Seno sudah duduk di balik meja panjang, mengenakan seragam narapidana berwarna oranye. Wajahnya tampak lebih tua dan lebih letih daripada terakhir kali Icha melihatnya, tapi senyum hangat masih terlihat di wajahnya ketika dia melihat putrinya masuk.“Icha, Kevin,” sapa Seno dengan nada lembut, meskipun sorot matanya lebih banyak tertuju pada Icha.Icha tersenyum tipis. “Papa, apa kabar?”Seno menghela napas panjang. “Yah, begini-begini aja. Gimana kabar kalian berdua? Sudah lama nggak lihat kalian.”Kevin tetap diam, hanya duduk di kursinya dengan tatapan kosong. Icha menoleh sejenak ke arah suaminya, sebelum memutuskan untuk menjawab sendiri. “Kami baik-baik aja, Pa. Tapi, aku ke sini sebenarnya ingin nanya soal kunci yang dititipin Pak Paijo ke aku tadi. Kunci apa itu, Pa?”Seno menatap Icha dengan tatapan serius, matanya sejenak melirik ke arah Kevin sebelum menjawab. “Itu kunci brankas di panti asuhan. Di sana ada sesuatu yang harus kamu lihat, sesuatu yang akan menjelaskan tentan
Sesuai janjian, Andre dan Dea berangkat ke panti asuhan bersama. Pertemuan terakhir saat dinner membawa kedua insan dengan gelagat yang berbeda dari biasanya. Nala dan David pun merasakan seperti ada yang tumbuh di hati putri mereka."Have fun, Sayang." Nala mengecup kening putrinya dengan lembut. Dea hanya mengangguk dan segera masuk mobil. Andre membukakan pintu untuk Dea, bak treatment like a princess.Begitu Dea duduk di dalam mobil, Andre berjalan memutari mobil dan mengambil tempat di kursi pengemudi. Suasana di antara mereka terasa tenang, tetapi ada getaran halus yang seakan-akan menyelimuti perjalanan mereka. Andre sesekali melirik Dea yang tampak sedikit gelisah, matanya terfokus ke luar jendela, tetapi ada senyum kecil yang tidak bisa disembunyikan dari wajahnya.“Kamu siap?” Andre bertanya sambil memutar kemudi dan melaju pelan keluar dari halaman rumah Dea.Dea menoleh dengan senyuman tipis. “Tentu saja. Ini bukan kali pertama aku ke panti, tapi... rasanya kali ini beda,
Icha tampak tergagap, sementara Kevin, yang biasanya tenang dan dingin, hanya mengangkat alis tanpa banyak bicara. Melihat reaksi Dea yang begitu kaget dan sedikit cemas, Andre memasang tatapan serius, menyadari ada sesuatu yang tidak biasa.“K-kami cuma mau ke panti asuhan. Nggak sengaja ketemu kalian,” jawab Icha pelan sambil menyincingkan bibirnya, berusaha meredakan ketegangan.“Oh.” Andre mengangguk singkat, masih tidak melepas genggamannya dari tangan Dea, seolah hendak memastikan kehadirannya bisa melindungi wanita itu sepenuhnya. Ia menatap Kevin dengan tatapan penuh kewaspadaan, meskipun mantan suami Dea tetap menunjukkan ekspresi acuh.“Kalau begitu, silakan masuk. Hari sudah hampir malam,” ucap Andre sambil menganggukkan kepalanya ke arah pintu panti.Icha tampak ragu, matanya melirik pada Dea yang diam-diam mengangguk tipis seolah memberi sinyal bahwa mereka boleh melanjutkan urusannya. Namun, sebelum mereka berbalik, Kevin, dengan nada datar dan sedikit tajam, akhirnya me
