Mata Citra terbelalak. “Apa kamu bilang? Rani maksudmu?!” tanya Citra tak percaya. Perasaannya menjadi campur aduk. Antara rasa bersalah dan kesal. Bersalah dengan sahabatnya karena dia merasa mengkianatinya. Dan kesal dengan Firman. Pasti Firman membohongi Rani, hingga membuat Rani curiga dan nekat mengikutinya. Farhan hanya menoleh ke arah Citra sekilas. Lalu ia fokus kembali mengemudikan mobilnya. “Sudahlah, Cit. Apa sih yang kamu harapkan dari Firman?” kata Farhan kemudian. “Stttt! Jangan bahas di sini.” Citra memberi kode agar Farhan tak membahasnya lagi. Ada anak-anak yang harus dia jaga perasaannya. Bagaimanapun Firman adalah papa dari anak-anaknya. Citra tidak mau anak-anak nanti menaruh rasa tidak hormat kepada papanya. Farhan menyetir diiringi celoteh anak-anak. Mereka tak lagi membahas masalah orang dewasa di depan anak-anak. “Lalu, apa yang akan kamu lakukan?” tanya Farhan saat sudah tiba di rumah Citra. Anak-anak sudah bermain dengan Mbak Susi di belak
“Sudah, Pak...sudah.” Sekuriti rumah sakit dengan sigap mengamankan Hanung. Kakak kandung Citra yang bernama Hanung itu rupanya sudah membuntuti Citra. Dia baru saja datang dari Yogya ingin memberi kejutan pada adik dan keponakannya. "Citra mana, Mbok?" tanya Hanung saat tiba di rumah Citra. Hanya ada anak bungsunya karena anak-anak sudah berangkat sekolah. Padahal hari masih pagi. "Ibu baru saja berangkat, sekalian mengantar anak-anak ke sekolah," sahut Mbok Sumi setelah mempersilahkan Hanung masuk. Kakak Citra memang sering mampir apabila ada dinas ke ibukota. Tak menunggu lama, Hanung segera memesan taksi online. Dia sudah hafal di mana sekolah keponakannya. Karena, kalau dia menginap di rumah adiknya itu, dia pun sudah biasa mengantar ke sekolah keponakannya. Anehnya, begitu tiba di sekolah, Citra terlihat buru-buru pergi, namun bukan ke arah kantor. Tapi, ke arah rumah sakit bersalin. Hanung membuntuti dengan kepala penuh tanya. Kening Hanung berkerut. "Siapa yang hami
“Mas, apakah kamu masih mencintai Citra?” tanya Rani lirih. Meski jawabannya tentu akan sangat menyakitkannya, tapi Rani perlu kepastian. Dia tidak ingin cintanya hanya terombang-ambing tanpa kejelasan. Rani tak mau mempertahankan cinta, jika ternyata hati Firman masih tersandera. Firman menatap Rani.“Kamu jangan memikirkan hal yang terlalu berat. Ingat kesehatanmu, dan bayi dalam kandunganmu,” jawab Firman sambil menggenggam tangan Rani. Dia tak ingin menjawab pertanyaan apa-apa tentang Citra.Rani segera melepaskan genggaman tangan Firman. Ada rasa benci karena tangan itu telah menggenggam tangan yang lain. Meskipun itu sahabatnya sendiri.“Apa kamu tak benar-benar mengurus perceraianmu?” tanya Rani kemudian. Rani masih penasaran dengan apa yang dilihatnya. Jika Firman sudah mengurus perceraiannya, mengapa dia masih begitu mesra menemui Citra?Pertanyaan Rani begitu menusuk hati Firman. Benar dia telah mengurusnya. Tapi, Firman tak sanggup mengatakan bahwa dia batal memproses perc
“Kenapa kamu tidak pernah menceritakan hal ini ke Papi dan Mami, ha?” tanya papi lagi.Citra adalah anak kesayangannya. Luka Citra adalah lukanya juga. Dari kecil diasuh dengan cinta. Betapa kecewanya Papi Citra begitu mendengar Firman telah menduakannya. “Papi, Mami, Citra baik-baik saja,” jawab Citra dengan mata yang mulai mengembun. “Kamu fikir, Papi dan Mami akan percaya. Kamu lihat, tak ada satupun foto Firman di dinding ini lagi,” tukas papi sambil mengedarkan pandangannya ke dinding rumah Citra. “Fotonya sedang dibersihkan, Papi,” jawab Citra sambil menunduk. Tidak perlu dibantah, papinya sudah tahu. Itu hanya dalih Citra. Papi sudah hafal sikap Citra yang selalu berusaha menutupi masalahnya dan membuat seolah semua baik-baik saja. Dari dulu, Citra memang anak yang berbakti. Dia selalu berusaha menyenangkan hati orang tuanya. Meskipun mereka bukan berasal dari kalangan mampu, tapi Citra tak pernah mengeluh. Tak pernah meminta macam-macam. Dan kini, hati Papi Citra merasa
