Citra yang duduknya berhadapan dengan Rani, segera menoleh ke belakang mengikuti arah Rani melihat.
Seketika mata Citra langsung membulat sempurna.
Begitu juga Firman. Pria itu tak menyangka Citra, istrinya, ada di Surabaya.
“Citra!” Citra mengulurkan tangannya sambil tersenyum menyebutkan namanya, seolah tidak mengenal Firman.
Firman ragu melihat uluran tangan itu. Namun, demi menutupi fakta yang sesungguhnya di depan Rani, terpaksa dia menerima uluran tangan singkat itu.
“Mas, ini Citra sahabatku SMA.”
Bak disambar petir mendengar ucapan Rani. Mata Firman seketika membulat, lalu segera mencoba mengendalikan diri. Firman segera menunduk, tak berani menatap Citra lebih lama. Gemuruh di dadanya tak karuan. Degup jantungnya menjadi tak menentu. Rasa bersalah dan malu pada istrinya, bercampur menjadi satu.
Bersamaan dengan itu, Rani pindah posisi duduk, mendekat ke Citra. Kini, kedua istrinya duduk bersebelahan, membuat denyut jantung Firman semakin tak karuan.
Sedang Citra berlaku sebaliknya. Meski hatinya hancur, tapi mata wanita itu tajam menatap pada Firman. Lelaki yang sudah bertahun didampinginya, dari bukan siapa-siapa. Dan kini, setelah sedikit saja menjadi orang, nyatanya telah berani bermain api di belakangnya.
“Ohya, Rani. Aku naik pesawat jam enam. Jadi, mesti buru-buru ke bandara. Aku duluan, ya.” Citra berucap dengan suara bergetar, menahan luka yang menganga.
“Citra, kami antar, ya. Ya, Mas?” Rani yang berbahagia, dapat memamerkan punya suami pada sahabatnya ini, tak segan memberi tawaran, sekaligus memohon pada suaminya agar bersedia mengantar sahabatnya ke bandara.
Firman tergagap. Ia ingung antara menghiyakan atau menolak. Posisinya sungguh sulit.
“Ngga usah, Rani. Aku sudah pesan taksi. Sampai ketemu lagi ya.” Citra setengah berlari kecil menuju lift setelah memberikan pelukan pada sahabatnya. Hatinya sudah hancur. Air matanya pun tak kuasa terbendung.
Dia menolak karena sudah tak tahan lagi. Tak mungkin dia akan bersama Firman dan Rani lebih lama lagi. Apalagi, Rani tampak sangat bahagia.
Di dalam taksi menuju bandara, pikiran Citra berkelana tak tentu arah. Salah apa dia dengan Firman hingga suaminya itu dengan tega mengkianatinya. Tragisnya, dengan sahabatnya sendiri.
Apa yang kurang dari Citra? Apakah dia kurang baik dalam melayani Firman?
Citra menggeleng. Selama ini, kehidupan mereka baik-baik saja. Setiap ada pertengkaran, hanya pertengkaran kecil yang tak berarti. Semua akan selesai dengan pelukan hangat dan saling memaafkan. Lalu mengapa Firman berpaling?
Sampai di Jakarta, Citra segera membersihkan diri. Anak-anak sudah tertidur pulas. Besok adalah jadwal Firman kembali ke Jakarta. Citra harus sudah bisa berfikir jernih dan tidak mengedepankan emosi. Saat ini, yang dipikirkan Citra adalah nasib ke tiga buah hatinya.
"Aku tak boleh rapuh," desis Citra.
Malam semakin larut, Citra pun tak dapat memicingkan mata. Bulir bening di matanya tak jua berhenti mengalir. Bayangan Firman dan Rani masih tampak jelas di pelupuk mata.
"Kenapa harus Rani? Kenapa?" tanya Citra dalam hati.
"Mas Firman, apa yang kamu inginkan sesungguhnya, Mas? Apakah kamu selama ini tak bahagia denganku? Atau sebenarnya kamu tidak mencintaiku?" desis Citra lagi.
Citra menggeleng.
Semuanya seperti hanya mimpi. Bukan nyata. Kegembiraannya bertemu teman lama, justru membawanya melihat kenyataan yang sama sekali di luar dugaan.
