citra pada Farhan yang masih menunjukkan raut jutek, berdiri di ujung ranjang. Laki-laki itu hanya mencebik sembari mengangkat satu alisnya.“Makasih, ya,” kata Rani lirih sambil menatap Farhan.Lelaki yang baru diketahuinya adalah adik iparnya. Wajahnya tak kalah tampan dengan kakaknya. Bedanya, lelaki ini betah mel
Firman tergesa memasuki kamar dimana Rani di rawat. “Rani, maafin, Mas ya. Mas tidak tahu kalau kamu sudah melahirkan anak kita,” tukas Firman sambil mengecup kening Rani. Tadinya Firman berencana pulang mengunjungi Citra. Tapi oleh Mbok Sumi malah diberitahu kalau Citra sudah dua hari di rumah sakit mengantar Rani. “Ponsel kamu ngga aktif, Mas. Kamu sibuk sepertinya,” jawab Rani. Air matanya kembali menggenang mengingat perkataan Farhan tadi. Apa benar suaminya ini tak benar-benar mencintainya? Apa benar menikah dengannya hanya suatu kesalahan? “Mas, apa kamu mencintaiku?” tanya Rani sambil menatap wajah suaminya. “Tentu saja,” jawab Firman getir. Dia merasa munafik. Dulu memang dia merasa mencintai Rani. Perasaannya menggebu saat ingin menjumpainya. Tapi, sejak Citra mengetahui semuanya, menyentuh Rani pun rasanya enggan. Bayang-bayang bersalah kepada Citra sering menghantuinya. “Mas, katakan sebenarnya,” pinta Rani. Sepertinya Rani sudah memikirkan perkataan Farhan. Buat apa
Selama Rani di rumah sakit, Citra tak pernah absen menjenguknya. Sementara Firman mendapatkan izin dari kantornya di Medan untuk mendampingi istrinya melahirkan. Firman tak pernah bertanya tentang kronologis kejadian, mengapa Rani bisa melahirkan prematur. Dia tak ingin menyalahkan Citra, atau menimbulkan perdebatan baru. Apalagi, jelas-jelas banyak kesalahan yang telah menumpuk padanya. Entah mengapa, Firman merasa satu persatu kesalahannya tersingkap dan terkuliti. Kalau dulu hanya Citra yang tahu dan menyembunyikan semuanya, kini Rani pun mulai mencium kebusukannya. Belum lagi Farhan yang hampir tiap hari mengintimidasinya, “Sebaiknya, kamu pulang ke rumahku aja, Rani. Kamu masih sakit,” tawar Citra. Dia paham betul bagaimana psikologis orang habis melahirkan, karena dia pun punya pengalaman. Secara fisik terlihat sehat, namun, beban mental, ketakutan dan lain-lain, tanpa disadari sering menganggu kewarasan ibu pasca melahirkan. Apalagi ini adalah anak pertamanya. Tidak sampai