“Akhirnya, kamu datang juga!” Wajah dingin Ayah Rani menyambutnya di depan pintu.Ayah Rani yang dulu selalu hangat, kini hanya menyisakan tatapan mata sinis. Tak ada keramahan tergambar di wajahnya. “Mana Rani, Ayah?” tanya Firman setelah menyalami Ayah dan ibu Rani. Firman sangat mengkhawatirkan kondisi Rani. Apalagi dia sedang mengandung dan belum lama harus bedrest. “Jangan panggil aku ayah, kalau kamu belum juga mengurus pernikahan sahmu dengan Rani!” kata Ayah Rani tegas. Mendengar kata pernikahan, kepala Firman terasa berdenyut. Bagaimana mungkin dia meminta ijin ke Citra? Bagaimana jika Citra malah meminta menceraikannya? “Kalau kamu tidak segera urus, jangan harap kamu bisa bertemu dengan Rani!” seru Ayah Rani. Jawaban itu sebenarnya menegaskan kalau Rani ada di rumah itu. Tapi, Firman merasa harus bertemu. Dia harus menjelaskan semuanya. Dia tak ingin hal buruk terjadi pada Rani. “Pergi kamu sekarang juga dari rumah saya!” seru Ayah Rani lagi. “Tapi, Ayah…” Firman ter
Firman langsung kembali ke Jakarta. Sesuai permintaan orang tua Rani, Firman akan segera mengurus dokumen pengesahan pernikahannya dengan Rani. Itu adalah satu-satunya jalan untuk mengurangi beban mental yang Rani rasakan. Melihat Rani mencoba bunuh diri, perasaan Firman hancur. Tak terpikirkan olehnya jika keadaan akan menjadi seburuk ini. “Dik, maafkan Mas,” ucap Firman pada Citra. “Mas, aku sudah bilang berkali-kali. Aku sudah memaafkanmu. Kembalilah ke Rani. Dan segera urus perpisahan kita,” jawab Citra datar. Rasa cinta Cintra pada Firman sudah terkikis. Bagi Citra, pengkianatan ini tak dapat dimaafkan. Pengkhianatan itu telah melahirkan banyak kebohongan-kebohongan. Citra tak bisa hidup dengan kebohongan. Citra tak ingin sama sekali dimadu. Citra yakin, Firman tak akan bisa adil. Dia hanya bisa berbohong untuk menyenangkannya. Termasuk berbohong ke anak-anak agar tidak membuatnya luka. Bukankah ini lebih menyakitkan? Bisakah berbahagia di atas kebohongan? “Dik, aku t
Firman melajukan mobilnya membelah jalanan kota Jakarta menuju apartemennya. Hari itu dia harus menyiapkan diri karena akan berangkat lagi ke Surabaya. Hanya satu cara kembali ke Rani, satu-satunya kesalahan yang harus dia perbaiki. Namun, tiba-tiba sejuta kenangan manis bersama Citra dan anak-anak begitu saja hadir dalam lamunannya. Begitu menyakitkan. Firman keluar dari mobilnya dengan langkah tergesa setelah memarkir mobilnya di area basement gedung apartemen. BUGGG!! Sebuah bogem mentah tiba-tiba mendarat di wajahnya. Firman jatuh terjungkal. Tak jelas siapa yang memukulnya. Pria bertubuh tinggi atletis itu sudah pergi meninggalkan Firman yang sedang menahan rasa sakit luar biasanya. **** Papa Firman sudah diizinkan keluar dari rumah sakit. Citra sudah menyiapkan kamar khusus untuk mertuanya. “Kemana anak itu?” tanya Papa Firman begitu menyadari tak ada kehadiran Firman menyambutnya. “Papa nggka usah banyak mikirin Mas Firman. Yang penting papa lekas sehat, ya, Pa,” tuk
Usai mengurus semua keperluan, Firman kembali ke Surabaya. Firman berdiri di samping ranjang tempat Rani di rawat. istri mudanya itu terbaring lemah. Rani masih enggan membuka mulut nya untuk makan. Termasuk untuk berbicara. Dia hanya mau berbicara dengan ibunya. Itupun hanya sesekali. “Kalau kamu mau kembali untuk bersama Rani, maka lepaskan istrimu,” ujar Ayah Rani. “Saya tidak menginginkan anak saya tersakiti. Cukup sekarang kamu sakiti dia dengan kebohonganmu. Tapi, tidak untuk nanti. Saya tidak mengijinkan kamu berbagi,” lanjut Ayah Rani. Firman diam membisu. Hatinya kalut. Di satu sisi, Citra benar-benar sudah memintanya berpisah. Wanita yang dicintainya itu sama sekali tidak mau bertahan. Firman sadar, sebenarnya cintanya untuk Citra tak berkurang sekdikit pun. Malah, belakangan Firman semakin merindukan Citra. Bagi Firman, kemarahan dan sikap dingin Citra saat ini adalah tanda bahwa dia masih mencintainya. Firman menyesal, betapa naifnya dirinya. Mengapa harus me