***ETW***
Rani sudah tertidur pulas. Namun mata Firman tak juga terpejam. Pikirannya sibuk menyiapkan apa yang akan dikatakan esok kepada Citra. Alasan apa yang bisa dia sampaikan? Khilaf? Apa benar khilaf? Terlalu klise!
Ada penyesalan dalam lubuk hati Firman. Tapi semuanya sudah terlanjur. Bahkan, Firman pun belum sanggup mengatakan yang sesungguhnya kepada Rani. Terlebih orang tua Rani.
Ini memang sebuah kesalahan. Tapi bagaimana ia dapat memperbaikinya?
Apa yang harus Firman katakan nanti, kepada orangtua Citra, kepada orang tuanya tentang status barunya. Penyesalan pun tiada berarti.
Akankah Citra menerima Rani? Ataukan Citra akan menerima maafnya? Berbagai kemungkinan memenuhi otak Firman.
“Mas, bangun. Sudah pagi. Kamu harus berangkat dengan penerbangan pertama kan?” Rani menggoyang-goyang bahu Firman. Pria itu tertidur kala pagi hampir menyapa, sehingga membuatnya bangun kesiangan.
Firman segera beranjak ke kamar mandi. Pikirannya masih dipenuhi hal-hal yang meresahkan. Tak pernah dia merasakan seresah ini. Dia sangat mengkawatirkan penerimaan Citra setiba di Jakarta nanti.
“Kamu kenapa, Mas? Kok seperti ngga senang mau balik ke Jakarta? Mau besok aja balik Jakarta?” goda Rani.
Rani tentu saja masih ingin bersama Firman lebih lama. Kalau tidak kerja, rasanya ingin ikut Firman ke Jakarta.
“Mas, boleh ngga akhir pekan ini aku yang ke Jakarta? Aku juga ingin jalan-jalan dan nginep di rumahmu,” kata Rani saat mengantar Firman ke bandara.
“Mas, kok diem aja.” Rani menyenggol lengan Firman.
“Eh—Iya boleh. Nanti Mas atur,” jawab Firman tergagap. Sepertinya Firman harus menyiapkan apartemen jika sewaktu-waktu Rani memaksa datang ke Jakarta. Tidak mungkin diajak menginap di rumahnya atau di hotel.
Tapi yang terpenting sekarang adalah, bagaimana dia harus berbicara dengan Citra, dan mengambil hati Citra kembali, pikirnya.
Mobil yang membawa Firman dari Bandara Soekarno-Hatta sudah tiba di depan rumah Firman. Rumah di daerah penyangga Jakarta. Rumah yang dibangun dengan keringatnya bersama Citra. Tak ada arti apa-apa Firman tanpa Citra.
“Papa pulang!” teriak Rio dan Romi sambil menghambur ke luar rumah. Anak-anak yang berumur 5 dan 3 tahun ini memang sedang aktif-aktifnya.
Firman segera membentangkan tangannya dan memeluk kedua buah hatinya.
“Adik Rara mana?” tanya Firman sambil menciumi kedua putranya.
“Lagi sama Mama,” jawab Rio sambil berlarian masuk kembali ke rumah.
Jantung Firman bergemuruh saat dia melangkah masuk ke dalam rumah. Dia sudah membayangkan bagaimana Citra akan marah kepadanya.
Dipindainya dalam rumah. Tidak ada Citra di ruang tamu, ruang tengah ataupun ruang makan. Firman bergegas ke kamarnya sambil membawa kopernya.
Kosong!
Firman menghela nafasnya. Mempersiapkan mentalnya untuk bicara dengan Citra. Wanita yang sepanjang hidupnya setia padanya, tak pernah sedikitpun membuatnya marah dan kesal. Tapi kini, dia telah menyakitinya, di depan mata kepalanya.
Firman beranjak ke kamar Rara. Dibukanya pintu kamar itu perlahan. Jantungnya bergemuruh saat dilihatnya ada Citra di sana sedang duduk dikursi membelakanginya. Menghadap ke jendela besar yang menghadap ke luar. Tentu saja, Citra pasti sudah tau kedatangannya. Dari jendela itu, Citra bisa melihat lalu lalang di depan rumahnya.
