Kevin keluar dari kamar kos dengan wajah gelap dan langkah berat, pintu yang tertutup di belakangnya seperti menambah perasaan terjebak dalam tekanan yang terus meningkat. Ia tidak bisa berhenti memikirkan kata-kata Icha. "Surat nikah? Serius, Cha?" gumamnya lagi dengan nada sarkastik saat berjalan keluar. Tangannya mengepal erat, mencengkeram gengsinya yang mulai retak.Icha, yang masih duduk di lantai, menahan isak tangisnya. Kalimat-kalimat Kevin terus terngiang di kepalanya seperti duri tajam."Aku sudah jatuh serendah ini, dan kamu mau aku tambah jatuh?" Kata-kata itu menusuk hati Icha. Apakah keinginannya terlalu berlebihan? Apakah ia sudah memaksa Kevin lebih dari yang bisa ditanggungnya? “Apa aku salah, Mas? Apa aku terlalu memaksamu?” bisik Icha pada dirinya sendiri, suaranya tercekat di tenggorokan. Dia memeluk lututnya, memejamkan mata dan mencoba menenangkan diri meskipun sulit. Di luar, Kevin berjalan tanpa tujuan, melangkah ke sembarang arah yang tak pasti. Rasa frusta
Kevin termenung di depan pagar rumah orangtuanya. Setelah mendapatkan surat nikah sipil ia langsung menuju rumah Rita dan Gito meninggalkan Icha sendirian di KUA Kecamatan. Gerbang yang menjulang tinggi sekarang terasa megah untuk lelaki itu. Padahal selama hidup di rumah orangtuanya, Kevin merasa biasa saja. Namun, di saat terpuruk begini ia baru menyadari seberapa berkecukupannya dia di masa lalu.Mobil sedan memasuki halaman rumah orangtuanya. Mata Kevin menyipit ketika seseorang keluar dari kereta besi tersebut. "Andre..."Kevin mengendap, berusaha menyembunyikan diri di antara pepohonan yang ada di taman. Dari pandangan jauh dia bisa melihat seberapa ramah Papanya menyambut Andre. Hati Kevin terenyuh menonton keakraban mereka."Astaghfirullahaladzim," desis Kevin menyadarkan dirinya.Lelaki itu menunggu kurang lebih satu jam sampai akhirnya Andre berpamitan. Gito menunggu mobil sedan pria yang berprofesi CEO itu menghilang.Kevin berjalan mendekat ke arah Papanya. Perasaannya cam
Malam ini Dea bersiap diri untuk dinner bersama Andre. Setelah acara makan keluarga beberapa hari lalu, wanita itu dengan berani menghubungi Andre. Syukurnya Andre membalas ajakannya dengan ramah, dan mereka akan berangkat malam ini.Dia berdiri di depan cermin, memastikan penampilannya sempurna. Gaun hitam sederhana yang dipilihnya terlihat elegan, tak terlalu berlebihan. Rambutnya ditata rapi, dan riasan wajahnya natural memancarkan kecantikan alami yang selama ini sering ia sembunyikan di balik kesedihan. Malam ini wanita itu berusaha tampil sebaik mungkin tapi tetap alami karena sungkan dengan Monica. Permintaan temannya akan di realisasikan malam ini juga sehingga janji Dea akan tuntas. "Huft! Semoga Monica bisa datang ke dinner hari ini, dan Mas Andre bisa menerima kedatangan dia."Hatinya berdebar kencang. Perasaan campur aduk antara gugup dan antusias menyelimuti dirinya. Wanita itu sangat penasaran apa yang akan terjadi antara Monica dan Andre. Dea tahu betapa temannya sang
Monica menghampiri Dea dan Andre dengan senyum merekah. Andre yang menyadari sosok tak diundang dibuat terkejut. Sedangkan Dea meringis tak tau harus berbuat apa ketika lelaki itu meliriknya penuh arti."Hai Ndre, gimana kabarmu?" sapa Monica tanpa memandang Dea. Andre terdiam cukup lama sembari memainkan ponselnya. Dea kesulitan menelan salivanya, karena suasana tampak canggung."Mas Andre," panggilnya sembari melirik sungkan ke arah Monica. "Iya De? Mau nambah apa?" tanya Andre."Tidak Mas." Dea menggelengkan kepala. "Aku mau ke kamar mandi dulu," pamit Dea tanpa menunggu persetujuan Andre. Monica menatap wanita itu penuh terima kasih, sedangkan Dea tersenyum canggung. Hells pendek mengetuk lantai sangat padat. "Ya Allah aku deg-degan banget," keluh Dea memandang wajahnya di dalam cermin. Mulutnya berkali-kali menghempuskan napas karena dirundung persaan bersalah pada Andre karena ada tamu tak diundang. Apalagi sebenarnya pertemuan ini dibuat rencakan agar seakan tidak sengaja be
