Setiba di apartemen, Firman segera membuka koper dan memasukkan baju-bajunya.“Mau ke mana, Mas?” tanya Rani yang baru keluar dari kamar mandi. Wanita itu menatap Firman dengan tatapan keheranan.“Ada pekerjaan,” jawab Firman singkat. Dalam hati dia mendesah. Mengapa hidupku penuh dengan kebohongan. Beginikah akibat dari pengkianatan. “Mendadak sekali....” timpal Rani seraya tak lepas menatap setiap gerakan firman. Padahal dirinya baru tiba kemarin dari Surabaya, dan besok adalah hari pertamanya kerja. Jakarta adalah kota baru baginya. Meskipun taksi online mudah dipesan. Tapi, tetap saja ditinggal sendiri bukan hal yang diharapkan. “Berapa hari, Mas? Kok bawa baju banyak banget?” tanya Rani penasaran. Biasanya yang Rani lihat sewaktu di Surabaya, Firman hanya membawa beberapa potong baju setiap datang ke sana. Sejenak Fiman berfikir, lalu menjawab, “Mungkin seminggu.”Bahkan, dia tak tahu tepatnya berapa lama akan pergi. Karena, papa dan mamanya kadang tidak dapat ditebak keingin
[Citra, ini hari pertamaku bekerja. Apakah kamu bisa membagi lokasi kantormu? Siapa tahu kita bisa makan siang bersama.] Rani mengirimkan pesan singkat kepada Citra. Menjadi pegawai baru di kota yang asing bagi Rani memang tidak lah mudah. Citra adalah satu-satunya sahabat yang dia miliki di kota itu, selain suaminya, Firman. Sayangnya, jika Firman sedang sibuk dengan pekerjaannya, ponselnya selalu dimatikan. Sehingga Rani merasa kesepian. [Kamu nggak makan siang sama Mas Firman?] pancing Citra. Citra penasaran, kira-kira apa alasan yang diberikan ke Rani ketika Firman menghabiskan waktu di rumahnya. [Mas Firman sedang di luar kota, Cit.] Sebuah balasan dari Rani, membuat Citra menghela nafas. Ah, kasihan kamu, Rani. Bahkan, di hari bahagiamu ada di Jakarta, suamimu harus membohongimu, gumam Citra. [Maaf Rani, aku hari ini ada meeting. Besok aja ya. Aku janji] balas Citra. Dia masih belum ingin bertemu Rani. Paling tidak untuk saat itu. Dia tak ingin bangkai itu tercium sebelum
“Kenapa kamu tidak telpon, Firman?” tanya Citra setelah mereka kembali ke unit apartemen Rani. Dengan telaten, Citra menyuruh Rani segera istirahat di ranjangnya. Sesuai pesan dokter, sahabatnya itu harus bedrest. “Mas Firman selalu mematikan ponselnya saat dia bekerja,” tukas Rani. Hidup hampir lima bulan LDR membuatnya terbiasa dengan kehidupan terpisah. Apalagi dia sudah mengetahui kebiasaan Firman, dan Rani cukup memakluminya. Citra menaikkan satu alisnya. Ada hal aneh dengan jawaban Rani. Dia tak percaya jika Firman, yang juga suaminya itu, menon-aktifkan ponsel selama bekerja. Karena selama ini, ia bebas menelpon kapan saja, termasuk jam kerja, meski hal itu jarang dilakukannya. Justru, kini timbul kecurigaan lain. Apakah nomer yang dimiliki Rani berbeda dengan yang dimiliki Citra? “Tapi, ini sudah malam. Memangnya suamimu selalu bekerja sampai larut malam?” Citra ingin menelisik lebih jauh. Diam-diam, Citra mengecek nomer Firman yang pernah diberikan oleh Rani padanya
“Kok kamu sudah pulang, Mas. Mana kopernya?” tanya Rani saat Firman masuk ke dalam unit apartemen mereka. Padahal Firman baru kemarin berangkat ke luar kota. Dan waktu itu bilang kalau kemungkinan akan dinas selama seminggu. “Ada di mobil.” Firman menarik nafas. Bohong untuk yang kesekian. “Mas....” Rani mengambil jeda.” Aku hamil,” lanjutnya. Firman hanya tersenyum. Dia sudah mendengar dari Citra tadi pagi. “Kamu nggak kaget? Kamu nggak senang?” tanya Rani heran. Di benak Rani, seharusnya ekspresi Firman bahagia atau kaget. Lalu pria itu akan memeluknya, atau memberi hadiah lain yang selama ini diberikan saat mereka masih di Surabaya. Bukan datar seperti yang terlihat kini. Firman meraih tangan Rani dan menggenggamnya. “Tentu saja, Mas sangat senang. Yang penting kamu sehat,” lanjut Firman. Dia sendiri bingung harus bagaimana. Dia menyadarai, masalahnya akan kian menjadi rumit setelah ini. “Mas, Aku ingin pernikahan kita segera diurus sebelum aku mengabarkan berita bahagi
