Setelah menidurkan anak-anak, Citra masih melihat Firman duduk di depan TV. Setiap melihat Firman, denyut jantungnya seperti terpompa lebih cepat. Ada rasa gusar dan marah. Tapi semuanya tak bisa diungkapkan.
Mungkin, terlalu sakit luka yang tertoreh. Tak pernah sedikitpun terbersit Firman akan mengkianatinya. Laki-laki yang dulu sangat di cintainya. Seorang ayah yang sangat sayang kepada anak-anaknya. Sepertinya, semua itu hanya akan tinggal kenangan.
“Mas, pergi temui Rani. Kamu sudah menghancurkan hidupku. Janganlah kamu hancurkan hidup Rani,” kata Citra lirih penuh penekanan.
Hati Citra berkata, sepertinya lebih baik dia tak melihat Firman di rumah ini. Itu jauh lebih baik bagi emosinya. Dibandingkan melihatnya hanya akan menambah luka hatinya. Bayangan Firman bersama Rani pun semakin membuatnya terasa nyeri.
Firman menatap ke arah Citra. Tapi, Citra segera berpaling dan bergegas pergi menjauhinya.
“Dik, Mas ngga akan pergi sebelum kamu maafkan.” Firman sudah berdiri di belakang Citra.
Firman berusaha memberanikan diri memeluk Citra. Ada perasaan rindu yang menggebu. Tetapi, sering kalah dengan rasa bersalahnya.
Citra segera menepiskan tangan Firman yang berusaha meraihnya.
“Sudah kukatakan, aku memaafkanmu. Temui Rani. Atau kamu tak akan menemuiku lagi selamanya,” ancam Citra.
Citra menatap tajam Firman sejenak. Lalu membuang pandangannya ke arah lain.
Firman terkesiap. Citra sama sekali tak pernah bicara keras kepadanya. Apalagi menatapnya dengan tatapan mengintimidasi seperti itu. Meskipun Citra adalah pribadi yang mandiri, tapi dia selalu lembut dan manja.
Firman masih diam mematung.
“Baiklah. Kalau kamu ngga mau menemui Rani sekarang. Biarlah aku suruh dia datang kemari dan tidur danganmu di rumah ini,” teriak Citra.
Citra tak dapat membendung air matanya. Dengan kasar diraihnya ponselnya di nakas dan memencet nomor Rani.
Sigap Firman merebut ponsel itu sebelum nada sambung terdengar. Lalu melemparnya ke kasur.
“Baik, aku pergi!”
Brakkkk
Firman meninggalkan kamar dengan membanting kasar pintu itu. Itu adalah kekasaran pertama yang pernah dia lakukan.
Firman tidak menuju ke apartemen di mana Rani menginap. Dia memilih menenangkan diri di hotel. Pikirannya kacau. Kalut.
Sejak Citra mengetahui hubungannya dengan Rani, Firman sudah tak memaafkan dirinya sendiri. Dia tak ingin menyentuh Rani hingga Citra mau kembali padanya lagi. Rasa bersalah kepada Citra yang begitu besar membuatnya menjadi tak menginginkan Rani.
Tapi, bagaimana bisa? Ini pasti akan sangat melukai Rani. Gadis yang sangat memimpikan pernikahan yang sempurna. Akankah impian itu akan hancur karena ulah Firman.
Firman merutuki dirinya yang bodoh. Bodoh karena terbuai nafsu sesaat sehingga tak pernah berfikir jauh. Tak pernah terfikir maghligai rumah tangga yang enam tahun dibangun hancur berantakan karena ulahnya. Tak pernah berfikir orang tuanya, orang tua Citra, orang tua Rani, bahkan anak-anaknya yang mungkin akan terluka karena kebodohannya.
Firman termenung dalam diam. Siapa yang bisa membantu menjernihkan otaknya. Tidak mungkin dia menceritakan ini kepada kedua orang tuanya. Orang tuanya sangat menyayangi Citra. Apalagi orang tua Citra, sangat mempercayainya akan dapat membahagiakan Citra. Namun kini? Semua telah hancur.
***ETW***
Pagi-pagi, Firman bergegas kembali ke rumahnya. Istana yang dia bangun bersama Citra. Kini, dia bisa merasakan kerinduan yang nyata. Kerinduan kepada anak-anaknya. Padahal baru beberapa jam dia tinggalkan.
“Ayah lembur?” tanya Rio saat menyambutnya di pintu rumah.
Firman langsung menghaburkan pelukannya ke anak sulungnya. Sulung yang baru berusia 5 tahun pun sudah mengerti lembur. Pasti, Citra yang sangat pintarlah yang mengajarkan anaknya untuk memahami papanya. Hanya papa yang bodoh yang menyalah gunakan pemahaman anaknya. Tiba-tiba hati Firman merasa perih kembali.