"Justru aku yang berusaha merebut dia dari Kevin, Mon. Jangan coba menyalahkan Dea," sergah Andre yang membuat Monica semakin murka. "Kamu merebut Dea?" wanita itu tampak tak mengerti dengan arah pembicaraan tersebut. "Itu tidak mungkin. Pasti dia yang menggodamu kan?"Dea yang sedari tadi hanya diam, kini berusaha mengumpulkan keberanian untuk berbicara. "Monica, itu nggak benar. Aku sama sekali nggak pernah berniat merebut Andre darimu, apalagi menggodanya. Aku bahkan nggak tahu kalau perasaannya seperti ini," ujar Dea dengan suara gemetar. Matanya berkaca-kaca, merasa terjebak di antara dua orang yang ia pedulikan.Melihat pujaan hatinya tersinggung, Andre segera angkat bicara seraya menatap Monica dengan tegas. "Jangan sekali-sekali menyalahkan Dea. Aku yang jatuh cinta padanya, bukan sebaliknya. Dea tidak pernah menggodaku atau mencoba mendekatiku. Kamu harus menerima kenyataan ini. Aku mencintai Dea." Kalimat itu dikatakan Andre dengan penuh penekanan. Monica menggelengkan kep
"Lucu sekali ucapanmu, Mon." Andre menatap wanita itu dengan jijik. Dia tak bisa menyembunyikan ekspresinya. "Setelah semua yang kamu lakukan, semudah itu kamu berbicara seperti itu?" Salah satu bibirnya terangkat. Napas Dea tercekat melihat interaksi dua orang di depannya."Dokter macam apa kamu ini? Bagaimana bisa kamu menjadi dokter, padahal sudah menghilangkan nyawa yang tak bersalah."Monica terpejam. "Sudah, Ndre. Hentikan semua ingatan masa lalu itu. Ayo mulai buka lembaran baru. Aku hanya cinta kamu, Ndre. Percayalah denganku," mohon dokter bedah tersebut dengan wajah memelas. Salah satu sudut bibir Andre terangkat. "Bagaimana dengan Vincent?" Mata Monica terbelalak mendengar pertanyaan itu. "Jangan pikir aku tidak tahu apa saja yang kamu lakukan di luar negeri. Bukannya kamu melenyapkan bayiku itu demi dia?""Ndre." panggilan Monica langsung terpotong."Tidak perlu dijelaskan. Aku tau seberapa hebat Vincent. Dia memang sangat hebat, jadi tak perlu memberi alasan soal hubun
Dea memperhatikan wajah Andre yang pucat. Nafas lelaki itu tampak tersengal-sengal dan keringat dingin mengalir di pelipisnya. Kedua alis Dea berkerut, matanya terus memindai tiap inci wajah mantan kepala sekolahnya yang tampak semakin lesu. "Mas Andre, Mas..." panggil Dea menyadarkan pria di depannya yang melamun cukup lama."Eh! Iya, De?" Andre tampak kebingungan."Are you okay?" "I'm okay," jawab Andre sedikit terpaksa. "Sorry sudah bikin kamu khawatir."Dea menghela napasnya cukup panjang. Ia memutar otak mencoba meringankan emosi rekannya yang bagai angin puting beliung. "Apa Mas Andre mau mengunjungi makam bayi? Kalau iya, aku bisa nemenin," tawar perempuan itu. Alis Andre bertaut, matanya menyipit seolah mencoba memahami sesuatu yang tak jelas di depannya. Kepalanya sedikit miring, mencari sudut pandang baru yang bisa memberinya petunjuk dari tawaran Dea. Bibirnya terbuka setengah, tapi tak ada kata yang keluar."Aku akan menemani Mas Andre ke sana. Malam ini juga, tapi aku ma
Icha dan Kevin yang sudah mengantongi surat nikah sipil beriringan ke rumah Paijo, pria tua kepercayaan Seno. Keduanya melangkah dalam diam, hanya sesekali saling menatap. Hubungan mereka masih belum sepenuhnya pulih, tapi Kevin merasa perlu mendampingi Icha, sekaligus menjadi syarat yang diberikam papa mertuanya. Dalam hatinya ia seakan dipaksa untuk tetap bertanggung jawab, walaupun perasaannya terhadap Icha masih campur aduk.Kevin menghela napas panjang, memandangi jalan setapak di depan mereka. Pikirannya terbayang pada pertemuannya dengan orangtuanya beberapa waktu lalu. Bagaimana kerasnya penolakan mereka terhadap pernikahannya dengan Icha, dan bagaimana perasaan bersalah terus menghantui dirinya sejak saat itu.Icha, di sisi lain, merasa sedikit cemas. Meskipun Kevin bersikap lebih terbuka dan mau menemaninya ke rumah Paijo, Icha tahu betul bahwa hubungan mereka masih jauh dari kata harmonis. Rumah Paijo bernuansa kayu tua klasik, masih memancarkan ketenangan yang sama sepert