Pelan-pelan Firman berjalan mendekati Citra.
“Dik, “ panggil Firman.
Citra tak bergeming. Air mata Citra belum juga berhenti menetes.
Sejak pagi memang dia memutuskan mengurung diri di kamar Rara dan meminta Mbak Susi, pengasuh Rio dan Romi, untuk mengajak anak-anak bermain tanpa mengganggunya.
Citra ingin sendiri. Hanya Rara yang ada dipelukannya.
“Dik, Mas minta maaf,” bisik Firman sambil membungkukkan badannya, mendekap tubuh Citra dari belakang.
Rara yang sedang menyusu, langsung bangun begitu melihat Papanya. Tangan Rara mengapai-gapai papanya seperti minta digendong. Rara serta-merta terkekeh begitu melihat papanya melepas rengkuhan ke mamanya dan menyambut gapaian tangannya.
Citra tetap bergeming. Pandangannya masih kosong ke luar jendela.
Firman dibuat salah tingkah melihat Citra yang hanya berdiam. Biasanya, istrinya itu selalu hangat menyambut kedatangannya, meski selama ini, diam-diam dia telah berkhianat.
Hingga malam menjelang, Citra masih saja belum mengucapkan sepatah kata pun pada Firman. Lidahnya masih kelu. Citra hanya berbicara ke anak-anak, seperti tidak terjadi apa-apa. Tapi, tidak ke Firman.
“Dik, kamu ngga tidur di kamar?” tanya Firman saat sudah larut malam, Citra masih di kamar Rara. Hati Firman sangat pedih.
Jika ingin memilih, sepertinya lebih baik Citra memarahinya, memakinya, dibandingkan didiamkan seperti ini. Citra yang biasanya periang dan cerewet, tiba-tiba berubah menjadi dingin.
Firman duduk di tepi ranjang milik Rara, di mana Citra terbaring membelakanginya sambil memeluk Rara. Diraihnya jemari tangan Citra. Wanita itu tak menepisnya, tapi juga tidak menyambutnya.
Citra seperti sudah mati.
“Dik, Mas minta maaf.” Diciumnya jemari tangan itu.
Air mata Firman pun tak kuasa dibendung. Menetes hingga terjatuh membasahi selimut yang menutupi tubuh Citra. Namun Citra bergeming.
***ETW***
Saat pagi menjelang, Citra terbangun. Dan Firman masih tertidur dengan posisi duduk di lantai dan kelapa menyandar di kasur.
Pelan-pelan Citra beranjak dari kamar Rara.
Seperti biasa, Citra segera menunaikan tugas rumah tangganya dari pagi buta, termasuk menyiapkan perlengkapan kerja Firman. Lalu, semua hal di rumah itu berjalan normal, seperti tak terjadi apa-apa.
"Papa masih capek, ya, Ma?" Begitu Rio dan Romi bertanya. Mereka sudah paham kalau kadang ada saat Papanya tidak bisa diganggu.
Firman pun terbangun saat matahari menyoroti dalam kamar, dan terdengar suara rengekan Rara.
Pria itu memindai sekitar setelah mengerjap. Tak ada Citra di kamar. Hanya bayi mungil itu yang mulai tak nyaman karena hari telah siang.
Segera Firman meraih Rara dalam gendongan dan membawanya turun untuk mencari Citra.
“Mbok, Bu Citra mana?” tanya Firman ke Mbok Sumi, asisten rumah tangganya.
“Sudah berangkat barusan, sama anak-anak,” jawab Mbok Sumi sambil meraih Rara untuk segera dimandikan.
Firman menghela nafas.
Sakit sekali rasanya didiamkan oleh Citra. Baru kali ini dalam hidupnya dia tidak dianggap.
[Mas, Sabtu ini aku jadi ke Jakarta, ya. Aku sudah pesan tiket. Antar aku ketemu Citra, ya!].
