"Apa Pekerjaan mu, sampai berani melamar anak kami??" tanya Pak Suryo, sambil memilin kumisnya yang tebal.
Bu Retno istri Pak Suryo, tampak mengibaskan tangannya, sehingga bunyi gemerincing gelang-gelang yang ia kenakan terdengar saling bergesekan.Abdul tampak menundukkan kepalanya, sambil melirik gadis pujaan hatinya itu, dari sudut netranya.Mayang yang tidak mengenal sosok Abdul, juga tampak mencibir, saat pemuda yang lumayan tampan itu, tiba-tiba datang siang itu, seorang diri, ingin melamar sang bunga desa, yang terkenal dengan kecantikannya."Emm, saya berjualan bakso di kota Pak, Bu" jawabnya sopan."Apa?? dagang bakso?" ulang Pak Suryo, kemudian tertawa dengan suaranya yang menggelegar. Lelaki paruh baya yang sudah berusia 50 tahunan itu, masih terlihat gagah dan tampan di usianya.Bu Retno sendiri juga masih terlihat sangat cantik, maka tak heran, jika putri mereka satu-satunya itu, juga sangat lah cantik, menuruni wajah perpaduan kedua orangtuanya.. Tak lama, tampak seorang gadis, cukup cantik dan manis, keluar membawakan minuman untuk tamu majikannya .."Nih!! saya kasih tahu, kalau cuma pedagang bakso seperti kamu, cocoknya bersanding dengan gadis seperti Fitri ini!! sama-sama kelas rendahan!" ujar Bu Retno, mengejek putri dari pembantu mereka, yang kebetulan datang, untuk membantu kerepotan ibunya.Fitri juga merupakan teman sekolah Mayang dulu, tapi mereka tidak akrab, karena Mayang tidak mau berteman dengan gadis sekelas Fitri, yang hanyalah anak seorang babu.Abdul tampak menatap ke arah Fitri, yang seketika merah padam, menahan kesal dan malu."Silahkan di minum teh nya Mas" ucap gadis itu santun, kemudian segera masuk kembali, ke belakang. Abdul tampak terpana dengan senyum manis Fitri, yang jika diperhatikan, ternyata lebih cantik dari Mayang.Mungkin Fitri tak terlihat menarik, karena dia mengenakan pakaian yang sangat sederhana."Ayo di minum dulu, daripada terbuang percuma! setelah itu pergilah dari sini, karena kami tidak akan menikahkan anak gadis kami, dengan lelaki sekelas kamu" ucap Pak Suryo sombong.Semenjak tahu sambutan mereka yang tidak mengenakkan dan sangat merendahkan, sebenarnya Abdul sudah merasa ilfill seketika. Dia tak berselera lagi, untuk melanjutkan niatnya.Benar apa yang di katakan oleh Neneknya, jika ingin mencari istri, jangan karena terpesona dengan wajahnya. Tapi teliti dulu perilaku nya.Jika seperti ini kejadiannya, tanpa di minta mundur pun, Abdul memang sudah berniat mundur, karena tidak mungkin, perempuan seperti Mayang itu, akan mau hidup berdampingan, bahkan satu rumah dengan Neneknya, yang sekarang mulai sakit-sakitan. Setelah meminum teh buatan gadis tadi, Abdul pun segera undur diri. Mayang dan bu Retno tak menggubris pemuda itu, bahkan melirik pun tidak. Sedangkan Pak Suryo hanya mengangguk, tanpa mau menerima jabatan tangan dari Abdul.Dengan hati yang sedikit sakit, akibat penyambutan yang dia terima, Abdul segera keluar, tanpa menoleh lagi.Karena berjalan dengan tergesa, tak sengaja, Abdul menabrak gadis yang tadi mengeluarkan teh, hingga belanjaan yang sedang Fitri bawa