Kepala panti terlihat bingung melihat kunci yang ditunjukkan oleh Icha. Ia menoleh ke wanita paruh baya yang ada di belakangnya. Wanita itu hanya menggeleng, kemudian berkata, "Siapa nama papamu, Miss?"Icha menelan ludah sejenak sebelum menjawab, “Seno. Papa saya bernama Seno.”Kepala panti mengernyitkan dahinya, tampak memikirkan sesuatu. Dia lalu melihat wanita paruh baya yang tadi mendampinginya, seolah menunggu konfirmasi. Wanita itu akhirnya mengangguk pelan, tampak mengerti, lalu berkata, “Oh, Pak Seno. Bagaimana kalau kita masuk dulu?"Kepala panti pun setuju, dan mempersilakan Icha dan Kevin untuk masuk ke ruangannya.Icha dan Kevin mengikuti kepala panti dan wanita paruh baya masuk ke ruangan kecil yang dipenuhi oleh lemari arsip dan berkas-berkas tua. Ruangan itu sunyi, hanya terdengar derit kecil lantai kayu di bawah mereka. Kepala panti dan wanita paruh baya yang tadi berdiri di belakangnya tampak sibuk mencari sesuatu di dalam salah satu laci besar.Setelah beberapa saat
Ibu panti menghela napas. "Ayo ikut saya. Mungkin ini bisa membantumu." Icha dan Kevin diajak berjalan cukup jauh dari bangunan utama panti. Ibu panti berhenti di depan pintu kayu yang terlihat tua, catnya memudar dan gagangnya berderit saat diputar."Ini adalah kamar Maya waktu tinggal di sini. Mungkin kalian bisa mencari kunci apa itu, di sini," ujar Ibu Panti seraya memutar kunci untuk membuka pintu. Ia melirik Icha sejenak, kemudian dengan perlahan membuka pintu kamar kecil itu. Di dalamnya, aroma kayu tua dan sedikit debu memenuhi udara, seolah waktu terhenti di ruangan tersebut. Di sudut kamar, ada sebuah tempat tidur besi berkerak, lemari tua, dan meja kayu yang di atasnya terlihat usang."Kamar ini tidak pernah kami ubah sejak Maya pergi," bisik ibu panti dengan nada penuh kenangan. "Kami menyimpan barang-barangnya, seperti ia tinggalkan dulu." Ibu panti segera undur diri mempersilakan mereka berdua untuk menjelajah ruangan yang ditinggalkan kawan masa kecilnya.Icha melangkah
Icha segera membuka kotak itu. Matanya terbelalak melihat isi kotak itu. Meskipun kotaknya hanya berukuran segenggam tangannya, tetapi cukup dalam dan isinya sangat luar biasa. "Mas!" pekiknya memanggil Kevin. Kevin yang sebelumnya sibuk mencari penerangan, langsung terlonjak. "Kenapa?"Wanita itu menunjukkan isi kotak yang ia temukan. Bongkahan emas tertata rapi di sana. "Emas, Mas! Ini emas!" histeris Icha menemukan harta karun yang ditinggalkan orangtuanya. Berbeda dengan Icha yang senang bukan kepalang, Kevin justru bersikap biasa saja. Memilih menutup pintu dan mengiring Icha untuk duduk di ranjang. "Coba hitung ada berapa gram."Wanita itu mengangguk, dengan hati yang riang menghitung bongkahan yang ia keluarkan dari kotak. "368 gram, Mas." Di sana terbagi atas bongkahan 1 gram, 5 gram, hingga 50 gram."Cepat simpan. Ayo pulang," ajak Kevin. Icha pun setuju dan langsung menyimpan kotak itu ke tasnya. Kemudian mereka berpamitan dengan ibu panti dan kepala panti. Di sela-sela ber
Rita menyeka air matanya yang terus mengalir sambil menatap Dea dengan pandangan penuh sesal. Ia menghela napas panjang sebelum memulai percakapan yang tampaknya sudah lama terpendam. Gito menggenggam tangan istrinya, mencoba menenangkan, meskipun matanya sendiri tak bisa menyembunyikan rasa kecewa yang mendalam.“Dea, maafkan kami. Kami benar-benar tak pernah menyangka bahwa anak kami, Kevin, akan bersikap begitu,” suara Rita bergetar, seolah menahan luka yang baru saja terbuka kembali. “Dia sangat tidak tau diri. Kami sangat menyesal, Dea. Mama tidak menduga mereka akan menikah secara sipil? Tanpa sepengetahuan keluarga? Itu benar-benar menghancurkan hati kami.”Dea terdiam, matanya berkabut mendengar kalimat itu. Andre yang berdiri di sampingnya tampak gelisah, ia ingin menggenggam tangan Dea seperti sebelumnya, tetapi enggan ia lakukan.“Kami tak ingin kamu menyalahkan diri, Dea,” sambung Gito, suaranya penuh penyesalan. “Kami yang gagal sebagai orang tua, kami yang tidak bisa men