[Weekend ini aku ke Jakarta, lho. Kita ketemuan, ya.] Sebuah pesan masuk ke ponsel Citra.Citra hanya mengernyit. Tidak ada namanya. Tepatnya, Citra belum menyimpan nomor kontak itu.Citra memilih memasukkan kembali ponsel itu ke dalam laci meja kerjanya. Tak ada niat membalasnya segera. Pekerjaan kantornya yang menumpuk, membuatnya melupakan segala masalahnya. Dan Citra sangat bersyukur dengan hal ini. Karena membuatnya tidak tenggelam dalam emosi. Sayangnya, saat dia memasuki rumah, emosinya kembali terkuras. Melihat anak-anak yang ceria, membuat dia teringat masa-masa bahagianya bersama Firman, yang kini hancur dalam sekejap.Menjelang tidur, Citra membuka kembali ponselnya yang sejak siang tadi hanya berada di tas kerjanya. Dilihatnya berderet notifikasi pesan singkat disana. [Hei, nggak dibales, sih. Ini Rani.] Pesan itu masuk beberapa saat setelah pesan yang pertama. [Aku boleh main ke rumahmu, kan? Aku ingin lihat keponakanku yang lucu-lucu.] Pesan berikutnya terbaca oleh
[Share loc, ya. Aku jemput!] Citra dengan semangat mengirimkan pesan ke Rani setelah duduk di belakang kemudi. Dia sudah terbiasa menyetir sendiri. Tak hanya mengantar anak-anak sekolah, namun juga belanja dan bekerja, selama ini sudah terbiasa dengan mobil sendiri.Hatinya sedikit lega karena Firman ada di rumah. Artinya tidak perlu energi untuk banyak bersandiwara di depan Rani. Meskipun tetap saja Citra mesti bersandiwara seolah-olah Firman suami Rani adalah Firman yang berbeda dengan suaminya. Citra melajukan mobilnya menuju apartemen Rani setelah memperoleh lokasi. Dia ingin mengorek banyak hal tentang hubungan Rani dan Firman. Seberapa lama Firman, yang dia pikir setia, telah mengkhianatinya. “Mana suamimu?” tanya Citra begitu masuk ke apartemen milik Rani penuh selidik. Pandangannya mengedar ke seluruh penjuru ruangan. Keningnya berkerut. Apartemen ini masih kosong!Dalam hati Citra berfikir keras. Jadi, Firman benar-benar tak punya tempat tinggal lain, selain rumah yang mer
Setelah menidurkan anak-anak, Citra masih melihat Firman duduk di depan TV. Setiap melihat Firman, denyut jantungnya seperti terpompa lebih cepat. Ada rasa gusar dan marah. Tapi semuanya tak bisa diungkapkan. Mungkin, terlalu sakit luka yang tertoreh. Tak pernah sedikitpun terbersit Firman akan mengkianatinya. Laki-laki yang dulu sangat di cintainya. Seorang ayah yang sangat sayang kepada anak-anaknya. Sepertinya, semua itu hanya akan tinggal kenangan. “Mas, pergi temui Rani. Kamu sudah menghancurkan hidupku. Janganlah kamu hancurkan hidup Rani,” kata Citra lirih penuh penekanan. Hati Citra berkata, sepertinya lebih baik dia tak melihat Firman di rumah ini. Itu jauh lebih baik bagi emosinya. Dibandingkan melihatnya hanya akan menambah luka hatinya. Bayangan Firman bersama Rani pun semakin membuatnya terasa nyeri. Firman menatap ke arah Citra. Tapi, Citra segera berpaling dan bergegas pergi menjauhinya. “Dik, Mas ngga akan pergi sebelum kamu maafkan.” Firman sudah berdiri di belak