“Om Aryo, Tante Mirna?” Spontan Citra menghamburkan pelukan ke Bu Mirna, orang tua Rani. Citra sudah cukup akrab, karena saat SMA, dia sudah sering menginap di rumah Rani. “Kamu tinggal disini juga?” tanya Bu Mirna sambil mengamati belanjaan yang dibawa oleh Citra.“Saya mau ke tempat Rani, Tante. Mari...” Citra mempersilahkan Mirna dan Aryo setelah lift terbuka di lantai 7. Mereka ngobrol sangat akrab sambil temu kangen sepanjang jalan dari lift hingga depan unit apartemen Rani. Hingga Citra tak sempat memikiran apa yang terjadi setelah ini. Citra segera mendahului langkah kedua orang tua sahabatnya itu, begitu tiba di depan pintu. Dia lalu memencet bel dan mempersilahkan satpam meninggalkan mereka. “Ayah?! Ibu?!” Firman yang membuka pintu, refleks kaget melihat Ayah dan ibunya Rani sudah berdiri di depan pintu, bersama Citra. “Ayah sama Ibu memang mau ngasih kejutan,” kata Pak Aryo sambil menepuk pundak Firman.Firman masih berdiri mematung, tak percaya, saat kedua mertuanya
“Om, Tante, saya pamit.” Citra berpamitan usai membereskan perkakas dapur di apartemen Rani. Dia sudah bersiap pulang setelah pamit dengan Rani. Tak lupa, diam-diam sebuah tatapan sinis ditujukan pada Firman yang hanya mampu tertunduk. “Makasih, ya, Citra. Kapan-kapan Om dan Tante berkunjung ke rumahmu ya,“ ucap Bu Mirna, sambil menemani Citra sampai pintu. "Siap, Tante," sahut Citra. Dia tak mau menimbulkan kecurigaan jika menolaknya. Apalagi, dulunya mereka sangat akrab. “Salam buat suamimu,” seru Pak Aryo sambil melambaikan tangannya. "Insyaalloh, nanti saya sampaikan, Om." Mendengar kata-kata Pak Aryo, sontak membuat tenggorokan Firman tercekat. Apa jadinya kalau orang tua Rani mengetahui bahwa suami Citra adalah dirinya? Citra tersenyum, meski harus sekuat tenaga menyembunyikan rasa masam di hatinya. Sekilas dia melirik Firman yang juga turut mengantarnya ke depan pintu bersama mertuanya, dan dia hanya dapat tertunduk. ***ETW***Sore itu, Citra sengaja mengajak Rio belanj
“Mas, apa kamu menyembunyikan sesuatu dariku?” tanya Rani saat mereka dalam perjalanan pulang. Sejak peristiwa tadi, Firman hanya terdiam, tak mengeluarkan sepatah kata pun. “Oh,” jawab Firman pendek. Firman tak tahu harus berkata apa. Kebohongannya sudah bertumpuk-tumpuk. Entah sampai kapan semua itu harus berakhir.“Tentang anak tadi?” tanya Rani penasaran. “Bisa jadi dia salah orang 'kan?” ujar Firman tanpa menoleh ke Rani. Pandangan Firman tetap lurus ke depan. Dia tak mau menimbulkan kecurigaan, namun tak tahu harus menjawab bagaimana. Rani hanya mendesah. Mereka kembali dalam kebisuan. Tapi, hati kecil Rani berkata, ada yang tidak beres. [Cit, kok aku merasa ada yang aneh dari Mas Firman, ya?] Rani akhirnya memutuskan mengirim pesan ke sahabatnya. [Jangan banyak berprasangka. Kamu kan lagi hamil. Selalu berfikir positif, ya.] Jawaban Citra masuk ke ponsel Rani setelah sekian menit menunggu. Rani mengangguk setuju. Bisa jadi, dia hanya terbawa perasaan, karena kondisinya
“Jadi benar, Firman suamimu adalah sama dengan Firman suami Rani?” ulang Bu Mirna. Tiba-tiba Bu Mirna teringat, sebelum berangkat ke rumah Citra, dia sudah mengajak Firman dan Rani. Anehnya Firman bersikeras tidak mau ikut ke rumah Citra dengan alasan Rani butuh istirahat. Dan Rani pun seperti menurut saja. Padahal, Citra adalah sahabat dekat Rani.Citra mengangguk lesu. “Sebentar…sebentar….”Mama Firman ikut mendekat ke Citra. Mama Firman mengambil duduk di sebelah Citra. Belum hilang rasa penasarannya. Antara percaya dan tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.“Coba Citra, jelaskan apa yang baru saja kamu katakan!” tukas Mama Firman tidak sabar. “Maafkan Citra, Tante, Ma. Bukan maksudnya Citra menutupi semua ini. Tapi, Citra hanya berharap Mas Firman lah yang mengatakannya. Bukan dari Citra,” jawab Citra. Sudah tak ada air mata yang keluar. Rasanya sudah tak berguna tenggelam dalam kesedihan. Biarlah Firman yang akan memutuskan. “Anak kurang ajar!” suara Papa Firman