Lima tahun telah berlalu....Desa Mekarsari kini menjadi lebih ramai, apalagi saat Abdul mendirikan sebuah Madrasah, tempat sekolah mengaji setiap sore di desa itu. Hal itu di sambut dengan sangat antusias oleh warga.Dengan menggandeng para pemuda dan tokoh agama, sekolah itu sudah berjalan selama kurang lebih 3 tahun lamanya.Muridnya yang awalnya hanya puluhan orang, kini sudah menjadi ratusan, karena dari desa-desa tetangga, juga banyak yang belajar mengaji di situ.Letaknya yang ada di sebelah rumah bu Siti, menjadikan rumah itu tak pernah sepi setiap harinya. Apalagi Abdul juga membuka cabang baksonya yang entah ke berapa, di dekat Madrasah nya itu.Fitri pun sekarang juga tengah hamil anak yang kedua, setelah Salman putra sulungnya berusia 4 tahun."Sayang, jangan terlalu lelah, ingat kandunganmu" peringat Abdul, saat istrinya itu masih saja membuat adonan kue-kue donat, yang akan ia bagikan untuk anak-anak mengaji nanti, di bantu oleh beberapa tetangga. "Aku kan cuma tunjuk
"Aku mohon Mayang, kembalilah kepadaku" mohon Mahmudi sore itu, saat Mayang bersiap untuk berangkat menuju kedai bakso, tempat dia bekerja sekarang, setelah tadi pulang sebentar, untuk melihat ibunya, dan menyiapkan peralatan sekolah Raya, untuk belajar mengaji di Madrasah.Raya tampak ketakutan, takut di bawa pergi oleh ayahnya, yang selama ini tak begitu dekat dengan nya."Kenapa Mas? harus berapa kali lagi, kamu menyakiti ku?? aku sudah capek Mas, terus-menerus di khianati, dan di bohongi sama kamu.Aku juga sudah lelah, dengan semua perlakuanmu, yang selalu merendahkan aku" jawab Mayang dengan suara yang bergetar, karena menahan emosi yang selama ini terpendam."Aku pikir, menikah dengan orang yang jauh lebih tua sepertikamu, bisa melindungi dan membuatku nyaman. Tapi nyatanya apa yang aku dapat selama ini??" ujar Mayang lagi, kemudian menyeka air matanya, dari pipi tirusnya. "Aku mohon sayang, kali ini Mas sungguh-sungguh" tahan Mahmudi, mencekal lengan Mayang erat."Lepas Mas!!
Waktu terus berlalu, Ustadz Ibrahim yang awalnya terus melakukan pendekatan pada Mayang, kini malah sedikit demi sedikit mulai menjauh.Padahal Rudi sudah mulai mengalah, karena ia merasa, mungkin Mayang akan lebih cocok bersama dengan Ustadz Ibrahim, yang alim itu.Semuanya berawal, kala itu ustad Ibrahim secara tidak sengaja, mendengar percakapan Mayang bersama sang ibu.Ustadz Ibrahim, yang ingin menjemput Raya bersekolah seperti biasanya, mendadak membeku di depan pintu rumah Bu Retno, saat dia secara tak sengaja, mendengar percakapan mereka."Aku ini tidak pantas untuk ustad Ibrahim Ibu..apalagi dulu aku pernah hamil di luar nikah dan menggugurkannya, bahkan juga sering berzina" ucap Mayang, saat sang ibu menanyakan tentang ustad Ibrahim, yang sering bertandang ke rumah mereka.Ustadz Ibrahim yang bersiap mengetuk pintu rumah itu, segera menurunkan tangannya, dan berbalik, bergegas pergi dari rumah Mayang.Sepanjang jalan menuju madrasah, pikirannya terus saja berkecamuk, dengan
"Apa Pekerjaan mu, sampai berani melamar anak kami??" tanya Pak Suryo, sambil memilin kumisnya yang tebal.Bu Retno istri Pak Suryo, tampak mengibaskan tangannya, sehingga bunyi gemerincing gelang-gelang yang ia kenakan terdengar saling bergesekan.Abdul tampak menundukkan kepalanya, sambil melirik gadis pujaan hatinya itu, dari sudut netranya.Mayang yang tidak mengenal sosok Abdul, juga tampak mencibir, saat pemuda yang lumayan tampan itu, tiba-tiba datang siang itu, seorang diri, ingin melamar sang bunga desa, yang terkenal dengan kecantikannya."Emm, saya berjualan bakso di kota Pak, Bu" jawabnya sopan."Apa?? dagang bakso?" ulang Pak Suryo, kemudian tertawa dengan suaranya yang menggelegar. Lelaki paruh baya yang sudah berusia 50 tahunan itu, masih terlihat gagah dan tampan di usianya.Bu Retno sendiri juga masih terlihat sangat cantik, maka tak heran, jika putri mereka satu-satunya itu, juga sangat lah cantik, menuruni wajah perpaduan kedua orangtuanya.. Tak lama, tampak seora