Pagi itu, Citra menjadi kurang fokus pada pekerjaannya. Pikirannya menggembara, mencari strategi bagaimana dia harus mengatakan siapa Firman sesungguhnya pada Rani. Citra menghela nafas. “Sepertinya aku harus segera mengambil keputusan, sebelum Rani tahu semuanya,” batin Citra. Ibu muda itu tak ingin sahabatnya merasakan sakit hati, seperti yang dirasakannya. Wanita manapun, pasti tak mau hatinya diduakan. Baik dia sebagai istri pertama, maupun istri kedua. Mendadak, nada panggilan masuk ke ponsel Citra. Meski tak biasa menerima panggilan saat jam kerja, pagi itu melihat nama Rani tertera di layar, Citra segera bangkit. Dia keluar ruangan sejenak, mencari tempat yang agak sepi untuk menerima panggilan telepon. “Citra, akhirnya benar katamu. Sepertinya kamu nggak perlu repot mencari tahu tentang Mas Firman. Lusa, aku pindah tugas ke Jakarta. Aku dapat mutasi ke kantor pusat di Jakarta.” Suara Rani dari seberang telepon terdengar ceria, namun, sontak membuat Citra ternganga. P
Mata Firman membulat. Apa? Rani pindah ke Jakarta? Bahkan dia belum mengetahui berita ini. Apa Rani sengaja menyembunyikan rencana ini? pikir Firman. Kadang wanita penuh kejutan. Mereka sulit ditebak. “Dua hari lagi dia akan datang. Kembalilah engkau padanya. Dia lebih membutuhkanmu,” lanjut Citra. Seketika Firman merasakan lututnya lemas. Dia luruh terjatuh di lantai. Pandangannya kosong. “Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan,” desis Firman lirih nyaris tak terdengar. Kepalanya menunduk. Bahkan tangannya mengacak rambutnya karena tak tahu harus berbuat apa. Dengan gerak cepat, Citra segera menyelesaikan mengemas barang-barang Firman, lalu ia menutup koper tersebut. “Sekarang kamu pilih, Mas. Aku atau kamu yang pergi!” seru Citra. Citra makin mantap untuk berpisah. Tak ada gunanya dipertahankan. Bahkan berbicara saja rasanya enggan. Sejak peristiwa pengkianatan itu tersingkap, Citra merasa tak ada upaya dari Firman untuk berbicara baik-baik dengannya. Tak pernah ada pembi
Firman masih diam mematung di kamarnya, ketika bel apartemennya berbunyi. Mungkin hanya pengelola apartemen, batinnya. Karena hanya mereka yang bisa langsung naik hingga depan unitnya. Tamu yang tak punya kartu akses tak bisa langsung ke atas. Firman beranjak, bergegas membuka pintu.“KEJUTAN!” teriak Rani. Wanita muda itu sudah berdiri di depan pintu membawa dua buah koper besar dengan kedua tangan terentang siap memeluknya.Mata Firman terbelalak. Tak menyangka, secepat itu istri mudanya datang. Untungnya Citra segera menyuruhnya pergi. Jika tidak? Bagaimana kalau Rani sampai tahu sebenarnya dia tak tinggal di tempat itu. “Aku pindah Jakarta, Mas. Aku bahagia akhirnya bisa bersamamu!” Rani memeluk Firman yang masih mematung. “Kenapa? Kamu kaget ya?” tanya Rani sambil mendorong kopernya masuk ke dalam. Firman masih seperti bangun dari mimpi. Berkali-kali dia mengerjap, namun kemudian dia tersadar dan membantu Rani memasukkan barangnya ke apartemen. “Aku sengaja nggak ngabarin ka
Kepala Firman berdenyut. Sedangkan masalahnya dengan Citra saja belum dia tuntaskan. Mengurus dokumen pernikahan kedua, bukanlah hal mudah. Bahkan berlipat-lipat rumitnya. Dan itu tak pernah terbayangkan oleh Firman sebelumnya. Dia terlalu larut oleh kenyamanan semu yang selama ini diperoleh dari Rani. Kalau boleh memilih, tentu Firman akan mempertahankan Citra. Wanita yang teramat dicintainya. Selain cinta pertamanya, Citra sudah berkorban mendampinginya dari dia belum siapa-siapa. Cita pula yang selama ini menghadirkan kebahagiaan, yang telah memberinya tiga anak-anak yang lucu dan pintar. Hanya kebodohannyalah yang menghancurkan semuanya. Tapi, Firman pun tidak bisa begitu saja meninggalkan Rani. Gadis cerdas dengan karir gemilang yang begitu penuh harap mendapatkan jodoh yang diimpikannya. Dengan karirnya yang bersinar, hanya pria mapan yang berani mendekatinya. Dan Firman melakukan kesalahan besar untuk itu. “Mas, kamu kok malah melamun?” tanya Rani. Dia sedikit heran dengan