terjatuh, dan berhamburan di tanah. Wajah Fitri seketika pias, dia tampak melongok ke dalam pagar, takut majikan ibunya melihat."Maaf, aku tidak sengaja" ucap Abdul, segera membantu Fitri, memunguti belanjaan tadi.Fitri tampak meraba plastik hitam yang ada di tangannya, air matanya seketika meleleh.Telur yang dia beli, belanjaan milik majikan ibunya itu, telah pecah semua.Ia tak dapat membayangkan, cacian apa lagi yang akan ibunya terima nanti, jika tahu tentang semua ini.Abdul terlihat iba, melihat Fitri yang menangis, bukan hanya telur saja, minyak goreng yang tadi penuh, kini hanya tinggal setengahnya saja, karena tutupnya yang tak terlalu rapat.Fitri segera berjongkok, dan menangis disana, dia tak tahu lagi, bagaimana caranya, mengganti semua ini."Maaf, saya akan bertanggung jawab atas semua belanjaan yang rusak. Lebih baik, sekarang ikut saya, untuk membeli yang baru" ucap Abdul, segera membawa belanjaan yang masih bagus dan layak, ke tepi.Fitri merasa tak enak kepada Abdul, gadis dengan tubuh mungil itu, segera bangun, setelah Abdul membantunya untuk berdiri."Ayo, sebaiknya kita cepat, supaya majikan mu tidak tahu ini" ajak Abdul, kemudian membawa Fitri ke warung terdekat.Abdul segera mengganti semua belanjaan Fitri tadi, dan segera membayarnya."Oh iya, rumah kamu sebelah mana mbak ?" tanya Abdul berbasa-basi kepada gadis yang ternyata terlihat sangat manis itu."Rumah saya tepat di belakang tembok rumah juragan Suryo Mas" jawab Fitri, sambil menunjuk ke arah belakang rumah pak Suryo."Emm, ibu kamu sudah lama kerja di rumah pak Suryo?" tanya Abdul, ingin tahu. "Semenjak ayah saya meninggal, ibu terpaksa bekerja di sana, karena Ayah mempunyai hutang yang cukup besar kepada Juragan" jawab Fitri, tampak sedih.Abdul merasa tak enak, karena ternyata, pertanyaannya, membuat gadis itu menjadi sedih.Tak ingin segera mengorek informasi sang gadis sekarang, Abdul pun kemudian pamit."Karena hari sudah sore, saya pamit dulu ya mbak. Oh iya, kapan-kapan, saya boleh kan, main ke rumah kamu?" tanya Abdul, tersenyum."Silahkan Mas, tapi sebenarnya, saya tidak biasa menerima tamu laki-laki" jawab Fitri, sambil membetulkan letak kerudungnya yang miring, terkena angin.Abdul tersenyum penuh arti, mendengar jawaban dari gadis di depannya itu."Tentu saya tak sendiri, saya akan membawa nenek saya juga, supaya bisa berkenalan dengan mu" ucap Abdul, tersenyum tipis. *******"Rumah saya tepat di belakang tembok rumah juragan Suryo Mas" jawab Fitri, sambil menunjuk ke arah belakang rumah pak Suryo."Emm, ibu kamu sudah lama kerja di rumah pak Suryo?" tanya Abdul, ingin tahu. "Semenjak ayah saya meninggal, ibu terpaksa bekerja di sana, karena Ayah mempunyai hutang yang cukup besar kepada Juragan" jawab Fitri, tampak sedih.Abdul merasa tak enak, karena pertanyaannya, sudah membuat gadis itu terlihat sedih."Karena hari sudah sore, saya pamit dulu ya. Oh iya, kapan-kapan, saya boleh kan, main ke rumah kamu?" tanya Abdul, tersenyum."Silahkan Mas, tapi sebenarnya, saya tidak biasa menerima tamu laki-laki" jawab Fitri, sambil membetulkan letak kerudungnya yang miring, karena angin.Abdul tersenyum penuh arti, mendengar jawaban dari gadis di depannya itu."Tentu, saya akan membawa nenek saya juga, supaya bisa berkenalan dengan mu" ucap Abdul, tersenyum tipis. "Ya sudah ya, saya pamit dulu, Assalamu'alaikum!" pamit Abdul, mengucap salam. "Waalaikumussalam" ja