Dea tersentak, wajahnya memerah dan bingung melihat semua orang yang kini menatapnya dengan harapan besar. Tatapan-tatapan itu seolah mendesak sesuatu yang selama ini berusaha ia hindari.“Aduh, Ma, Pa, jangan seperti itu,” gumam Dea dengan senyum kaku. Ia melirik Andre sekilas, lalu buru-buru mengalihkan pandangan. “Aku masih belum yakin. Aku belum siap,” suaranya terdengar lirih.Rita tidak menyerah. Ia meraih tangan Dea dengan hangat dan menatap putri mantan menantunya itu dengan mata berbinar. “Dea, Mama tahu kamu mungkin merasa ini terlalu cepat. Tapi Mama ingin kamu tahu, kami hanya ingin melihat kamu bahagia. Kamu pantas untuk itu, Sayang.”Andre menghela napas, senyum simpul tersungging di wajahnya. “Tenang saja, Tante. Aku menghargai semua keputusan Dea. Aku hanya ingin ada di sampingnya untuk mendukung apa pun yang dia pilih,” katanya sambil melemparkan tatapan penuh arti pada Dea.Levi, yang sejak tadi hanya diam, tiba-tiba menepuk bahu Dea dengan senyuman usil. “Dea, kalau
"Perutku sakit banget, Sayang. Seperti kontraksi," jawab Dea dengan suara gemetar.Andre segera memeriksa jam tangannya. "Tapi ini belum waktunya, kan? Masih beberapa minggu lagi!" Namun, melihat ekspresi Dea yang pucat, ia tak berani menunda. "Kita ke rumah sakit sekarang. Tunggu sebentar, aku ambil kunci mobil."Dea mengangguk, meski tubuhnya terus menggeliat karena rasa sakit. Andre kembali dengan mantel dan payung, membantunya bangun dengan hati-hati.Di perjalanan menuju rumah sakit, Dea terus mencengkeram lengan suaminya. Pria itu pun dibuat kalap dengan satu tangan memegang kemudi. "Aduh, Mas sakit banget. Aku nggak kuat," keluhnya.Andre berusaha tetap tenang, meskipun dadanya terasa sesak melihat istrinya kesakitan. "Sayang, bertahan ya. Kita sebentar lagi sampai," katanya sambil mempercepat laju mobil.Setibanya di rumah sakit, para perawat langsung membawa Dea ke ruang bersalin. Andre mendampingi dengan wajah penuh kecemasan. Dokter masuk dan memeriksa kondisi Dea dengan ce
“Waalaikumsalam,” jawab Icha cepat-cepat sambil membuka pintu. Berdiri di sana, Kevin dengan setelan kerjanya yang rapi, wajahnya tampak lelah, tetapi ada senyum tipis yang terukir.“Kamu baru pulang?” tanya Icha langsung, nada suaranya sedikit tajam meski ia mencoba menahannya. Evan yang masih dalam gendongannya mulai merengek lagi, membuatnya semakin frustasi.Kevin mengangguk sambil melepas sepatu. “Iya, maaf lama. Ada kerjaan tambahan tadi. Stok baju menumpuk dan harus di display. Ditambah, aku juga menambah manekin sesuai idemu. Aku sudah memasang banyak setelan yang kamu atur.” Ia mendekati mereka, mengusap kepala Evan yang langsung melenguh kecil, tetapi tetap rewel.“Aku hampir gila sendiri di rumah, tahu nggak?” keluh Icha sambil membawa Evan ke ruang tamu. Namun, ada kebahagiaan sendiri karena ide yang sempat ia katakan pada Kevin, sekarang telah teralisasikan. Dia yang dulunya suka shopping dan selalu memakai outfit kece, ternyata bisa merembak ke bisnis toko baju yang mere