Setiba di apartemen, Firman segera membuka koper dan memasukkan baju-bajunya.“Mau ke mana, Mas?” tanya Rani yang baru keluar dari kamar mandi. Wanita itu menatap Firman dengan tatapan keheranan.“Ada pekerjaan,” jawab Firman singkat. Dalam hati dia mendesah. Mengapa hidupku penuh dengan kebohongan. Beginikah akibat dari pengkianatan. “Mendadak sekali....” timpal Rani seraya tak lepas menatap setiap gerakan firman. Padahal dirinya baru tiba kemarin dari Surabaya, dan besok adalah hari pertamanya kerja. Jakarta adalah kota baru baginya. Meskipun taksi online mudah dipesan. Tapi, tetap saja ditinggal sendiri bukan hal yang diharapkan. “Berapa hari, Mas? Kok bawa baju banyak banget?” tanya Rani penasaran. Biasanya yang Rani lihat sewaktu di Surabaya, Firman hanya membawa beberapa potong baju setiap datang ke sana. Sejenak Fiman berfikir, lalu menjawab, “Mungkin seminggu.”Bahkan, dia tak tahu tepatnya berapa lama akan pergi. Karena, papa dan mamanya kadang tidak dapat ditebak keingin
Firman mendorong troly berisi koper miliknya dan juga koper kepunyaan papa dan mamanya. Pagi itu mereka sudah mendarat di bandara Schipol Amsterdam. Jam di bandara masih menunjukkan pukul tujuh pagi waktu Belanda. Ini adalah pertama kalinya Firman menginjakkan kaki di Belanda. Negeri dimana keempat anaknya dan mantan istrinya tinggal. Ada rasa ngilu menjalar di dadanya, bercampur dengan kerinduan. Ngilu mengingat kesalahannya yang berakibat hancurnya keluarga yang sudah sekian tahun dia bina bersama Citra. Hancur karena kesalahannya, terlena dengan kelembutan Citra. Tak dipungkirinya, setahun mereka berpisah, ada rindu yang menggelora dalam jiwanya. Rindu kepada Citra yang tak kan mungkin bisa kembali lagi. Rindu kepada ke empat anaknya, terutama Reva yang mungkin belum pernah merasakan belaian kasih sayangnya. “Man, itu adikmu di sebelah sana,” ujar Mama Firman saat melihat Farhan melambaikan tangan dari arah pintu keluar. Papa dan Mama Firman segera beranjak menghampiri Farha
“Aku minta maaf atas kejadian tadi,” kata Farhan usai Citra menidurkan anak-anaknya. Farhan mendekati Citra yang sudah duduk di sisi ranjang. Lalu ia duduk disebelahnya. “Kali ini, tolong dengarkan aku, Citra,” tukas Farhan lagi. Dipandanginya wajah istrinya yang tampak masih kecewa. “Han, sampai kapan kamu membenci Rani?” tanya Citra. Citra memang kadang lupa memanggil ‘mas’ ke Farhan, karena memang mereka dulu berteman dan mantan adik iparnya. Tapi, Farhan tak masalah. Citra memang perlu waktu untuk beradaptasi dengan kehidupan barunya setelah sepuluh tahun menganggapnya bukan siapa-siapa. “Aku tidak membenci Rani. Aku tidak suka dengan kelakuannya. Nih lihat!” Farhan mengangsurkan ponselnya ke Citra. Mata Citra membulat sempurna. Di gambar itu terlihat Rani sedang dibantu berjalan oleh Farhan. Tangannya merangkul ke pundak Farhan. Sedang Farhan memeluk pinggang Rani. Dan Rani menggunakan pakaian terbuka. Sangat berbeda dengan tampilan tadi saat berkunjung ke rumah mereka.