"Gimana Le, kamu berhasil meminang gadis yang katamu sangat cantik itu??" tanya Nek Rahayu, nenek dari Abdul, yang telah merawat pemuda itu, semenjak masih bayi, karena kedua orangtuanya yang telah meninggal.Abdul hanya tertawa kecil, dengan pertanyaan neneknya itu."Kok malah ngguyu!!" sang nenek yang tengah membuat sulaman di tangan nya, tampak kesal."Benar ternyata, apa yang Nenek katakan waktu itu" ucap Abdul, kemudian duduk di sisi sang Nenek."Kecantikan perempuan, ternyata tidak menjamin kecantikan hatinya" ucap Abdul."Yo wes, mungkin dia memang bukan jodohmu Le, masih banyak di luaran sana, gadis yang cantik luar dalamnya" ucap Nek Rahayu mengusap kepala cucu kesayangan dan satu-satunya itu."Oh iya, tadi Tedjo kesini, katanya cabang bakso kamu yang di dekat kecamatan, mau di lebarkan. Soalnya para pembeli kadang sampai tidak kebagian tempat duduk" ucap wanita yang sudah terlihat sangat sepuh itu, menoleh ke atah sang cucu."Ooh, iya nanti biar Abdul kesana saja Nek, sekal
Hari terus berlalu, karena kesibukannya mengurus usaha baksonya, Abdul sudah lupa tentang rencananya untuk segera mencari istri.Apalagi saat ini dia sedang fokus dengan anak cabang baksonya, yang baru buka.Ditempat lain, Mayang tampak tengah sibuk, mempersiapkan dirinya, yang hendak kuliah, di sebuah Universitas ternama, yang ada di kota."Ingat Nduk, kamu harus bisa menjaga diri kamu, jangan mau dekat-dekat dengan yang namanya laki-laki, apalagi kalau miskin" nasihat bu Retno, mewanti-wanti putrinya.."Kamu tahu ndak, itu si Dini, anaknya juragan beras yang tinggal di dekat kecamatan, dia itu sekarang sudah berhenti kuliah nya" ucap bu Retno. "Lah, kenapa to bu? bukannya si Dini itu belum selesai ya, kuliah nya?" tanya Mayang tampak heran."Ya gimana mau lanjut, wong dia itu sekarang lagi ngidam!" jawab bu Retno tampak semangat menceritakan aib anak saingannya."Masa sih bu?" tanya Mayang, tampak terkejut.. "La yo bener to, berita ini sudah bukan rahasia lagi!! makanya kamu sibuk
Fitri di antar oleh gurunya, untuk melengkapi berkas-berkas pendaftarannya, sekaligus mengantarkannya menuju tempat kost. Karena besok sudah mulai masuk. Bu Irene, guru Fitri yang paling peduli terhadap gadis itu, mengupayakan, agar Fitri bisa mendapatkan beasiswa..Karena dia tahu, Fitri adalah gadis yang cerdas, dan juga rajin."Tidak ada yang tertinggal to Fit, semua persyaratan yang ibu tulis, sudah kamu bawa?" tanya bu Irene, ketika melihat Fitri, pagi-pagi sudah datang ke rumahnya. "Alhamdulillah sudah bu" jawab Fitri tersenyum."Terus perlengkapan kamu gimana?" tanya bu Irene lagi, melihat ke arah tas kain, yang dibawa oleh muridnya itu."Alhamdulillah juga sudah Bu" jawabnya."Ya wes, Ibu siap-siap dulu, kamu sudah sarapan apa belum?" tanya bu Irene. "Sudah bu, tadi bareng sama ibu dirumah" jawab gadis yang mengenakan jilbab dan setelan gamisnya, yang berwarna pastel itu, tersenyum tipis. Fitri sengaja mengenakan gamis terbaik yang ia miliki saat ini.Supaya terlihat panta
