Monica menemui Dea, setelah semalam diminta melakukan beberapa operasi. Tubuh wanita itu sangat lemas, lelah akibat prosedur yang menyita energi dan emosinya. Namun pesan yang dikirimkan kawannya membuat ia tak bisa menahan diri. Hari ini ia terpaksa ke sekolah tempat Dea bekerja. Setibanya di sekolah, suasana terasa tegang. Monica melihat murid-murid berlarian, dan suara tawa mereka membuatnya tersenyum sejenak, tetapi pikirannya segera kembali kepada Dea. "Apa Dea masih mengajar. Aku sudah menunggunya 30 menit, rasanya tubuhku semakin lemas," keluh Monica. Netra wanita itu segera menangkap siluet orang yang dicarinya."Monica," panggil Dea yang menghampiri dokter bedah tersebut dengan tawa riang. "Ya ampun Mon. Semalam aku kelabakan banget ngehubungi kamu."Monica tersenyum kecut karena ada perasaan bersalah membuat temannya repot. "Maaf. Semalam aku melakukan beberapa prosedur operasi pasien, jadi tidak bisa membalas pesan dan teleponmu.""It's okay. Tapi..." Dea merenung memikirk
Icha termenung karena hari semakin larut dan tak ada tanda-tanda Kevin akan pulang. Wanita itu bahkan harus menggosok lengannya agar tidak kedinginan. Suaminya masih sibuk menata gelas plastik yang mereka dapatkan sedemikian rupa agar tertata rapi di karung. Kulit kusam, bibir pecah-pecah, dan jambang lebat membuat tampilan Kevin berantakan. "Mas nggak pulang? Ini udah malam loh," ingat Icha. "Pulang kemana?" Kevin menatap istrinya dengan datar. Lelaki itu memilih untuk membiarkan Icha bersamanya, karena ia tau jika wanita itu sangat keras kepala. Jadi percuma kalau ia mendebatnya. Apalagi ia sempat membatin, aku yakin dalam beberapa jam dia akan menyerah dan berhenti menggangguku."Rumah?" Alis Icha terangkat sangat tinggi beserta senyum manis. Sedangkan salah satu sudut bibir Kevin terangkat. "Mana ada rumah? Aku ini gelandangan Cha, jadi jangan harap punya tempat berteduh apalagi rumah." Icha terdiam sejenak, kemudian ia menghela napas panjang. Pengakuan Kevin membuat hati wani
Dea yang baru sampai rumah langsung merebahkan diri di ranjang. Kamarnya yang selalu rapi dan dingin membuat ia perlahan tertidur. Namun tiba-tiba ia terperanjat karena mimpi di kejar Monica. Napas wanita itu terengah sampai keringan dingin bercucuran di dahinya."Astaghfirullahaladzim, kenapa aku mimpi seperti itu," keluhnya mengatur kesadaran.Apa gara-gara aku menyembunyikan soal Mas Andre yang ingin mengenalku lebih dekat ya? batin Dea risau.Sejujurnya aku takut jika Monica akan membenciku. Kemungkinan tanpa sadar rasa bersalahku sampai ke alam mimpi. Semoga saja pilihanku buat nggak bilang Andre mengakui perasaannya ke aku adalah hal yang tepat, harap Dea masih dalam hati. Ia melihat jam dinding menunjukkan pukul 18.00 WIB, ini waktu untuk menunaikan ibadah."Sayang, Mama masuk ya?" izin Nala setelah mengetuk pintu beberapa kali. Dea yang akan mandi kembali mengurungkan niatnya, lantas menjawab. "Iya Ma.""Eh, kok belum ganti baju?" kaget Nala yang baru masuk ke kamar putrinya.
