Andre duduk di ruang VIP restoran yang dikhususkan untuk mereka, dikelilingi oleh keindahan yang elegan. Meja dihias indah dengan lilin menyala dan bunga segar, tetapi hatinya terasa berdebar. Malam ini, segalanya terasa tak terencana, hanya sebuah keputusan mendadak karena desakan Levi untuk menghabiskan waktu bersama Dea. Sejujurnya Andre pun sejak lama ingin melakukannya.Sudah hampir dua puluh menit Dea pergi ke kamar mandi. Jarak antara ruang makan dan kamar mandi cukup jauh. Andre yang tiba-tiba ditinggal wanita itu mulai gelisah. Dia melirik jam tangannya, berusaha menenangkan diri. “Apa dia baik-baik saja?” pikirnya. Mungkin dia terlalu terburu-buru memilih tempat ini. Andre menggigit bibirnya, teringat betapa canggungnya momen-momen awal ketika mereka bertemu. Meski mereka sudah berteman lama, ada perasaan yang terus menggelayut di hati Andre. Perasaan yang membuatnya ingin lebih, tetapi takut akan risiko yang dihadapi. Lelaki itu berusaha menyingkirkan ketidakpastian itu da
Dea menatap Andre dengan penuh perhatian, merasakan ketulusan dalam matanya. Namun, semakin dalam dia merenungkan perasaannya, semakin jelas rasa keraguannya. Kecemasan tentang Monica menghantui pikirannya, membuatnya sulit untuk sepenuhnya membiarkan diri terjun ke dalam perasaan yang diungkapkan Andre.“Aku… aku juga ingin mengenalmu lebih dekat Mas,” jawab Dea perlahan, berusaha memilih kata-kata yang tepat. “Tapi saat ini, semuanya terasa sangat rumit.”“Rumit?” tanya Andre dengan kedua alis melekat, wajahnya menampilkan keraguan. “Apa yang membuatnya rumit? Kita hanya perlu saling terbuka.”Dea menarik napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan pikiran. “Maksudku, kita sudah berteman lama. Mengubah itu menjadi sesuatu yang lebih bukanlah hal yang sederhana. Ditambah aku masih trauma.” Wanita itu menundukkan kepalanya dalam-dalam.Andre mengangguk. “Aku mengerti. Tapi jika kita tidak mencoba, kita tidak akan pernah tahu apa yang bisa terjadi. Aku hanya ingin memberi kamu memberiku k
Kevin berjalan lunglai menuju pengepul barang bekas. Selama ini ia berusaha menjauhkan diri dari daerah keluarganya. Nino sempat memberikan bantuan dan modal usaha tetapi Kevin tolak karena rasa sungkan berlebih merepotkan kawannya. Kaki yang berjalan terseok kini terhenti mendadak. Seorang wanita berkaos oblong dan celana hitam berdiri memandangnya penuh kasih."Mas," panggil Icha langsung menghamburkan pelukan pada suaminya."Kenapa Mas Kevin selama ini tidak menjengukku? Mas tau nggak aku kangen banget sama Mas Kevin," ujar Icha dengan linangan air mata.Kevin melepaskan Icha dari tubuhnya. Tanpa banyak bicara, Kevin menghampiri tempat pengepul barang bekas yang ia dapatkan.Di dalam hatinya, hanya ada satu perasaan—kebencian pada dirinya sendiri. Mengapa Icha masih mencintainya? Bagi lelaki itu, cinta itu hanyalah ilusi yang tak pernah ada. Ia merasa beban berat di dadanya, tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan betapa ia merasa hampa."Mas, tolong jangan seperti ini," suara Icha
Icha mengikuti Kevin yang menelusuri jalanan di pinggir kota. Lelaki itu sesekali berhenti di tong sampah mencari barang bekas yang bisa ia angkut. Perlahan Icha melakukan hal yang sama. Jika keluarganya tidak dipenjara, mungkin wanita itu akan sangat jijik mengambil barang yang ada di tempat pembuangan. Tetapi selama berada di lapas, ia terpaksa membiasakan diri dengan kotoran. Hampir setiap waktu ia diperintah untuk menggosok toilet, mengumpulkan sampah, membersihkan ruangan terbengkalai, dan banyak lagi. Pembiasaan itu membuat rasa jijiknya terhempas dan lebih tegar saat berada di lingkungan kumuh.Matahari mulai terbenam, memancarkan cahaya oranye yang meremang. Icha menundukkan kepala, berusaha menyamarkan air mata yang mulai menggenang. Ia merasa kesedihan membebani dadanya, tetapi di saat yang sama, melihat Kevin yang begitu keras berjuang untuk bertahan membuatnya tak ingin mundur. "Mas, ayo kita lakukan ini bersama," katanya dengan suara bergetar, mencoba membangkitkan seman