"Mas Bos, besok kan pembukaan cabang bakso yang di dekat kampus, apa masih ada lagi yang kurang? biar segera saya kerjakan sekarang" ucap Rudi, salah satu orang kepercayaan Abdul."Hmm, bagaimana kalau nanti kita cek lagi saja kesana?" ujar Abdul, yang memang tengah membuka cabang bakso nya yang entah ke berapa, di dekat kampus tempat Fitri akan berkuliah."Kita juga butuh tambahan pekerja Mas" ucap Rudi lagi."Kamu jangan tambahkan dulu, harus atas seizinku dulu jika ingin merekrut. Biasanya nanti banyak mahasiswa mahasiswi yang ingin kerja part time. Aku ingin memprioritaskan mereka, sambil membantu mereka yang nembutuhkan untuk berkuliah" jelas Abdul, kepada bawahannya itu.Rudi pun mengangguk-angguk mengerti. Rupanya karena alasan itulah, sehingga Abdul membeli warung makan di lokasi itu, dengan harga yang cukup tinggi. "Iya Rud, aku pernah kuliah, jadi tahu, bagaimana para mahasiswa berjuang, kuliah sambil kerja, supaya uang semester tidak terus menunggak.Walaupun mereka bisa k
Malam harinya, Fitri tak dapat tidur, karena teringat dengan sang ibu. Sebelumnya, dia tak pernah berjauhan sama sekali dari ibunya itu.Sehari sebelum berangkat, ibunya sengaja meminta ijin kepada keluarga Pak Suryo, walaupun harus menerima sumpah serapah terlebih dahulu, karena ingin membuatkan masakan spesial untuk putrinya."Kamu pengen ibu masakkan apa Nduk?" tanya Bu Siti, kepada putri satu-satunya itu. "Masakan ibu semuanya enak, Fitri jadi bingung" jawab gadis berlesung pipi itu tersenyum lebar."Yo yang kamu pengenin aja to Nduk" jawab sang ibu, terkekeh. "Emm apa ya Buk, buntil aja deh, kan banyak itu daun talasnya, di kebun belakang, sekalian sama sayur lompongnya ya Bu" ucap Fitri tampak menahan liurnya, membayangkan dua makanan itu.Buntil yang terkenal di daerah sekitar Yogyakarta, Magelang dan Semarang itu, memang merupakan makanan yang selalu bikin kangen, dan di sukai banyak orang.Terbuat dari daun talas, atau bisa juga dengan daun singkong juga daun pepaya, yang
Setelah menjalani OSPEK selama beberapa minggu lamanya, yang benar-benar menguras tenaganya, kini Fitri sudah mulai masuk, menerima materi pembelajaran.Dia sedikit terkejut, dengan metode pembelajaran, yang tak sama, seperti ketika di SMA dulu.Baru masuk satu hari, tapi tugas sudah menumpuk begitu banyak.Membuat makalah, mencari referensi dari berbagai sumber tentang makalah yang dia buat, dan masih banyak lagi..Benar kata bu Iren, ketika menjadi seorang mahasiswi, maka dia akan banyak menghabiskan waktunya di toko buku, perpustakaan, warnet, dan tempat foto kopi, untuk mengerjakan tugas.Dia nyaris tak bisa bersantai-santai, di semester awalnya ini.Apalagi jurusan yang dia ambil adalah bidang ekonomi.Benar-benar menguras pikirannya.Seperti sore itu, Fitri baru saja pulang, setelah menerima jam kuliahnya, yang molor sampai hampir maghrib. Fitri dan kawan-kawannya keluar dari kelas, dengan wajah yang sangat kusut, dan lelah."Lapar nih, tapi di luar kok hujan ya!" ujar Yeni, s