“Gimana Rani, Mas?” tanya Citra saat menemui Firman di rumah sakit tempat Rani di rawat. Citra seperti merasakan jatuh cinta lagi pada Firman. Entahlah, rasa hatinya seperti ingin selalu menemui Firman mumpung dia ada di Jakarta. Citra takut, jika Firman sudah kembali ke tempat kerjanya, dia akan sulit menemuinya. Firman mendesah.“Aku akan bawa Rani kembali ke Medan. Pekerjaanku di sana tak dapat ditinggalkan,” jawab Firman berat. Kondisi Rani belum stabil. Firman tak mungkin meninggalkan Rani seorang diri. Apalagi sampai memberi tahu pada orang tua Rani. Kalau sampai mereka tahu Firman kembali ke Jakarta, habislah ia. Firman bimbang, harus bagaimana. Harapannya ke Jakarta untuk menemui Citra dan anak-anak, justru malah berakhir dengan merawat Rani di rumah sakit. Tak mungkin Firman meninggalkan pekerjaannya. Dia ke Jakarta hanya dalih pekerjaan. Padahal, sebenarnya tak ada hubungannya sama sekali. Tak mungkin dia berlama-lama ada di Jakarta. Apalagi penugasannya di kota itu masih
Firman sudah kembali ke kota tempat dia bekerja. Dengan berat hati, dia menyetujui usul Citra. “Mas, aku bisa sendiri," tolak Rani. “Aku nggak mau terjadi apa-apa padamu, tanpa pengawasan orang lain. Kamu mau ayah dan ibu tahu, kamu ada di Jakarta?” tanya Firman. Rani menunduk. Dia memang salah, diam-diam mengikuti Firman. Dia tak pernah menyangka kalau akhirnya malah dia menjadi merepotkan suaminya. Padahal, awalnya dia hanya ingin tahu kejujuran Firman selama ini. “Kita harus jaga anak kita, Rani.” Ucapan Firman, seolah menghipnotis Rani kembali. “Kamu sudah kenal Citra dengan baik. Dia tak mungkin melakukan hal yang membahayakan buat kamu.” Firman kembali meyakinkan. Mas Firman benar, pikir Rani. Citra terlalu baik padanya. Bahkan, saat tahu Firman mendua pun, Citra tak pernah mengatakan langsung padanya. Alih-alih menghujat atau pun menyalahkan. Justru Citra lah yang mengizinkan Firman tetap bersmanya. “Mas nggak bisa tenang bekerja, kalau kamu sendirian di sini. Kita b
Rani dan Citra saling bertatapan. Keduanya tercekat dan menahan nafas. Tak menyangka Rio masih mengingat kejadian itu. Meski sebenarnya Citra juga tahu. “Hanya mirip saja, sayang.” Citra mengusap kepala anak sulungnya, berusaha mengalihkan pembicaraan. “Apa tante ini juga hamil?” tanya Rio sambil menunjuk perut Rani. Rani tersenyum, lalu mengangguk. “Iya, sayang. Di perut tante ada adik bayinya,” sahut Rani dengan ramah. Rani memang tak biasa berkomunikasi dengan anak kecil. Dia merasa sedikit canggung. “Mama aku juga ada adik bayinya di perut!” Rio memeluk Citra. Lalu ia menciumi perut Citra yang belum terlalu membuncit. Citra tersentak kaget. Dia tak menyangka Rio akan mengatakan hal ini ke Rani. Padahal, Citra ingin menyembunyikan perihal kehamilannya dari Rani. Dia tidak mau Rani kecewa padanya. Bagaimana bisa, wanita yang ingin menggugat cerai suaminya malah hamil? Citra menggigit bibirnya. Otaknya mencoba berfikir apa yang harus dikatakannya kepada Rani. Sementar
Citra menunggu Rani di depan ruang UGD bersama Farhan. Kecemasan tergambar di raut wajahnya. Dia takut kenapa-napa. Apalagi dia sudah janji pada Firman akan menjaga Rani selama suaminya itu tidak di Jakarta. Citra berusaha menghubungi Firman melalui ponsel milik Rani. Namun, hasilnya nihil. Tak ada sahutan sama sekali. "Gimana? Nggak ada jawaban?" Farhan menatap Citra intens sembari mengerutkan dahi. "Kamu aja gih yang coba."Diangsurkannya ponsel Rani pada Farhan.Farhan ikut mencoba menghubungi Firman dengan ponsel itu, namun ada kecurigaan di sana. Sepertinya nomor yang mereka hubungi itu tidak aktif. “Gila memang si Firman. Ninggalin istrinya bunting, tapi ponselnya nggak aktif,” gerutu Farhan sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Maksudmu?" "Ini nada ponsel nggak aktif, Cit!" jelas Farhan geram. Citra hanya dapat menarik nafas. Tak lama, seorang petugas medis keluar dari ruang ICU dan memanggil keluarga atas nama pasien Maharani. “Maaf, Bu. Pasien harus segera diambil tin