Farhan tidak habis mengerti dengan Citra. Jelas-jelas Rani menunjukkan gelagat yang kurang baik. Tapi, masih bisa-bisanya Citra selalu membelanya. Dalam banyak hal, Citra memang terlalu banyak berprasangka baik ke orang lain. Itu juga yang membuatnya terjatuh saat bersama Firman. Tak pernah sekalipun ada rasa curiga ke suaminya, hingga akhirnya Citra melihat dengan mata kepalanya sendiri kenyataan yang ada. Akhirnya, Farhan harus mengalah. Tak ada gunanya terus menerus berdebat dengan Citra. Ini masalah kecil. Tapi jadi rumit jika tidak segera diatasi. Farhan segera mengambil ponselnya. Lalu memblokir semua akses yang mengarah ke Rani. Tak lupa, ponsel Citra yang biasanya hanya diletakkan di ruang tamu, juga diblokkir aksesnya dengan sahabat istrinya itu. Farhan tak mau ada duri dalam daging dalam keluarganya. ***“Rani?! Sejak kapan kamu di sini?” tanya Citra yang baru pulang menjemput Romi. Dilihatnya Rani sedang berdiri di ambang pintu rumahnya. “Setengah jam yang lalu. Ponselm
“Ran, kamu turun sini ya. Tinggal lanjut naik kereta ke Amsterdam,” kata Citra saat mobil Farhan minggir di dekat stasiun Den haag. Farhan sama sekali tidak ada niat mengantarkan Rani. Toh dia juga sebenarnya tidak diajak, pikir Farhan. Bahkan, sepanjang perjalanan Farhan tidak berniat mengajak Rani bicara. Mereka sudah pulang dari Paris setelah menghabiskan akhir pekan di negeri Napoleon itu. Bagi Farhan, kehadiran Rani menghancurkan segala rencananya. Namun, tak ada gurat kecewa di wajah Citra. Wanita itu selalu saja merasa baik-baik saja. Bahkan, beberapa kali berusaha menghibur suaminya yang terus saja menunjukkan kekesalannya. Namun, kini Citra harus mengalah saat Farhan memutuskan untuk menurunkan Rani di depan stasiun. Farhan hanya tak mengerti. Sampai sebegitunya Citra harus mengorbankan perasaannya demi sahabatnya. Kadang Farhan berfikir dia tak salah memilih istri. Meski sudah punya empat anak, tapi hatinya bak bidadari. Tapi, kalau sudah berlebihan, dia tak tahan juga. K
Tok tok tok“Citra!”panggil Rani sambil mengetuk pintu kamar Citra dan Farhan. Hari sudah malam, tapi Rani belum juga dapat memicingkan matanya.“See?” ucap Farhan sambil menatap tajam ke Citra, seolah memberi isyarat bahwa apa mengajak Rani ke Paris adalah keputusan yang keliru. “Maaf,” tukas Citra dengan nada bersalah. Citra segera menyambar kimono tidurnya dan keluar kamar menemui Rani. “Ada apa Ran?” tanya Citra sambil menutup kembali pintu kamarnya. “Temeni aku, dong. Aku nggak bisa tidur,” kata Rani sambil menarik tangan Citra menuju kamarnya.Dulu saat masih SMA Citra dengan Rani memang akrab. Mereka sering menginap bersama dan cerita-cerita sampai mereka mengantuk. “Jadi, aku pengen melupakan masa laluku, Cit. Makanya aku bela-belain kuliah sampai sini. Aku pikir, aku tidak akan bertemu siapapun orang yang pernah kukenal. Taunya, malah ketemu kamu. Dunia sempit, ya!” ujar Rani. Rani lantas melanjutkan ceritanya mengenai studinya. Tentu saja bukan hal yang sulit bagi Rani
“Ayo sayang, kita berangkat sekarang,” kata Farhan sambil menggendong Reva. Lalu ia meletakkan bayi mungil itu ke car seat yang ada di baris ke dua mobilnya. Sedang Rio dan Romi sudah siap di bangku belakang. Tak lama, Rara pun ikut duduk di car seat sebelah Reva. Akhir pekan ini, seperti janji Farhan, dia akan mengajak Citra liburan ke Perancis. Negara yang tak jauh dari Belanda ini. Jarak Paris dari Den haag hanya memakan waktu empat jam perjalanan. Farhan sengaja berangkat pagi-pagi, agar ia dapat mengajak Citra dan anak-anaknya keliling di beberapa tempat tujuan wisata di kota Paris. Besoknya, mereka akan mengajak anak-anak ke Disneyland. “Tunggu!” Baru saja Farhan akan menjalankan mobilnya ketika sebuah panggilan dalam bahasa Indonesia mengagetkan mereka. “Rani?” Farhan dan Citra saling berpandangan. Mengapa Rani sudah berada di sini sepagi ini? Gumam Farhan. Dari mana dia tahu tempat tinggalnya? Apa Citra memberitahukannya? Citra segera keluar dari mobil untuk menghampiri