'Sepertinya aku tak asing dengan gadis tadi, tapi di mana ya?' batin Abdul, yang tadi telah memandangi seorang gadis berwajah cantik dan manis, sedang makan bakso di warungnya.Ingin sekali menyapanya, tapi Abdul takut salah orang. Setelah menjalani OSPEK selama beberapa minggu lamanya, yang benar-benar menguras tenaganya, kini Fitri sudah mulai masuk, menerima materi pembelajaran.Dia sedikit terkejut, dengan metode pembelajaran, yang tak sama, seperti ketika di SMA dulu.Baru masuk satu hari, tapi tugas sudah menumpuk begitu banyak.Membuat makalah, mencari referensi dari berbagai sumber tentang makalah yang dia buat, dan masih banyak lagi..Benar kata bu Iren, ketika menjadi seorang mahasiswi, maka dia akan banyak menghabiskan waktunya di toko buku, perpustakaan, warnet, dan tempat foto kopi, untuk mengerjakan tugas.Dia nyaris tak bisa bersantai-santai, di semester awalnya ini.Apalagi jurusan yang dia ambil adalah bidang ekonomi.Benar-benar menguras pikirannya.Seperti sore itu,
Waktu terus berlalu, Ustadz Ibrahim yang awalnya terus melakukan pendekatan pada Mayang, kini malah sedikit demi sedikit mulai menjauh.Padahal Rudi sudah mulai mengalah, karena ia merasa, mungkin Mayang akan lebih cocok bersama dengan Ustadz Ibrahim, yang alim itu.Semuanya berawal, kala itu ustad Ibrahim secara tidak sengaja, mendengar percakapan Mayang bersama sang ibu.Ustadz Ibrahim, yang ingin menjemput Raya bersekolah seperti biasanya, mendadak membeku di depan pintu rumah Bu Retno, saat dia secara tak sengaja, mendengar percakapan mereka."Aku ini tidak pantas untuk ustad Ibrahim Ibu..apalagi dulu aku pernah hamil di luar nikah dan menggugurkannya, bahkan juga sering berzina" ucap Mayang, saat sang ibu menanyakan tentang ustad Ibrahim, yang sering bertandang ke rumah mereka.Ustadz Ibrahim yang bersiap mengetuk pintu rumah itu, segera menurunkan tangannya, dan berbalik, bergegas pergi dari rumah Mayang.Sepanjang jalan menuju madrasah, pikirannya terus saja berkecamuk, dengan
"Aku mohon Mayang, kembalilah kepadaku" mohon Mahmudi sore itu, saat Mayang bersiap untuk berangkat menuju kedai bakso, tempat dia bekerja sekarang, setelah tadi pulang sebentar, untuk melihat ibunya, dan menyiapkan peralatan sekolah Raya, untuk belajar mengaji di Madrasah.Raya tampak ketakutan, takut di bawa pergi oleh ayahnya, yang selama ini tak begitu dekat dengan nya."Kenapa Mas? harus berapa kali lagi, kamu menyakiti ku?? aku sudah capek Mas, terus-menerus di khianati, dan di bohongi sama kamu.Aku juga sudah lelah, dengan semua perlakuanmu, yang selalu merendahkan aku" jawab Mayang dengan suara yang bergetar, karena menahan emosi yang selama ini terpendam."Aku pikir, menikah dengan orang yang jauh lebih tua sepertikamu, bisa melindungi dan membuatku nyaman. Tapi nyatanya apa yang aku dapat selama ini??" ujar Mayang lagi, kemudian menyeka air matanya, dari pipi tirusnya. "Aku mohon sayang, kali ini Mas sungguh-sungguh" tahan Mahmudi, mencekal lengan Mayang erat."Lepas Mas!!