“Mama mana?” pertanyaan itu refleks muncul dari mulut Firman. Itu adalah pertanyaan pertama yang selalu dia ucapkan Ketika masuk rumah. Kini terasa menyakitkan. Menyakitkan karena sambutan Citra sudah tak sehangat dulu.
Dulu, setiap mendengar suara mobil Firman, Citra akan tergopoh-gopoh mendekat dengan Rara di gendongannya. Menghambur pelukan. Tapi sejak pengkianatan itu terkuak, tak ada pelukan dari Citra. Kadang Citra bersandiwara memeluknya jika anak-anak sudah bertanya, tapi dingin dan sekedarnya saja. Semua terasa hambar. Firman sangat merindukan semuanya.
“Mama lagi main sama Dik Romi dan Dik Rara,” jawab Rio sambil berlari ke dalam. Bergabung dengan kedua adiknya yang sedang bermain lego di ruang tivi.
Firman segera duduk di antara anak-anaknya. Romi dan Rara yang mengetahui kehadiran papanya langsung mendekat.
“Cuci tangan dulu, Mas,” seru Citra terdengar ketus. Dulu kata-kata itu meskipun ketus tapi terdengar lembut. Firman memang selalu ceroboh. Datang dari luar tidak cuci tangan dulu, tapi langsung memegang anak-anak karena sangat merindukannya.
Ah, Firman mendesah. Semoga kebahagiaan bersama anak-anak dan Citra tak kan pernah berakhir. Aku akan mempertahankannya, sampai kapanpun.
“Kalau kamu capek, biar aku yang mengantarkan Rani ke bandara. Istirahatlah.”
Kata-kata Citra terdengar menyindirnya. Tapi, Firman jujur sangat senang dengan tawaran Citra. Dia akan lebih memilih bersama anak-anak dirumah hari ini. Firman tak ingin membiarkan hari ini segera berlalu.
***ETW***
“Makasih, ya, kamu mau repot nganter aku. Sebenarnya aku bisa saja pesan taksi,” kata Rani begitu Citra sampai dalam apartmennya.
“Suamimu lembur lagi?” tanya Citra menyelidik. Dia ingin tahu, sebohong apa Firman ke Rani.
“Heem. Dia semalam katanya lembur di kantor. Aku tak biasa menganggunya saat dia bekerja. Ngga papa. Yang penting aku bisa ketemu sama kamu,” jawab Rani.
Ah, Rani. Kamu masih seperti yang dulu. Polos dan selalu berprasangka baik. Apakah karena kesamaan itu, kita dulu menjadi dekat. Dan kini, terperangkap cinta lelaki yang sama. Lelaki yang memanfaatkan kepolosan dan prasangka kita. Betapa naifnya kita, Ran. Batin Citra.
“Cit, apa kamu bisa tolong aku?” tanya Rani sesaat sebelum mereka berpisah di area bandara. Rani menatap Citra dalam-dalam.
“Tentang?”
“Sebenarnya, aku tidak mau melibatkanmu. Tapi aku tak tahu siapa yang bisa aku mintai tolong.” Rani melanjutkan. Pikirannya masih menerawang tentang benda-benda di kamarnya yang terlihat aneh. Seperti apartemen baru ditinggali.
“Aku penasaran, Mas Firman sepertinya tidak tinggal di situ. Lalu, di mana dia tinggal sebenarnya. Kenapa dia tidak mengajakku ke tempat tinggalnya? Bukankah aku istrinya?” lanjut Rani penuh curiga.
“Hilangkan pikiran burukmu,” hibur Citra. “Sekarang katakan padaku, apa yang bisa kubantu,” tanya Citra kemudian.
“Aku kasih nomer Mas Firman. Tolong kamu cari tahu siapa dia sebenarnya. Demi aku, Citra. Berjanjilah kamu bersedia.” Rani menatap Citra penuh harap.
“Baik. Aku janji!” jawab Citra sambil memeluk erat sahabatnya.
Ada luka di sana. Perih rasanya. Tapi demi kebahagiaan sahabatnya, dia harus berfikir keras bagaimana caranya memberitaukan ke Rani tanpa membuatnya sakit. Sesakit yang dirasakannya.