Setelah mendapatkan nomor Farhan, Rani tak tinggal diam. Berawal hanya menanyakan nama kantor dan alamat kantornya, akhirnya Rani berhasil mengajak Farhan makan siang. "Waktuku nggak banyak, Ran. Kalau kamu mau, kamu harus datang tepat waktu," ujar Farhan setelah beberapa kali menolak ajakan Rani. Tak perlu menyia-nyiakan kesempatan. Rani segera bergegas. Bahkan dia tak peduli kalau usai makan siang ada jadwal kuliah. Toh, selama ini dia belum pernah bolos. Jadi, tak mengapa sesekali absen. Perkara alasan, nanti bisa dicari. Demi agar tidak terlambat, Rani datang duluan. Sedikit banyak dia ingat karakter Farhan yang selalu on time, jutek dan tidak mau ditawar. Cafe yang tak jauh dari kantor Farhan menjadi pilihan. Ada menu halal di sana. Biasanya Farhan hanya makan siang dengan bekal yang disiapkan Citra. Namun, karena dia sudah janji dengan Rani, terpaksa dia harus makan di luar. Rani tersenyum simpul saat melihat Farhan menghampiri. Pria itu terlihat lebih tampan dengan stelan
Bekerja lembur bukanlah tradisi orang Belanda. Mereka bekerja dengan sangat efisien. Jam lima sore lewat sedikit biasanya mobil-mobil sudah terparkir kembali di depan rumah. Jam enam sore, umumnya orang Belanda sudah selesai makan malam. Jam delapan malam anak-anak di Belanda sudah berangkat tidur.“Citra, apa kamu bersedia jika aku meminta satu anak dari darah dagingku?” bisik Farhan.Citra sudah selesai menidurkan Reva dan Rara. Musim semi di Belanda membuat udara terasa segar. Tidak terlalu gerah tapi juga tidak terlalu dingin. Semilir angin mengintip melalui celah ventilasi yang dibiarkan terbuka. Sangat cocok pagi pasangan untuk memadu kasih. “Jangankan satu, lima pun aku bersedia,” jawab Citra sambil mengerling manja. Mungkin Farhan benar. Cinta Citra akan tumbuh seiring dengan waktu. Beruntung Farhan membawanya ke tempat yang baru. Ke tempat yang dia bisa melupakan kenangan tentang Firman. Ke tempat dimana hanya ada Farhan di sisinya dan mencurahkan segala kasih kepadanya. F
“Makasih ya, sayang. Kamu sudah bersedia menjadi pendamping hidupku. Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat menantimu,” ujar Farhan di antara semilir angin musin semi di kota Den Haag. Dibukanya jendela apartemennya. Tampak dari kejauhan pemandangan wind molen terlihat dari jendela. “Aku yang berterimakasih kepadamu, sudah mau menerima anak-anak,” sahut Citra. Jarum sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Citra segera beranjak untuk menyiapkan sarapan. Tidak seperti di Indonesia yang sarapannya ribet. Di sana, Citra hanya cukup menyiapkan susu sereal, atau roti bakar. Mereka benar-benar memulai hidup baru. Bagi, Farhan menjadi ayah baru dari empat keponakannya tidaklah berat di negeri kincir angin ini. Tidak ada stigma buruk menikah dengan janda punya anak banyak. Di kota itu pun, Citra tidak akan kesepian. Banyak orang Indonesia yang tinggal disini. Citra bisa ikut aktivitas di Masjid Indonesia, atau pengajian warga Indonesia yang ada di Belanda atau pun di KBRI jika mau. Ter