Lima tahun telah berlalu....Desa Mekarsari kini menjadi lebih ramai, apalagi saat Abdul mendirikan sebuah Madrasah, tempat sekolah mengaji setiap sore di desa itu. Hal itu di sambut dengan sangat antusias oleh warga.Dengan menggandeng para pemuda dan tokoh agama, sekolah itu sudah berjalan selama kurang lebih 3 tahun lamanya.Muridnya yang awalnya hanya puluhan orang, kini sudah menjadi ratusan, karena dari desa-desa tetangga, juga banyak yang belajar mengaji di situ.Letaknya yang ada di sebelah rumah bu Siti, menjadikan rumah itu tak pernah sepi setiap harinya. Apalagi Abdul juga membuka cabang baksonya yang entah ke berapa, di dekat Madrasah nya itu.Fitri pun sekarang juga tengah hamil anak yang kedua, setelah Salman putra sulungnya berusia 4 tahun."Sayang, jangan terlalu lelah, ingat kandunganmu" peringat Abdul, saat istrinya itu masih saja membuat adonan kue-kue donat, yang akan ia bagikan untuk anak-anak mengaji nanti, di bantu oleh beberapa tetangga. "Aku kan cuma tunjuk
"Selamat datang kembali di desa ini bu Siti" ucap para tetangga, sambil memeluk bergantian, berharap juga bisa mendapatkan keberkahan, dari para tamu Allah, yang baru kembali. Cukup lama para warga bercengkerama, mendengarkan cerita bu Siti, selama menjadi tamu Allah, dan berkunjung ke tempat-tempat bersejarah. Semuanya larut dalam ceritanya, bahkan ada yang sampai meneteskan air mata, karena juga ingin, bisa segera mendapat panggilan, supaya bisa segera berangkat ke Baitullah. Di penghujung acara, setelah semua para tamu mendapatkan makan, dan juga mencicipi air Zamzam, walau hanya sedikit, bu Siti meminta Abdul, untuk melantunkan doa, supaya semua yang hadir, juga bisa segera berangkat.Abdul kemudian membacakan doa, yang segera di amini oleh hadirin.Selesai doa, Yu Karsiyem dan kawan-kawan nya, di mintai tolong, untuk membagikan oleh-oleh, yang telah disiapkan, berupa sajadah, tasbih, dan minyak wangi. Dengan cekatan, oleh-oleh yang sudah di siapkan pun di bagikan kepada selur
Keberangkatan bu Siti dan anak menantunya, juga besannya, di iringi oleh para warga, yang juga hadir, untuk ikut doa bersama. Semua warga, mendoakan yang terbaik. Agar senantiasa selamat sampai tujuan, hingga kembali lagi ke rumah.Sebelum berangkat, tak lupa bu Siti menitipkan rumahnya kepada para tetangganya. Supaya tidak kosong dan sepi.******Dua minggu telah berlalu, pak Suryo dan Juminten, tengah cemas, menunggu pembagian keuntungan, yang telah di janjikan oleh pihak investasi. "Mas, kok belum cair-cair ya" ucap Juminten, sambil terus memeriksa ponselnya.Pak Suryo hanya diam, tak menyahut, karena pikirannya saat ini juga sedang kalut.Bagaimana tidak, uang di tangannya sudah semakin menipis, sawahnya juga sudah habis ia jual, menuruti perkataan Juminten, dan uangnya semua dia investasikan. Juminten tampak resah, sambil terus mengusap perutnya yang sudah membesar, karena sudah memasuki masa melahirkan. Di saat mereka tengah menunggu pembagian hasil itu, bu Retno datang ke r
