Dea duduk diam di tepi ranjang, tatapannya terpaku pada ponsel di tangannya. Jari-jarinya bergerak di atas layar, tetapi ia ragu-ragu untuk mengetik balasan. Kegelisahan yang tadi hanya berputar di pikirannya, kini berubah menjadi beban nyata yang semakin berat."Aku harus jawab apa?" bisiknya pada diri sendiri. Kepalanya terasa penuh dengan berbagai kemungkinan. Ia bisa saja menceritakan segalanya, jujur tentang Andre dan perasaannya, tapi ia tahu risiko yang akan ditimbulkan. Persahabatannya dengan Monica bisa hancur. Namun, jika ia terus menyimpan rahasia ini, ketegangan di antara mereka mungkin akan semakin memburuk. Monica terlalu peka untuk tidak menyadari ada yang salah.Pikiran Dea terus berputar-putar, sampai akhirnya ia memutuskan untuk menarik napas panjang dan mengetik sesuatu yang sederhana:"Aku baik-baik aja, Mon. Mungkin cuma lagi capek belakangan ini. Kita ketemu nanti ya, biar bisa ngobrol lebih enak."Dea menekan tombol kirim, merasa lega dan sekaligus cemas. Ia be
Suasana makan malam yang sebelumnya hangat dan nyaman tiba-tiba berubah ketika Dea melontarkan pertanyaan itu. Semua mata tertuju padanya, dan untuk beberapa detik, keheningan merambat di ruangan. Levi yang sedang menyesap es teh manis, menghentikan gerakan tangannya, menatap Dea dengan kening berkerut."Mas Andre?" tanya Levi perlahan, memastikan bahwa ia tidak salah dengar. Dea merasa gugup, tetapi ia mencoba untuk tetap tenang. "Iya, Mas Andre. Mas Levi kan bilang minggu lalu dia ada di luar kota, tapi tiba-tiba kemarin dia muncul dan kita dinner bareng," Dea menjelaskan dengan senyum tipis, berharap suasana kembali normal. Namun dari cara Levi memandangnya, ia tahu ada sesuatu yang tak beres.Nala yang duduk di seberang meja, menatap Dea dengan pandangan khawatir. "Sayang, kamu ada apa dengan Mas Andre? Kenapa mendadak nanya soal dinner?" Sikap putrinya hari ini sedikit membuatnya risau jadi mulutnya sulit dikontrol.Dea terdiam sejenak, merasakan tatapan seluruh keluarganya yang
Setelah perdebatan cukup panjang dengan Kevin, Icha akhirnya memenangkan argument dan mereka mencari kost murah untuk ditempati. Untungnya Icha memiliki beberapa lembar uang yang bisa untuk menyewa sepetak kamar. Kevin yang memiliki gengsi tinggi memilih keluar hingga menjelang pagi."Mas Kevin ke mana saja? Dari semalam aku nungguin kamu loh," kesal Icha sembari bertolak pinggang menghampiri suaminya yang menata gelas kosong. Lelaki yang memilih jadi pemulung itu diam seribu bahasa."Nih nasi bungkus. Makan ya Mas," pinta wanita itu penuh kasih. Kevin tak menggubrinya dan sibuk dengan setumpuk gelas plastik di depannya. "Jangan lupa di makan. Hari ini aku mau menemui Papa. Jadi tidak bisa bantu Mas Kevin cari barang bekas. Kalau ngantuk tidur di kos ya Mas. Kuncinya ada di bawah pot kuning depan kos."Icha menarik tangan suaminya kemudian menciumnya penuh kasih. "Adik berangkat dulu. Mas semangat kerjanya," ucapnya dengan riang.Kevin hanya memperhatikan istrinya dalam diam, perasaan
Icha tiba di lapas dengan perasaan campur aduk. Hatinya berdebar tak menentu saat berjalan melewati gerbang besi yang besar dan suram. Sudah lama ia tidak bertemu dengan Seno. Meski sudah legowo menerima nasib hidup yang berubah drastis, pertemuan dengan Seno selalu membawa kenangan pahit yang sulit diabaikan. Bagaimanapun, Seno adalah simbol dari masa lalunya yang penuh glamor, tetapi juga kelam.Icha menghela napas panjang sebelum masuk ke ruang kunjungan. Suara gemerisik langkah sepatunya bergema di sepanjang lorong sempit. Pikirannya terhuyung-huyung antara harapan dan kekhawatiran.Bagaimana reaksi Papa saat bertemu denganku? Apakah akan marah, kecewa, atau justru bersikap acuh seperti terakhir kali bertemu?Di ruang kunjungan, Seno sudah menunggunya di balik kaca pembatas. Wajahnya terlihat lebih tua dari yang terakhir kali wanita itu lihat. Guratan-guratan di wajahnya semakin dalam, dan rambutnya yang dulu selalu tersisir rapi kini terlihat acak-acakan. Namun sorot matanya masi