Dea duduk diam di tepi ranjang, tatapannya terpaku pada ponsel di tangannya. Jari-jarinya bergerak di atas layar, tetapi ia ragu-ragu untuk mengetik balasan. Kegelisahan yang tadi hanya berputar di pikirannya, kini berubah menjadi beban nyata yang semakin berat."Aku harus jawab apa?" bisiknya pada diri sendiri. Kepalanya terasa penuh dengan berbagai kemungkinan. Ia bisa saja menceritakan segalanya, jujur tentang Andre dan perasaannya, tapi ia tahu risiko yang akan ditimbulkan. Persahabatannya dengan Monica bisa hancur. Namun, jika ia terus menyimpan rahasia ini, ketegangan di antara mereka mungkin akan semakin memburuk. Monica terlalu peka untuk tidak menyadari ada yang salah.Pikiran Dea terus berputar-putar, sampai akhirnya ia memutuskan untuk menarik napas panjang dan mengetik sesuatu yang sederhana:"Aku baik-baik aja, Mon. Mungkin cuma lagi capek belakangan ini. Kita ketemu nanti ya, biar bisa ngobrol lebih enak."Dea menekan tombol kirim, merasa lega dan sekaligus cemas. Ia be
Suasana makan malam yang sebelumnya hangat dan nyaman tiba-tiba berubah ketika Dea melontarkan pertanyaan itu. Semua mata tertuju padanya, dan untuk beberapa detik, keheningan merambat di ruangan. Levi yang sedang menyesap es teh manis, menghentikan gerakan tangannya, menatap Dea dengan kening berkerut."Mas Andre?" tanya Levi perlahan, memastikan bahwa ia tidak salah dengar. Dea merasa gugup, tetapi ia mencoba untuk tetap tenang. "Iya, Mas Andre. Mas Levi kan bilang minggu lalu dia ada di luar kota, tapi tiba-tiba kemarin dia muncul dan kita dinner bareng," Dea menjelaskan dengan senyum tipis, berharap suasana kembali normal. Namun dari cara Levi memandangnya, ia tahu ada sesuatu yang tak beres.Nala yang duduk di seberang meja, menatap Dea dengan pandangan khawatir. "Sayang, kamu ada apa dengan Mas Andre? Kenapa mendadak nanya soal dinner?" Sikap putrinya hari ini sedikit membuatnya risau jadi mulutnya sulit dikontrol.Dea terdiam sejenak, merasakan tatapan seluruh keluarganya yang
Setelah perdebatan cukup panjang dengan Kevin, Icha akhirnya memenangkan argument dan mereka mencari kost murah untuk ditempati. Untungnya Icha memiliki beberapa lembar uang yang bisa untuk menyewa sepetak kamar. Kevin yang memiliki gengsi tinggi memilih keluar hingga menjelang pagi."Mas Kevin ke mana saja? Dari semalam aku nungguin kamu loh," kesal Icha sembari bertolak pinggang menghampiri suaminya yang menata gelas kosong. Lelaki yang memilih jadi pemulung itu diam seribu bahasa."Nih nasi bungkus. Makan ya Mas," pinta wanita itu penuh kasih. Kevin tak menggubrinya dan sibuk dengan setumpuk gelas plastik di depannya. "Jangan lupa di makan. Hari ini aku mau menemui Papa. Jadi tidak bisa bantu Mas Kevin cari barang bekas. Kalau ngantuk tidur di kos ya Mas. Kuncinya ada di bawah pot kuning depan kos."Icha menarik tangan suaminya kemudian menciumnya penuh kasih. "Adik berangkat dulu. Mas semangat kerjanya," ucapnya dengan riang.Kevin hanya memperhatikan istrinya dalam diam, perasaan
Icha tiba di lapas dengan perasaan campur aduk. Hatinya berdebar tak menentu saat berjalan melewati gerbang besi yang besar dan suram. Sudah lama ia tidak bertemu dengan Seno. Meski sudah legowo menerima nasib hidup yang berubah drastis, pertemuan dengan Seno selalu membawa kenangan pahit yang sulit diabaikan. Bagaimanapun, Seno adalah simbol dari masa lalunya yang penuh glamor, tetapi juga kelam.Icha menghela napas panjang sebelum masuk ke ruang kunjungan. Suara gemerisik langkah sepatunya bergema di sepanjang lorong sempit. Pikirannya terhuyung-huyung antara harapan dan kekhawatiran.Bagaimana reaksi Papa saat bertemu denganku? Apakah akan marah, kecewa, atau justru bersikap acuh seperti terakhir kali bertemu?Di ruang kunjungan, Seno sudah menunggunya di balik kaca pembatas. Wajahnya terlihat lebih tua dari yang terakhir kali wanita itu lihat. Guratan-guratan di wajahnya semakin dalam, dan rambutnya yang dulu selalu tersisir rapi kini terlihat acak-acakan. Namun sorot matanya masi
Icha bergegas ke alamat yang ditunjukkan Papanya. Seno yang berada di balik jeruji ternyata menyisihkan sebagian hartanya di seseorang. Dan orang itu adalah Paijo, seorang kakek tua yang setiap tahun Seno jenguk. Pria tua itu sudah dianggap seperti ayah sendiri oleh Papa Icha. Hal ini karena kedua orangtua Icha adalah anak panti asuhan yang tidak tau apakah memiliki keluarga sedarah atau tidak. "Datanglah ke Mbak Paijo. Minta sesuatu yang Papa titipkan ke Mbah Paijo. Setelah mendapatkannya, datang ke sini lagi Nak," ucap Seno yang masih di dalam lapas.Pada akhirnya Icha sampai di gubuk tua pinggir kota. Ini berjarak 15 menit dari kost-kost an yang ia tempati saat ini.Icha berdiri di depan gubuk tua itu, jantungnya berdegup kencang. Tempat ini jauh dari ekspetasi yang ia bayangkan. Sederhana dan kumuh, bertolak belakang dengan masa lalu gemerlap yang pernah ia jalani bersama keluarganya. Namun, di sini, di tempat yang tampak usang dan hampir rapuh oleh waktu, tersimpan sebagian dari