Pagi itu, Citra menjadi kurang fokus pada pekerjaannya. Pikirannya menggembara, mencari strategi bagaimana dia harus mengatakan siapa Firman sesungguhnya pada Rani. Citra menghela nafas. “Sepertinya aku harus segera mengambil keputusan, sebelum Rani tahu semuanya,” batin Citra. Ibu muda itu tak ingin sahabatnya merasakan sakit hati, seperti yang dirasakannya. Wanita manapun, pasti tak mau hatinya diduakan. Baik dia sebagai istri pertama, maupun istri kedua. Mendadak, nada panggilan masuk ke ponsel Citra. Meski tak biasa menerima panggilan saat jam kerja, pagi itu melihat nama Rani tertera di layar, Citra segera bangkit. Dia keluar ruangan sejenak, mencari tempat yang agak sepi untuk menerima panggilan telepon. “Citra, akhirnya benar katamu. Sepertinya kamu nggak perlu repot mencari tahu tentang Mas Firman. Lusa, aku pindah tugas ke Jakarta. Aku dapat mutasi ke kantor pusat di Jakarta.” Suara Rani dari seberang telepon terdengar ceria, namun, sontak membuat Citra ternganga. P
Mata Firman membulat. Apa? Rani pindah ke Jakarta? Bahkan dia belum mengetahui berita ini. Apa Rani sengaja menyembunyikan rencana ini? pikir Firman. Kadang wanita penuh kejutan. Mereka sulit ditebak. “Dua hari lagi dia akan datang. Kembalilah engkau padanya. Dia lebih membutuhkanmu,” lanjut Citra. Seketika Firman merasakan lututnya lemas. Dia luruh terjatuh di lantai. Pandangannya kosong. “Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan,” desis Firman lirih nyaris tak terdengar. Kepalanya menunduk. Bahkan tangannya mengacak rambutnya karena tak tahu harus berbuat apa. Dengan gerak cepat, Citra segera menyelesaikan mengemas barang-barang Firman, lalu ia menutup koper tersebut. “Sekarang kamu pilih, Mas. Aku atau kamu yang pergi!” seru Citra. Citra makin mantap untuk berpisah. Tak ada gunanya dipertahankan. Bahkan berbicara saja rasanya enggan. Sejak peristiwa pengkianatan itu tersingkap, Citra merasa tak ada upaya dari Firman untuk berbicara baik-baik dengannya. Tak pernah ada pembi
Firman masih diam mematung di kamarnya, ketika bel apartemennya berbunyi. Mungkin hanya pengelola apartemen, batinnya. Karena hanya mereka yang bisa langsung naik hingga depan unitnya. Tamu yang tak punya kartu akses tak bisa langsung ke atas. Firman beranjak, bergegas membuka pintu.“KEJUTAN!” teriak Rani. Wanita muda itu sudah berdiri di depan pintu membawa dua buah koper besar dengan kedua tangan terentang siap memeluknya.Mata Firman terbelalak. Tak menyangka, secepat itu istri mudanya datang. Untungnya Citra segera menyuruhnya pergi. Jika tidak? Bagaimana kalau Rani sampai tahu sebenarnya dia tak tinggal di tempat itu. “Aku pindah Jakarta, Mas. Aku bahagia akhirnya bisa bersamamu!” Rani memeluk Firman yang masih mematung. “Kenapa? Kamu kaget ya?” tanya Rani sambil mendorong kopernya masuk ke dalam. Firman masih seperti bangun dari mimpi. Berkali-kali dia mengerjap, namun kemudian dia tersadar dan membantu Rani memasukkan barangnya ke apartemen. “Aku sengaja nggak ngabarin ka
Kepala Firman berdenyut. Sedangkan masalahnya dengan Citra saja belum dia tuntaskan. Mengurus dokumen pernikahan kedua, bukanlah hal mudah. Bahkan berlipat-lipat rumitnya. Dan itu tak pernah terbayangkan oleh Firman sebelumnya. Dia terlalu larut oleh kenyamanan semu yang selama ini diperoleh dari Rani. Kalau boleh memilih, tentu Firman akan mempertahankan Citra. Wanita yang teramat dicintainya. Selain cinta pertamanya, Citra sudah berkorban mendampinginya dari dia belum siapa-siapa. Cita pula yang selama ini menghadirkan kebahagiaan, yang telah memberinya tiga anak-anak yang lucu dan pintar. Hanya kebodohannyalah yang menghancurkan semuanya. Tapi, Firman pun tidak bisa begitu saja meninggalkan Rani. Gadis cerdas dengan karir gemilang yang begitu penuh harap mendapatkan jodoh yang diimpikannya. Dengan karirnya yang bersinar, hanya pria mapan yang berani mendekatinya. Dan Firman melakukan kesalahan besar untuk itu. “Mas, kamu kok malah melamun?” tanya Rani. Dia sedikit heran dengan