Beberapa hari setelah kabar kehamilan itu, Andre dan Dea memutuskan untuk mengundang kedua keluarga mereka untuk makan malam di rumah. Andre telah mengatur semuanya, dari makanan hingga dekorasi sederhana yang akan digunakan untuk menyampaikan kabar gembira tersebut.Dea berdiri di depan cermin, mengenakan gaun longgar yang sengaja dipilih karena ia mulai merasa tak nyaman dengan pakaian yang ketat di perut. Ia menyentuh perutnya yang masih datar dengan perasaan takjub, seolah tak percaya bahwa kehidupan baru tengah tumbuh di dalamnya.“Kamu cantik,” komentar Andre yang muncul dari balik pintu kamar. Ia mendekat, melingkarkan lengannya di pinggang Dea.“Kamu yakin mereka akan senang?” tanya Dea sambil menatap Andre lewat pantulan cermin.Andre tertawa kecil, mencium kening Dea dengan lembut. “Ayah dan Mama pasti akan sangat senang. Apalagi Oma. Dia sudah lama menunggu kabar seperti ini.”Dea mengangguk, meski hatinya tetap berdebar. Ia masih merasa gugup untuk menyampaikan kabar terse
Setelah hampir dua minggu menikmati bulan madu yang penuh kenangan di Maldives, Dea dan Andre akhirnya kembali ke rumah mereka yang megah. Malam itu, mereka tiba di bandara dengan suasana hati yang lelah tetapi bahagia.“Welcome home, Pak Andre, Bu Dea,” sapa seorang pelayan ketika mereka melangkah masuk ke dalam rumah. Bagi Dea rumah itu terasa lebih besar dari tempat yang selama ini ia tinggali, tetapi kehangatan dari staf yang menyambut mereka membuat Dea merasa nyaman.“Terima kasih,” jawab Andre singkat. Ia menoleh ke arah Dea, yang terlihat sedikit pucat. “Kamu capek? Mau langsung istirahat?”Dea mengangguk sambil tersenyum kecil. “Sepertinya begitu. Perjalanan panjang tadi bikin aku sedikit mual.”Andre mengernyit, menunjukkan kekhawatirannya. “Kamu yakin cuma capek? Jangan-jangan kamu sakit.”Wanita itu hanya tertawa kecil. “Nggak kok, mungkin hanya masuk angin. Besok juga pasti sembuh.”Andre menghela napas, tapi akhirnya mengangguk. “Kalau gitu, ayo naik. Aku bawakan kopermu
Tanpa menunggu lagi, sepasang pengantin yang baru saja melakukan malam pertama segera terbang ke luar negeri."Mas, kita mau ke mana?" tanya Dea. Ia sedari tadi hanya mengekori suaminya. Semua keperluan sudah diatur Andre dan staffnya. Jadi, wanita itu tidak tau mereka akan terbang ke mana. Suaminya pun hanya membalasnya dengan senyuman kecil. "Nanti juga tau," ujar lelaki itu sembari menoel hidung Dea.Namun, jawaban atas rasa penasaran wanita itu langsung terjawab ketika jet yang ia tumpangi landing di salah satu bandara yang ada di Maldives. Dea tak menyangka dan tak terpikirkan akan berada di negara ini. Pagi pertama mereka di Maldives dimulai dengan sinar matahari lembut yang menerobos tirai kamar villa di atas laut. Dea membuka mata perlahan, menghirup aroma udara laut yang menyegarkan. Ia merasakan kain lembut selimut yang menyelimuti tubuhnya dan ketenang di sekitarnya.Ketika ia menoleh, Andre sudah duduk di teras luar, hanya memakai kemeja santai berwarna putih dan celana p
Kevin kehilangan kata-kata. Zahra hanya berdiri di tempatnya, matanya kembali berkaca-kaca, tetapi tidak berani mengeluarkan sepatah kata pun.Icha mengusap air matanya dengan kasar, sambil tetap memeluk Evan. Suaranya gemetar saat ia melanjutkan, “Aku meninggalkan keluargaku demi kamu, Kevin. Aku melawan dan menghadapi dunia sendirian, bahkan saat aku melahirkan anak ini. Apa balasanmu? Kamu bawa perempuan lain masuk ke rumah kita!”“Icha, aku tahu aku salah,” Kevin berkata dengan nada putus asa. “Tapi aku ingin memperbaikinya. Demi Evan. Tolong beri aku kesempatan-”Kata-kata itu seperti palu godam yang menghantam Icha. Tubuhnya terasa lemas, dan ia hanya terpaku. Suaminya hanya memikirkan putra mereka, bukan dirinya. Zahra yang tak sanggup melihat perseteruan mereka, berbalik dan melangkah pergi tanpa berkata apa-apa.Icha menunduk, menatap bayi kecil di pelukannya yang akhirnya berhenti menangis. Ia mengusap lembut kepala Evan sambil berbisik, “Kita pergi dari sini, Nak. Kita tid