Icha bergegas ke alamat yang ditunjukkan Papanya. Seno yang berada di balik jeruji ternyata menyisihkan sebagian hartanya di seseorang. Dan orang itu adalah Paijo, seorang kakek tua yang setiap tahun Seno jenguk. Pria tua itu sudah dianggap seperti ayah sendiri oleh Papa Icha. Hal ini karena kedua orangtua Icha adalah anak panti asuhan yang tidak tau apakah memiliki keluarga sedarah atau tidak. "Datanglah ke Mbak Paijo. Minta sesuatu yang Papa titipkan ke Mbah Paijo. Setelah mendapatkannya, datang ke sini lagi Nak," ucap Seno yang masih di dalam lapas.Pada akhirnya Icha sampai di gubuk tua pinggir kota. Ini berjarak 15 menit dari kost-kost an yang ia tempati saat ini.Icha berdiri di depan gubuk tua itu, jantungnya berdegup kencang. Tempat ini jauh dari ekspetasi yang ia bayangkan. Sederhana dan kumuh, bertolak belakang dengan masa lalu gemerlap yang pernah ia jalani bersama keluarganya. Namun, di sini, di tempat yang tampak usang dan hampir rapuh oleh waktu, tersimpan sebagian dari
Icha terkejut mendengar syarat yang disebutkan Paijo. Surat nikah? Ia dan Kevin memang menikah, tapi pernikahan mereka hanya dilakukan secara agama dan belum pernah diresmikan melalui surat nikah sipil. Perasaan bingung dan panik mulai merayap di benaknya. Bagaimana mungkin ia bisa memenuhi syarat itu? Kevin dengan segala gengsi dan kemurkaannya, pasti sulit diajak melakukan hal seperti itu. Terlebih lagi, mereka sedang hidup di tengah kesulitan. Kevin pun merasa terpojok dan tak berdaya."Tapi, Pak Paijo... Saya... saya dan suami belum punya surat nikah sipil. Kami... kami hanya menikah secara agama," ujar Icha, suaranya pelan dan penuh kebingungan.Paijo menghela napas panjang, seolah sudah memperkirakan hal itu. "Begini, Icha. Ayahmu, Seno, memang orang yang keras kepala, tapi dia selalu ingin memastikan kalau kamu memiliki kehidupan yang lebih baik, lebih stabil. Itu sebabnya dia memberikan syarat seperti ini. Dia ingin memastikan suamimu benar-benar siap untuk berkomitmen, bukan
Kevin keluar dari kamar kos dengan wajah gelap dan langkah berat, pintu yang tertutup di belakangnya seperti menambah perasaan terjebak dalam tekanan yang terus meningkat. Ia tidak bisa berhenti memikirkan kata-kata Icha. "Surat nikah? Serius, Cha?" gumamnya lagi dengan nada sarkastik saat berjalan keluar. Tangannya mengepal erat, mencengkeram gengsinya yang mulai retak.Icha, yang masih duduk di lantai, menahan isak tangisnya. Kalimat-kalimat Kevin terus terngiang di kepalanya seperti duri tajam."Aku sudah jatuh serendah ini, dan kamu mau aku tambah jatuh?" Kata-kata itu menusuk hati Icha. Apakah keinginannya terlalu berlebihan? Apakah ia sudah memaksa Kevin lebih dari yang bisa ditanggungnya? “Apa aku salah, Mas? Apa aku terlalu memaksamu?” bisik Icha pada dirinya sendiri, suaranya tercekat di tenggorokan. Dia memeluk lututnya, memejamkan mata dan mencoba menenangkan diri meskipun sulit. Di luar, Kevin berjalan tanpa tujuan, melangkah ke sembarang arah yang tak pasti. Rasa frusta
Kevin termenung di depan pagar rumah orangtuanya. Setelah mendapatkan surat nikah sipil ia langsung menuju rumah Rita dan Gito meninggalkan Icha sendirian di KUA Kecamatan. Gerbang yang menjulang tinggi sekarang terasa megah untuk lelaki itu. Padahal selama hidup di rumah orangtuanya, Kevin merasa biasa saja. Namun, di saat terpuruk begini ia baru menyadari seberapa berkecukupannya dia di masa lalu.Mobil sedan memasuki halaman rumah orangtuanya. Mata Kevin menyipit ketika seseorang keluar dari kereta besi tersebut. "Andre..."Kevin mengendap, berusaha menyembunyikan diri di antara pepohonan yang ada di taman. Dari pandangan jauh dia bisa melihat seberapa ramah Papanya menyambut Andre. Hati Kevin terenyuh menonton keakraban mereka."Astaghfirullahaladzim," desis Kevin menyadarkan dirinya.Lelaki itu menunggu kurang lebih satu jam sampai akhirnya Andre berpamitan. Gito menunggu mobil sedan pria yang berprofesi CEO itu menghilang.Kevin berjalan mendekat ke arah Papanya. Perasaannya cam