Setiba di apartemen, Firman segera membuka koper dan memasukkan baju-bajunya.“Mau ke mana, Mas?” tanya Rani yang baru keluar dari kamar mandi. Wanita itu menatap Firman dengan tatapan keheranan.“Ada pekerjaan,” jawab Firman singkat. Dalam hati dia mendesah. Mengapa hidupku penuh dengan kebohongan. Beginikah akibat dari pengkianatan. “Mendadak sekali....” timpal Rani seraya tak lepas menatap setiap gerakan firman. Padahal dirinya baru tiba kemarin dari Surabaya, dan besok adalah hari pertamanya kerja. Jakarta adalah kota baru baginya. Meskipun taksi online mudah dipesan. Tapi, tetap saja ditinggal sendiri bukan hal yang diharapkan. “Berapa hari, Mas? Kok bawa baju banyak banget?” tanya Rani penasaran. Biasanya yang Rani lihat sewaktu di Surabaya, Firman hanya membawa beberapa potong baju setiap datang ke sana. Sejenak Fiman berfikir, lalu menjawab, “Mungkin seminggu.”Bahkan, dia tak tahu tepatnya berapa lama akan pergi. Karena, papa dan mamanya kadang tidak dapat ditebak keingin
[Citra, ini hari pertamaku bekerja. Apakah kamu bisa membagi lokasi kantormu? Siapa tahu kita bisa makan siang bersama.] Rani mengirimkan pesan singkat kepada Citra. Menjadi pegawai baru di kota yang asing bagi Rani memang tidak lah mudah. Citra adalah satu-satunya sahabat yang dia miliki di kota itu, selain suaminya, Firman. Sayangnya, jika Firman sedang sibuk dengan pekerjaannya, ponselnya selalu dimatikan. Sehingga Rani merasa kesepian. [Kamu nggak makan siang sama Mas Firman?] pancing Citra. Citra penasaran, kira-kira apa alasan yang diberikan ke Rani ketika Firman menghabiskan waktu di rumahnya. [Mas Firman sedang di luar kota, Cit.] Sebuah balasan dari Rani, membuat Citra menghela nafas. Ah, kasihan kamu, Rani. Bahkan, di hari bahagiamu ada di Jakarta, suamimu harus membohongimu, gumam Citra. [Maaf Rani, aku hari ini ada meeting. Besok aja ya. Aku janji] balas Citra. Dia masih belum ingin bertemu Rani. Paling tidak untuk saat itu. Dia tak ingin bangkai itu tercium sebelum
“Kenapa kamu tidak telpon, Firman?” tanya Citra setelah mereka kembali ke unit apartemen Rani. Dengan telaten, Citra menyuruh Rani segera istirahat di ranjangnya. Sesuai pesan dokter, sahabatnya itu harus bedrest. “Mas Firman selalu mematikan ponselnya saat dia bekerja,” tukas Rani. Hidup hampir lima bulan LDR membuatnya terbiasa dengan kehidupan terpisah. Apalagi dia sudah mengetahui kebiasaan Firman, dan Rani cukup memakluminya. Citra menaikkan satu alisnya. Ada hal aneh dengan jawaban Rani. Dia tak percaya jika Firman, yang juga suaminya itu, menon-aktifkan ponsel selama bekerja. Karena selama ini, ia bebas menelpon kapan saja, termasuk jam kerja, meski hal itu jarang dilakukannya. Justru, kini timbul kecurigaan lain. Apakah nomer yang dimiliki Rani berbeda dengan yang dimiliki Citra? “Tapi, ini sudah malam. Memangnya suamimu selalu bekerja sampai larut malam?” Citra ingin menelisik lebih jauh. Diam-diam, Citra mengecek nomer Firman yang pernah diberikan oleh Rani padanya
“Kok kamu sudah pulang, Mas. Mana kopernya?” tanya Rani saat Firman masuk ke dalam unit apartemen mereka. Padahal Firman baru kemarin berangkat ke luar kota. Dan waktu itu bilang kalau kemungkinan akan dinas selama seminggu. “Ada di mobil.” Firman menarik nafas. Bohong untuk yang kesekian. “Mas....” Rani mengambil jeda.” Aku hamil,” lanjutnya. Firman hanya tersenyum. Dia sudah mendengar dari Citra tadi pagi. “Kamu nggak kaget? Kamu nggak senang?” tanya Rani heran. Di benak Rani, seharusnya ekspresi Firman bahagia atau kaget. Lalu pria itu akan memeluknya, atau memberi hadiah lain yang selama ini diberikan saat mereka masih di Surabaya. Bukan datar seperti yang terlihat kini. Firman meraih tangan Rani dan menggenggamnya. “Tentu saja, Mas sangat senang. Yang penting kamu sehat,” lanjut Firman. Dia sendiri bingung harus bagaimana. Dia menyadarai, masalahnya akan kian menjadi rumit setelah ini. “Mas, Aku ingin pernikahan kita segera diurus sebelum aku mengabarkan berita bahagi