Mahmudi meraup wajahnya kasar. Dia benar-benar merasa tertipu oleh Juragan Suryo. Karena waktu itu, katanya masih gadis, nyatanya sudah tak ber segel.Mau di kembalikan, sayang. Untung saja Mayang cantik, andai biasa saja, tentunya ia akan langsung minta ganti rugi, dan mengembalikannya."Ya sudah lah, mau bagaimana lagi, sekarang kamu harus selalu patuh pada perintahku!! supaya tidak rugi, aku sudah membayar maharmu dengan sangat mahal!!" ucap Mahmudi, kemudian melanjutkan aksinya lagi, dengan kasar.Tak di perdulikannya Mayang yang menangis kesakitan, dia benar-benar merasa sangat jengkel, karena sudah di tipu oleh ayah mertuanya. Semalaman Mayang di paksa nya, untuk terus melayaninya, tanpa mengenal belas kasihan, pada istri yang baru ia nikahi itu.***"Mana istrimu Di?? pagi-pagi kok belum keluar dari kamar?!!" decak bu Susan tampak kesal."Masih tidur tuh, di kamar" jawab Mahmudi, sambil membuat kopi di dapur.Bu Susan benar-benar murka melihat ini, sudah bayar mahar mahal, te
"Sebentar lagi aku bakalan punya anak dari Juminten Bune!" ucap pak Suryo siang itu, setelah kemarin membelikan Juminten sebuah mobil, seharga 300 jutaan.Bu Retno dan Mayang, yang tengah menikmati serial televisi kesayangannya, seketika menoleh ke arah pak Suryo. "Anak??" tanya bu Retno, tampak tak percaya."Iya, calon adiknya Mayang" jawab pak Suryo tersenyum lebar. Hati bu Retno seketika menjadi sangat panas dan kesal.Ia pikir, suaminya itu sudah tidak bakalan bisa punya anak lagi, ternyata....Bu Retno diam, tak menyahuti omongan suaminya itu, dalam benaknya mulai berkecamuk..Timbul niat-niat jahat dalam hatinya, untuk mencelakakan janin yang di kandung oleh madunya itu.Entah kenapa, walaupun ia sudah berusaha menerima kenyataan di madu, namun tetap saja, dia tak bisa.Apalagi sekarang, madunya malah tengah hamil seperti ini. Pasti kasih sayang suaminya, hanya akan tercurah kepada mereka nantinya, juga harta warisan untuk Mayang, juga pasti akan menjadi berkurang jatahnya.
"Masya Allah, megah sekali gedung mantenane mbak Fitri" decak kagum para warga, yang sudah sampai di tempat acara resepsi pernikahan Fitri. Dengan di angkut dua bus pariwisata, warga desa Mekarsari, tempat tinggal Fitri, berangkat ke lokasi.Fitri dan Abdul tampak sudah duduk di pelaminan, bagaikan Raja dan Ratu.Tamu undangan tampak datang silih berganti, menyalami pasangan pengantin itu.Teman-teman kampus Fitri terkejut, mereka tak menyangka, jika Fitri secepat itu akan memutuskan untuk menikah.Tak terkecuali Raka, yang selama ini selalu saja berusaha untuk mendekati gadis berparas Ayu itu.Dia tampak muram saat menyalami Fitri dan suaminya, tak ceria seperti teman-teman yang lain nya."Kok gak pernah bilang sih Fit, kalau sudah punya calon suami" ujarnya lirih.Abdul yang mendengar itu, langsung menoleh kepada pemuda berparas tampan dan berhidung bangir itu."Memang sudah jodohnya Mas, kami tidak pacaran kok, saya seneng, dan cocok, ya langsung saya lamar saja" jawab Abdul terse
"Ada rame-rame apa to Mbakyu?" tanya bu Siti heran, karena mulai tadi orang-orang lalu lalang berjalan dengan tergesa, menuju rumah Juminten, yang berjarak 15 menitan jika berjalan kaki dari toko bu Siti."Bu Retno ngamuk, gara-gara suaminya ketahuan gendak'an sama si Juminten" jelas salah satu tetangganya, yang baru datang dari lokasi."Masya Allah, terus gimana sekarang?" tanya bu Siti, tampak terkejut. "Rumahnya si Jum, di bakar Sama bu Retno, Juragan Suryo sendiri, mbuh kemana sekarang, sudah dulu Yu, saya mau pulang dulu, habis itu mau kesana lagi" pamit tetangganya itu.Fitri dan suaminya yang sedang duduk-duduk di teras juga mendengar berita itu.Mereka tampak saling berpandangan, merasa tak percaya."Kok ya nekat temmen bu Retno, sampai bakar rumah orang" ucap bu Siti, tampak geleng-geleng kepala. "Namanya juga lagi cemburu Bu" jawab Fitri, sambil melirik sang suami."Mas, aku kok jadi penasaran, kita kesana yuk" ajak Fitri."Duhh, buat apa sih dek, tidak baik ngurusi hidup