Tapi, Farhan sama sekali tak mengindahkan. Farhan puas, beberapa hari lalu dia berhasil menghadiahkan bogem mentah pada kakaknya. Bahkan, dia yakin, Firman tak menyadari kalau itu dirinya. Karena begitu Firman terhuyung, dia langsung bergegas pergi. Laki-laki mana yang rela, jika kekasih hatinya disakiti. Bahkan, oleh orang terdekatnya sendiri. Farhan mengulum senyum, saat melihat, bekas kebiruannya masih jelas di wajah Firman. “Ngapain kamu kembali ke sini, Mas? Bukannya seharusnya kamu di Surabaya?” tanya Citra begitu Farhan sudah pergi. Sebenarnya, Citra melihat lebam di wajah Firman. Namun, dia malas untuk bertanya. Rasa sakit hati, membuat hati Citra pun turut membeku. “Aku akan meluluskan keinginanmu. Tapi ijinkan aku sekali saja bersamamu. Untuk terakhir kalinya. Setelah itu, aku tak akan menganggumu lagi.” Firman melangkah ke kamar. Citra mengernyit. “Apa maksudmu, Mas?” tanya Citra setelah mengikuti Firman masuk ke kamar. Firman sudah duduk di sisi ranjang. Citr
“Ada apa, Mas?” tanya Rani sesaat setelah Firman menutup sambungan teleponnya. Sedari tadi, tanpa Firman sadari, Rani memperhatikannya. Dia bisa melihat dengan jelas perubahan wajah Firman yang tadinya murung, seketika berubah berbinar. “Oh, ada panggilan ke Jakarta. Tapi, apa kamu ngga apa-apa?” jawab Firman setengah berbohong. Tiga bulan lamanya dia menahan kerinduan ingin bertemu anak-anak dan tentu saja, Citra. Dan kini, ia mendapat kabar gembira bahwa Citra tengah mengandung anaknya. Firman berusaha keras menyembunyikan kebahagiaannya. Dia tak ingin Rani sampai mencurigai. “Panggilan pekerjaan maksudmu? Bukannya kamu sudah dilarang ayah kembali ke Jakarta?” tanya Rani mengingatkan. Dalam hati, Rani heran mengapa Firman begitu bahagianya setelah menerima telpon ini? Apakah karena dia akan ke Jakarta? Tentu saja itu membuat Rani gundah. Jakarta adalah kota yang dibencinya. Kota yang melahirkan luka di hatinya. Rani takut, Firman akan bertemu kembali dengan keluarganya, lalu men
“Ayo, lah, Citra. Aku antar kamu ke dokter,” bujuk Farhan saat berkunjung ke rumah Citra. Hampir setiap hari sepulang dari kantor dia mengunjungi Citra dan anak-anaknya.Meskipun papa dan mamanya sudah kembali ke Bandung, Farhan tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Toh, anak-anak Citra juga keponakannya. Tentunya papa dan mamanya tetap akan menyayanginya jika kelak Citra menjadi istrinya. “Han, aku nggak papa. Aku sehat. Percaya, deh,” tolak Citra. Teman sewaktu kuliahnya itu sebenarnya sejak dulu sangat perhatian. Tapi, siapa sangka jika ternyata dia menyimpan rasa. Farhan mendesah kesal. Wanita di depannya ini masih sama seperti dulu. Keras kepala. Tak pernah mau menerima bantuannya. Sewaktu kuliah memang Farhan sudah berusaha mendekati. Tapi, entah kenapa, justru kakaknya yang berhasil mencuri hati Citra. Mungkin karena sifat Farhan yang pemalu dan tertutup, sehingga tak segera berani menyatakan cintanya. Hingga akhirnya, dia terlambat menyatakannya, di saat hati Citra sudah
Firman masih menatap kepergian Farhan. Firman baru beranjak ketika mobil yang dikendarai adiknya itu benar-benar hilang dari pandangannya. “Ngapain dia ke sini, Dik?” tanya Firman. Nadanya meninggi, kentara dia menyimpan cemburu. Bahkan, sikap Firman seolah hubungannya dengan Citra masih sama seperti sebelumnya. Dia menganggap masuk rumahnya sendiri. Apalagi, saat dia pergi pun, dia belum menjatuhkan talak pada Citra. Firman sengaja mengulur waktu, sembari menanti keajaiban akan berpihak padanya. Tiga bulan Firman meninggalkannya. Entah mengapa, tiba-tiba ada rasa rindu dalam dadanya. Citra menggeleng. Dia ingin menghempaskan rasa yang tak seharusnya ada. Ah, Citra benci perasaan itu. Harusnya dia segera melupakan Firman. Tapi, mengapa ini menjadi sulit. Janin dalam kandungannya seperti menginginkan dia untuk dapat bermanja dengan papanya. Citra menatap Firman. Begitu juga sebaliknya. Keduanya masih terdiam. Meski masing-masing sebenarnya menahan kerinduan. “Citra. Aku r