Monica menemui Dea, setelah semalam diminta melakukan beberapa operasi. Tubuh wanita itu sangat lemas, lelah akibat prosedur yang menyita energi dan emosinya. Namun pesan yang dikirimkan kawannya membuat ia tak bisa menahan diri. Hari ini ia terpaksa ke sekolah tempat Dea bekerja. Setibanya di sekolah, suasana terasa tegang. Monica melihat murid-murid berlarian, dan suara tawa mereka membuatnya tersenyum sejenak, tetapi pikirannya segera kembali kepada Dea. "Apa Dea masih mengajar. Aku sudah menunggunya 30 menit, rasanya tubuhku semakin lemas," keluh Monica. Netra wanita itu segera menangkap siluet orang yang dicarinya."Monica," panggil Dea yang menghampiri dokter bedah tersebut dengan tawa riang. "Ya ampun Mon. Semalam aku kelabakan banget ngehubungi kamu."Monica tersenyum kecut karena ada perasaan bersalah membuat temannya repot. "Maaf. Semalam aku melakukan beberapa prosedur operasi pasien, jadi tidak bisa membalas pesan dan teleponmu.""It's okay. Tapi..." Dea merenung memikirk
Icha termenung karena hari semakin larut dan tak ada tanda-tanda Kevin akan pulang. Wanita itu bahkan harus menggosok lengannya agar tidak kedinginan. Suaminya masih sibuk menata gelas plastik yang mereka dapatkan sedemikian rupa agar tertata rapi di karung. Kulit kusam, bibir pecah-pecah, dan jambang lebat membuat tampilan Kevin berantakan. "Mas nggak pulang? Ini udah malam loh," ingat Icha. "Pulang kemana?" Kevin menatap istrinya dengan datar. Lelaki itu memilih untuk membiarkan Icha bersamanya, karena ia tau jika wanita itu sangat keras kepala. Jadi percuma kalau ia mendebatnya. Apalagi ia sempat membatin, aku yakin dalam beberapa jam dia akan menyerah dan berhenti menggangguku."Rumah?" Alis Icha terangkat sangat tinggi beserta senyum manis. Sedangkan salah satu sudut bibir Kevin terangkat. "Mana ada rumah? Aku ini gelandangan Cha, jadi jangan harap punya tempat berteduh apalagi rumah." Icha terdiam sejenak, kemudian ia menghela napas panjang. Pengakuan Kevin membuat hati wani
Dea yang baru sampai rumah langsung merebahkan diri di ranjang. Kamarnya yang selalu rapi dan dingin membuat ia perlahan tertidur. Namun tiba-tiba ia terperanjat karena mimpi di kejar Monica. Napas wanita itu terengah sampai keringan dingin bercucuran di dahinya."Astaghfirullahaladzim, kenapa aku mimpi seperti itu," keluhnya mengatur kesadaran.Apa gara-gara aku menyembunyikan soal Mas Andre yang ingin mengenalku lebih dekat ya? batin Dea risau.Sejujurnya aku takut jika Monica akan membenciku. Kemungkinan tanpa sadar rasa bersalahku sampai ke alam mimpi. Semoga saja pilihanku buat nggak bilang Andre mengakui perasaannya ke aku adalah hal yang tepat, harap Dea masih dalam hati. Ia melihat jam dinding menunjukkan pukul 18.00 WIB, ini waktu untuk menunaikan ibadah."Sayang, Mama masuk ya?" izin Nala setelah mengetuk pintu beberapa kali. Dea yang akan mandi kembali mengurungkan niatnya, lantas menjawab. "Iya Ma.""Eh, kok belum ganti baju?" kaget Nala yang baru masuk ke kamar putrinya.
Dea duduk diam di tepi ranjang, tatapannya terpaku pada ponsel di tangannya. Jari-jarinya bergerak di atas layar, tetapi ia ragu-ragu untuk mengetik balasan. Kegelisahan yang tadi hanya berputar di pikirannya, kini berubah menjadi beban nyata yang semakin berat."Aku harus jawab apa?" bisiknya pada diri sendiri. Kepalanya terasa penuh dengan berbagai kemungkinan. Ia bisa saja menceritakan segalanya, jujur tentang Andre dan perasaannya, tapi ia tahu risiko yang akan ditimbulkan. Persahabatannya dengan Monica bisa hancur. Namun, jika ia terus menyimpan rahasia ini, ketegangan di antara mereka mungkin akan semakin memburuk. Monica terlalu peka untuk tidak menyadari ada yang salah.Pikiran Dea terus berputar-putar, sampai akhirnya ia memutuskan untuk menarik napas panjang dan mengetik sesuatu yang sederhana:"Aku baik-baik aja, Mon. Mungkin cuma lagi capek belakangan ini. Kita ketemu nanti ya, biar bisa ngobrol lebih enak."Dea menekan tombol kirim, merasa lega dan sekaligus cemas. Ia be