"Rumah saya tepat di belakang tembok rumah juragan Suryo Mas" jawab Fitri, sambil menunjuk ke arah belakang rumah pak Suryo."Emm, ibu kamu sudah lama kerja di rumah pak Suryo?" tanya Abdul, ingin tahu. "Semenjak ayah saya meninggal, ibu terpaksa bekerja di sana, karena Ayah mempunyai hutang yang cukup besar kepada Juragan" jawab Fitri, tampak sedih.Abdul merasa tak enak, karena pertanyaannya, sudah membuat gadis itu terlihat sedih."Karena hari sudah sore, saya pamit dulu ya. Oh iya, kapan-kapan, saya boleh kan, main ke rumah kamu?" tanya Abdul, tersenyum."Silahkan Mas, tapi sebenarnya, saya tidak biasa menerima tamu laki-laki" jawab Fitri, sambil membetulkan letak kerudungnya yang miring, karena angin.Abdul tersenyum penuh arti, mendengar jawaban dari gadis di depannya itu."Tentu, saya akan membawa nenek saya juga, supaya bisa berkenalan dengan mu" ucap Abdul, tersenyum tipis. "Ya sudah ya, saya pamit dulu, Assalamu'alaikum!" pamit Abdul, mengucap salam. "Waalaikumussalam" ja
"Gimana Le, kamu berhasil meminang gadis yang katamu sangat cantik itu??" tanya Nek Rahayu, nenek dari Abdul, yang telah merawat pemuda itu, semenjak masih bayi, karena kedua orangtuanya yang telah meninggal.Abdul hanya tertawa kecil, dengan pertanyaan neneknya itu."Kok malah ngguyu!!" sang nenek yang tengah membuat sulaman di tangan nya, tampak kesal."Benar ternyata, apa yang Nenek katakan waktu itu" ucap Abdul, kemudian duduk di sisi sang Nenek."Kecantikan perempuan, ternyata tidak menjamin kecantikan hatinya" ucap Abdul."Yo wes, mungkin dia memang bukan jodohmu Le, masih banyak di luaran sana, gadis yang cantik luar dalamnya" ucap Nek Rahayu mengusap kepala cucu kesayangan dan satu-satunya itu."Oh iya, tadi Tedjo kesini, katanya cabang bakso kamu yang di dekat kecamatan, mau di lebarkan. Soalnya para pembeli kadang sampai tidak kebagian tempat duduk" ucap wanita yang sudah terlihat sangat sepuh itu, menoleh ke atah sang cucu."Ooh, iya nanti biar Abdul kesana saja Nek, sekal
Hari terus berlalu, karena kesibukannya mengurus usaha baksonya, Abdul sudah lupa tentang rencananya untuk segera mencari istri.Apalagi saat ini dia sedang fokus dengan anak cabang baksonya, yang baru buka.Ditempat lain, Mayang tampak tengah sibuk, mempersiapkan dirinya, yang hendak kuliah, di sebuah Universitas ternama, yang ada di kota."Ingat Nduk, kamu harus bisa menjaga diri kamu, jangan mau dekat-dekat dengan yang namanya laki-laki, apalagi kalau miskin" nasihat bu Retno, mewanti-wanti putrinya.."Kamu tahu ndak, itu si Dini, anaknya juragan beras yang tinggal di dekat kecamatan, dia itu sekarang sudah berhenti kuliah nya" ucap bu Retno. "Lah, kenapa to bu? bukannya si Dini itu belum selesai ya, kuliah nya?" tanya Mayang tampak heran."Ya gimana mau lanjut, wong dia itu sekarang lagi ngidam!" jawab bu Retno tampak semangat menceritakan aib anak saingannya."Masa sih bu?" tanya Mayang, tampak terkejut.. "La yo bener to, berita ini sudah bukan rahasia lagi!! makanya kamu sibuk
Fitri di antar oleh gurunya, untuk melengkapi berkas-berkas pendaftarannya, sekaligus mengantarkannya menuju tempat kost. Karena besok sudah mulai masuk. Bu Irene, guru Fitri yang paling peduli terhadap gadis itu, mengupayakan, agar Fitri bisa mendapatkan beasiswa..Karena dia tahu, Fitri adalah gadis yang cerdas, dan juga rajin."Tidak ada yang tertinggal to Fit, semua persyaratan yang ibu tulis, sudah kamu bawa?" tanya bu Irene, ketika melihat Fitri, pagi-pagi sudah datang ke rumahnya. "Alhamdulillah sudah bu" jawab Fitri tersenyum."Terus perlengkapan kamu gimana?" tanya bu Irene lagi, melihat ke arah tas kain, yang dibawa oleh muridnya itu."Alhamdulillah juga sudah Bu" jawabnya."Ya wes, Ibu siap-siap dulu, kamu sudah sarapan apa belum?" tanya bu Irene. "Sudah bu, tadi bareng sama ibu dirumah" jawab gadis yang mengenakan jilbab dan setelan gamisnya, yang berwarna pastel itu, tersenyum tipis. Fitri sengaja mengenakan gamis terbaik yang ia miliki saat ini.Supaya terlihat panta