Kevin berdiri terpaku, jantungnya berdegup kencang. Kata-kata Icha tadi seperti pisau yang terus-menerus mengirisnya. Ia ingin mengejar wanita itu, tetapi tubuhnya terasa kaku. Di sebelahnya, Zahra menggenggam tangan di depan dada, matanya berkaca-kaca, penuh rasa bersalah.“Mas, mungkin aku seharusnya tidak datang ke sini,” Zahra berbisik pelan. “Kehadiranku hanya memperburuk keadaan.”Kevin menoleh, pandangannya gelap. “Zahra, ini bukan salahmu. Semua ini salahku. Aku yang mengambil keputusan bodoh, dan sekarang aku harus menanggung akibatnya.”Sebelum Zahra bisa menjawab, suara pintu yang dibanting terdengar keras dari arah kamar. Icha muncul kembali dengan sebuah koper besar di tangannya. Tanpa menoleh sedikit pun ke arah Kevin atau Zahra, ia berjalan cepat menuju pintu depan.“Cha, tunggu!” Kevin akhirnya bergerak, berusaha menghentikan istrinya. Ia memegang lengan Icha, tetapi wanita itu menepisnya dengan kasar.“Jangan sentuh aku, Kevin!” seru Icha dengan air mata yang masih me
Kevin menatap Zahra sejenak. Pikirannya bergemuruh, tetapi bibirnya akhirnya lolos begitu saja mengungkapkan kenyataan yang selama ini dia sembunyikan. "Zahra adalah istriku, Cha. Dia madumu. Kami sudah menikah secara sah baik di mata hukum maupun agama."Pernyataan itu jatuh seperti petir di siang bolong. Icha menatap Kevin dengan mata membelalak, wajahnya memerah karena amarah yang langsung memuncak. Tubuhnya gemetar, hampir tak mampu berdiri.“Apa?!” jerit Icha dengan suara yang pecah. “Kamu bilang dia MADUKU?! Kamu sudah menikah lagi tanpa bilang apa-apa padaku?!”Pria itu menatap Icha selembut mungkin, berusaha menenangkan. Namun, kata-kata yang ia siapkan tak mampu menahan badai yang jelas sudah datang. “Cha, aku bisa jelaskan. Seharusnya bilang dari awal. Tapi-”“JELASKAN APA?!” potong Icha dengan teriakan melengking. “Kamu menikah lagi di belakangku, Kevin! Kamu mengkhianatiku! Kamu membawanya ke sini, dan kamu pikir aku akan menerima begitu saja?!”Zahra yang berdiri di sampi
Di ruang tamu, seorang wanita bergamis duduk dengan tenang. Sosok itu membuat darah Icha mendidih seketika.“Kamu?!” seru Icha dengan nada tinggi, tanpa mencoba menyembunyikan kemarahannya.Zahra, yang mengenakan gamis hitam bangkit perlahan. Meski matanya tampak tenang, tubuhnya sedikit gemetar karena situasi yang ia tahu akan sulit.“Iya, Mbak Icha,” jawab Zahra pelan. “Saya diminta Mas Kevin datang.”"Dasar perempuan gatel! Apa-apaan kamu tiba-tiba nggak pake cadar gitu. Mau menggoda suami saya, ya!" Icha melirik Kevin dengan tatapan penuh emosi. “Mas, kamu tega banget bawa dia ke sini?! ngapain kamu suruh datang ke rumah kita?!”“Cha, tenang dulu. Aku cuma—”“Tenang?!” potong Icha tajam. “Kamu mau aku tenang sementara kamu bawa perempuan ini ke rumah kita?! Aku istrimu, Kevin! Dia itu cuma... cuma-”“Saya cuma apa, Mbak?” Zahra menyela lembut, tetapi nadanya tegas. “Kalau saya hanya dianggap sebagai masalah, saya mohon maaf. Tapi saya di sini untuk menyelesaikan semuanya, biar ng